SATU

2195 Words
Tiga bulan sebelumnya Rini Suryaatmadja has requested to follow you. Request denied. Anand menghela napas panjang sebab sejak dua tahun lalu, setiap hari ia selalu mendapat notifikasi dari Rini yang ingin mengikuti sosial medianya. Anand tidak memiliki masalah membagikan kehidupan pribadinya kepada publik. Hal itu sudah diterimanya sebagai risiko menjadi tunangan sutradara kondang, tetapi untuk Rini, dia harus menolak tegas. Dia tahu jika dia lepas kendali sedikit saja, dia bisa menghancurkan hubungannya dengan Alina. Rini begitu cantik, terlalu cantik malah. Alina juga cantik, tapi terkadang Anand merasa bosan dengan kecantikannya karena hampir setiap saat mereka bertemu. “Sayang? Fokus banget sama handphone-nya,” tegur Alina, cemberut tidak diperhatikan oleh tunangannya. “Gimana? Bagus nggak?” Anand mengangkat mukanya dan terpukau melihat apa yang ada di hadapannya. Alina dibalut dress panjang putih dengan bagian d**a yang terbuka. Ketika perempuan itu membalikkan tubuhnya, tenggorokan Anand terasa kering melihat punggung mulus Alina yang terpampang jelas. Dengan tegas dia menjawab, “Jelek. Ganti yang lain.” “Hah? Kok jelek? Akunya atau bajunya?” protes Alina kesal. “Bajunya. Masa mau nikah bajunya seronok gitu? Kalau ayahmu tahu aku membiarkan kamu pakai gaun begitu, aku bisa digantung, tahu?!” “Oh jadi karena Papa? Bukan karena kamu.. cemburu?” Mata Alina menyipit. “Alina.” Nada suara Anand yang berubah gusar membuat Alina mengalah. Dia memilih gaun yang lebih tertutup. Sebenarnya, dia sudah punya gaun yang sudah siap, tapi karena mood-nya akhir-akhir ini berubah, tak ada salahnya untuk memastikan mencari-cari gaun yang lebih baik. Setelah Anand membayar gaunnya, mereka tidak langsung pulang. Sambil mengemudikan mobilnya Anand memberitahu bahwa mereka akan menjenguk ibu Anand yang sakit. “Aku khawatir keadaan Ibu semakin memburuk. Kata dokter, aku harus sering-sering mendampinginya.” Ibu Anand sudah lama mengidap sakit asma. Dua hari saat Alina datang bertamu menemui Ibu, Alina mendapati Ibu sesak napas dan membawa ke RS. Kata dokter yang menanganinya sesak napas Ibu sudah akut dan harus dirawat intensif di RS. Sejak itu pula Alina setiap pagi menjenguk Ibu karena Anand selalu sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai Project Manager di perusahaan konstruksi milik ayah Alina. Hari itu pun sebenarnya Alina merasa tak enak untuk mengajak Anand melihat-lihat gaun, tapi karena dirasa hal itu tidak akan memakan waktu lama, tak ada salahnya kan meminta ditemani? Bukan Alina tidak punya empati, tapi selama ini Anand jarang sekali mau menyempatkan waktu untuknya. Untuk acara tunangan pihak Alina yang mengurus segala t***k-bengeknya. Tempatnya. Bajunya. Bahkan cincinnya pula. Masa untuk acara pernikahan mereka, harus Alina juga yang benar-benar mengurusnya? Dia ingin Anand ikut berkontribusi walau hanya dengan menemaninya saja. “Sayang, by the way, di kantor Papa gimana? Kamu senang kerja di sana?” tanya Alina mengalihkan topik. “Hmm, lumayan. Di sana orang-orangnya juga teman kuliah aku di elektro UI dulu,” sahut Anand. “Begitu mereka tahu aku calon mantunya Pak Bos, sikap mereka jadi berubah.” Alina memahami bahwa Anand tidak nyaman akan hal itu. Selama ini Alina mengenal Anand sebagai pekerja keras yang tidak suka menggunakan jalur belakang. “Mau gimana dong, Sayang. Semua orang kan tahu kita itu tunangan. Dan kebetulan banget kan, kamu direkomendasi kantor lama ke kantor papaku.” Mendengar itu Anand menoleh ke Alina sekilas dan tersenyum. “Nggak juga, Al. Direktur PLN yang lama kan temannya papa kamu. Aku yakin, sebenarnya papa kamu yang minta Beliau untuk nyaranin aku kerja di tempat Oom Ivan.” “Tapi pasti kamu bakalan sering ke luar kota buat survey di lapangan. Soalnya papaku dulu juga gitu sebelum jadi direktur.” “Ya nggak apa-apa. Risiko kamu juga milih suami insinyur, kan?” Anand tertawa lirih. Rasanya sulit untuk bisa bercanda tanpa memikirkan Ibu. Ibu selalu menyambut kedatangan Alina dengan perasaan senang. Senyum Ibu yang jarang Anand lihat hanya bisa tampil saat Ibu bersama Alina. Ibu yang senang dengan Alina menjadi salah satu alasan kuat mengapa Anand mau mengabulkan permintaan Ibu untuk melamar Alina. Masih diingatnya saat Ibu selalu dipukuli oleh Bapak. Pertengkaran orangtua Anand sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Seringkali Anand memerhatikan ibunya yang menangis dengan isakan yang pelan. Saat kecil ia bertekad untuk mengajak Ibu keluar dari rumah dan Ibu selalu menolak. “Bagaimana pun dia bapakmu. Dia yang membiayai kita. Tidak apa-apa Ibu dihajar terus, asalkan kamu tidak mati kelaparan dan sekolahmu beres.” Dan Anand berakhir dengan mengalah. Saat Anand masuk SMA, Ayah meninggal saat ia tidur. Betapa senangnya Anand saat itu. Tetapi rupanya selain harta peninggalannya, Ayah juga meninggalkan luka fisik pada Ibu. Tak lama Ayah meninggal, Ibu menyadari betapa rusaknya tubuh Ibu. Tulang belakangnya retak. Lebam di sekujur tubuhnya. Bahkan setelah Ayah mati pun, Anand tak bisa memaafkannya. Kehidupan mereka mulai membaik. Bayang-bayang Bapak yang menakutkan perlahan hilang setelah Anand membawa adik kelasnya ke rumah. Adik kelas yang sekarang tunangannya. Alina yang suka bicara dan ceria menebar kebahagiaan di rumah Anand. Soal cinta Anand tidak terlalu peduli. Baginya, jika Ibu bahagia dengan Alina, sekali pun Alina jelek bak buruk rupa dia tetap mau membawa Alina dekat pada ibunya. Lihatlah hari ini saat Ibu menyambut Alina. Ibu yang masih membutuhkan tabung oksigen untuk bernapas dan tubuhnya yang lemas langsung menegakkan posisinya saat Alina datang. “Ibu berbaring saja,” kata Alina sambil duduk di kursi dekat ranjang. “Maaf ya, Bu, Alina tidak bawa apa-apa, tapi besok pagi… eh kok besok pagi? Kan Ibu hari ini pasti pulang, dong.” Alina memberi semangat. “Ibu sudah baikan?” tanya Anand pelan. “Kalau Alina datang tiap hari, Ibu pasti bisa cepat pulang,” sahut ibunya lirih. “Nak Alina tadi pagi bilang mau cari gaun? Sudah dapat yang paling cantik gaunnya?” “Sudah dong, Bu. Ibu tahu nggak? Tadi Alina mau beli yang backless, eh dilarang sama Anand anak Ibu yang dingin itu.” Anand memerhatikan kedekatan Ibu dengan Alina secara seksama. Bagaimana Ibu tidak pernah seperti ini dengannya? Ibu selalu tegas padanya. Hampir jarang Ibu bisa bercanda dengan Anand. Terkadang Anand iri, namun di sisi lain ia mengerti Ibu sulit melakukannya setelah kekerasan yang dialami Ibu. Setelah berbincang-bincang satu jam lamanya, Alina ditegur Anand untuk pulang. “Ibu harus istirahat, Al. Besok pagi kan kamu ke sini lagi?” Alina mengangguk setuju meski hatinya berat. Terus terang ia lebih nyaman bersama ibu Anand daripada Mama Anne yang sudah mengurusnya di rumah. Ibu yang ramah dan selalu berucap pelan menimbulkan kedamaian di hati Alina. Dan yang jelas, Ibu bukan perebut suami orang seperti Mama Anne. ** Dari kaca pintu Anand dapat melihat ayah Alina berdiri di dekat ranjang ibunya. Dahi Anand mengernyit. Pak Ivan? Untuk apa Pak Ivan bicara dengan ibunya? Mereka tidak terlalu dekat. Lebih tepatnya, tidak ada satu pun anggota keluarga Alina selain Alina sendiri yang dekat dengan keluarga Anand. Dia hendak membuka pintu tetapi hal itu dibatalkannya saat ia mendengar, “Mereka akan segera menikah, Van. Secepatnya kamu harus memberitahu Alina bahwa kamu tidak bisa menikahkannya dengan anakku. Karena seharusnya yang melakukan itu…” Suara Ibu menjadi sangat pelan hingga Anand tidak bisa mendengarnya. “Beri aku waktu sebentar lagi, Hani. Aku tidak sanggup mengatakan yang sejujurnya pada Alina. Dia sudah cukup terpukul dengan berpikir akulah yang mengkhianati ibunya. Tidak mungkin kukatakan yang sebenarnya.” “Alina tidak salah berpikir demikian.” Air mata merembes ke wajah Ibu. “Itulah kenapa aku berusaha menebus kesalahanku dengan menyayanginya. Anak itu anak baik. Akulah yang membuatnya trauma. Sebelum ibunya meninggal, dia datang padaku dan memberitahu bahwa duri dalam pernikahannya bukan Anne, melainkan aku. Alyssa.. Dia tahu semuanya, Ivan! Dia juga mengatakan kamu selalu menyebut namaku dalam tidurmu. Sejak itu aku berjanji pada diriku untuk membawa dosaku sampai mati. Bahkan Anand tidak perlu tahu betapa kotor ibunya.” “Dan ayahnya,” sambung Pak Ivan. Ia menggenggam tangan Ibu kuat-kuat. “Maafkan aku, Hani. Karena cinta kita, kamu harus menanggung derita yang begitu berat. Ya, aku tahu. Aku tahu suamimu suka main tangan. Dia pasti melakukannya karena tidak terima bahwa Anand bukanlah anaknya.” “Itu betul, Van. Dia bukan orang yang bodoh. Saat dia tahu aku tidak perawan, dia tanya dengan siapa aku melakukannya, dan ketika aku hamil dia semakin tidak memaafkan aku. Dia selalu mengancam akan bilang ke media bahwa kamulah ayah Anand, dan aku selalu merelakan tubuhku untuk disakitinya agar kamu dan Anand tak perlu menelan cercaan orang-orang.” Terhenyak Anand mendengar hal itu. Dia mundur, dan berjalan cepat ke kamar mandi. Dimuntahkannya isi lambungnya ke dalam toilet. Setelah dirasa tak ada lagi yang bisa dikeluarkannya, ia terduduk di lantai dengan wajah pucat pasi. Ibu…. Ibu yang selama ini dikenalnya sebagai Ibu yang baik, suci, dan rentan.. menyimpan aib yang sangat memalukan! Ibu merusak rumah tangga Pak Ivan. Ibu… mengandung anak yang bukan anak Bapak. Aku.. aku adalah anak haram, pikir Anand kalut. Aku adalah anak Pak Ivan. Segala petaka yang selama ini Ibu dan aku alami, semua disebabkan oleh pria itu! Anand kembali ke kamar ibunya dan mendapati Pak Ivan sudah tak lagi di sana. Anand tidak peduli bahwa Ibu sedang sekarat sekali pun. Ia membutuhkan jawaban. Ibu tampak tak kaget. “Ya, itu benar. Ivan adalah ayah kandungmu,” kata Ibu lirih. “Hubungan kami tidak direstui oleh orangtua Ibu. Ibu dijodohkan dengan Bapak dan karena Ibu tidak bisa melawan, Ibu meninggalkan Ivan dan menikah dengan Bapak. Bapak tahu sejak kamu lahir bahwa kamu bukan anaknya.” “Bagaimana Ibu bisa menyembunyikan rahasia sebesar itu dari Anand, Bu?” sahut Anand geram. “Tahukah Ibu bagaimana perasaan Anand sekarang? Lalu mengapa Ibu bersikap baik pada Alina? Ibu kan tahu siapa bapaknya! Kenapa Ibu membiarkan Anand sejauh ini dengan Alina? Anand tidak sudi berhubungan dengan Pak Ivan!” “Maafkan Ibu, Nak,” jawab Ibu penuh penyesalan. “Hanya itu Ibu yang minta darimu. Maafkanlah ibumu. Jujur saja Ibu ingin sekali mengusir Alina begitu tahu dia anak Ivan dan almarhumah istrinya, tetapi Ibu tidak tega. Alina begitu teguh dan tulus menyayangimu. Dan selain itu, Ibu sangat tahu betapa sakitnya Alina dulu saat tahu ayahnya terpaksa meninggalkan ibu kandungnya.” “Jawab pertanyaan Anand, Bu. Apakah Pak Ivan meninggalkan ibu Alina karena Ibu?” Ibu mengangguk. Ya Tuhan. Tak kuasa Anand menangis mendengar itu. “Jadi… aku dan Alina, adik-kakak?” Anand mendengar suaranya tercekat. “Tidak, Nak. Alina bukan anak Pak Ivan.” “Lalu siapa ayahnya?” “Ibu tidak tahu, Nak.” Anand menghela napas berat. “Saya akan meninggalkan kota ini untuk sejenak, Bu. Saya butuh waktu untuk memaafkan Ibu. Saya bahkan tidak bisa melihat Ibu tanpa kemarahan berkecamuk di d**a saya.” “Kamu meninggalkan Ibu di saat Ibu sakit, Nak?” Tidak, Anand tidak meninggalkan ibunya. Keesokan paginya, Anand ditelepon rumah sakit untuk datang. Jam sembilan lewat delapan Ibu dinyatakan meninggal. Betapa menyesalnya Anand pulang ke rumah kemarin malam. Jika dia tahu umur Ibu hanya sampai sini.. Tangis Anand meledak saat wajah Ibu ditutup kain putih. Di sebelahnya, Alina terus berusaha menenangkannya. Anand memberontak, meraung, hingga akhirnya dia harus ikhlas saat ia harus membawa jasad ibunya ke dalam tanah. Anand diam saja dengan Alina yang terus merangkulnya. Dia tahu, Alina sama sedihnya dengan dirinya. Saya sudah memaafkan Ibu, katanya dalam hati. Tapi saya tidak bisa memaafkan Pak Ivan. Mata Anand beralih kepada Pak Ivan yang didampingi istrinya. Wajah Pak Ivan datar, tidak menunjukkan kesedihan. Ah, apakah ada kesedihan di hati orang semacam dia, pikir Anand sinis. Dia pun bisa membiarkan Ibu hidup dalam neraka. Di mana dia selama ini? Jika aku betul anaknya, mengapa dia justru membesarkan anak yang bukan darah dagingnya sendiri? Alina. Kamu sebenarnya orang yang baik, tapi aku tidak bisa terus-menerus denganmu. Aku tidak akan bisa jadi suami yang baik padamu apalagi aku tahu betapa kamu menyayangi pria b***t macam ayahmu itu. Sikap Anand yang berubah padanya membuat Alina bingung. Pria itu tidak pernah membalas pesan singkatnya. Bahkan menjawab teleponnya tidak. Pernah sekali Alina datang membawa makan ke rumahnya, Anand mengusirnya pulang. Dia bertanya pada Anand apakah Alina berbuat salah padanya dan Anand tidak menjawab. Kata Papa, Anand memang sedang sibuk dengan banyaknya proyek di kantor, jadi tidak bisa diganggu dulu. ** Suara deringan telepon membangunkan Anand dari tidurnya yang tak nyenyak. Telepon itu dari rekan kerjanya yang mengingatkan bahwa dia sudah terlambat untuk datang ke proyek. Ia menoleh ke perempuan yang masih berbaring di sebelahnya. “Rini,” gumam Anand. “Bangun. Saya harus kerja.” “Kok kerja? Ini kan weekend!” keluh perempuan bertubuh sintal itu. “Check out-nya sampai jam dua belas, kan? Ya sudah kamu pergi saja. Aku nggak masalah kok ditinggal.” Ya, itu lebih baik daripada nanti ada yang melihatnya berduaan dengan perempuan ini. Setelah mandi, Anand bersiap dengan kemeja dan celana kerjanya. Dipandanginya Rini yang telentang dibalut lingerie merah terang dengan perasaan bersalah. Selama ini aku tak pernah melakukannya dengan Alina, pikirnya sambil berjalan meninggalkan kamar hotel. Aku selalu menjaganya dari hawa napsuku dan dia tidak pernah mengajakku melakukan seks di luar nikah. Dulu aku mengaguminya karena meski dia hidup di dunia showbiz yang tak asing dengan seks bebas, dia tidak pernah tergugah untuk melakukan hal yang tidak-tidak. Sekarang? Dia hanyalah perempuan membosankan yang tidak bisa memuaskanku. Tak ada alasan lagi bagiku untuk menikahinya. Ibu sudah meninggal. Dan Alina bukan apa-apaku lagi selain anak dari pria b*****t yang sudah membuat hidupku dan Ibu menderita. 

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD