Nicholas Smith adalah orang pertama yang berani bersuara dalam menentang keputusanku untuk menangani kasus Olivia, aku belum mendengar dan melihat anggotaku yang lain ikut menyuarakan pendapatnya, tapi aku yakin itu bisa memancing sebuah perdebatan panas di sini.
"Aku senang mendapatkan kritik darimu, Smith," tegasku pada Nicholas Smith yang masih tampak melemparkan tatapan tajam padaku. "Hanya saja, aku keberatan, sebab kau bayangkan saja, akan seperti apa jika segala kasus yang kita bahas mesti dibanding-bandingkan terlebih dahulu, mana yang layak dan tidak layak untuk kita tangani, dengan mengabaikan fakta bahwa ada orang yang sangat mengharapkan bantuan kita di dalam kasus-kasus tersebut. Itu terdengar tidak adil, kau tahu?"
"Tapi jika kita tidak selektif dalam memilih kasus, kita akan mengalami masalah besar, kita bisa ikut terseret dan berakhir dalam penjara!" Nicholas Smith benar-benar panas sekarang, dia sampai berteriak lantang padaku. "Aku tidak peduli soal organisasi atau apapun, aku hanya peduli pada nasib kita di masa depan jika sembarangan dalam memilih kasus."
Aku bisa melihat anggota-anggotaku yang lain terdiam dalam keheningan setelah mereka menyaksikan Nicholas Smith berteriak padaku, sampai akhirnya ada seseorang dari mereka yang memberanikan diri, ikut terlibat ke dalam perdebatanku dengan si perak berkaca mata.
"Aku setuju pada pendapat Nicholas, soal bahayanya jika kita tidak hati-hati dalam memilih kasus, itu akan jadi keputusanku saat aku berpikir secara rasional," Yang kini bersuara adalah Sebastian Emanuel, satu-satunya anggotaku yang sekelas dengan Nicholas Smith di kelas A. Ia terlihat tenang dan pandai mengelola situasi, senyuman tipis selalu tercetak di wajahnya saat berbicara. "Namun jika aku berpikir dengan dasar kemanusiaan, aku akan merasa sangat bersalah jika membiarkan orang lain terus dirundung hanya karena kasusnya terlalu beresiko untuk kutangani."
Datang juga akhirnya, situasi di mana Nicholas Smith ditentang secara langsung oleh anggotaku yang lain, dan kebetulan dia adalah Sebastian Emanuel, yang sama-sama berasal dari kelas para jenius berada. Jujur saja, ini membuatku menggigil karena aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi ketika dua orang dari kelas A beradu pendapat di depanku.
Kulihat, Nicholas Smith mulai jengkel pada kehadiran Sebastian Emanuel di ruangan ini.
"Begitulah maksud yang ingin kusampaikan," Sontak, aku ikut menambahkan dan tersenyum pada Sebastian karena ia telah ikut meyakinkan anggota-anggotaku yang lain untuk bersedia membantuku dalam menangani kasus Olivia. "Aku tahu persis resikonya, tapi apa yang akan terjadi jika kita memutuskan untuk mengabaikan kasus itu? Bagaimana jika siswi tersebut mengalami kekerasan fisik, lalu mulai terkena gejala depresi, dan akhirnya melakukan tindakan bunuh diri, apakah kita sebrengsek itu?"
Sebastian menganggukkan kepalanya, sependapat denganku. Sementara Nicholas Smith memalingkan mukanya, tidak suka dan tampak begitu jengkel mendengar opiniku.
"Aku punya saran," Vino Evonic, si lelaki berambut biru pendek yang di pertemuan sebelumnya kuanggap sebagai seorang pecundang canggung, kini mengacungkan tangan kanannya. "Bagaimana kalau kita lakukan pemungutan suara?"
"Tidak ada prinsip demokrasi di sini," jawabku dengan tegas, yang kelihatannya membuat semua anggotaku kaget saat mendengarnya. "Organisasiku berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan, bagiku hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan tidak pantas dijadikan sebagai objek pemungutan suara."
"Wow! Wow! Wow! Aku suka ini," Barbara Salvador, si gadis tomboy yang berwajah garang, memukul telapak tangannya sendiri saat mendengar penjelasanku barusan. "Aku suka caramu dalam menggerakkan organisasi sialan ini! Meski caramu fasis! Otoriter! Dan Diktator! Tapi semua itu demi kemanusiaan!" Ia menunjuk jari telunjuknya padaku dengan tersenyum lebar. "Sekarang jelaskan saja padaku semua detail dari kasus itu! Apapun kasusnya, akan kuhabisi sampai tak tersisa!"
Perlahan-lahan, anggota-anggotaku yang lain mulai berani untuk bersuara, menunjukkan reaksi dan keputusan mereka masing-masing dalam menanggapi kasus yang kupaparkan
"Aku akan mengubah dunia, jadi aku akan ikut menangani kasus tersebut." Alexander Coldish, si lelaki tinggi berambut abu-abu dan berkulit gelap yang suaranya sangat halus, juga memutuskan bahwa dia sepaham denganku.
"Aku juga ikut! Hihihi!" Cherry Rosemary, si gadis mungil yang sok imut juga setuju denganku. "Semoga dengan menangani kasus ini, kita juga bisa semakin akrab, ya!"
"Jangan tanya padaku, karena Joe Johanes sudah pasti akan ikut!" seru Joe dengan mengacungkan kepalan tangan kanannya ke udara, bersikap seolah-olah dirinya sedang melakukan aksi heroik. Dasar memalukan.
"Apa boleh buat, sepertinya aku juga harus ikut," ucap Angela Ribella, si gadis berambut pirang bergelombang, dengan dua tangannya yang sedang terlipat di d**a. "Toh, tidak ada sistem demokrasi di sini, jadi apapun keputusanku, itu tidak penting."
Violetta Beganville, si gadis pemalu berambut ungu yang sekelas denganku, menganggukkan kepalanya dengan sedikit menyunggingkan senyuman kecil saat mataku mulai melirik ke arahnya untuk melihat bagaimana keputusannya pada kasus ini.
"Kupikir akan lebih baik jika dilakukan pemungutan suara, tapi ternyata tidak diperbolehkan, ya," Vino Evonic agak kecewa mendengar sarannya ditolak mentah-mentah olehku barusan. "Tapi tidak masalah, kalau itu diperbolehkanpun, aku akan memilih untuk ikut. Jadi kurasa, sama saja."
Sementara itu, aku melihat Eleanor Romanes sedang cekikikan sendirian di posisinya, lirikan matanya mengarah ke sosok Nicholas Smith yang masih sedang dikuasai oleh amarah. Sepertinya dia sedang menertawakan si perak berkaca mata.
"Eleanor Romanes, berhentilah menertawakannya, itu sudah masuk ke dalam perundungan." Sebastian Emanuel, menegur si gadis berambut merah yang tidak bisa berhenti tertawa sejak tadi.
"Eh? Benarkah? Maaf, aku tidak sadar," timpal Eleanor dengan menahan tawanya, lalu ia kembali memandang ke arah Nicholas Smith. "Jika kau tersinggung, aku minta maaf, ya! Aku tidak membencimu, hanya saja, aku tidak tahan melihat wajahmu yang sedang cemberut, kau sangat lucu dan menggemaskan, tapi di sisi lain kau juga menakutkan, jadi aku tertawa."
"Jangan sok akrab denganku, Jalang." Saat Nicholas Smith merespon demikian, tawa Eleanor Romanes jadi semakin kencang.
"Bagaimana denganmu, Eleanor? Bagaimana pendapatmu soal ini?" tanyaku padanya, penasaran pada keputusan si gadis berambut merah itu yang kelihatannya paling santai dibandingkan anggota-anggotaku yang lain.
"Maaf, Paul, tapi sepertinya aku tidak sependapat denganmu," Aku dan anggota-anggotaku yang lain, terkejut mendengar jawabannya. Aku tidak menyangka Eleanor Romanes berani terang-terangan menentang keputusanku, bahkan dengan sikap yang begitu santai. "Apakah aku sudah terlihat seperti Nicholas Smith sekarang? Ayolah? Aku hanya bercanda, tentu saja aku ikut!"
Sialan. Ternyata dia cuma mempermainkanku.
"Karena sudah bulat, aku akan menjelaskan detail-detail dari kasus tersebut, pertama—"
"Tunggu dulu!" Nicholas Smith kembali berteriak, memotong ucapanku yang hendak menjelaskan lebih lanjut soal kasus yang akan kami tangani. Aku dan yang lain langsung menoleh dan memandanginya, tersentak oleh seruannya. "Aku ingin bertanya satu hal lagi padamu!"
Aku menaikan sebelah alisku, penasaran pada apa yang ingin ditanyakannya. "Silakan." jawabku dengan tegas.
"Kau bilang, tidak ada sistem demokrasi di sini. Lantas, mengapa kau tanyakan satu-persatu pendapat dari anggotamu? Bukankah itu sama saja seperti kau sedang melakukan pemungutan suara?"
Aku menyunggingkan senyuman miring. "Tidak ada demokrasi bukan berarti tidak ada kebebasan berpendapat. Aku tanyakan satu-satu, karena penasaran saja pada keputusan kalian, walau pada akhirnya, terlepas ada perbedaan pendapat, kita tetap bersama-sama menangani kasus tersebut. Kau paham sampai sini, Smith?"
"Itu bodoh," oceh Nicholas Smith dengan menggelengkan kepalanya. "Lalu apa gunanya perdebatan tadi?"
Aku menyeringai. "Oh, itu hanya untuk hiburan saja."
Nicholas Smith was the first to speak out against my decision to take up Olivia's case, I haven't heard and seen any of my other members voice their opinion, but I'm sure it could spark a heated debate here.
"I'm glad to have your critique, Smith," I said to Nicholas Smith, who was still glaring at me. ."It's just that I object, because you can imagine, what it would be like if all the cases we discussed had to be compared first, which ones were worthy and which were not worthy of our handling, ignoring the fact that there are people who really hope for our help in this area. inthose cases.that sounds unfair, you know?"
"But if we are not selective in choosing cases, we will run into big problems, we could be dragged along and end up in jail!" Nicholas Smith is really hot right now, he's screaming so loudly at me. "I don't care about the organization or anything, I only care about our fate in the future if we are careless in choosing cases."
I could see my other members huddled in silence after they watched Nicholas Smith yell at me, until finally one of them got up the courage to join me in my argument with the silver bespectacled.
"I agree with Nicholas' opinion, about the danger if we are not careful in choosing the case, it will be my decision when I think rationally," The voice now is Sebastian Emanuel, the only member of my class with Nicholas Smith in class A. he looks calm and good at managing the situation, a faint smile is always printed on his face when he speaks. "But if I think on a humanitarian basis, I would feel very guilty if I let other people continue to be bullied just because the case was too risky for me to handle."
came the end, a situation where Nicholas Smith was directly opposed by my other members, and it just so happened that he was Sebastian Emanuel, who both belonged to the class of geniuses. To be honest, it gave me chills because I couldn't predict what would happen when two people from class A clashed in front of me.
I saw, Nicholas Smith was getting annoyed at Sebastian Emanuel's presence in this room.
"That's what I wanted to say," I suddenly added and smiled at Sebastian because he had helped convince my other members to be willing to help me with Olivia's case. "I know exactly what the risk is, but what will happen if we decide to ignore the case? What if the girl is physically abused, then begins to develop symptoms of depression, and ends up committing suicide, are we that jerk?"
Sebastian nodded his head, agreeing with me. While Nicholas Smith looked away, displeased and looking so irritated at my opinion.
"I have a suggestion," Vino Evonic, the man with short blue hair who in the previous meeting I had considered an awkward loser, now raised his right hand. "Shall we do a vote?"
"There are no democratic principles here," I answered firmly, which seemed to take all my members by surprise when they heard it. "My organization adheres to the principle of humanity, for me things related to humanity do not deserve to be the object of voting."
"Wowwow! Wow! I love this," Barbara Salvador, the fierce-faced tomboyish girl, slapped her own palms upon hearing my explanation just now. "I love the way you drive this damn organization! Even if your ways are fascist! Authoritarian! And Dictator! But it's all for humanity!he pointed his index finger at me with a big smile. "Now just explain to me all the details of the case! Whatever the case, I'll finish it off until there's nothing left!"
Gradually, my other members began to dare to speak up, showing their own reactions and decisions in responding to the case I presented.
"I'm going to change the world, so I'm going to join the case." Alexander Coldish, the tall, gray-haired, dark-skinned man whose voice was very soft, also decided that he agreed with me.
"Me too! Hihihi!" Cherry Rosemary, the cute little girl also agrees with me. "Hopefully by handling this case, we can also get closer, huh!"
"Don't ask me, because Joe Johanes will definitely come!" cried Joe, holding up his right fist in the air, acting as if he was performing a heroic stunt. Disgraceful.
"What can I do, I think I have to come too," said Angela Ribella, the girl with wavy blonde hair, with her hands folded across her chest. "After all, there's no democratic system here, so whatever my decision is, it doesn't matter."
violetta Beganville, the shy purple-haired girl in my class, nodded her head with a slight smile as my eyes began to dart over to her to see how she decided on this case.
"I thought it would be better if there was a vote, but it's not allowed, huh," Vino Evonic was a bit disappointed to hear his suggestion was rejected by me just now. "But it doesn't matter, even if that's allowed, I'll choose to come along. So I guess, it's the same."
meanwhile, I saw Eleanor Romanes giggling alone in her position, her eyes darting to the figure of Nicholas Smith who was still gripped by anger. He seemed to be laughing at the silver bespectacled.
"Eleanor Romanes, stop laughing at her, it's already getting into bullying." Sebastian Emanuel, reprimanded the red-haired girl who couldn't stop laughing since earlier.
"Eh? Reallysorry, I didn't realize," said Eleanor holding back a laugh, then she looked back at Nicholas Smith. "If you offended me, I'm sorry! I don't hate you, it's just, I can't stand your frowning face, you're so cute and adorable, but on the other hand you're scary too, so I laughed."
"Don't be so familiar with me, Bitch." When Nicholas Smith responded that way, Eleanor Romanes laughed even louder.
"What about you, Eleanor? What do you think about this?" I asked her, curious about the decision of the red-haired girl who seemed to be the most relaxed of my members.
"Sorry, Paul, but I don't think I agree with you," I and the rest of the members, surprised at the answer. I didn't expect Eleanor Romanes to dare to openly oppose my decision, even in such a relaxed manner. "Do I look like Nicholas Smith now? Come on? I'm just kidding, of course I'm going!"
Damn. Turns out he was just toying with me.
"Since it's unanimous, I'll explain the details of the case, first—"
"Wait a minute!" Nicholas Smith shouted again, cutting me off when I was about to explain further about the case we were working on. The others and I immediately turned and looked at him, taken aback by his exclamation. "I want to ask you one more thing!"
I raised an eyebrow, curious as to what he wanted to ask. "Please." I answered firmly.
"You said, there is no democratic system here. So, why are you asking one by one the opinions of your members? Isn't that the same as voting?"
I flashed a crooked smile. "No democracy does not mean there is no freedom of opinion. I ask one by one, just out of curiosity about your decision, even though in the end, regardless of differences of opinion, we still handle the case togetherYou got that far, Smith?"
"That's stupid," said Nicholas Smith, shaking his head. "Then what's the point of that debate?"
I smirked. "Oh, it's just for fun."
Setelah aku selesai menjelaskan soal kasus Olivia pada mereka, aku melihat ada satu orang yang sangat terkejut mendengarnya, terutama saat aku menyebutkan nama lengkap dari siswi yang terlibat dalam bisnis prostitusi itu. Tentu saja yang kubicarakan saat ini adalah Violetta Beganville, satu-satunya anggota organisasi yang sekelas denganku, pastinya dia sangat mengetahui siapa Olivia Memento yang kumaksud. Namun, kelihatannya gadis itu tidak banyak omong dan lebih memilih untuk jadi pendengar sehingga perhatianku lebih fokus ke anggotaku yang lain.
"Hanya segitu saja?" Barbara Salvador, si gadis tomboy berambut oranye pendek, tampak tidak puas setelah mendengar penjelasanku soal kasus tersebut.
Sebagai respon, aku hanya menganggukkan kepala. Bukan hanya Barbara, aku sendiripun belum puas dengan informasi yang kuterima dari Olivia, tapi sayangnya ketua kelasku tidak memberikanku kesempatan lagi untuk mengorek kasusnya sehingga suka tidak suka hanya itu yang bisa kuberikan pada anggota organisasiku.
"Olivia Memento, ya," Sebastian Emanuel tampak seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Kalau tidak salah, dia juga tergabung ke dalam OSIS, aku pernah mendengar namanya di sebut saat rapat, dan melihat sosoknya."
"Ya, benar, dia anggota OSIS," jawabku dengan cepat. "Apakah kau juga anggota OSIS, Emanuel?"
Sebastian tersenyum dan mengangguk. "Ya, aku anggota OSIS, apakah itu tidak masalah?"
Aku menghela napas sejenak. "Tidak masalah selama kau tidak membeberkan informasi-informasi terkait organisasi ini pada komunitas OSIS."
"Itu tidak mungkin, aku bukan tipe orang yang seperti itu."
"Selain Emanuel, apakah ada lagi anggota OSIS di sini?" tanyaku dengan sedikit berseru pada mereka, tapi tidak ada yang menjawab. "Oke, sepertinya tidak ada."
Sebenarnya aku merasa tidak nyaman saat Sebastian Emanuel mengakui bahwa dirinya adalah anggota dari OSIS, karena membayangkan salah satu dari mereka hadir di organisasiku saja, itu cukup membuatku khawatir.
OSIS adalah organisasi yang sangat kuhindari, aku tidak ingin terlibat gesekan apapun dengan mereka, karena itu bisa mempengaruhi organisasiku dan akan sangat rumit jika berhadapan dengan mereka secara langsung. Di sisi lain, aku belum tahu bagaimana sifat asli dari Sebastian Emanuel, karena meskipun dia kelihatan ramah dan tenang, aku tidak bisa menebak arah pemikirannya sama sekali. Dia seperti awan yang bergerak sangat tenang, tapi bisa berubah-ubah bentuk sewaktu-waktu.
Namun, aku mencoba untuk mempercayainya, sekaligus ingin melihat sejauh mana kesetiaan dan pengabdiannya pada organisasiku, karena mau bagaimanapun Sebastian Emanuel masih merupakan anggotaku yang berharga. Lagipula, jika aku memang ingin bersikap curiga, kenapa tidak melakukan itu pada semua anggotaku, agar aku tidak hanya fokus pada satu subjek saja? Sebab, mau anggota OSIS atau bukan, siapapun bisa menjadi pengkhianat di sini.
"Aku ingin bertanya, bolehkah?" Angela Ribella mendadak bersuara, dengan sedikit mengacungkan tangan kanannya. Semua orang langsung memperhatikannya. Aku mengangguk dan dia melanjutkan. "Tadi kau bilang, Olivia Memento juga pernah menerima pesan-pesan ancaman dari anonim di ponselnya, bukan?"
"Ya," Aku merespon pernyataan dari Angela dengan memandang fokus pada sosok gadis berambut pirang yang barusan bertanya padaku. "Memangnya kenapa, Ribella?"
"Jika kau memberikanku bukti nyata dari pesan-pesan itu padaku, aku bisa meretas sistem anonim yang digunakan oleh pelaku dan itu akan membawa kita ke informasi yang lebih lanjut, seperti identitasnya atau di mana lokasi saat dia mengirim pesan-pesan tersebut." Angela Ribella terlihat sangat percaya diri saat mengatakannya, aku bisa melihat kelopak matanya terbuka lebar, menandakan bahwa dia sangat bersemangat dan menantikan momen-momen seperti ini.
"Tunggu," Nicholas Smith menatap tajam ke arah Angela Ribella. "Jangan bilang kau itu—"
Dengan cepat Angela Ribella menyela perkataan Nicholas Smith. "Jangan salah sangka, aku bukan seorang hacker atau semacamnya, aku hanya punya sedikit keahlian dalam meretas sistem. Jangan bandingkan aku dengan para hacker, karena aku tidak ada apa-apanya."
Meskipun gadis pirang itu berkata demikian, tapi semua orang di sini mulai paham bahwa dia memanglah seorang hacker. Aku senang menemukan salah satu anggotaku ada yang ahli di dunia teknologi, kemampuan itu akan sangat bermanfaat untuk organisasi ini jika digunakan dalam menangani kasus-kasus perundungan online.
"Baik, aku akan memberikan beberapa bukti dari pesan-pesan ancaman itu kepadamu jika aku sudah mendapatkannya, Ribella," ucapku pada Angela Ribella yang dibalas anggukan kecil oleh gadis pirang itu. Kemudian, fokusku mulai kembali ke semua anggotaku. "Sekarang, aku ingin kalian juga bersikap seperti Ribella. Aku tahu kalian semua punya potensi, jadi jangan ragu untuk menggunakan kemampuan atau keahlian unik kalian untuk kasus ini. Apapun itu, aku yakin itu bisa sangat membantu."
Tidak terasa, kami sudah melakukan rapat tiga jam penuh, dan itu cukup melelahkan. Belum lagi langit sudah mulai gelap dan gerimis hujan turun begitu saja, membuatku terpaksa harus menutup pertemuan itu dengan cepat. Aku lega karena setidaknya aku telah memberikan tugas penting untuk kami kerjakan bersama, dan aku berharap kami bisa saling membantu dalam menangani kasus Olivia.
Aku sudah membuat grup khusus untuk kami bertukar pikiran di sosial media, sehingga aku tahu bagaimana perkembangan mereka setiap waktu meski kami hanya bisa berkumpul satu hari dalam seminggu. Selain itu, aku juga telah memerintahkan Angela Ribella untuk membuat situs khusus untuk anak-anak sekolah yang mengalami perundungan, agar aku dan organisasiku bisa menolong siapapun yang terkena masalah. Namun, aku syaratkan agar situs itu hanya boleh diaktifan saat kami telah menyelesaikan kasus Olivia.
Sesampainya di rumah, aku langsung membersihkan badanku yang basah kuyup kehujanan dengan mandi air hangat. Ah, itu rasanya sangat nikmat.
Namun, saat aku baru saja memejamkan mata untuk menikmati sensasi hangat dari seluruh tubuhku yang direbahkan di air bak mandi, ponselku yang kuletakkan di pinggir bak, tiba-tiba bergetar. Menahan kejengkelanku, aku terpaksa membuka kembali mataku dan mengangkat telepon. Saat itu aku asal geser saja, tanpa melihat siapa yang menghubungiku.
"Crowder! Crowder! Kau di mana!? Tolong aku!"
Aku terkejut saat mendengar suara ketua kelasku di seberang telepon dan dia terdengar seperti sedang berlari kencang, napasnya bergetar tidak beraturan dan ia juga kedengaran tengah menangis.
"Olivia!? Ada apa!? Kau kenapa!?" Aku langsung berdiri dari bak mandiku dan sangat mengkhawatirkan keadaan gadis itu sekarang.
"Aku sudah ada di persimpangan jalan di depan sekolah! Aku sekarang sedang menuju ke kelas! Aku takut! Tolong aku!"
"Oke! Aku akan ke sana sekarang! 10 menit aku sudah berada di sana!"
Tanpa basa-basi, aku langsung bersiap-siap. Mama dan Mamiku keheranan saat melihatku akan keluar lagi, padahal ini sudah larut dan tidak biasanya aku bepergian di jam seperti ini, tapi aku tidak banyak omong, hanya pamit lalu pergi begitu saja.
"OLIVIA!" Saat sampai di kelas, aku langsung berteriak memanggil namanya, dan aku tidak melihat siapapun di sana. "Olivia! Kau di mana!? OLIVIA!"
Aku bingung sekarang.
"Crowder! Aku di sebelah sini!" Aku mendengar suaranya, dia berada di dalam kelas, dan sedang bersembunyi di bawah meja paling belakang, tepatnya di tempat dudukku sendiri.
Aku menghampirinya dengan cepat. "Olivia! Apa yang terjadi!? Ceritakan!"
"Mereka memburuku, Crowder!" Gadis itu berseru dengan wajah yang dipenuhi air mata, suaranya juga terdengar begitu parau, tidak seperti biasanya. "Mereka... Mereka datang ke rumahku dan mencoret-coret tembok kamarku."
"Apa sekarang mereka masih berada di rumahmu!?"
"Tidak, mereka sudah pergi. Sebenarnya aku tidak tahu kapan mereka datang, aku hanya kaget saat masuk ke dalam kamar dan melihat tembok kamarku sudah dipenuhi dengan coretan. Mereka sudah berani masuk ke dalam rumahku, aku sangat ketakutan sekarang."
Aku menggeram saat mendengarnya. "Itu sudah sangat keterlaluan!"
After I finished explaining Olivia's case to them, I saw that there was one person who was very surprised to hear that, especially when I mentioned the full name of the student involved in the p**********n business. Of course what I'm talking about right now is Violetta Beganville, the only member of the organization in my class, she must know very well who Olivia Memento I mean. however, it seems that the girl doesn't talk much and prefers to be a listener so my attention is more focused on my other members.
"Is that all?" Barbara Salvador, the tomboyish girl with short orange hair, looked dissatisfied after hearing my explanation of the case.
in response, I just nodded my head.not only Barbara, I myself am not satisfied with the information I received from Olivia, but unfortunately my class president didn't give me another chance to pry into the case so like it or not that's all I can give to the members of my organization.
"Olivia Memento, yes," Sebastian Emanuel looked like he was remembering something. "If I'm not mistaken, he is also a member of the student council, I've heard his name mentioned at a meeting, and saw his figure."
"Yeah, right, he's a student council member," I answered quickly. "Are you also a student council member, Emanuel?"
Sebastian smiled and nodded. "Yeah, I'm a student council member, is that okay?"
I sighed for a moment. "It doesn't matter as long as you don't reveal any information about this organization to the student council community."
"That's impossible, I'm not that type of person."
"Besides Emanuel, are there any more student council members here?" I asked them with a little exclamation, but no one answered. "Okay, apparently nothing."
actually I feel uncomfortable when Sebastian Emanuel admits that he is a member of the student council, because just imagining one of them present in my organization is enough to worry me.
The student council is an organization that I really avoid, I don't want to get into any friction with them, because it could affect my organization and it would be very complicated to deal with them directly. on the other hand, I don't yet know what Sebastian Emanuel's true nature is, because even though he seems friendly and calm, I can't guess the direction of his thoughts at all. He is like a cloud that moves very quietly, but can change shape at any time.
however, I try to believe in him, and at the same time want to see the extent of his loyalty and devotion to my organization, because after all Sebastian Emanuel is still a valuable member of mine. After all, if I really want to be suspicious, why not do that to all my members, so I don't just focus on one subject? Because, whether you are a student council member or not, anyone can be a traitor here.
"I want to ask, may I?" Angela Ribella suddenly spoke up, slightly raising her right hand. Everyone immediately noticed him. I nodded and he continued. "You said that Olivia Memento had also received anonymous threatening messages on her cell phone, right?"
"Yes," I responded to Angela's statement by looking focused on the figure of the blonde girl who just asked me. "What's wrong, Ribella?"
"If you give me concrete evidence of those messages to me, I can hack into the anonymous system used by the perpetrator and that will lead us to more information, such as his identity or where he was when he sent the messages." angela Ribella looks very confident when she says it, I can see her eyelids are wide open, indicating that she is very excited and looking forward to moments like this.
"Wait," Nicholas Smith glared at Angela Ribella. "Don't tell me you—"
Angela Ribella quickly interrupted Nicholas Smith's words. "Don't get me wrong, I'm not a hacker or anything like that, I have very little expertise in hacking systems. Don't compare me to hackers, because I'm nothing."
even though the blonde girl said that, but everyone here began to understand that she was indeed a hacker. I'm glad to find that one of my members is an expert in the world of technology, that ability will be very useful for this organization if it is used in dealing with online bullying cases.
"Fine, I'll give you some evidence of those threatening messages if I get them, Ribella," I said to Angela Ribella which the blonde girl gave a small nod. Then, my focus started to return to all my members. "Now, I want you to act like Ribella too. I know you all have potential, so feel free to use your unique abilities or skills for this case. Whatever it is, I'm sure it can be of great help."
I can't believe we've had a full three-hour meeting, and it's quite tiring. Not to mention that the sky was getting dark and a drizzle of rain just fell, forcing me to close the meeting quickly. I'm relieved that at least I've given us an important task to work on together, and I hope we can help each other with Olivia's case.
I've created a special group for us to share ideas on social media, so I know how they're doing all the time even though we can only get together one day a week. In addition, I have also ordered Angela Ribella to create a special website for schoolchildren who are being bullied, so that my organization and I can help anyone who is in trouble. however, I require that the site should only be activated once we have completed Olivia's case.
Arriving at home, I immediately cleaned my body that was drenched in the rain with a warm shower. Ah, that tastes so good.
However, when I just closed my eyes to enjoy the warm sensation of my whole body laying in the bathtub water, my cell phone, which I placed on the edge of the tub, suddenly vibrated. Holding back my irritation, I had to open my eyes again and pick up the phone. at that time I just slide, without seeing who contacted me.
"Crowder! Crowder! Where are you!? Help me!"
I was surprised when I heard my class president's voice on the other end of the phone and he sounded like he was running fast, his breathing was shaking irregularly and he also sounded like he was crying.
"Olivia!? What's wrong!? What are you doing!?" I immediately stood up from my bath and was very worried about the girl's condition now.
"I'm already at a crossroads in front of the school! I'm on my way to class now! I'm scared! Help me!"
"Okay! I'll be there now! 10 minutes I've been there!"
Without further ado, I immediately got ready. Mama and Mami were surprised when they saw I was going out again, even though it was late and I don't usually travel at this hour, but I didn't say much, just said goodbye and just left.
"OLIVIA!" when I got to class, I immediately shouted his name, and I didn't see anyone there. "Olivia! Where are you!? OLIVIA!"
I'm confused now.
"Crowder! I'm over here!" I heard his voice, he was in the classroom, and was hiding under the last table, in my own seat.
I approached him quickly. "Olivia! What happened!? Tell me!"
"They're after me, Crowder!" the girl exclaimed with a face filled with tears, her voice also sounded so hoarse, unlike usual. "They... They came to my house and scribbled on my bedroom wall."
"Are they still at your house now!?"
"No, they're goneactually I don't know when they came, I was just shocked when I entered the room and saw that the walls of my room were filled with graffiti. They have dared to enter my house, I am very scared now."
I growled when I heard it. "That's too much!"