Siapa bilang, jika pernikahan bisa membuatmu bahagia dan menemukan akhir dari kisah cintamu sendiri? Siapa bilang, jika selalu ada tawa yang mewarnai hari-harimu itu? Pada akhirnya, pernikahan bukan lah kisah dongeng yang kerap diceritakan pada anak-anak perempuan di dunia ini menjelang saat tidur mereka. Pernikahan adalah sebuah awal dari luka.
Wanita itu menatap nanar sepasang anak manusia di hadapannya, sedang mereka yang ditatap hanya bisa memasak wajah datar, tak peduli sama sekali dengan luka yang terlihat jelas di wajah Si wanita. Wanita yang berada di samping pria itu malah memeluk erat lengan Si pria, seolah ingin menunjukkan pada wanita yang tampak terluka, bila pria itu adalah miliknya.
“Apa maksudnya ini, Mas?” Tanya Si wanita dengan suara yang bergetar. Wanita itu bernama Cantika, seperti namanya, ia memiliki wajah cantik yang membuat banyak pria terpesona. Namun sayang, suaminya sendiri tak pernah menunjukkan ketertarikan padanya. Pria itu selalu menatapnya dengan penuh kebencian sejak hari pernikahan mereka.
Harusnya, Cantika menolak pernikahan mereka sejak tahu bila pria itu dijodohkan dengannya. Harusnya, dengan lantang Cantika menolak dan tak mau diperlakukan seperti anak gadis di zaman Siti Nurbaya. Namun sayang, dirinya begitu egois karena sejak awal, dirinya sudah jatuh cinta pada pria itu. Bahkan sebelum tahu mereka dijodohkan. Cantika sudah jatuh hati pada Christian. Mas Tian—begitu lah Cantika memanggil pria itu. Cantika dan cinta yang tak berani ia ungkap, membuat wanita itu dengan senang hati menerima perjodohan itu.
Cantika pikir, cinta bisa datang kemudian. Toh kata orang, cinta datang karena terbiasa. Oleh karena itu, dirinya yakin bila kisah cintanya pun bisa berakhir dengan cara yang sama. Keterbiasaaan dapat menumbuhkan cinta yang sama untuknya di hati pria itu. Semua hanya perkara waktu agar dirinya bisa mendapatkan kebahagiaan seperti para putri raja di dunia dongeng. Cantika hanya perlu menjadi istri yang baik untuk Tian agar pria itu bisa merasakan betapa besarnya cinta Cantika pada pria itu. Ia bahkan rela melakukan segalanya agar Tian dapat melihatnya, walau hanya sekejap, itu sudah lebih dari cukup baginya. Ia akan sangat gembira.
“Namanya Dahlia, kekasihku,” Ucap pria itu datar, seolah apa yang dikatakannya bukan lah sesuatu yang besar dan mampu membuat Cantika terluka, “Bukankah sudah ku bilang kalau aku ada seorang kekasih sebelum kita menikah. Kamu yang keras kepala dan mau melanjutkan perjodohan ini. Oleh karena itu, kamu harus menanggung semua akibatnya,” Lanjut pria itu seraya menggenggam tangan wanita di sisinya dengan erat, lalu berjalan melewati Cantika yang membeku di tempatnya berdiri. Dahlia bahkan dengan sengaja menyenggol bahunya. Hati Cantika begitu sakit. Dirinya bagai disambar petir di siang bolong.
Cantika tahu, bila Tian sudah memiliki sepasang kekasih yang katanya sedang menuntut ilmu di China dan akan kembali dalam waktu satu tahun. Saat itu, Cantika terlalu sombong dengan berpikir bila mereka hanya berpacaran dan hubungan itu tak begitu kuat. Dirinya terlalu angkuh dengan berpikir, bila pernikahan yang didasari dengan keterpaksaan itu mampu memenangkan pertarungan dengan wanita yang dikatakan Tian sebagai kekasih hatinya. Lagipula, selama ini Tian terlihat seperti seorang yang cuek, hingga rasanya tak mungkin Tian memiliki seorang kekasih. Cantika berusaha menghibur dirinya sendiri dan membenarkan tindakannya yang didasari oleh cinta sepihak yang terasa begitu egois.
Kini, Cantika harus menerima akibat dari kesombongannya. Ia harus menelan pil pahit bernama kenyataan. Dirinya adalah orang ketiga di antara hubungan Tian dan juga Dahlia, dia yang berusaha merusak ikatan cinta keduanya, dan sudah sewajarnya bila ia menerima hukuman yang membuat hatinya terasa begitu pedih, hingga dadanya terasa sesak bukan main.
Air mata Cantika jatuh begitu saja. Hatinya tak mampu lagi menampung rasa sakit yang mendera. Sejak awal pernikahan mereka, pria itu selalu memperlakukannya bak orang asing. Mereka bahkan tidur di kamar yang berbeda dan berpura-pura seperti sepasang suami istri yang harmonis di hadapan kedua orang tua mereka. Sejak awal, Tian membenci Cantika dan keterbiasaan tak mampu melakukan apa pun untuk hubungan mereka. Hingga kini, dirinya hanya dianggap orang asing yang menghancurkan hidup Tian. Dirinya wanita yang menurut Tian adalah sumber dari semua masalah yang ada di dalam hidup Tian. Ia istri yang tak diinginkan.
“Aku nggak boleh menangis dan membuatnya semakin membenciku,” Cantika mengusap air mata dan berusaha mengukir senyum di wajahnya, menutupi semua luka di hatinya.
Cantika meremas-remas tangannya yang bergetar, mencoba mendapatkan sedikit kekuatan untuk menghadapi rasa sakit yang ada di hadapannya. Cantika menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya perlahan, mencoba meredakan pedih yang menyiksa sanubarinya itu. Wanita itu mencoba mengukir senyum di wajahnya. Ia harusnya mempersiapkan dirinya sejak awal. Sungguh, Cantika adalah wanita sombong yang menyedihkan. Cantika berjalan ke arah ruangan keluarga, tempat yang ia yakini ditempati oleh sepasang kekasih tadi.
Harusnya, Cantika bisa pergi dan menghindari semuanya, akan tetapi ia tahu bila Tian tak ‘kan membiarkannya menyelamatkan diri begitu saja. Pria itu menikmati rasa sakitnya. Menikmati penderitaannya, sebagai balasan atas semua sikap angkuh Cantika. Benar dugaannya, saat ia melintasi ruangan keluarga, Tian memanggil namanya dengan nada kesal.
“Kamu mau ke mana?” Tanya Tian yang membuat Cantika menoleh ke arah pria itu, “Bukankah selama ini, kamu selalu memainkan peranmu sebagai istri yang baik? Kenapa kamu nggak menyiapkan minuman untukku dan juga Dahlia seperti yang seharusnya kamu lakukan?”
Cantika tersenyum tipis dan mengangguk. Wanita itu harus menjalani hukuman atas dosanya dengan baik. Tak seharusnya, ia membiarkan keegoisan membuatnya menghancurkan harga diri dan juga hatinya sendiri dengan sebuah pernikahan yang tak diinginkan oleh Tian.
Cantika segera melanjutkan langkahnya menuju dapur, menyiapkan minuman dingin bagi keduanya karena hari sedang panas terik. Wanita itu juga mengeluarkan biskuit cokelat buatannya dari kabinet atas dapur, lalu menempatkannya di tampan tempat di mana ia meletakkan dua gelas es lemont tea yang dibuatkannya untuk menyegarkan dahaga keduanya.
Cantika terpaku sesaat, lalu ia tertawa renyah. Menertawai kebodo0hannya sendiri. Sungguh, dirinya tak memiliki arti apa pun di mata pria yang disebutnya sebagai suami. Pria itu hanya memanggil dan menyuruhnya saat pria itu membutuhkan tenaganya. Pada akhirnya, ia tak lebih dari sekadar asisten rumah tangga bagi Tian. Tawa wanita itu dihiasi dengan tangis pilu. Cantika menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis tersedu-sedu. Harus sesakit inikah hukuman yang ia jalani karena cinta sepihaknya? Tidak cukupkah dengan pria itu mengabaikan dan menganggapnya asing selama ini? Hingga pria itu harus mematahkan hatinya secara berulang kali. Menganggapnya seperti robot yang tak mungkin terluka.