Oren Yang Dipungut

3874 Words
DI SEBUAH jalan yang cukup ramai karena merupakan kawasan kompleks pelajar, seekor kucing kecil muda terlihat kebingungan, berkeliaran tak tentu arah dan mengais-ngais makanan sisa dari manusia yang makan disana. Terkadang ia kembali masuk ke dalam sebuah kotak kardus bekas mie instan tempat ia ingat pertama kali dibuang bersamanya. Dalam ingatannya, kucing muda itu sudah mulai lupa kapan ia mulai berada di sana. Ingatan akan induk dan saudara-saudaranya pun mulai memudar—seiring waktu menjadi bentuk yang samar. Bahwa bayang-bayang kehangatan keluarga itu masih segar terlukis di dalam kepalanya. Dengan tatapan nanar dan kadang memasang ekspresi memelas, ia memfokuskan mata kepada para manusia yang lalu lalang disana. Dikala cahaya masih ada, tempat ini sangatlah ramai, namun ketika gelap telah menutupi alam raya, tempat ini menjadi sangat sunyi. Begitu pikir kucing muda Oren Putih itu tatkala ia berkontemplasi memikirkan keadaan siang dan malam yang sungguh berbeda. Hari demi hari ia lalui mengejar dentingan suara yang memekik mengumpan intuisi keingintahuannya sebagai seekor kucing. Kadang ia diberi makan dan dielus. Kadang ia diusir bahkan ditendang. Ia tidak menyadari bahwa ia jauh lebih beruntung sebagai seekor kucing yang terbuang di kawasan kompleks pelajar tempat banyak sekolah negeri berada. Kawasan kompleksnya sendiri tidak terlalu banyak dilalui kendaraan bermotor dan juga banyak makanan sisa yang terbuang sia-sia disana. Bandingkan dengan banyaknya kucing malang yang dibuang orang dekat jalan raya. Mereka harus berjibaku setiap hari dengan maut yang kadang mengintai, belum lagi pasokan makanan yang serba kurang. Manusia memang terkadang tidak punya logika, membuang sembarangan tanpa memperhatikan asas bagaimana para kucing itu akan survive dan bertahan hidup di luar sana. Bahkan lebih kejam lagi, para kucing yang masih membutuhkan induknya kadang dibuang, terdampar di rimba kejam yang bernama jalan raya tanpa ibunya. Kucing imut Oren dalam kotak kardus ini jauh lebih beruntung daripada itu. Ia tumbuh sehat karena tidak kekurangan makanan walaupun hanya sisa jajanan dari manusia. Bulunya pun merekah bagus dan rapi—menandakan ia dalam keadaan yang cukup sehat dan berkembang di usianya. Beranjak satu menuju dua bulan—mungkin itulah usianya sekarang! Kucing yang tubuhnya agak berisi ini berwarna dominan jingga (oren) dengan sedikit bagian strip putih disekitaran keempat buah kaki juga lehernya. Ada sebuah pola unik berbentuk bulat oval kecil berwarna putih di tengah-tengah warna Oren yang menjadi warna dominan tubuhnya. Ia berekor pendek dengan sedikit patahan di ujung ekor. Pada suatu ketika, akhirnya ada seorang lelaki paruh baya yang berniat membawanya. Terlihat dari raut wajah sumringah laki-laki itu ketika membawa dan mengangkatnya—bahwa dia merupakan manusia penyayang kucing atau seorang Ailurophilia. "Siapa orang ini?" tanya si Oren yang belum punya nama. Setelah berjalan cukup lama sambil menggendong si Oren dengan semangat, laki-laki paruh baya tersebut akhirnya sampai di depan rumahnya. Dia meletakkan si Oren ke tanah. Si Oren mulai celingak-celinguk, kepekaan inderanya masih mencoba memindai lingkungan sekitar yang masih baru baginya. "Sebentar ya!" Kata paman misterius tersebut yang lalu kemudian masuk ke dalam rumahnya. Tak berselang lama ia kembali keluar dengan membawa sebuah piring berisikan nasi yang telah dicampur dengan daging-daging ikan. Tanpa pikir panjang si Oren langsung melahap makanan yang disodorkan orang itu. Dari rumah laki-laki baik hati tersebut juga keluar beberapa kucing yang lain. Ternyata orang itu memang pecinta kucing dan telah banyak memiliki kucing di rumahnya. Dengan sigap Oren menatap kucing-kucing peliharaan milik pria itu namun ia cepat beradaptasi dan bisa berteman baik dengan mereka tanpa menimbulkan konfrontasi yang berarti. Oren mulai terbiasa di kampung asing tersebut. Tak terada sudah hampir dua hari ia tinggal disana, akan tetapi ia tidak tinggal di rumah laki-laki yang kemarin memungutnya. Oren hanya tidur di teras rumahnya saja atau kadang di teras rumah tetangga. Rupanya orang tersebut tidak terlalu berniat memelihara si Oren. Hanya coba membawanya ke kampungnya saja. Akan tetapi itu pun tidak masalah bagi si Oren. Nyatanya dia merasa sangat senang dengan berada di tempat yang baru dan lingkungan yang baru. Oren pun mulai akrab dengan kucing peliharaan lain dari pria itu. Oren coba berkomunikasi dengan salah satu kucing yang kebetulan lewat di depannya. "Apa tempat ini ada spot menariknya?" tanyanya. "Mungkin tempat aku bisa menemukan banyak makanan?" "Spot seperti itu banyak disini nak, kau tinggal memasuki rumah yang mana saja yang kau suka." Jawab kucing berekor sedang dan bercorak hitam keabu-abuan dominan dengan sedikit putih yang kebetulan lewat itu. "Oh iya, tapi tidak semua rumah, maksudku ... berhati-hatilah! Kadang ada rumah-rumah yang memang pelit dan bisa-bisa kau dipukul karena dituduh ingin mencuri makanan disana." "Tapi aku bukan kucing seperti itu." Jawab Oren polos. "Aku tau kamu bukan tipe garong. Itu aku haha." Celetuk kucing itu sembari tertawa. "Terima kasih atas sarannya, paman." Kata Oren. "Tidak masalah! Kau kucing baru ya disini? Soalnya aku baru melihatmu." Kucing tersebut sedikit mengendus Oren. "Benar! Laki-laki yang dekat tikungan jalan itu yang kemarin membawaku kemari." "Oh begitu. Baiklah, kutinggal dulu ya." Kata sang kucing hitam putih itu beranjak pergi "Oh ya, apa kau belum bertemu dengan anak itu?" tanya kucing itu kepada Oren. "Sebaiknya kau kesana. Dia sangat baik kepada kucing-kucing disini. Benar-benar baik! Manusia yang membawamu kemari tidak ada apa-apanya dibanding anak itu." Celetuk sang kucing kemudian melanjutkan berjalan sambil mengendus ke kanan dan ke kiri jalanan. Percakapan mereka terjadi dalam alam komunikasi kucing berupa telepati. Mereka para kucing tidak bercakap-cakap antar sesamanya dengan ekspresi linguistik sebagaimana layaknya para manusia. Tanpa membuka mulut pun mereka bisa saling bicara satu sama lain. Bukan hanya kucing, tetapi hampir semua ras hewan ciptaan Tuhan bereaksi dengan sesamanya menggunakan telepati semacam ini untuk komunikasi. Suara yang para kucing keluarkan hanyalah isyarat intonasi semata sebagai ekspresi keinginan mereka untuk berkomunikasi dengan para manusia semisal untuk meminta makan atau sekedar menegur dan menyapa manusia. Oren lalu berjalan-jalan di sekitaran kampung tersebut. Dia bermain di dekat sungai di ujung kampung. Bukan sungai besar melainkan hanya sungai kecil yang bahkan telah kering dan minim di aliri oleh air. Maklum saja, hampir semua kampung pemukiman di tengah kota memang seperti itu, memiliki irigasi sungai yang buruk dan mampet. "Aku penasaran tentang 'anak itu', Siapa dia?" gumam Oren yang mulai penasaran, kembali mengingat ucapan seekor kucing barusan. Tiba-tiba saja dari belakang Oren diserang dan disergap oleh seekor kucing asing. Oren terkejut, berbalik dan langsung dalam posisi siaga. Oren merunduk terpojok dan sedikit mengeram, instingnya sebagai seekor kucing yang merasa dalam kondisi bahaya pun aktif dengan sendirinya. Adu meongan tak terhindarkan! Setidaknya hanya lawannya saja yang mengeong agak keras. Si Oren hanya mengeong sesekali itu pun sangat pelan dan hampir tak terdengar! Sesekali Oren terlihat menenggak liurnya sendiri, lehernya tercekak, dan ia mulai membungkukkan bagian kepala dan merendahkan badannya ke tanah. Tanda bahwa ia telah sangat terintimidasi. "Apa kau bercanda?! Kau tidak punya meongan?" Kucing dewasa itu seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya dari Oren. Seketika datang semburan air mengenai si kucing putih dengan beberapa motif hitam dan berekor sedang tersebut disertai makian dari seorang ibu rumah tangga yang juga ikut melempar beserta perkakas gayungnya, seakan ibu itu memiliki dendam pribadi dan kebencian mendalam terhadap kucing tersebut yang mungkin suka menyolong ikan di tempatnya. Untunglah semburan air dari ibu rumah tangga itu melerai konfrontasi dadakan tersebut. Sang kucing penyerang yang lebih tua dari Oren itu pun lari tunggang langgang dengan gayung masih tersangkut diatas kepalanya sampai akhirnya terlepas dan jatuh. Hampir saja, pikir Oren yang memang belum punya cukup pengalaman apalagi untuk bertarung atau berkelahi. Ia perlahan memudarkan pikiran siaganya walaupun tubuhnya masih tertengkuk dan bulu-bulunya masih tegak berdiri. Oren kembali melanjutkan observasinya di sekitaran ujung kampung tanpa mengindahkan apa yang baru saja terjadi. Dia terlihat sangat cuek. Dan saat itu Oren pun dihampiri oleh kucing lain. Seekor kucing betina, hampir seumuran dengannya. "Kudengar ada yang coba berkonfrontasi tadi ... Rupanya cuma kucing pendatang yang baru datang kemarin." Kata kucing betina berwarna kecoklatan bermata biru itu. "Siapa namamu?" tanyanya. "Nama? Entahlah, aku tidak memiliki nama." Jawab Oren sembari hidungnya mengendus kucing asing yang baru menyapanya. "Tentu saja kau belum memiliki nama. Kita sebagai kucing kalau tidak diberi nama oleh orangtua kita pastilah diberi oleh owner kita." Katanya sambil mengitari dan mengendus-ngendus tanah di sekitar Oren. "Aku tidak ingat ibuku dan saudara-saudaraku. Kenyataan ini membuatku kesal!" sahut Oren yang mudah akrab dengan lawan bicaranya. "Namaku Milka!" kucing betina itu mulai memperkenalkan dirinya sembari mengendus-ngendus tubuh dari Oren. "Apa kau belum pernah ke rumah itu?" tanya kucing betina itu sembari menatap jauh pada sebuah rumah tingkat dua. "Ada apa disana, Milka?" tanya Oren juga menatap rumah tersebut. "Kebetulan aku belum menjelajah sampai kesana, entah kenapa aku merasakan tekanan dan kekuatan yang luar biasa—memancar dari sana." Tandas Oren. "Tentu saja. Itu adalah Rumah dimana Unyis-nya Rida tinggal." Sahut Milka. "Unyis...? Siapa dia?" "Berapa hari kau tinggal di kampung ini? Sampai kau tidak pernah bertemu Unyis?" "Sebenarnya sejak aku dipungut dan dibawa kemari—aku sangat sering mendengar nama itu dari kucing-kucing disini. Beberapa kucing menduga aku adalah kucing baru di rumah Unyis. Jadi aku tanya, siapa sebenarnya Unyis ini?" "Dia kucing paling terkenal dan sangat dihormati di kampung ini." Jawab Milka lalu beranjak melompati salah satu tanaman di dekat sungai dan berlari begitu saja meninggalkan Oren tanpa pamit. Oren juga kemudian beranjak dari tempat itu tanpa jawaban dan coba meneruskan observasinya kembali. Walaupun ia amat penasaran dengan rumah yang ditunjuk oleh Milka tersebut, tetapi Oren masih belum ada niat untuk mengunjunginya. Aku akan mencari beberapa spot yang potensial, siapa tahu aku bisa mendapat makanan lebih cepat pagi ini dan kalau sudah amat lapar—aku bisa kembali ke rumah paman itu dan makan disana lagi, pikir Oren yang pragmatis, terus lanjut menjelajahi seluk beluk jalanan di kampung Batu Kunawa. Setiap sisi, sudut dan tempat dari bagian selatan Batu Kunawa telah hampir dijelajahi olehnya. Oren berjalan kesana kemari sangat percaya diri tanpa takut akan bertemu lagi dengan kucing konfrontatif seperti tadi pagi. Sesekali ia menemukan sesuatu yang bisa ia makan di beberapa sudut jalanan. Ini sudah menjelang setengah hari, hitung Oren sambil mencari tempat yang teduh karena cuacanya memang agak panas! Berbeda jika iklim dirasa dingin, maka kucing cenderung akan mencari tempat-tempat hangat yang memancarkan panas atau memiliki sumber panas. Oren mencoba mengistirahatkan tubuhnya, lelah sudah ia rasakan. Badannya terasa sudah sangat layak untuk diistirahatkan. Sejenak Oren berbaring menengkuk atau melingkarkan tubuhnya. Oren sudah mulai larut dalam kantuk, matanya mulai terpejam dan ia pun mulai tertidur pulas. Dalam tidurnya itu Oren bermimpi. Dalam mimpinya, Oren melihat 4 bayangan kucing. Bayangan yang agak samar-samar. Keempat kucing tersebut berjejer menghadap kepada Oren. Oren tentu saja merasa bingung, ia tidak mengenali keempat kucing asing tersebut dan tak pernah berjumpa dengan mereka. Siapa mereka...? Tanya Oren dalam benaknya. Salah satu kucing dari keempat kucing itu menghampiri Oren. Ia yang mendatangi Oren bertubuh paling kecil dari keempat kucing tersebut. Oren ketakutan dan ia berniat lari akan tetapi keempat kakinya tiba-tiba saja tidak bisa digerakan. Rantai-rantai lalu menyembur keluar dari dalam tanah dan segera mengikat keempat kaki dan lengan Oren. Salah seekor kucing misterius dari keempat kucing yang menghampiri Oren mulai mendekat kepadanya. Oren hampir dapat melihat rupa kucing misterius tersebut saking dekatnya. Kucing yang berada tepat dihadapannya itu berwarna abu-abu perak (silver) dan putih, berekor sedang. "Siapa kalian? Apa mau kalian? Dan kau siapa?" teriak Oren kepada mereka berempat. Lalu tiba-tiba saja kucing silver putih di hadapan Oren itu membuka mulutnya dan mengeong dengan sangat keras. Oren merasa hampir pingsan dan ia menatap kepada ketiga kucing lain di belakang kucing silver putih tersebut. Oren mulai bisa mengenali warna bulu dari ketiga kucing yang lainnya. Dan seketika itu Oren terbangun dari mimpinya. Nafasnya terengah-engah. Ia menengok ke kiri dan ke kanan lalu keatas. "Mimpi apa itu tadi?" gumamnya. Sejenak Oren mulai mencerna apa yang baru saja ia mimpikan sembari memulihkan kembali kesadaran dan kondisi tubuhnya dengan m******t tangan dan kukunya juga sebagian tengkuk lehernya dengan enzim air liurnya. Tiba-tiba, para gerombolan kucing dewasa datang menghampiri, menyergap Oren. Ada sekitar tiga ekor kucing dan salah satunya adalah kucing putih hitam yang tadi pagi menyerang Oren. Dua kucing yang lain berwarna kuning terang sedikit putih dan full hitam loreng. "Apa ia berasal dari rumah Unyis Rida?" tanya salah seekor kucing. "Kau tau Hatim, ini akan menyusahkan kita kalau benar ia adalah kerabat dari Unyis X." Sahut kucing full hitam bergaris loreng abu-abu. "Kita tidak akan apa-apa kan dia. Lagipula, untuk apa kalian takut dengan Unyis X itu? Kudengar hanya dua Balam Raja saja sekarang yang berada dalam faksinya." Hatim mempertegas. Rupanya kucing yang tadi pagi menyerang Oren bernama Hatim. Ia merupakan kucing peliharaan mbak Nuri. "Aku tidak kenal Unyis dan aku tidak ada hubungan dengan yang namanya Unyis ini." Jawab Oren gemetar dengan raut tatapan waspada tingkat tinggi. "Dengar nak, kau telah melanggar teritori kekuasaan kami." Tegas Hatim. "Tapi aku tidak melapisi wilayahmu! Aku tau sekitaran wilayah ini memiliki bau khas kucing lain." Jawab Oren ketakutan. Maksudnya dengan bau khas adalah urine. Kebiasaan kucing dalam menandai batas wilayah atau kedaulatan territorialnya adalah dengan menyemprotkan urine yang mengandung feromon sebagai penanda bahwa wilayah itu adalah miliknya. Dan bagi siapa yang berani melapisi urine kucing lain dengan urinenya, maka itu artinya ia siap berkonfrontasi dengan sang pemilik urine atau penguasa teritori sebelumnya. "Aku tahu! tapi entah kenapa aku merasa kau adalah ancaman semenjak pertama kau datang kesini." Kata Hatim mengancam. "Sudahlah Hatim! Biarkan saja dia, dia juga masih kecil dan kita tidak memiliki urusan dengannya." Cegat kucing hitam loreng yang melihat Hatim terlalu berambisi dan terobsesi dengan kucing muda malang itu. "Iya! Kau dengar sendiri kan, dia bilang tidak memiliki hubungan dengan Unyis." "Setidaknya kita harus membuat takut dia, karena kelak ia akan jadi salah satu rookie di musim kawin mendatang dan mungkin bisa jadi kompetitor kita." Jawab Hatim. "Belum lagi jika salah satu Balam Raja ikut, bahkan kucing luar pun tidak akan punya kesempatan apalagi cuma rookie seperti dia." Sahut kucing kuning putih. Namun kata-kata dari rekannya itu tidak diindahkan oleh Hatim. Matanya masih menatap tajam kepada Oren. Sebagai bentuk perlawanan si Oren mulai mengeram dan mengeong. Mereka bertiga merasa heran dan tertawa melihat bahwa ada kucing yang tidak bisa roaring alias tidak bersuara ketika mengeong. "Apa kau bercanda? Anak ini tidak punya meongan? Ini lucu sekali." Ledek kucing kuning putih terkejut. "Aku tidak pernah melihat sebelumnya ada kucing yang seperti ini, sangat jarang kutemui." Ledek kucing hitam loreng sembari berjalan memutari Oren. "Kucing tidak berguna seperti ini yang kau takutkan Hatim? Dia bahkan tidak memiliki meongan." "Sudah kubilang kan, dia tidak punya meongan. Sangat jarang ada kucing lemah seperti ini." Hatim ikut meledek. "Tapi bagiku dia tetap saja ancaman!" Hatim memiringkan kepalanya tanda bahwa ia siap secara penuh berkonfrontasi dengan kucing Oren muda yang malang tersebut. Ini gawat! Pikir Oren yang mulai merasa takut dan khawatir. Seketika saja atmosfir di sekitar tempat itu berubah, jauh lebih berat! Ruang dimensi yang sama namun terasa amat berbeda dirasakan oleh Oren. "Apa ini?" gumam Oren tertekan dan mulai memunculkan ketakutan mendalam. Hatim seakan telah mengaktifkan sesuatu di sekitaran wilayah itu. Tiba-tiba secara mengejutkan datang seekor kucing betina belang tiga berekor pendek. "Apa yang kalian perbuat dengannya?!" tanya kucing betina tersebut dengan tegas. Oren yang terlihat shock karena dikepung tiga ekor kucing pun merasa tambah bingung dengan kemunculan seekor kucing yang tiba-tiba datang membelanya. Siapa betina hebat ini? Pikirnya penuh tanya. Hatim dan kedua kucing yang lainnya perlahan mencoba mundur, seolah-olah tampak sekali bahwa mereka takut dan segan kepada kucing betina belang tiga yang ada di hadapan mereka tersebut. "Apa kalian semua gila mau memasuki warpzone demi melawan kucing kecil seperti dia?" Kucing betina itu terlihat sangat marah. "Enyahlah kalian!!!" tegasnya. Perkataan dari kucing betina tersebut membuat kagum Oren. Ia sadar kucing betina ini telah sangat marah demi membela dirinya. "Ini adalah wilayahku." Kata Hatim sembari menatap sinis kepada kucing betina itu. "Aku tahu, dan kalian juga harus ingat bahwa ini adalah wilayah terluar dari salah satu Balam Raja yang pernah menjadi suamiku." Katanya, "dan kalian hampir membunuh anak ini dengan mengaktifkan warpzone, apa kalian waras?" "Aku tidak punya urusan dengan anda, urusanku dengan anak itu." Jawab Hatim sang kucing dekil yang bulunya nampak seperti tidak terawat, menampilkan beberapa luka serta penyakit kulit Scabies di sekitar telinganya. "Sekarang anak ini juga merupakan urusanku. Jika kau melawannya artinya kau juga siap bertempur melawanku." Ancam sang kucing betina yang tak terlihat gentar dan takut bahkan nampak sangat kuat walaupun ia betina—setidaknya itulah yang ada dalam pikiran si Oren sekarang. Oren merasa kucing betina kharismatik dihadapannya itu sangatlah kuat dan bisa diandalkan. "Ayo kita pergi!" seru Hatim kepada dua kucing yang lainnya mundur perlahan dan mereka pun berpisah satu sama lain. "Te...te...teri...makasih!" kata Oren kepada kucing betina itu. "Apa kau baru disini nak?" sang kucing betina menatap serius kepada Oren. "Benar. Aku baru datang kemarin." Jawab Oren segan. Ia melihat wibawa pada kucing betina tersebut. "Selamat datang di kampung Batu Kunawa, g**g Delapan!" Sang kucing betina itu terlihat sedikit mengendus Oren, seakan-akan dari pancaran matanya yang memantulkan refleksi bayangan Oren—terlukis bayangan para anak-anaknya dahulu. Ia terlihat sangat merindu ketika ia memandang balik Oren melalui tatapan matanya. Wajar saja, karena kucing betina di usianya sekarang yang telah beberapa kali mengandung pastilah memiliki banyak anak namun biasanya tidak banyak atau bahkan tidak ada yang tersisa di usianya sekarang ini, entah karena para anak kucing itu mati ketika masih kecil, dibuang orang atau merantau ke tempat yang baru dan jauh dari situ ketika dewasa. Hal serupa rupanya dirasakan oleh Oren. Ia mendapati kehadiran sang induk kembali atau ibunya dahulu dari sosok kucing betina kharismatik tersebut. Oren merasa menemukan kembali sosok keluarga terutama sang induk yang telah lama hilang darinya. Oren menaruh hormat dan kekaguman yang besar kepada kucing betina itu. Seperti itulah kucing, mereka yang sangat dini telah terpisah dengan induknya, ketika ditemukan sosok induk lain yang menyerupainya, maka biasanya mereka akan benar-benar menganggapnya sebagai orangtuanya. Persentasinya 100% dalam totalitas seekor kucing muda menyayangi dan menganggap orang tua atau induk barunya sebagai benar-benar orangtua bagi mereka. "Kau harus lebih sering menjauh dari mereka." Kata kucing betina itu sembari duduk berdiri setengah santai. "Mereka adalah para kucing garong. Biasanya mereka menangkap tikus atau hewan-hewan pengerat lain di malam hari dan mereka pula yang sering mengambil lauk atau makanan dari rumah manusia. Para garong adalah pencuri! Sikap mereka itu terkadang menimbulkan masalah bagi kita para kucing yang baik terhadap manusia." "Aku akan jauh lebih berhati-hati. Indera bertarungku masih belum terlalu berkembang." Sahut Oren. "Kau salah satu tipe kucing langka! Kulihat kau tidak memiliki meongan. Aku belum pernah mendengar atau melihat ada hal semacam ini seumur hidupku." "Aku masih kecil jadi aku belum memilikinya. Apa itu buruk?" tanya Oren. "Untuk dunia kucing jantan yang keras dan kompetitif, tentu saja! Tanpa meongan kau tidak akan bisa bertarung." Jawabnya. Apa sejak lahir kucing kecil ini tak punya meongan? Pikir kucing betina itu. "Apa seburuk itu belum ada meongan?" tanya Oren kembali. "Tidak juga nak! Tidak semua kucing harus bertarung selama hidupnya. Kau bisa menghindari setiap pertarungan yang tidak bisa kau jalani. Tidak buruk menjadi kucing seperti itu." "Bukankah hal seperti itu yang dinamakan pengecut?" "Itu tergantung bagaimana kau memandangnya nak. Aku biasanya melihat kucing semacam itu sebagai kucing-kucing cerdas yang mau menghindari luka dan derita. Ada fokus lain untuk bisa survive di dunia kita selain berkelahi." Jawab kucing betina itu sembari beranjak dari tempatnya dan perlahan berjalan sambil mengendus ke kiri dan kanan jalan. "Tapi aku ingin kuat seperti anda. Aku tidak ingin dibela dan lari dari setiap masalah sepanjang hidupku." Sahut Oren juga beranjak dan mengikuti kucing itu dari belakang sambil mengendus, kalau-kalau ada yang bisa dimakan lagi di tepi jalan. "Kau tinggal dimana?" tanya betina itu. "Aku dibawa oleh pria dari rumah di dekat tikungan jalan sana. Tapi wanita di rumah itu sepertinya tidak ingin kucing lagi. Katanya sudah terlalu banyak kucing yang tinggal di rumah mereka." Jawab Oren. "Kalau kau mau makanan, datanglah ke rumah yang dekat persimpangan disana—di rumah yang berwarna hijau itu ... dia pasti sangat senang bertemu denganmu." Kata kucing betina tersebut. "... rumah berwarna hijau? Baiklah! Terima kasih, tapi siapa dia?" tanya Oren yang menoleh namun ia tiba-tiba kehilangan jejak kucing betina belang tiga tersebut. Kucing betina itu telah hilang dengan cepat entah kemana tanpa jejak. Walaupun singkat, Oren merasa ia telah menemukan sosok ibu atau induk sekaligus guru dan mentor bagi dirinya di lingkungan yang baru ini. Oren berharap ketika nanti bertemu lagi dengannya, Oren akan terus mengikuti induk betina tersebut. Itulah mimpi baru baginya sekarang. Oren menaruh kekaguman yang besar kepada kucing betina itu. Bukan hanya karena telah menolongnya, tetapi ia merasakan perasaan lain pada kucing betina itu. Semacam perasaan ketergantungan yang tiba-tiba saja hadir. Oren tidak menyadari bahwa kucing yang tadi ia temui, akan menjadi sosok paling berarti dalam keseluruhan kehidupannya selanjutnya. Jalan kehidupan baru dan panjang segera terbentang lebar bagi Oren di kampung ini. Sebuah impian yang tak pernah ia bayangkan serta rahasia terselubung dan petualangan akan menjadi bagian dari kehidupannya mulai sekarang. Hidup seekor anak kucing oren yang mulai akan berkembang dan menentukan sendiri takdirnya disini, di kampung Batu Kunawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD