3. baju couple?

1252 Words
Ah … rasanya pagi ini aku ingin mengurung diriku di dalam kamar seharian, meninggalkan kelas yang hari ini akan diisi oleh dosen killer dan meninggalkan semua tanggung jawabku begitu saja. Lagi-lagi, aku memulai hari dengan perasaan buruk. Tentu saja, semua itu salah Dimas. Perlu ditekankan lagi, semua hal buruk yang terjadi dalam hidupku, Dimas-lah yang harus disalahkan. Kunyuk tukang selingkuh itu memang pembawa sial. Saat aku kembali memejamkan mata, hendak beranjak ke dunia mimpi yang sebelumnya sempat terpotong karena alarm yang tiba-tiba saja berbunyi. Beberapa saat kemudian, pesan masuk dari Sandra muncul. Sandra: seminggu lagi Dimas mau kawin, Ya. Lo beneran belum dapat pasangan? Aku berdecak kesal. Kenapa saat mood-ku sedang jelek Sandra harus mengingatkanku hal itu, sih? Bikin mood-ku berkali-kali lebih jelek saja. Aku meletakkan kembali ponselku di samping bantal dengan kasar. Tidak memedulikan pesan dari Sandra yang terus berdatangan. Toh, 7 hari waktu yang cukup lama untuk menemukan partner yang tepat untuk datang ke acara nikahnya si Dimas, bukan? *** Sandra: udah, daripada ribet lo sama Jonathan aja Sandra: gue kebetulan deket sama tuh orang, bisalah gue minta tolong Sandra: lagi pula kayaknya dia jomblo kok nggak bakal ada yang marah, gue jamin Sandra: bales dong Sandra: oke deh, gue nggak baka bantu lo lagi nyari partner kondangan Aku tertawa ringan saat membaca rentetan pesan dari Sandra yang tadi pagi hanya aku diamkan. Setelah meneguk latte hangat dari cangkirku, buru-buru aku membalas pesan Sandra. Aya: sori sist, nggak bermaksud ngacangin Aya: gue tadi masih ngantuk, jadi gue tinggal tidur Aya: jangan ngambek dong bestie Aya: bantuin gue cari partner kondangan ya ? Aya: tapi gue nggak mau Jonathan, yang lain dong “Permisi, gue boleh duduk di sini?” suara berat yang tiba-tiba saja terdengar tak membuat perhatianku pada ponsel teralihkan. Sambil terus mengetik pesan selanjutnya untuk Sandra, aku berkata, “Maaf mas, kan masih ada meja yang lain. Ini tempat saya.” “Maaf mbak, coba dilihat dulu sekitarnya.” Dengan malas, aku mengangkat kepalaku, menelusuri pandangan pada kefe tak terlalu luas yang entah sejak kapan sudah dipenuhi banyak pengunjung. “Nggak ada meja lagi kan, mbak?” Pandanganku langsung beralih pada sumber suara. Sial. Sejak kapan Jo hobi nongkrong di sini? “Nggak bisa bawa pulang aja pesanannya, mas?” tanyaku, berpura-pura tidak mengenalnya. “Sori banget nih, Ya. Sebentar lagi kelas gue mulai. Kalau gue bawa pulang yang ada gue telat.” Eh, sejak kapan dia tahu namaku? “Lo Aya temannya Sandra, kan? Kebetulan teman kita sama, jadi nggak apa-apa dong kalau gue duduk di sini.” Eh—lagi, kenapa dia tiba-tiba sokab padaku? “Yah … gue lagi pengen sendiri nih. Maaf banget ya.” Aku masih berusaha menolaknya dengan halus—semoga saja dia peka dan langsung pergi dari sini. “Lima menit aja deh, gue janji. Pas minuman gue habis gue langsung pergi.” Ah … memang dari tabiat alamiah cowok ganteng itu tidak peka, seharusnya aku tidak berharap banyak. “Jangan ngomong ya, gue mau fokus,” ucapku akhirnya, memilih pasrah daripada harus berdebat dengannya. “Lo mau ngajak gue ke kondangan, ya?” “APA?” aku buru-buru mengangkat kepalaku, memandangi Jo dengan mata yang membulat kaget. Aku bisa melihat jakunnya yang bergerak naik turun. Sepertinya, dia terkejut mendengar teriakanku sampai harus menelan ludah begitu. “Ini, Sandra barusan nge-chat ke gue. Katanya lo malu mau ngajak gue secara langsung.” Aghhh, terkutuklah Sandra! Bisa-biasnya dia bilang seperti itu mengatasnamakan aku. Sekali lagi, AKU! Padahal sejak kemarin dia yang ngebet. Aku tertawa canggung sambil menggaruk tengkukku dengan kikuk. “Anu … palingan dia cuma bercanda doang. Gue—” “Emang kapan acaranya?” potong Jo dengan raut wajah penasaran. “Eh, enggak perlu kok! Gue cuma—” Aku berusaha menjelaskannya, namun lagi-lagi Jo sudah memotong perkataanku. “Acara nikahannya Dimas, ya? Gue sempat kaget loh pas tahu dia bakal nikah sama orang lain, soalnya kalian couple yang terkenal sekampus.” Sial. Kalau sudah bahas seperti ini aku tidak bisa berkata-kata. Masa iya au harus berterus-terang kalau aku, Aya—cecan kampus—diselingkuhi. Enggak banget deh, yang ada reputasi ku semakin jelek. “Oh iya, udah lima menit nih, gue pergi, ya! Waktu sama tanggalnya ntar kirim ke gue aja. Kalau nggak ada nomornya bisa minta ke Sandra, oke? Bye!” tanpa menunggu balasanku, Jo sudah pergi begitu saja, meninggalkanku dengan ekspresi cengo—yang enggak banget. *** “SANDRA SINI LO!” seruku saat pertama kali menginjakkan kaki di kelas, mencari-cari keberadaan Sandra yang pasti bersembunyi di bangku paling pojok belakang. “Eh, apanih?” Dela yang menyaksikan keributan kami terlihat panik, berusaha memisahkan kami dan akhirnya rambutnya turut menjadi korban jambakan. “Santai dong, Ya! Lagian lo kenapa, sih? Baru datang langsung ngamuk aja,” kata Sandra yang tak terima rambutnya kujambak secara membabi-buta. “Lo ngapa tiba-tiba ngasih tahu Jo soal kondangan segala?!” seruku tertahan saat menyadari kami bertiga tengah menjadi pusat perhatian kelas yang sekarang untungnya hanya diisi oleh 7 orang. “Ah … kalau soal itu mah udah jadi gosip umum, seorang Aya termahsyur lagi sibuk mencari partner yang bisa diajak kondangan,” jawab Sandra dengan santai, sama sekali tak memedulikan tatapanku yang ingin membunuhnya. “Lah, gue pikir lo udah tahu, Ya. Makanya lo makin frustasi mikirin partner kondangan,” timpal Dela yang tentu saja jika dalam situasi seperti ini selalu berpihak pada Sandra. “Lo masa nggak ngerasa cowok-cowok sekarang makin gencar ngedeketin lo sih, Ya?” ucap Sandra dengan tak sabaran. Ya … memang sih, sekarang makin banyak saja pesan-pesan gombalan aneh yang masuk ke pesan pribadiku atau bahkan komentar-komentar di postingan **-ku yang jujur, membuatku risih dan memilih untuk membatasi komentar di setiap postinganku. “Emangnya kenapa sih?” tanya Dela yang masih terlihat clueless. Aku mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, gini …. Tadi gue nggak sengaja satu meja sama Jo di kafe tempat gue biasanya sarapan. Nah, doi tiba-tiba bilang kalau Sandra tiba-tiba nge-chat dia dan bilang gue ngajak ke kondangan bareng,” jelasku dengan wajah muak. Jujur saja, mengingat kejadian itu membuatku malu bukan kepalang. Dela menganga, beralih menatap Sandra dengan tatapan menuntut penjelsan. “Lo seriusan bilang gitu ke Jo?” “Ya iyalah! Kalau gue nggak bilangin ke dia gue jamin Aya nggak bakalan dapat partner sampai hari H nikahan,” jawab Sandra penuh keyakinan. “Tapi enggak boleh gitu juga sih, San.” Eh, tumben Dela berpihak padaku? Ini momen langka yang harus aku abadikan. “Aya pasti malu banget. Ya kan, Ya?” Dengan penuh semangat, aku mengangguk, membenarkan dugaan Dela. “Ya udah deh, gue minta maaf,” ucap Sandra dengan terpaksa—sobatku ini memang paling susah merasa bersalah jadi dengan terpaksa aku harus memakluminya. “Jadi gimana? Jo nolak mentah-mentah?” tanya Dela yang mengubah topik pembicaraan dengan begitu halus. “Iya, jadi Jo nolak ya, Ya?” timpal Sandra dengan penasaran, turut heboh menunggu jawabanku. Dengan pasrah, aku menjawab, “Enggak. Doi bilang atur aja waktu sama tempatnya,” kataku dengan nada tanpa semangat. “WHAT?!” Seiring dengan teriakan Sandra dan Dela yang memekakkan telinga, sebuah pesan dari nomor asing membuat notifikasi ponselku bergetar. +62812xxxxxx: acaranya seminggu lagi, kan? +62812xxxxxx: kita nanti mau pakai baju couple gitu? Dress code-nya apaan? Atau mau beli barengan aja biar matching? +62812xxxxxx: oh iya, ini Jo btw. Hehehehe +62812xxxxxx: aku dapat nomor kamu dari Sandra Apa-apaan ini!! Kenapa dia keliatannya excited banget? Dan … kenapa tiba-tiba pakai “aku-kamu”, sih!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD