7

809 Words
"Ketemu klien? Bapak kan dosen? Kenapa ketemu klien? Pasti mau ketemu pacarnya ya?" tuduh Yoan penuh kemenangan. Yoan menepuk -nepuk tangannya sendiri. Lalu tersenyum penuh kegembiraan. Ridho melirik sekilas ke arah Yoan dan kembali menatap ke arah depan menuju sebuah restoran mewah yang terletak dipinggir jalan. Mobil itu berhenti di tempat parkir lalu Rido pun turun sambil menatap jam tangannya. Yoan memilih diam saja di dalam mobil. Tok ... Tok ... Tok ... Yoan menoleh ke arah kaca jendela dan melihat Ridho menunjuk ke arah kunci mobil. Yoan membuka dan Ridho langsung membuka pintu mobil itu sambil menyuruh Yoan keluar. "Cepat keluar," titah Ridho pada Yoan. Yoan segera keluar dan menatap bajunya yang terlihat terbuka. "Malu Pak, pakai kayak begini," jelas Yoan lagi. Ridho membuka pintu belakang dan mengambil jaket lalu memakaikan ke tubuh Yoan. "Ayo masuk. Klien saya sudah di dalam," titah Ridho begitu dingin dan datar. Ridho langsung menggandeng tangan Yoan dengan santai berjalan melenggang ke arah dalam restoran. Yoan begitu terkejut dan menatap tangannya yang digenggam erat oleh dosennya sendiri yang selama ini ia anggap killer dan jahat. Keduanya sudah masuk ke dalam restoran. Ridho melirik ke arah kiri dan kanan untuk melihat situasinya. Lalu Ridho mengambil tempat yang berada di dekat sisi samping dengan pemandangan alam terbuka. "Duduk disini," titah Ridho dengan suara yang terdengar lebih lembut dan hangat. Yoan mengangguk dan duduk disalah satu kursi yang telah ditarik keluar oleh Ridho. Seorang pelayan langsung datang mendekati dan memberikan dua buku menu untuk mereka agar keduanya bisa memilih makanan dan minuman yang mereka suka. "Kamu mau makan apa?" tanya Ridho mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah Yoan yang ada di depannya. "Hem? Apa ya?" tanya Yoan bingung dan masih membaca satu per satu menu makanan itu. "Bebek? Seafood? Atau sushi juga ada," tawar Ridho ada Yoan. "Seblak ada?" tanya Yoan asal. "Ada Mbak," jawab pelayan itu dengan cepat. "Serius? Restoran mewah gini jual seblak?" tanya Yoan tak percaya. "Iya ada. Seblak apa? Ini ada pilihan menunya? Topingnya pun bisa pilih," ungkap pelayan itu dengan jujur melayani setulus hati. "Oh ... Mau seblak seafood level delapan," pinta Yoan. "Sama es lemon tea satu," imbuh Yoan lagi memesan makanan dan minuman yang amat ia sukai. "Gak salah? Pesen seblak level delapan? Kamu belum makan nasi lho?" tanya Ridho mengingatkan. "Perut Yoan ini, bukan perut Bapak. Jadi aman aja. Udah mending Bapak pikirin gimana acara kencan bapak setelah ini. Sama Bu Litha ya?" tanya Yoan mulai kepo. "Sok tahu kamu. Saya pesan kopi saja," pinta Ridho pada sang pelayan. Pelayan itu sudah mencatat semua pesanan lalu pergi untuk menyiapkan pesanan. Yoan melipat tangannya di depan d**a sambil menatap ke arah samping. Pemandangan disekitar restoran itu benar -benar sangat indah. Samar terdengar ada suara seorang perempuan yang mendekati mejanya. "Pak Ridho?" sapa wanita itu lalu mendekati Ridho. "Dengan Bu Irma? Silahkan duduk," tawar Ridho pada Irma. Yoan menoleh ke arah keduanya lalu memalingkan wajahnya kembali. Irma duduk tepat di samping Ridho dan mulai membicarakan urusan mereka yang diawali dengan basa basi terlebih dahulu. "Ini siapa Pak? Keponakannya?" tanya Irma dengan wajah serius menatap Yoan yang sedang menoleh ke arahnya. "Oh ... Kenalkan ini Yoan, calon istri saya," jawab Ridho dengan jujur. "Sayang ... Ini Bu Irma, klien aku," ucap Ridho memperkenalkan Yoan pada Irma. Irma mengulurkan tangannya pada Yoan. Yoan pun membalas uluran tangannya itu sambil tersenyum ramah. "Irma." "Yoan." Keduanya saling berpandangan dengan tatapan lekat. Tak lama pesanan Yoan pun datang. Seblak seafood dengan kuah yang sangat merah menyala. Mencium baunya saja sudah penuh dengan aroma bubuk cabe kering. "Itu punya kamu, Yoan?" tanya Irma begitu merinding melihat makanan yang dipesan Yoan. "Kenapa? Ini enak dan segar. Tante gak berani?" tanya Yoan pada Irma dengan tatapan tak suka. "Sayang .. Kamu gak boleh ngomong begitu," titah Ridho dengan tegas. Tatapan Yoan semakin tajam ke arah Ridho. Tatapan yang sebelumnya tak pernah Yoan berikan untuk Ridho kecuali saat berada di Kampus. Yoan fokus pada seblaknya dan menahan rasa pedas yang sempat membakar lidahnya. Sumpah ini seblak membuat perutnya mendadak sakit dan perih. Yoan pikir rasa pedasnya tidak akan separah ini. Seseki Ridho melirik Yoan yang wajahnya sudah memerah dan dipenuhi dengan keringat yang terus mengucur tanpa henti. "Kamu gak apa -apa, Yoan?" tanya Ridho pada Yoan. "Gak apa -apa," jawab Yoan terbata. Yoan sudah tidak kuat lagi. Benar -benar hari sial bagi Yoan. *** Ridho mengantarkan Yoan sampai di rumah. Kebetulan rumah itu masih sepi. Kedua orang tuanya belum juga datang. "Mau saya temenin dulu?" tanya Ridho menatap rumah Yoan yang masih gelap. Kebetulan sekali, asisten rumah tangga Yoan juga sedang ijin pulang kampung karena ada keperluan acara keluarga. Yoan memegang perutnya yang sakit dan melilit sejak selesai makan seblak tadi. "Kamu masih sakit perut?" tanya Ridho begitu panik saat melihat Yoan yang terlihat lemas. Yoan hanya mengangguk kecil dan menyandarkan tubuhnya yang tiba -tiba saja lemas tak berdaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD