Ke Markas

1016 Words
Belva dan Lian bermain ayunan di taman. Bian sendiri sedang membeli minuman untuk mereka. Cuaca hari ini sangat panas, bahkan kulit Belva sampai memerah, meski berteduh di bawah pohon sekalipun. "Lian, kau sering ke sini?" tanya Belva pada anak kecil yang duduk di ayunan sebelahnya. "Tidak, ini pertama kalinya ayah ajak aku ke sini!" Lian tidak bersedih saat mengatakannya, karena hari ini dia sangat senang ayahnya datang dan mengajak pergi bersamanya. Belva mengangguk. Dia mengusap peluh di keningnya. Kakinya terus mengayun pelan sambil melihat suasana taman yang tidak terlalu ramai. Karena biasanya hanya ramai saat sore hari atau weekend. Dia jadi merasa kesepian. Awalnya Belva adalah anak yang memiliki segalanya. Orangtua, kemewahan, teman-teman dan semua yang diinginkan oleh semua orang. Tapi satu-persatu semuanya mulai direnggut darinya. Takdir mulai mengambil orangtuanya, lalu kini dia berada di tempat asing dan dipaksa untuk bisa menerima takdirnya. "Itu ayah. Dia membeli banyak makanan!" Belva juga melihat banyak kantung kresek yang dibawa oleh Bian. "Kakak beli apa?" tanya Belva saat Bian menyerahkan satu kantung kresek pada Lian. "Gorengan!" Bian menunjukkan bungkusan berminyak. Belva menggeleng, saat Bian menyuruhnya mengambil satu. Dia tidak suka makanan yang terlalu berminyak. Bian melihatnya. Dia hanya tersenyum tipis. Uangnya hanya cukup untuk membeli gorengan. Itupun adalah sisa uang dari beli bensin. Mengambil air mineral dari tangan Bian. Belva tadi meminta untuk dibukakan tutupnya. Padahal Lian saja bisa membukanya sendiri. Ada sedikit kecemburuan di hati Lian, saat melihat ayahnya terlalu akrab dengan orang lain. Tapi bersikap dingin terhadapnya. Anak seusianya jelas kebingungan dengan sikap ayahnya. Meskipun tidak tinggal serumah, Bian selalu menemui Lian di rumah sakit. Tapi sangat jarang mengajaknya berinteraksi. "Kulit kakak terbakar!" ujar Lian yang melihat wajah merah Belva. Bian menoleh. Dia duduk di bangku yang tidak jauh dari posisi mereka. Jadi bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Melihat apa yang dikatakan Lian memang benar, Bian terpaksa mencari tempat lainnya. "Ayo! Kita ke markas saja!" Lian sudah turun dari ayunan, tapi tidak dengan Belva. Gadis membeku saat mendengar Bian akan mengajak ke markas. Bian mengerti, dia sedikit tertawa melihat wajah Belva. Ternyata gadis itu masih mengingat kejadian pertama kali mereka bertemu. Dan terlihat raut ketakutan di wajahnya. "Tidak akan seperti kemarin. Ayo, setidaknya di sana ada kipas angin!" Bian berjalan menggandeng Lian yang melangkah kecil bersamanya. Belva bimbang. Dia masih trauma dengan tempat itu. Tapi Bian benar-benar meninggalkannya. Dia melihat sekelilingnya, dan hanya pasrah mengikuti langkahnya. "Kakak, bagaimana jika ke rumahmu saja?" tanya Belva begitu sampai di mobil Bian. Lian menoleh ke arah papanya. Dia lebih menyukai markas dari pada rumah kosong ayahnya. Di sana, akan ada banyak teman ayahnya yang akan mau bermain dengannya. Teman ayahnya itu juga kadang datang ke rumah sakit dan bermain dengannya. Kata pamannya, teman ayahnya adalah teman dari ibunya juga. "Di rumah tidak ada kipas angin. Kau tetap akan kepanasan. Ayo, jangan takut. Lian saja berani!" Bian mengatakannya dengan seringaian di bibirnya. Lian mengangguk. Dia meyakinkan Belva melalui tatapannya. Ketiganya sudah duduk di mobil, mereka akan menuju ke markas. Tempat para preman berkumpul. Belva masih mengingat wajah-wajah sangar mereka. Dia melirik Bian, berharap laki-laki itu mengubah arah tujuannya. "Bagaimana jika kita pulang ke rumah kak Virgo saja?" Belva mengingat salah satu rumah yang sudah dua malam ini menjadi tempatnya berteduh. "Tidak, Virgo tidak akan mengijinkannya!" Bian bergidik, saat membayangkan Lian tanpa sengaja menyenggol pajangan di rumah itu. Maka bisa habis dia. Belva jadi penasaran, sebenarnya kemana Virgo pergi. Dia tidak tahu apa perkejaannya. Karena awalnya dia mengira Virgo ketua preman atau sindikat jual beli manusia. Tapi setelah tinggal bersama, Belva jadi meragukan pemikirannya. Lian sesekali menanyakan sesuatu pada ayahnya. Anak itu terlihat riang sekali. Tapi ayahnya terlihat biasa saja. Belva bersimpatin untuk anak itu.  Perjalanan menuju ke markas agak jauh. Sehingga Belva bisa lebih dulu menikmati pemandangan kota Palembang. Hampir sama dengan Jakarta, cuacanya juga sama. Panas. "Apa kau memiliki krim khusus untuk meredakan kulitmu yang terbakar?" Bian bertanya, dia baru pertama melihat kulit seseorang bisa semerah itu hanya karena terkena panas. "Ada, sebenarnya kulitku tidak begini, jika aku menggunakan handbody untuk kulit tangan dan kaki, sedangkan krim pelembab untuk wajah. Kulitku agak sensitif karena tidak menggunakan pelindung apapun!" Belva juga agak menyayangkan kulitnya yang memerah. Bian hanya menyeringai saja. Bukan hanya sedikit sensitif, karena warnanya saja sampai sangat merah. Dia bahkan khawatir kulit Belva akan mengelupas, jika tidak segera didinginkan. "Pakai ini!" Lian memberikan botol minuman dingin miliknya, agar Belva menggunakannya untuk menempelkan di kulit. "Terimakasih!" Belva senang, perhatian kecil dari Lian menghiburnya. "Lain kali, minta saja pada Jovan. Dia akan membelikan kebutuhanmu. Sekarang, kita sebaiknya beli krim pendingin saja ya!" Bian mengecek uangnya, hanya ada dua puluh lima ribu saja. Dia belum ada misi transaksi, jadi belum ada yang. Sungguh miskin, sebenarnya itu karena Bian suka ikut taruhan. Belva mengangguk, sebenarnya mana berani dia mengatakannya. Virgo itu garang, irit bicara, dan auranya lebih menegangkan. Berbeda dengan Bian, dia bisa santai saat bicara dengan lawan bicaranya. Mobil itu berhenti di minimarket. Bian memberikan uang dua puluh lima ribu untuk membeli krim pendingin kulit. Tapi Belva bingung, karena tudak tahu apakah ada yang seharga segitu. "Tidak cukup?" tanya Bian melihat Belva memandangi uang di tangannya. "Kakak saja yang beli. Aku tidak tahu merk apa yang bisa di beli dengan uang ini!" Belva mengembalikan uang tersebut. Bian agak tersinggung, dia menerima lagi uang miliknya. Mencebikkan bibirnya menatap sinis pada Belva, tapi kakinya tetap melangkah keluar dari mobil. "Kakak, kau menyinggung ayahku!" Lian melihat ayahnya berwajah kesal, dia kasihan dengan ayahnya yang kehabisan uang. Tapi kakak cantik yang duduk di belakang malah tidak mau menerima uangnya. Menunjukkan cengirannya. Belva menggosok kulitnya yang menjadi semakin merah di buatnya. "Jangan digosok! Kemarikan tanganmu!" pinta Lian mengulurkan tangannya. Belva menerima uluran tangan Lian. Ternyata anak itu mengusap bagian merah yang dia gosok tadi. Sungguh gentleman. Saat besar nanti, dia pasti akan jadi anak yang penuh perhatian. Belva mengusap Surai anak itu gemas. Melihat Belva yang keasikan dengan usapannya. Lian ikut tersenyum. Dia seperti memiliki seorang kakak. Hanya saja, kakak yang lebih manja dirinya. Liam tidak keberatan, dia menyukai Belva. "Kenapa ayahmu lama? Apa uangnya sungguhan kurang?" Liam hanya merespon dengan mengangkat bahunya. Ayahnya pasti punya cara seandainya uangnya kurang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD