Belva lapar, dia tidak ke kantin hari ini. Karena tidak tahu letak kantinnya, dan tidak ada teman sekelasnya yang berniat mengajaknya. Sebenarnya Aldo mengajaknya, tapi tidak jadi, karena seorang perempuan dari kelas lain terburu-buru menyeret Aldo pergi.
Saat guru sudah keluar, anak-anak langsung berhamburan membawa tas untuk pulang. Belva juga begitu, dia memasukkan semua bukunya dengan lesu. Di hari pertama, dia belum memiliki teman.
Melangkahkan kakinya menelusuri lorong, Belva melihat beberapa anak lain berlarian menuju ke arah kanan. Seharusnya kalau ingin pulang ke arah kiri.
Kemana mereka pergi?
Karena hari ini Belva pulang sendirian. Dia ingin melihat ada hal apa yang membuat anak-anak berlarian ke arah sana.
Semakin jauh dia melangkah, semakin terdengar suara riuh di kejauhan. Belva mempercepat langkahnya. Tapi anehnya, keramaian itu ada di balik pagar belakang Sekolah.
Tidak ada pintu, bagaimana mereka melewatinya?
Belva mendekati pagar, dan suara ramai semakin membuatnya penasaran. Ada apa di balik tembok tersebut.
Melihat ada bata tersusun rapi di sana. Belva menghampiri dan dengan yakin menapakkan kakinya di sana.
Matanya sudah bisa melihat apa yang ada di sana. Sebuah arena balapan yang dipenuhi oleh anak-anak berseragam SMA. Tidak hanya dari SMA-nya. Karena ada anak dengan seragam lain yang juga ada di antara kerumunan.
Balapan?
Belva menapaki tatanan bata yang lebih tinggi, hingga saat ini badannya akan terlihat dari luar pagar.
Matanya tanpa sengaja bertemu tatap dengan mata hitam Kai yang berdiri diantara kerumunan, menghadap ke arahnya.
Belva buru-buru akan turun, tapi langkahnya tidak tepat, dia malah terpeleset.
Teriakannya agak keras. Tapi Belva tidak merasakan sakit. Dapat dirasakan ada tangan yang menyangga berat tubuhnya.
"Aldo!" panggil Belva melihat laki-laki berambut keriting tampak agak kesal.
"Aku nungguin di pagar depan. Malah kau di sini!" Aldo membantu merapikan rambut Belva.
Belva memperhatikan Aldo. Kenapa laki-laki itu menunggunya? Dan, kenapa laki-laki itu terlihat kesal?
Melihat kebingungan Belva, Aldo menunjuk coretan di tangan Belva. Memegang tangan gadis itu. Sekarang Aldo mulai mengerti saat melihat Belva menganggukkan kepalanya dengan mulut terbuka membentuk huruf o. Rupanya gadis itu belum mengerti bahasa Palembang.
"Maaf, aku gak paham!" Belva tersenyum lebar melihatnya Aldo mencibirnya.
"Makasih, udah nolongin. Aku kaget!" Belva melihat lagi bata yang tersusun rapi itu.
"Ngapain ke sini. Kamu mau lihat balapan?" tanya Aldo melihat arah pandangan Belva.
"Boleh?" Belva malah balik bertanya.
"Gak boleh. Kalau mau lihat, kapan-kapan aja. Kamu harus dapat ijin dari sebagian anak-anak itu jika ingin bergabung!" Aldo menarik tangan Belva, melangkah menuju arah yang benar, pagar depan.
Belva menurut, karena dia juga hanya iseng saja tadi. Rupanya, anak-anak di sini suka balapan. Dia merasa sangat asing, tidak mudah bersosialisasi dengan anak-anak sekolah sini. Kendalanya, dia tidak memahami bahasa daerah mereka.
"Al, kita naik motor?" tanya Belva karena Aldo sudah memakai helm.
"Iyalah, masak naik baik mobil pakai helm!" Aldo tertawa meledek Belva.
"Aku pulang sendiri aja deh!" Belva tiba-tiba menolak.
Untung saja Aldo tidak tersinggung. Laki-laki itu melipat tangannya di depan d**a. Memperhatikan Belva yang masih melirik ke arah motornya.
"Kenapa?" tanya Aldo menatap Belva dengan penuh tuntutan.
"Aku takut. Belom pernah naik ini!" Belva menepuk-nepuk jok motor Aldo.
Aldo tertawa. Dia pikir Belva tidak mau naik motor karena apa? Tapi ternyata karena belum pernah. Dia sekarang tahu, gadis seperti apa Belva. Pastilah dia anak orang kaya, karena tidak pernah naik kendaraan bermotor yang saat ini banyak digunakan oleh masyarakat. Selain lebih efisien, kendaraan bermotor juga masih terjangkau untuk kalangan menengah bawah.
"Kalo gak nyoba, ya gak akan pernah. Yuk, ah!" Aldo sudah lebih dulu naik ke jok motornya.
Aldo membantu Belva memakai helmnya. Dia menahan tawa melihat wajah lucu Belva yang terus memandangi jok motornya.
"Udah!" Aldo menepuk-nepuk helm di kepala Belva.
Masih melihat keraguan di wajah gadis cantik di hadapannya. Aldo memegang tangan Belva, membawanya untuk berpegangan di pundaknya. Lalu memintanya untuk menaikkan salah satu kakinya.
Belva menatap Aldo. Dia baru mengenalnya hari ini, tapi laki-laki itu sudah memaksa untuk mengantarnya. Naik motor lagi!
Tidak enak jika menolak niat baik Aldo. Jadi Belva naik meskipun dia masih ragu. Karena takut, dia memeluk pinggang Aldo erat.
"Ayo!" kata Belva percaya diri karena sudah memastikan, jika dia sudah berpegangan erat.
Aldo tersenyum saja. Dia mengangguk, dan langsung menstater motornya. Memasukkan gigi dan mulai menarik gasnya perlahan. Dia bisa merasakan tubuh Belva yang menegang.
Tanpa mereka ketahui, ada mata yang sedari tadi memperhatikan keduanya. Tatapannya tidak lepas dari pemandangan yang baru saja disaksikannya.
"Kai! Lo malah di sini! Ayo buruan, anak-anak udah nungguin Lo!" teriak seseorang dari kejauhan.
Anak baru dengan penampilan agak berbeda, cara bicara yang berbeda dan wajah polos yang menggemaskan. Itulah penilaian anak-anak di sekolah baru Belva. Butuh waktu untuk penyesuaian, begitu juga dengan anak-anak di sana. Mereka bukannya dengan sengaja mengasingkan Belva. Hanya saja canggung untuk berbicara dengannya.
Belva bingung saat motor Aldo melaju ke arah lain. Padahal dia sudah menyebutkan alamat rumah Virgo dengan benar.
"Al, kita salah belok!" teriak Belva karena suaranya tertahan oleh kaca helm.
"Enggak, kita makan dulu. Tadi aku kan gak jadi ajak kau makan di kantin!" jawab Aldo yang untungnya mendengar teriakan Belva.
Belva sebenarnya tidak begitu mendengarnya. Suara Aldo dibawa terbang oleh angin. Dia menatap punggung Aldo, mencoba menebak apa yang baru saja dia katakan.
"Al, kenapa kita ke pasar?" tanya Belva melihat motor Aldo mulai memasuki kawasan pasar.
"Bukan pasar, tapi kita bakalan makan di warung soto depan pasar!" jawab Aldo dengan senyum mengembang di bibirnya.
Lagi, Belva tidak begitu jelas mendengarnya. Tapi dia mendengar ada kata soti disebutkan oleh Aldo. Dia belum pernah memakannya, tapi pernah mendengar nama makanan itu.
Perutnya jadi semakin terasa sangat lapar. Dia diam-diam tersenyum karena akhirnya perutnya akan diisi. Dia sangat bersyukur, bisa bertemu Aldo. Meskipun terlihat bar-bar, tapi Aldo adalah orang pertama yang mau berteman dengannya.
Aldo melihat melalui kaca spion motornya. Belva tidak menjawab lagi, gadis itu masih melingkarkan tangannya erat di pinggangnya.
Hingga motor berhenti di pelataran depan warung yang memiliki spanduk besar menutupinya, ada gambar semangkuk soto yang bisa menggugah selera makan orang yang melihatnya.
Belva turun dari motor. Dia melepaskan helmnya, merapikan rambutnya yang berantakan terkena angin. Dia melihat kulit tangan dan kakinya yang mulai sedikit memerah.
"Ayo masuk, Al!" ajak Belva cepat-cepat masuk warung tersebut.
"Ye, ditinggal!" Aldo melepaskan cepat helmnya, dan langsung menyusul Belva.