Ketika Paul yang merupakan lawan dari Naomi dan Nico telah sampai di tengah lapangan, tepatnya berdiri di hadapan mereka berdua, mendadak saja Sang Mentor menyunggingkan sebuah seringaian kejam yang cukup jahat dan mulai melontarkan sebuah perkataan yang menjelaskan bahwa Nico dan Naomi kelihatan sangat akur. Sebetulnya itu bukanlah murni sebuah penjelasan, melainkan ledekan atau ejekan yang maknanya terbalik, yaitu saat ini Nico dan Naomi tidak begitu akur sehingga Paul pun berinisiatif ingin mengganggu mereka dengan menyebut bahwa mereka berdua sangat akur.
Tentu saja Naomi dan Nico yang mendengar omongan itu terkaget, mereka berdua langsung saling memandang dan kembali menatap Paul yang terkekeh-kekeh di hadapan mereka. Naomi maupun Nico menunjukkan raut jengkelnya masing-masing, menunjukkan kalau mereka tidak suka dengan apa yang barusan Paul ucapkan. Itu jelas-jelas tidak menggambarkan kenyataan, karena faktanya mereka berdua sama sekali tidak akur. Dari awal dua orang itu sampai di tengah lapangan pun, mereka selalu bertengkar dan berbeda pendapat, bahkan atmosfirnya pun jadi semakin berat dari sebelum-sebelumnya.
“Apa matamu bermasalah?” Nico langsung menimpali omongan Paul dengan mendengus sebal, lelaki berambut putih berkaca mata itu cukup yakin kalau dirinya bisa dan mampu untuk membungkam mulut mentornya yang kurang ajar itu.
“Seharusnya sebelum kau kemari, kau perbaiki dulu penglihatanmu yang sudah rusak itu, kau tidak sepatutnya berada di sini jika dalam melihat sesuatu saja, kau masih tidak bisa melihatnya dengan jelas.”
Perkataan yang Nico lontarkan cukup tajam dan pedas, tapi itu masih belum cukup untuk membuat Paul takluk ataupun terbungkam, karena sekarang seringaian dari Sang Mentor malah semakin lebar, menandakkan kalau perkataan-perkataan yang barusan Nico katakan sama sekali tidak berpengaruh. Malah sebaliknya, Paul jadi punya rentetan ejekan lain untuk diucapkan pada pasangan konyol yang ada di hadapannya ini. Itu benar-benar menarik, tidak biasanya Nico dan Naomi saling tidak akur begitu, itu membuat Paul jadi tidak sabar ingin cepat-cepat menghancurkan dan membantai mereka berdua.
Bagi Paul, pasangan yang tidak bisa bekerja sama satu sama lain adalah lawan yang paling lemah dan lezat, karena biasanya lawan yang seperti itu mudah sekali tersulut emosi dan tidak pandai mencari celah dalam suatu pertarungan sehingga membuat Paul jadi semakin mudah untuk mengalahkan mereka. Keberuntungan yang menguntungkan, seharusnya dari awal begini saja pasangan-pasangan yang dilawannya, karena dengan begitu, Paul bisa dengan mudah memenangkan pertarungan-pertarungan itu.
“Tenang saja, mataku baik-baik saja, yang tadi hanya sekedar sapaan saja,” Paul masih terkekeh-kekeh, tampak meremehkan mereka, bahkan ia tidak mengeluarkan kata-k********r lagi seperti sebelumnya, yang artinya, Nico dan Naomi benar-benar dianggap pasangan yang sangat lemah. “Kalau begitu, apa kalian siap?”
Naomi meneguk ludahnya dan akhirnya menganggukkan kepalanya. Sementara Nico hanya memejamkan matanya dan menghembuskan napas, lalu kembali membuka kelopak matanya. Mereka berdua tampaknya sudah sangat siap untuk bertarung melawan Paul Cozelario, para penonton kegirangan menyaksikan semua peserta yang akan bertanding sudah lengkap dan berkumpul di tengah arena.
Kemudian Roswel dari tiang tempat dirinya berdiri sebagai pembawa acara langsung melemparkan tiga mikrofon mungil seperti biasa kepada para peserta yang hendak bertanding dan mereka bertiga segera menangkap mikrofon-mikrofon itu lalu dipakailah di dekat mulut mereka masing-masing sehingga apa pun yang mereka katakan, kini dapat didengar oleh seluruh penonton di setiap penjuru. Paul tersenyum senang setelah mikrofonnya sudah terpasang, Nico hanya terdiam sedangkan Naomi kelihatan bersusah payah memasangkan mikrofon itu sampai beberapa menit kemudian akhirnya benda itu bisa menempel di pipi kanannya.
“Bagaimana, kalian berdua sudah siap, untuk dibantai olehku, hah?” tanya Paul yang kini suaranya bisa didengar oleh semua penonton, sehingga saat suara Sang Mentor menggema, searena langsung heboh dan gaduh karena gembira pertandingannya segera dimulai.
“Dibantai?” Naomi segera merespon perkataan Paul dengan mengernyitkan alis, gadis berkerudung itu benar-benar terheran-heran dengan kata-kata yang Sang Mentor ucapkan, bukankah itu terlalu kejam jika kau seenaknya mengatakan bahwa kau akan membantai seseorang dengan santainya begitu. “Saya rasa sebaiknya Anda memilih penggunaan kata lain daripada memilih kata ‘p*********n’ terhadap orang lain, karena bagi saya, itu terlalu sadis dan berlebihan.”
“Kau pikir aku peduli soal pandangan orang lain, hah?” celoteh Paul dengan menaikan sebelah alisnya, menatap dan melototi Naomi. Kelihatannya Sang Mentor tidak begitu suka omongannya diprotes oleh orang lain, itu seperti penghinaan bagi dirinya dan yang lebih penting dia paling tidak suka pada orang yang sok mengguruinya seperti itu. “Naomi, kau ini dari dulu selalu saja menggurui orang lain, kau membuatku kesal, b******k!”
Dan akhirnya, kata-k********r khas Paul sudah kembali terdengar, Nico dan Naomi hanya terdiam mendengarnya, mereka semua sudah terbiasa mendengar perkataan-perkataan semacam itu, begitu pula dengan para penonton, sepertinya semua orang yang menyaksikan pertandingan ini pun sudah terbiasa dengan omongan-omongan kejam dari Paul, mengingat mereka sudah menonton empat pertandingan sebelum ini.
“Menggurui orang lain, Anda bilang?” Setelah menarik napas dalam-dalam, Naomi kembali menimpali perkataan Paul dengan menekan dua alisnya ke bawah, tampaknya Si Gadis Berkerudung Kuning pun tidak terima saat disebut demikian oleh Sang Mentor, karena itu terdengar cukup jahat di telinganya. “Saya bukannya menggurui orang lain, saya hanya menasehati Anda agar Anda bisa lebih bijak dalam memilih kata saat berbicara dengan orang lain! Di bagian mana dari omongan saya yang terdengar seperti sedang menggurui Anda?”
“Naomi!” Kesal mendengar pertengkaran itu, Nico pun segera angkat suara dan menoleh pada pasangannya, kelihatannya Si Lelaki Berkacamata itu tidak suka melihat Si Gadis Berkerudung membuang-buang waktunya hanya untuk meladeni omongan Paul. “Kau tidak perlu membalasnya lagi, sudah kukatakan padamu, jangan mempermalukanku di sini! Biarkan saja Paul berbicara sesukanya, toh dia memang hewan liar!”
“Hah?” Mendengar itu, Paul terkejut, matanya langsung membulat cukup lebar. “Kau tadi bilang apa tadi? Hewan liar? Jadi, selama ini kau menganggapku sebagai hewan liar, begitu, HAH!?”
Dan akhirnya, Paul langsung marah besar, urat-urat bermunculan di sekujur tubuhnya, gigi-giginya saling bergelemetuk, dan dua tangannya terkepal kuat. Paul telah berada dalam mode p*********n.
“KALIAN BERDUA AKAN KUBUAT KESAKITAN DI SINI! BERSIAPLAH! BRENGSEEEEEK!”
Tiba-tiba Paul melesat begitu kencang, dan secara cepat, Sang Mentor berhasil mendapatkan Nico, dia mencekik leher Si Lelaki Berambut Putih Berkaca mata itu dengan begitu kuat sampai dijatuhkan ke tanah, sehingga badan Nico tertindih oleh tubuh mentornya tanpa sedikit pun melepaskan cekikan tersebut. Naomi yang menyaksikan kejadian itu langsung menjerit sekencang mungkin, karena tidak tahan melihat Nico dicekik sekejam itu oleh Sang Mentor, membuat seluruh penonton terkesiap mendengar jeritan Si Gadis Berkerudung.
SELANJUTNYA VERSI BAHASA INGGRISNYA, TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN SAMPAI JUMPA DI BAB BERIKUTNYA-------------------
When Paul, who is Naomi and Nico's opponent, arrived in the middle of the field, to be precise, stood in front of the two of them, suddenly the Mentor gave a cruel grin that was quite evil and began to utter a word explaining that Nico and Naomi looked very good together. In fact, it is not purely an explanation, but rather a mockery or ridicule that has the opposite meaning, namely that currently Nico and Naomi are not getting along so well that Paul took the initiative to disturb them by saying that they both get along very well.
Of course Naomi and Nico who heard the speech were shocked, they both immediately looked at each other and looked back at Paul who was chuckling in front of them. Naomi and Nico each showed their respective annoyed expressions, showing that they didn't like what Paul had just said. That clearly doesn't represent reality, due to the fact that the two of them simply don't get along. From the start, the two of them arrived in the middle of the field, they always quarreled and had different opinions, even the atmosphere was getting heavier than before.
"Is there a problem with your eye?" Nico immediately replied to Paul's conversation with a snort of annoyance, the white-haired man with the glasses and the eyes was quite sure that he could and was able to silence his mentor's insolent mouth. "Before you came here, you should have fixed your damaged eyesight first, you shouldn't be here if you just saw something, you still couldn't see it clearly."
The words that Nico made were quite sharp and spicy, but they were still not enough to make Paul fall or be silenced, because now the Mentor's grin was even wider, indicating that the words Nico had just said had no effect at all. On the contrary, Paul had another bar of ridicule to say to the ridiculous couple in front of him. It's really interesting, it's not usually Nico and Naomi that don't get along like that, it makes Paul so impatient to quickly destroy and s*******r the two of them.
For Paul, a partner who cannot cooperate with each other is the weakest and most delicious opponent, because usually such opponents are easily ignited by emotions and are not good at finding gaps in a fight, making it easier for Paul to beat them. Favorable luck, this should only be the pair he was fighting from the start, because then Paul could easily win those battles.
"Take it easy, my eyes are fine, which was just a greeting," Paul was still chuckling, looking down on them, he didn't even say any more harsh words like before, which means, Nico and Naomi were really considered. a very weak partner. "Then, are you ready?"
Naomi swallowed her saliva and finally nodded her head. Meanwhile Nico just closed his eyes and exhaled, then opened his eyelids again. They both seemed to be very ready to fight against Paul Cozelario, the audience was excited to see all the participants who were going to compete were complete and gathered in the middle of the arena.
Then Roswel from the pole where he stood as the host immediately threw three tiny microphones as usual to the participants who wanted to compete and the three of them immediately caught the microphones and then put them near their respective mouths so that whatever they said, they could now. heard by audiences in every corner. Paul smiled happily after the microphone was plugged in, Nico was silent while Naomi seemed to be struggling to plug in the microphone until a few minutes later it finally stuck to her right cheek.
"How, you two are ready, to be slaughtered by me, huh?" Paul asked, whose voice could now be heard by all the audience, so that when the Mentor's voice echoed, Searena was immediately excited and excited because the match was about to start.
"Slaughtered?" Naomi immediately responded to Paul's words by wrinkling her eyebrows, the hooded girl was really amazed at the words that the Mentor said, isn't it too cruel to say that you would s*******r someone so casually. "I think you should prefer to use another word instead of choosing the word 's*******r' against other people, because to me, that is too sadistic and too much."
"You think I care about other people's views, huh?" chattered Paul with an eyebrow raised, staring and glaring at Naomi. It seems that the Mentor doesn't really like his words being protested by other people, it's like an insult to him and more importantly he doesn't like people who self-taught him like that. “Naomi, you have always been
When Paul, who is Naomi and Nico's opponent, arrived in the middle of the field, to be precise, stood in front of the two of them, suddenly the Mentor gave a cruel grin that was quite evil and began to utter a word explaining that Nico and Naomi looked very good together. In fact, it is not purely an explanation, but rather a mockery or ridicule that has the opposite meaning, namely that currently Nico and Naomi are not getting along so well that Paul took the initiative to disturb them by saying that they both get along very well.
Of course Naomi and Nico who heard the speech were shocked, they both immediately looked at each other and looked back at Paul who was chuckling in front of them. Naomi and Nico each showed their respective annoyed expressions, showing that they didn't like what Paul had just said. That clearly doesn't represent reality, due to the fact that the two of them simply don't get along. From the start, the two of them arrived in the middle of the field, they always quarreled and had different opinions, even the atmosphere was getting heavier than before.
"Is there a problem with your eye?" Nico immediately replied to Paul's conversation with a snort of annoyance, the white-haired man with the glasses and the eyes was quite sure that he could and was able to silence his mentor's insolent mouth. "Before you came here, you should have fixed your damaged eyesight first, you shouldn't be here if you just saw something, you still couldn't see it clearly."
The words that Nico made were quite sharp and spicy, but they were still not enough to make Paul fall or be silenced, because now the Mentor's grin was even wider, indicating that the words Nico had just said had no effect at all. On the contrary, Paul had another bar of ridicule to say to the ridiculous couple in front of him. It's really interesting, it's not usually Nico and Naomi that don't get along like that, it makes Paul so impatient to quickly destroy and s*******r the two of them.
For Paul, a partner who cannot cooperate with each other is the weakest and most delicious opponent, because usually such opponents are easily ignited by emotions and are not good at finding gaps in a fight, making it easier for Paul to beat them. Favorable luck, this should only be the pair he was fighting from the start, because then Paul could easily win those battles.
"Take it easy, my eyes are fine, which was just a greeting," Paul was still chuckling, looking down on them, he didn't even say any more harsh words like before, which means, Nico and Naomi were really considered. a very weak partner. "Then, are you ready?"
Naomi swallowed her saliva and finally nodded her head. Meanwhile Nico just closed his eyes and exhaled, then opened his eyelids again. They both seemed to be very ready to fight against Paul Cozelario, the audience was excited to see all the participants who were going to compete were complete and gathered in the middle of the arena.
Then Roswel from the pole where he stood as the host immediately threw three tiny microphones as usual to the participants who wanted to compete and the three of them immediately caught the microphones and then put them near their respective mouths so that whatever they said, they could now. heard by audiences in every corner. Paul smiled happily after the microphone was plugged in, Nico was silent while Naomi seemed to be struggling to plug in the microphone until a few minutes later it finally stuck to her right cheek.
"How, you two are ready, to be slaughtered by me, huh?" Paul asked, whose voice could now be heard by all the audience, so that when the Mentor's voice echoed, Searena was immediately excited and excited because the match was about to start.
"Slaughtered?" Naomi immediately responded to Paul's words by wrinkling her eyebrows, the hooded girl was really amazed at the words that the Mentor said, isn't it too cruel to say that you would s*******r someone so casually. "I think you should prefer to use another word instead of choosing the word 's*******r' against other people, because to me, that is too sadistic and too much."
"You think I care about other people's views, huh?" chattered Paul with an eyebrow raised, staring and glaring at Naomi. It seems that the Mentor doesn't really like his words being protested by other people, it's like an insult to him and more importantly he doesn't like people who self-taught him like that. “Naomi, you have always been
Vardigos, adalah nama dari seorang lelaki dewasa berambut hitam panjang, berkulit merah pekat, bermata tajam, dan merupakan seorang pelayan pendamping yang ditugaskan oleh Sang Penguasa untuk membimbing mentor yang terpilih di Megasta, negara nomor satu di dunia.
Munculnya Vardigos di ruangan lantai berbunga cukup mengagetkan Lolita, sebab wanita berambut biru itu tidak menyangka kalau lelaki liar itu telah terbebas dari hukuman berat yang menimpanya bahkan ditugaskan untuk menjadi pelayan pendamping di Megasta.
Itu suatu pencapaian yang tidak masuk akal sebab hanya pelayan-pelayan elit-lah yang diperbolehkan untuk bertugas di negara-negara maju seperti Madelta, Marigold, dan Megasta, sedangkan Vardigos bukan termasuk ke dalam golongan pelayan elit.
Malah sebaliknya, Vardigos termasuk ke dalam salah satu pelayan yang sangat bermasalah di antara ratusan pelayan pendamping, itulah mengapa Lolita keheranan ketika melihat Vardigos bertingkah layaknya pelayan elit tulen.
Namun, entah bagaimana pun pasti ada alasan di balik semua ini dan Lolita hanya bisa pasrah dan mempercayakan segalanya kepada Sang Penguasa. Mungkin saja ada sesuatu yang membuat Sang Penguasa memerintahkan Vardigos sebagai Pelayan Pendamping di Megasta.
Sekarang, lelaki berkulit merah itu sedang menghampiri mentornya, Lolita hanya bisa menghela napas sambil meremas boneka jerami yang digenggam kuat di tangan kanannya, matanya mendelik tajam ke sosok Vardigos yang tengah berinteraksi dengan mentor dan para pahlawannya, sembari berharap mereka pergi dari ruangan ini.
“Ah, ini buruk. Munculnya gladiol merah seperti dia, akan memperburuk persaingan antar pelayan pendamping. Aku penasaran, apakah Roswel juga mengetahui ini?” gumam Lolita, suaranya direndahkan agar tidak terdengar oleh siapa pun.
Julukan yang barusan disebutkan oleh Lolita bukanlah julukan sembarangan, sebab ‘Gladiol Merah’ merupakan sebutan untuk para pelayan pendamping yang terlahir dari bibit bunga gladiol berwarna merah semerah darah, yang konon bagi mereka yang terbentuk dari bunga tersebut akan diberkahi oleh kekuatan yang maha dahsyat, melebihi kekuatan para pelayan pendamping pada umumnya, bahkan katanya hampir setara dengan kekuatan Sang Penguasa.
Itulah mengapa Vardigos pernah menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap Sang Penguasa, dengan menantang penguasanya untuk bertarung secara adil di hadapan pelayan-pelayan lainnya sambil merasa bahwa kekuatannya lebih besar dibanding penciptanya.
Meski pertarungan itu sudah menjadi bagian dari masa lalu, tapi Lolita serta para pelayan lainnya tidak pernah bisa melupakannya, karena itu adalah peristiwa langka di mana seorang pelayan pendamping berani menantang Sang Penguasa.
Menggeleng-gelengkan kepalanya, Lolita berusaha menyadarkan diri dari lamunannya, sehabis itu dia kembali memperhatikan gerak-gerik Vardigos.
“Berhenti di situ, Leo,” tegur Vardigos saat dirinya telah menunjukkan diri di hadapan mentor dan para pahlawannya, tepatnya berada di tengah lingkaran api yang berkobar-kobar di lantai. “Jauhkan tanganmu dari gadis itu.”
Lelaki berkulit merah itu datang di waktu yang tepat sebab sedikit saja ia terlambat, dua tangan Leo bakal mencekik leher Gissel—gadis berambut putih keriting—yang sedang terbaring lemas di permukaan lantai.
Terkaget, Leo langsung mendongakkan kepalanya dan terbelalak, tak menyangka kalau pelayan pendampingnya muncul di hadapannya.
“T-Tuan Vardigos!?”
Entah kenapa, seluruh tubuh Leo jadi gemetaran seperti seseorang yang menderita depresi super berat sehabis menatap mata Vardigos.
Lelaki muda berambut cokelat gelap itu benar-benar menggigil ketakutan ketika matanya bertemu dengan mata pelayan pendampingnya.
“B-Baik! M-Maafkan saya, Tuan Vardigos!”
Buru-buru Leo segera menarik lengan kanannya dan mengangkat posisi jongkoknya untuk berdiri tegak bersama para pahlawannya untuk menjauh dari Gissel, mematuhi perintah dari Vardigos, layaknya sebuah robot yang taat pada sistemnya.
Bukan hanya Leo yang tampak bergidik, pahlawan-pahlawan bimbingannya juga terlihat ngeri memandang wujud dari Vardigos, seolah-olah lelaki berkulit merah itu adalah sosok monster yang mengerikan.
Kemudian, membungkukkan badan dan berjongkok sedikit, Vardigos menyentuh dan mengangkat tubuh Gissel dengan dengan dua tangannya, menyimpan dan membawa gadis keriting itu di dadanya sebelum akhirnya menghilang begitu saja dari hadapan Leo dan para pahlawannya.
Menyadari pria itu telah pergi, Leo mengepal dua tangannya dengan raut wajah yang super jengkel. “Ini semua gara-gara kalian!” Seketika, Leo membalikkan badannya, mengalihkan perhatiannya pada sepuluh pahlawannya yang semua anggotanya adalah laki-laki. “Kalau saja kalian tidak membuat gadis itu pingsan, Tuan Vardigos tidak akan memarahiku!”
“M-Maafkan kami, Bos!” Kini giliran para pahlawan Leo yang bergidik ngeri karena meratapi kesalahannya masing-masing.
Sesaat Leo membentak pahlawan-pahlawannya, kobaran api yang mengelilingi mereka perlahan-lahan padam seperti telah disiram oleh air, dan karena dinding apinya telah hilang, akhirnya mereka bisa melihat situasi ruangan ini lebih luas seperti sebelumya, dan disitulah mereka semua terkejut menemukan Tuan Vardigos yang mereka hormati sedang bercakap-cakap dengan Gissel—yang telah kembali sadar—dan pelayan pendampingnya yang merupakan seorang wanita.
“Sedang apa Tuan Vardigos bersama mereka?”
“Apakah mereka saling mengenal?”
“Baru kali ini aku melihat Tuan Vardigos tersenyum seperti itu!?”
“Mungkin wanita berambut biru itu teman dekatnya Tuan Vardigos!”
“Ya, mungkin benar! Soalnya Tuan Vardigos tidak pernah seakrab itu dengan pelayan pendamping lain!”
Mendengar para pahlawannya membicarakan Tuan Vardigos secara tidak sopan, Leo jadi tidak terima dan kesal. “Kalian semua payah sekali, ya?” ucap Leo dengan alis ditekan, tampak meremehkan omongan-omongan para pahlawannya. “Tentu saja Tuan Vardigos tidak berteman dengan wanita itu. Jangan sembarangan berasumsi, yang kita bicarakan ini adalah sosok Tuan Vardigos yang sangat hebat, loh. Meskipun kelihatannya Tuan Vardigos akrab dengan mereka, bukan berarti Tuan Vardigos menganggapnya sebagai rekan, karena Tuan Vardigos yang kita kenal, tidak selembut itu.”
Setuju pada pendapat Leo, sepuluh pahlawan berambut hitam itu menganggukkan kepalanya secara berbarengan, menyepakati bahwa apa yang dikatakan oleh Sang Mentor adalah fakta yang tak terbantahkan.
“Siapa orang ini, Lolita?” Setelah pulih dari pingsannya, Gissel memijit-mijit keningnya dengan bola mata bergulir ke kanan, menatap sebuah siluet merah dari sosok tinggi yang berdiri tegak di sampingnya.
Pandangannya masih samar-samar, belum terlihat secara jelas, tapi Gissel yakin kalau sosok tinggi yang ada di sampingnya ini adalah seorang pria, tertampak sekali dari gaya berdirinya yang terkesan kokoh seperti tembok dari sebuah benteng raksasa.
Dengan lembut, Lolita mendekat dan mengelus-elus rambut putih keriting Gissel seraya berkata, “Namanya Vardigos, dia sama seperti saya, seorang pelayan pendamping, dan kebetulan, dia adalah pelayan pendamping dari para laki-laki yang sempat mengganggu Anda, Nona.”
Sebenarnya Lolita tidak tega melihat Gissel dipermainkan separah itu oleh kelompok yang berada di bawah naungan Vardigos, tapi dia tidak bisa menolong lebih dari itu sebab dirinya juga tadi sempat berhadapan dengan lelaki berkulit merah ini, membuat ia tidak bisa membantu Nona Gissel yang sedang kesusahan.
Tapi Lolita bersyukur karena berkat itu pula, upaya melarikan diri Nona Gissel dari tugasnya sebagai mentor telah gagal, membuat wanita berambut biru itu menghembuskan napas lega.
“Jadi orang ini Pelayan Pendampingnya mereka, ya?” Kini penglihatan Gissel telah sangat jelas, ia bisa melihat penampakan dari sosok Vardigos yang tinggi dan menyeramkan.
Kulit merah dan rambut hitam panjangnya telah membuat Gissel bergidik ngeri, karena baru kali ini ia melihat makhluk menyerupai manusia yang seaneh ini.
Mengucek kelopak matanya, Gissel menampilkan bibir yang cemberut, ia masih merasa kesal pada kelakuan Leo dan pahlawan-pahlawannya, karena itulah dia juga jadi jengkel pada Vardigos, sebab orang ini masih punya hubungan dengan lelaki-lelaki nakal itu.
“Ada apa, Nona? Tampaknya Anda menyimpan rasa dendam pada saya, apakah ada sesuatu yang membuat Anda tidak nyaman saat berada di dekat saya?”
Secara halus, Vardigos mencoba menanyakan alasan dari ekspresi Gissel yang terkesan benci pada dirinya, meskipun sejujurnya raut wajahnya cukup menggemaskan.
“Oh, ya, saya mengerti. Sepertinya Anda masih tidak terima karena telah diganggu oleh bocah-bocah itu? Saya sebagai Pelayan Pendamping mereka, meminta maaf sebesar-besarnya atas kenakalan mereka. Anda tidak perlu khawatir, sebentar lagi saya akan mendisplinkan mereka agar tidak lagi mengganggu Anda, Nona.”
“Tidak perlu, terima kasih.” timpal Gissel dengan cuek, lalu ia mendongakkan kepalanya ke arah Lolita yang ada di dekatnya. “Lolita, bawa aku pergi dari Pulau ini, aku ingin pulang.”
Mendengar itu, rasa lega Lolita hilang, tergantikkan dengan kecemasannya yang kembali muncul menghiasi wajahnya. Padahal dia kira, Gissel telah mengurungkan niatnya untuk pergi, tapi ternyata tidak sama sekali. Gadis keriting itu masih belum menyerah atas keinginannya yang ingin pergi dari sini dan meninggalkan segala tugasnya sebagai Mentor dari Marigold, dan itu benar-benar membuat Lolita ketakutan.
Jika Gissel bersikukuh ingin keluar dari perannya sebagai Mentor, itu artinya Lolita telah gagal menjadi seorang Pelayan Pendamping dan ia tidak ingin itu terjadi karena dirinya mempunyai harga diri yang sangat tinggi.
Kalau itu sampai terjadi dan beritanya menyebar ke telinga para pelayan pendamping, Lolita bakal diejek oleh rekan-rekannya setiap saat.
“Nona, saya mengerti perasaan Anda, tapi saya mohon, tolong jangan—“
Baru saja Lolita hendak memohon-mohon pada Gissel di depan Vardigos, suara dengungan yang muncul di telinganya telah menghentikkan perkataannya dan ia langsung terdiam begitu saja, membuat Gissel keheranan melihat tingkahnya.
Ketika pandangan Gissel dialihkan ke wujud Vardigos, ia juga melihat pria itu tiba-tiba terdiam
seperti patung sama seperti Lolita, itu membuat rasa herannya jadi makin meningkat.
“Hey? Lolita? Vardigos? Ada apa dengan kalian? Kenapa kalian jadi hening begitu?”