Tak semestinya hati jatuh pada orang yang salah. Tak seharusnya kau memberikan cintamu untuk orang yang tak ‘kan mau menerimanya. Andai saja bisa mengendalikan hati. Mungkin saja, kau tak ‘kan mengenal patah hati. Bila saja bisa menghentikan cinta ketika kau merasa bila dirinya bukanlah orang yang tepat, maka kau tak haru menderita karena cinta. Pada akhirnya, begitu banyak yang kau sadari tak bisa kau ulang kembali. Cinta akan terasa salah hanya bila kau menjatuhkannya pada orang yang tak bisa membalas rasamu. Tak seharusnya kau bertahan karena hatimu yang rapuh, tak ‘kan mungkin bisa menahan luka yang teramat pedih. Namun, pergi terasa jauh lebih sulit daripada harus mencintai semua manusia di muka bumi ini.
“Bagaimana kehidupan pernikahanmu? Apa Tian memperlakukanmu dengan baik?” Pertanyaan itu diajukan ayah Cantika begitu asisten Cantika sudah meletakkan dua cangkir teh beserta biskuit pada meja kecil di antara mereka berdua, “Papa sering heran karena kamu lebih suka menghabiskan waktu di butik. Bahkan di akhir pekan,” Lanjut pria itu seraya menatap Cantika dengan tatapan meneliti. Sedang Cantika tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
Cantika tak menyangka bila ayahnya tahu bila dirinya suka pergi ke butiknya di akhir pekan. Ayahnya tak pernah berkunjung di akhir pekan dan membuat Cantika berpikir bila pria paruh baya itu tak ‘kan tahu kebiasaannya untuk kabur dari rumah yang terasa bak neraka. Cantika hanya betah di rumah saat Tian tak berakhir pekan di rumah mereka. Ia tak tahan dengan segala tuduhan Tian padanya atau sikap dingin pria itu yang membuatnya merasa asing. Sesungguhnya, Cantika bisa saja membeli rumah tanpa sepengetahuan ayahnya dan tinggal di sana demi menyelamatkan kewarasannya, akan tetapi sikap ayahnya yang over protektif seperti ini membuatnya khawatir. Pria itu suka sesekali memeriksa keadaannya dan mencari tahu penderitaannya. Sungguh, Cantika tak ingin lagi menjadi beban bagi kedua orang tuanya.
“Aku hanya bosan di rumah, Pa. Jangan mikir yang aneh-aneh,” Cantika menggenggam tangan ayahnya dan tersenyum menenangkan, “Lagipula, Mas Tian selalu bekerja di akhir pekan. Aku lebih suka di butik dan menganalisa penjualan di akhir pekan. Ini jauh lebih baik daripada merenung di rumah,” Wanita itu tertawa, berusaha menutupi kekhawatirannya, “Aku baik-baik aja, Pa. Pernikahanku sangat membahagiakan dan Mas Tian memperlakukanku dengan baik.”
Hanya dusta yang bisa diberikannya untuk ayahnya itu. Tak ada seorang pun yang mau mendengarkan kebenaran yang menyakitkan. Cantika tak seharusnya membagi kesedihan yang akan membuat ayahnya tak tenang. Ia sudah dewasa dan tak seharusnya menjadi beban pikiran bagi kedua orang tuanya. Ia harus bertanggung jawab atas kehidupan dan juga pilihannya.
Pria itu tersenyum sembari menatap putrinya, kemudian pandangan pria itu jatuh pada punggung tangan Cantika. “Tanganmu terluka? Apa sekarang kamu belajar memasak untuk suamimu? Tapi aneh, kenapa yang terluka malah punggung tanganmu?” Pria menatap Cantika meneliti dan mengusap-usap sekitar luka anak perempuannya, “Apakah masih sakit?”
“Sejak menikah. Aku sudah belajar memasak makanan yang mudah-mudah, Pa. Luka di punggung tanganku ini bukan karena pisau, melainkan nggak sengaja tergores ujung kabinet dapur. Aku aja nggak sadar kalau tanganku terluka. Mas Tian yang melihatnya lebih dulu dan mengobatiku,” Ujar Cantika sembari tersenyum. Ayahnya itu menatap putrinya bangga, wanita yang dulu tak diperbolehkannya masuk ke dapur itu tak lantas membuatnya menjadi istri yang tak mampu melayani suaminya. Ia tak bisa mencari alasan yang lebih masuk akal agar ayahnya itu tak berpikir aneh dan menganggap dirinya mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
“Papa senang melihat perubahanmu dan sangat bangga padamu. Kamu bisa tumbuh menjadi gadis yang kuat dan nggak manja, meski selalu dimanja,” Pria itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, “Bila membutuhkan sesuatu minta sama papa. Apa kita perlu merenovasi kabinet dapur di rumahmu agar kamu nggak terluka lagi saat memasak di dapur? Berusaha menjadi istri yang baik adalah hal yang bagus, tapi jangan sampai membuat dirimu terluka, Sayang,” Lanjut pria itu dengan lirih. Pria itu selalu mengkhawatirkan Cantika. Putri semata wayangnya.
Cantika tersenyum tipis pada ayahnya. Perkataan ayahnya itu seakan pisau yang menusuk tepat ke jantungnyanya, membuatnya merasa begitu sakit. Menjadi istri yang baik dan tidak membuat dirinya terluka. Sayangnya, Cantika malah membuat dirinya terluka karena proses dirinya untuk menjadi istri yang baik. Dirinya terluka berkali-kali karena mencoba menjadi istri sempurna untuk Tian. Sungguh, selama ini dirinya lupa bila yang terpenting dalam hal mencintai adalah mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Cantika begitu mencintai Tian, hingga melewati semua melanggar semua hal yang tak seharusnya ia lakukan. Mencintai itu melelahkan.
“Papa nggak perlu mengkhawatirkanku. Dapurnya sudah baik. Aku saja yang ceroboh,” Perempuan itu tersenyum menenangkan, “Nggak usah dipikirkan,” Cantika tak ingin ayahnya itu bersikap berlebihan yang akan membuat Tian menghinanya sebagai anak manja dan pengadu. Ia tak ingin bila cinta ayahnya malah disalah artikan oleh Tian. Cantika ingin menunjukkan pada Tian bila ia adalah wanita kuat dan juga tak manja. Wanita yang bisa melakukan apa yang diinginkannya tanpa bantuan ayahnya. Ia jauh lebih baik dari pada yang ada di pikiran Tian.
“Sampai kapan pun, kamu tetaplah putri kecil papa. Bagaimana bisa papa nggak memikirkanmu?” Pria itu mengusap wajah putri cantiknya. Cantika tersenyum bahagia. Ia segera berdiri dan memeluk tubuh ayahnya erat-erat. Memang tak semua ayah adalah cinta pertama putrinya, akan tetapi bagi Cantika, pria itu adalah cinta pertamanya. Lelaki yang mencintainya sepenuh hati dan selalu membantunya berdiri di saat dirinya terjatuh. Ayahnya yang terbaik.
Pria itu tertawa kecil dan mengusap air mata Cantika ketika pelukan mereka terlepas. “Jangan menangis. Nanti cantiknya anak papa hilang,” Pria itu mencubit gemas pipi putrinya, membuat Cantika mengerucutkan bibirnya, “Sekarang Papa harus segera ke kantor,” Lanjut pria itu seraya melirik jam tangannya, “Jangan lupa untuk menginap akhir pekan ini.”
Cantika berdiri, diikuti oleh pria paruh baya itu. “Tenang, Pa. Aku nggak akan lupa. Lagipula, papa sudah mendengarkan langsung jawaban Mas Tian, jadi kami pasti akan menginap,” Ujar Cantika seraya memeluk lengan ayahnya dan mengantarkan pria itu untuk keluar dari ruangannya, “Papa dan Mama jaga kesehatan ya. Sampaikan salamku sama mama.”
“Kamu telpon Mamamu, Tika. Katanya, sudah lama kamu nggak menghubunginya,” Pria itu mengusap puncak kepala Cantika, sedang Si perempuan tersenyum dan mengangguk. Bukannya Cantika tak merindukan ibunya. Hanya saja, insting seorang ibu itu sangat tajam dan sejak dulu, ibunya itu selalu mengorek apa yang ia sembunyikan dari perempuan paruh baya itu. Dirinya pun begitu kesulitan untuk berbohong pada ibunya. Ia takut bila akan terjebak dalam perangkap ibunya dan memberitahukan wanita itu tentang kehidupan pernikahannya.
“Iya, Pa. Jangan khawatir,” Cantika mengusap lengan ayahnya, “Aku akan menghubungi Mama untuk menanyakan kabarnya. Aku juga sangat merindukannya. Sudah lama kami nggak berbelanja bersama,” Lanjut Cantika dengan antusias, meski ada rasa khawatir di hatinya.
Pria paruh baya itu mengangguk-angguk mengerti dan keduanya bercerita santai sembari menuju pintu keluar butik. Cantika menggerakkan tangannya di udara setelah ayahnya menempati bangku penumpang di mobilnya. Pria itu membalas lambaian tangan Cantika seraya tersenyum pada putrinya itu. Cantika mengatakan kata hati-hati pada ayahnya. Dirinya menatap mobil ayahnnya hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Ada sedikit lega yang merasuki sanubarinya, begitu matanya tak lagi melihat mobil ayahnya. Kini, ia tak lagi harus berbohong pada pria yang begitu mencintainya itu. Ia tak lagi harus menderita karna dusta.
Cantika mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam butik ketika melihat Tian yang berjalan ke arahnya. Ia tak tahu sejak kapan pria itu ada di dekat butiknya. Cantika bertanya-tanya; apa yang dinginkan pria itu? Mengapa pria itu tak ke kantornya dan malah berada di sini? Cantika berusaha membuat wajahnya setenang mungkin, meski memang ketenangan adalah hal yang sulit saat dirinya berdekatan dengan Tian. Semua yang tenang pun mendadak kacau. Pria itu adalah kekacauan yang harus Cantika hindari. Namun sayang, ia tak mampu mengelak.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Tanya Cantika sembari menatap wajah pria itu dengan tatapan penuh tanya, “Kenapa nggak bekerja? Apa kamu membutuhkan sesuatu atau mau menambah luka di hatiku? Harusnya, saat bekerja itu adalah saat kita nggak harus menambah luka di hati,” Lanjut Cantika dengan nada datar. Ia tak tahu, mengapa kebencian pria itu tak juga bisa berakhir. Padahal, Cantika sudah mau memberikan apa yang pria itu inginkan. Ia tak lagi ingin berperang karena dirinya tahu benar bila cintanya jatuh pada orang yang salah. Cintanya yang benar dan tulus itu terasa salah karena kebencian pria itu padanya.
“Sudah ku bilang kalau aku nggak percaya padamu,” Ucap pria itu dengan dingin, “Aku mengikutimu dan menanti drama apa yang akan kamu mainkan hari ini,” Pria itu tersenyum sinis, “Ternyata, kamu berencana untuk melanjutkan sandiwara dengan meminta papamu menghubungiku. Kamu begitu ingin tidur denganku, bukan?” Pria itu mencengkram dagu Cantika dengan kuat sembari menatap perempuan itu dengan tatapan merendahkan. Sedang Cantika memberanikan diri untuk menantang mata pria itu. Hatinya pedih mendengarkan tuduhan yang pria itu layangkan padanya. Apa begitu rendahkah dirinya di mata Tian? Apa begitu tak berhargakah dirinya, hanya karena ia mencintai Tian? Mengapa pria itu tak memiliki sedikit belas kasih padanya? Mengapa harus cintanya yang selalu dipersalahkan oleh Tian?
Cantika tersenyum sinis dan menepis kasar tangan pria itu. Ia menatap Tian dengan tatapan tajam. “Maaf saja. Aku udah nggak berselera melihatmu. Tidur denganmu bukan lagi menjadi keinginanku. Lagipula, apa enaknya tidur dengan batu? Aku pun nggak suka bersamamu,” Cantika menatap pria itu dengan tatapan mengejek, “Jangan lagi besar kepala karena cintaku yang kamu pikir adalah kesalahan dan juga hal yang nggak bisa habis, telah sirna. Kamu bisa dengan mudah membawa kekasihmu dan merendahkanku, tapi kamu nggak akan bisa menghancurkan semua harga diriku,” Suara Cantika bergetar, “Aku bahkan nggak sudi disentuh olehmu lagi. Asal kamu tahu. Bukan hanya kamu yang bisa membenciku, karena aku pun bisa.”
Cantika membalik tubuhnya untuk meninggalkan pria yang tak mencintainya itu, akan tetapi Tian mencengkram pergelangan tangan Cantika. “Kamu sengaja melakukan ini di depan butikmu agar para karyawanmu melihat pertengkaran kita dan membuat mereka mengadu pada papamu?” Pria itu menatap Cantika dengan tajam, sedang Cantika terdiam sesaat, kemudian tertawa garing. Entah apa yang ada di dalam otak pria itu, hingga dirinya selalu bisa mengaitkan segala hal menjadi sesuatu yang buruk. Entah apa yang salah dengan hati pria itu.
“Kenapa kamu selalu saja menuduhku seperti ini?” Cantika menepis tangan pria itu, “Kamu yang mencari ribut di sini dan kamu yang menuduhku?” Cantika menaikkan sebelah alisnya, “Jangan sembarangan menyentuh atau memegang tanganku. Sungguh, aku nggak sudi disentuh dengan tangan kotormu itu!” Lanjut Cantika dengan sarkastis. Ia sudah muak dengan Tian yang kerap menuduhnya sebagai ratu drama. Ia lelah diperlakukan dengan buruk.
Tian tertawa sinis dan menautkan jemarinya di sela jemari Cantika. Ia menggenggam tangan wanita itu kuat-kuat, kemudian menunjukkan tangan mereka yang saling bergenggaman pada Cantika. “Aku bisa menyentuhmu kapan pun aku mau dan kamu nggak punya hak untuk melarangku. Sekarang tersenyum karena karyawanmu mulai kepo dan mengintip dari dalam butik,” Tian memasang senyum terbaiknya, sedang Cantika menatap ke dalam butiknya dan menemukan karyawannya yang langsung berhambur pergi saat ia memergoki mereka.
Cantika kembali mengarahkan padangannya pada Tian. “Hentikan sandiwara ini dan pergilah bekerja. Anggap saja aku yang kalah,” Ujar Cantika lirih. Ia telah kehabisan semua tenaganya karena terus bertengkar dengan pria itu. Sementara itu Tian tersenyum pada Cantika.