Wajah innocent

1140 Words
Hari itu sudah sore, tapi Belva masih menunggu di dekat gerbang sekolah. Berjongkok di dekat pagarnya, dengan kepala tertunduk. Dia seharusnya sudah pulang sejak sejam yang lalu. Tapi karena suatu hal, dia malah masih menunggu di sana sendirian. "Kak Igo pasti marah, kalau tahu aku belom pulang!" Belva membayangkan wajah marah Virgo, hanya membayangkannya saja dia ketakutan. Dia jadi ragu apakah ingin tetap menunggu, atau pulang saja. Karena biasanya Virgo akan pulang sebentar lagi, tapi orang yang ditunggunya masih belum terlihat batang hidungnya. "Apa yang kau lakukan?" "Astaga!" Belva melihat orang yang saat ini berdiri di depannya, dia harus sedikit mendongakkan kepalanya. "Kau mengejutkanku!" keluh Belva pada sosok menyeramkan di depannya. Belva berdiri, dia melirik mata Kai takut-takut. Dapat dilihatnya ada luka lebam di sekitaran bibirnya. Sebenernya luka itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan luka lawannya. Teman-temannya yang lain juga mendapatkan luka yang lebih parah. Tapi melihatnya, tetap saja Belva merasa paling bersalah untuk semua orang. "Maaf!" Belva takut Kai kesal, dia tidak tahu kalau kejadian dia terkunci di kamar mandi bisa menyebabkan kericuhan. "Untuk apa?" Kai bertanya dengan wajah datar. Kedua tangan masuk ke dalam saku celananya, berdiri angkuh di depan Belva. "Entahlah. Mungkin kau kesal!" Belva mengangkat pandangannya, tapi kemudian menunduk lagi. Kai hanya memutar bola matanya. Dia hanya berdiri diam, tidak mengatakan apapun. Memperhatikan Belva yang terus menunduk di hadapannya. "Aku tidak mengerti kenapa kau melakukan kericuhan tersebut. Maaf, aku penyebabnya. Dan aku juga tahu kau dan teman-temanmu kesal karena aku memaafkan mereka. Hanya saja, aku tidak mengenal mereka. Kupikir mereka tidak berniat begitu. Aku—," ucapannya terpotong, karena Kai sudah menutup mulut dengan tangan besarnya. Dapat dilihat Kai membungkukkan badannya, hingga wajah mereka jadi sangat dekat. Dia saja sampai bisa melihat hitam Irish matanya. Surai pirang yang juga tertiup angin, sama halnya dengan rambutnya yang kini berterbangan. "Berisik!" Ini pertama kalinya Belva merasa kalau Kai sangat tampan. Bahkan rasanya telinganya jadi tuli, karena hanya satu indera saja yang berfungsi, yaitu matanya. Matanya melihat betapa mancung hidung laki-laki tersebut. "Ayo kuantarkan pulang!" Kai sudah berjalan lebih dulu meninggalkan Belva yang belum sempat mengiyakan ajakannya. Buru-buru mengejar langkah kaki Kai, dia hampir tersandung karenanya. "Payah!" ujar Kai melihat Belva yang hampir terjatuh, jika tidak memegang tasnya. Belva cemberut. Dia memperhatikan sekitarnya. Beberapa anak lainnya juga akan pulang. "Tidak usah diantar. Aku akan berjalan kaki saja!" Belva berhasil membuat Kai menghentikan langkahnya. "Kau menungguku cukup lama. Jangan buat aku terlihat kejam!" Kai masih melanjutkan langkahnya lagi, tapi dia berhenti saat mendengar gumaman Belva. "Kau bilang apa?" Kai berbalik dengan tatapan tajam. "Tidak-tidak. Aku akan langsung pulang. Hati-hati di jalan!" Belva menunjukkan cengirannya, kemudian berlari melewati pagar meninggalkan Kai yang belum sempet merespon. Kai melihat bekas tepukan tangan Belva di pundaknya, gadis itu melakukannya saat mengucapkan hati-hati di jalan. "Cih! Kau baru saja bilang aku orang kejam!" Kai tersenyum tipis. Dia sebenarnya mendengar saat Belva mengatakan hal tersebut. Dia berjalan ke jalanan besar, melihat kalau Belva sudah berjalan cukup jauh. Dia melihat gadis itu memakai jaket Hoodienya sambil terus berjalan. Berusaha menutupi kulitnya yang selalu memerah tiap kali terkena panas. Kai juga tahu tentang itu, karena dia beberapa kali memperhatikan, saat Belva mulai memerah tiap terkena panas. _ Belva mampir di warung mie ayam dekat rumah Virgo. Dia ingin makan itu, karena Bian bilang mie ayam yang waktu itu, beli di tempat ini. Saat masuk ke dalam warung, dia melihat beberapa orang juga sedang menikmati makan mie ayam. Tapi yang membuatnya sedih, banyak asap rokok di dalam sana. "Buk, mie ayamnya dua bungkus. Tapi tolong agak cepet ya?" Belva berusaha menutupi ketidaknyamanannya, tapi sepertinya masih terlihat jelas bagi ibu itu. "Siap, tunggu Bae di sano. Kagek kubawakan! (Siap, tunggu saja di sana. Nanti kuantarkan!) - bahasa Palembang." Ibu itu menunjuk pada kursi dekat tempat cuci piring. Karena hanya tempat itu yang memiliki kualitas udara yang lebih baik. Belva menurut, dia tidak keberatan. Ada pegawai yang sedang mencuci piring. Dia terus memperhatikan, karena pertama kali cuci piring, Bian mengkritiknya. Menunggu sekitar sepuluh menit, dua porsi mie ayam miliknya sampai. Belva sangat bersemangat. Karena mulai hari itu, mie ayam adalah favoritnya setelah spaghetti. Tidak, Belva menyukai makanan apapun, asalkan tidak harus dimakan pakai nasi. Membayar dengan uang lima puluh ribu, Belva pikir itu sudah pas, ternyata masih dapat kembalian. Tambah sumringah dia menerimanya. Ibu penjual mie ayam itu terus memperhatikan sampai Belva benar-benar pergi dari warungnya. Dia takjub dengan kecantikan gadis tersebut. Sangat polos dan murni. Belva membawa bungkusan mie ayam tersebut dengan semangat. Saat melihat mobil Virgo sudah terparkir di halaman, dia langsung berlari menuju pintu. "Aku pulang!" seru Belva saat memasuki pintu depan. Dia memamerkan gigi putihnya, saat Virgo menatap ke arahnya. Tapi laki-laki itu cepat memalingkan wajah. Membuat senyum Belva jadi hilang. Firasat buruk menghampirinya. Laki-laki itu terlihat kesal, seakan siap memuntahkan sampah-serapahnya. Belva langsung mengambil duduk di sebelah Virgo. Sedangkan laki-laki itu masih asik menikmati rokoknya dan kopi hitam di depannya. Cukup lama mereka terdiam. Virgo tidak tahan melihat wajah Innocent gadis itu. Tangannya terulur untuk menyingkap Hoodie di kepalanya. Menampakkan wajah Belva yang tersenyum takut padanya. "Kau tahu apa kesalahanmu?" Virgo menggeser tempat duduk Belva agar menghadap padanya. "Maaf!" Belva kembali menundukkan kepalanya. Virgo memenangi dagu Belva agar melihat kepadanya. Dan melihat wajah cantik yang penuh rasa bersalah. Mata berkaca-kaca dan bibir yang sedikit dimajukan. Sungguh, dia lebih suka berhadapan dengan penjahat kelas kakap dari pada gadis cantik di depannya. "Maaf apa?" Virgo masih dengan mode galak, tapi tidak semenakutkan sebelumnya. "Karena pulang terlambat!" Belva nyengir lagi, tapi melihat Virgo tak bereaksi, dia kembali cemberut. "Berniat menyogok dengan itu?" Virgo menunjuk bungkusan di tangan Belva. Tidak mungkin untuknya, jika sampai tidak mencium aroma sedap dari bungkusan tersebut. Dia awalnya kesal, tapi agak sulit menghadapi gadis berwajah innocent yang sangat polos. Rasanya kemarahannya akan sia-sia saja. Belva mengangguk. Dia menaruh bungkusan itu di atas meja. Sudah sangat lama dia menunggu. Perutnya sudah lapar sedari tadi. Hanya saja dia tidak berani mengatakannya. "Ambil piring!" perintah Virgo sambil mematikan rokoknya di asbak. "Iya!" Belva langsung mencari piring di rak-rak yang tertutup. "Piring disimpan di rak tengah!" Virgo mengingatkan. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa Belva masih belum hafal letak piring. Belva tersenyum lebar pada Virgo, kemudian membawa dua piring dan dua set sendok garpu. Virgo memperhatikan seragam Belva. Rok yang dikenakan masih sama, terlalu pendek. Meskipun Belva telah mengatakan alasannya tidak bisa mengganti rok, tapi dia tetap tidak bisa mentolerirnya. "Setelah ini ikut aku. Selesaikan makan dengan cepat, kemudian ganti pakaianmu!" Virgo menjelaskan sambil menuangkan mie ayam ke piring masing-masing. Belva menurut. Dia menghabiskan mie ayam itu dengan cepat. Lapar membuatnya jadi rakus. "Jangan terlalu sering. Meskipun enak, ini tidak baik terus dikonsumsi terlalu sering!" "Kakak sudah pernah mengatakannya!" Belva menjawab, dan melihat Virgo jadi melotot padanya. Menghindari kekesalannya, dia langsung berlari menuju kamar untuk ganti baju.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD