BAB 17

3732 Words
Hening seketika. Suasana di sekitar gondola jadi sepi setelah Raiga berteriak sebegitu kencangnya dengan memanggil nama Abbas, suaranya sampai memantul-mantul di cakrawala layaknya burung elang yang mengeak-ngeak di langit. Namun, yang membuat semua orang hening bukanlah suara unik Raiga yang nyaring, melainkan alasan dibalik gadis tomboi itu yang mendadak bersedia menggantikan peran Cherry yang diharuskan berteriak oleh Nico. Raiga yang mereka kenal tidak mungkin mau menuruti perintah Nico apalagi dititah untuk berteriak-teriak begitu, sudah dipastikan gadis tomboi berambut oranye itu bakal menolaknya mentah-mentah. Tapi apa ini? Tiba-tiba saja dia mau melakukannya dengan sukarela, itu membuat semua teman-teman sesama pahlawannya jadi kaget dan terheran-heran. Menghela napasnya, Raiga berdehem-dehem sehabis meneriakkan nama Abbas. Namun dia merasakan tatapan-tatapan tajam mengarah pada dirinya, dan itu berasal dari sorot mata teman-temannya. Cepat-cepat Raiga sadar dan memutar lehernya ke belakang untuk melihat wajah-wajah dari mereka. “Apa yang kalian lihat dariku, Para b******n!” Secara kompak mereka menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menyunggingkan senyuman tipis. “Terima kasih atas kontribusimu, kau sangat membantu,” kata Nico dengan memandangi wajah Raiga. “Sekarang, kita hanya perlu menunggu apakah suaramu terdengar atau tidak pada telinga Abbas.” “Jika tidak, aku akan berteriak lagi, bahkan lebih membahana dari yang pertama!” “Tidak perlu, dia pasti mendengarnya walau samar-samar, karena menurut pengamatanku, wilayah lautan mati tidak seluas yang kita kira, jangkauannya hanya sekitar 500 meter, setelah itu kita bakal berada di permukaan laut yang normal.” timpal Nico meminta Lizzie untuk tidak berteriak-teriak lagi karena sejujurnya itu menyakitkan telinganya. “Baiklah, tapi mau sampai kapan kita diam dan menunggu? Sedangkan gondola kita sudah terseret lebih dekat ke area angin p****g beliung,” Baru saja Lizzie mengungkapkannya, mereka semua tersadar kalau tekanan anginnya jadi semakin besar, bahkan rambut panjang Koko dan Isabella sedari tadi berkibar-kibar seperti sebuah bendera. “Sambil menunggu datangnya Abbas, kita harus melakukan sesuatu untuk berjuang sama-sama di sini!” Paham pada yang diucapkan Lizzie, mereka semua—kecuali Isabella—secara serentak kembali ke posisi jongkoknya masing-masing di tepian gondola, dan mulai mendayung-dayungkan tangannya ke permukaan laut mati yang sangat dingin. Melihat mereka bergerak bersama membuat Isabella tidak begitu mengerti apa yang harus dilakukannya, apakah dia juga harus ikut membantu mendayung atau apa? “Di mana aku harus mendayung? Aku merasa tepian di samping kiri dan kanan gondola penuh oleh kalian, apakah aku harus mendayungnya dari area belakang?” tanya Isabella dengan mengibaskan rambut merah panjangnya yang sempat menutupi mukanya karena terkena hembusan angin kencang. “Kau tidak perlu ikut mendayung! Jagalah di situ untuk mengamati kemunculan Abbas, jika kau melihatnya, katakan pada kami berada di mana dia!” seru Lizzie sambil mengayun-ayunkan tangan kanannya ke air laut. Lega karena tidak perlu bersusah-payah mendayung gondola ini bersama mereka, Isabella senang karena tugasnya tidak memerlukan tenaga ekstra. “Baiklah, aku akan berdiri terus di sini untuk memeriksa keadaan sekitar gondola. Semoga mataku ini bisa berguna di situasi seperti ini.” Akhirnya Isabella mulai memicingkan matanya, mengawasi baik-baik, memfokuskan penglihatannya ke segala arah demi mencari sosok Abbas yang sedang berenang. Langit sudah gelap, malam telah tiba. Bintang-bintang bertaburan banyak sekali di atas langit yang hitam, ada bulan sabit juga yang menggantung di sana. Tapi gondola yang mereka tempati tidak bisa melihat pemandangan itu karena angin yang sangat ribut membuat mereka tidak punya waktu untuk memandanginya. Beberapa menit berjuang, tampaknya mereka berhasil membawa gondola itu menjauhi area p****g beliung yang ganas itu, hembusan anginnya pun sudah tidak seribut sebelumnya di daerah sini, tapi sepertinya kegagalan sedang dirasakan oleh Isabella karena dia dari tadi tidak melihat sosok Abbas di mana pun. “Syukurlah kita bisa menghindari angin corong itu!”pekik Colin yang mukanya memucat dari semenit yang lalu. “Jika kita tidak bisa menghindarinya, kita semua bisa mati di atas gondola dan jadi potongan mayat yang beterbangan di dalam angin corong itu! Membayangkannya saja aku tidak kuat!” “Sekarang, bagaimana denganmu, Isabella?” tanya Nico dengan napas yang terengah-engah setelah mendayung sekuat tenaga dengan tubuh kurus dan lemahnya itu, keringat membanjiri seluruh badannya hingga bajunya jadi basah kuyup oleh bulir-bulir peluhnya. “Apa kau menemukan sesuatu?” Semua orang yang ada di sana pun sama letihnya seperti Nico, dan sekarang perhatian mereka sedang difokuskan pada sosok Isabella yang berdiri sendirian di tengah gondola, berharap perempuan berambut merah panjang itu melihat sesuatu yang bisa dijadikan sebagai petunjuk. Sayangnya, Isabella menggelengkan kepalanya, yang artinya dia tidak melihat apa pun selain pemandangan laut yang gelap dan sepi, hasilnya nihil dan membuat harapan mereka semua jadi pupus, mereka agak kecewa dengan hasil tersebut. Andaikan saja Isabella menemukan sesuatu, mungkin rasa lelah mereka bisa hilang dan kembali semangat untuk mendayung, tapi kenyataannya tidak begitu, dan akhirnya mereka jadi sedikit malas dalam mendayung gondolanya lagi. “Begitu, ya,” Nico merenung dalam sesaat setelah Isabella menggelengkan kepalanya. “Sudah kuduga ini tidak akan mudah, karena itulah kita harus terus berusaha agar bisa menemukan Abbas dan bisa sampai di Pulau Gladiol bersama-sama." Menganggukkan kepalanya secara serentak, teman-teman sesama pahlawannya terenyuh mendengar perkataan Nico yang terkesan optimis dan penuh energi positif. “Kalau begitu ayo kita berusaha lagi dan lagi! Kali ini kita harus bisa mendapatkan hasil yang bagus! Kau juga harus berusaha semaksimal mungkin, Isabella! Kau bersedia!?” teriak Victor dengan menampilkan wajahnya yang sangat membara, matanya berkilat-kilat, hidungnya kembang-kempis, bibirnya menyunggingkan senyuman yang lebar, dan dua tangannya diacungkan ke atas dengan terkepal kuat. Victor berdiri dengan gagahnya, seperti seorang panglima perang yang menyemangati prajurit-prajuritnya dengan pidato yang menggetarkan suasana, membuat satu-persatu dari teman-temannya menganggukkan kepala, setuju terhadap omongannya dan mulai kembali ke posisinya masing-masing dengan sempurna untuk kembali mendayung lebih kuat lagi. Tersenyum, Isabella pun mendapatkan dorongan semangat dari ucapan Victor dan ia pun kali ini ingin lebih serius dalam menjalani tugasnya sebagai pengawas lautan agar bisa menemukan Abbas atau sesuatu yang lain, semoga di kesempatan yang kedua ini perannya bisa berguna untuk teman-temannya. Bergegas ikut mendayung, Victor segera kembali jongkok dan langsung mendayung dengan berteriak kencang, menyebarkan atmosfir seorang pejuang kepada teman-temannya. Bahkan Naomi, Nico, Cherry, dan Koko mampu mengayunkan lengan mereka lebih cepat dari sebelum-sebelumnya membuat mereka jadi mendapatkan kemajuan. Begitu pula dengan Lizzie, Jeddy, dan Colin yang tampak lebih beringas dalam mendayung gondola dari biasanya. Kesembilan pahlawan bimbingan Paul saat ini terlihat begitu panas dan menggila karena tidak bisa mengontrol semangatnya yang membara-bara seperti kobaran api yang melalap segalanya. “AKU MENEMUKANNYA!” Tiba-tiba Isabella menjerit dari posisinya ketika gondola masih sedang bergerak kencang didorong oleh ayunan tangan teman-temannya, membuat masing-masing dari kawan sesama pahlawannya mendelikkan matanya ke arah perempuan berambut merah panjang itu. “Bisakah kalian mengarahkan gondolanya ke tenggara, aku tadi melihatnya sedang berenang di sebelah sana! Tolong, cepatlah!” Mendengar perintah dari Isabella, Lizzie langsung mengangguk dan meraung, “BELOKKAN GONDOLANYA SEDIKIT KE KANAN!” Mematuhi teriakan Lizzie, satu-persatu dari teman-temannya berusaha sekuat mungkin untuk membelokkan gondolanya dengan mendayung miring, setelah berhasil, dengan gesit mereka langsung mendorong gondola itu untuk maju secepat mungkin. Tercekat, Isabella kecewa karena fokusnya jadi terganggu saat kabut tebal berwarna putih tiba-tiba muncul dan menutupi pemandangannya. Ini gawat! Padahal tinggal sedikit lagi mereka dekat dengan sosok yang diduga Abbas, tapi malah ada kabut yang mengganggu. Isabella jadi sedikit resah untuk melanjutkan perannya sebagai pengawas, sebab tugasnya dihalangi oleh fenomena alam. “Maaf, tampaknya ada kabut yang menghalangi kita jauh di depan, aku jadi tidak bisa memastikan di mana posisi Abbas sekarang!” seru Isabella dengan nada yang melengking. “Sekarang kita harus bagaimana?” “TERUS MAJU!” Tidak peduli pada omongan Isabella, Lizzie memerintahkan teman-temannya untuk terus mendorong gondola ke depan. “JIKA ADA YANG MENGHALANGI, MAKA TEROBOSLAH!” Tersentak, Isabella terkikik-kikik mendengar suara Lizzie yang menggelora, membuat kawan-kawannya yang lain menuruti seruan gadis tomboi berambut oranye pendek itu. “Ya ampun, semangat sekali kalian ini, ya,” Isabella menggeleng-gelengkan kepalanya sembari melipat dua tangannya di depan d**a. “Aku jadi terangsang melihat perjuangan kalian.” Menembus kabut tebal, gondola yang mereka dayung berhasil keluar dari asap putih yang mengganggu putih itu dan di situlah akhirnya Isabella terbelalak karena ternyata, “BERHENTI!” Buru-buru Isabella menjerit histeris kepada teman-temannya meminta mereka untuk berhenti mendayung, tapi sayangnya teriakan perempuan bertubuh seksi itu tidak didengar oleh mereka sehingga gondola masih terus melaju kencang di permukaan laut. “HEY! BERHENTILAH!” “Jangan bodoh! Jika kita berhenti di sini, kita akan terjebak terus-terusan di laut! TERUS DAYUNG DAN MAJU!” pekik Lizzie tidak mempedulikan lengkingan-lengkingan Isabella yang menyuruh mereka untuk berhenti. “Memangnya ada apa sampai kau meminta kami berhenti, Isabella?” tanya Victor dengan mengernyitkan alisnya, tanpa menghentikkan tangannya untuk mendayung. Begitu pula dengan teman-temannya yang lain, mereka semua tidak berhenti mendayung tapi penasaran pada alasan Isabella meminta mereka untuk berhenti. “Apa yang kau lihat dari sana, Isabella?” Colin benar-benar heran. “Jangan bilang Isabella melihat gurita raksasa!? Cherry takut sekali dengan makhluk itu!” “Saya rasa sesuatu yang lebih mengerikan dari itu.” Sahut Naomi, sengaja menakut-nakuti Cherry sehingga muka gadis mungil berambut merah muda itu jadi sangat pucat saking takutnya. “Tidak apa-apa, kau bisa mengatakannya pada kami, Isabella.” lirih Koko dengan suara dan nadanya yang begitu halus dan lembut. “Bilang saja pada kami apa yang kau temukan, Bro!” seru Jeddy dengan menganggukkan kepalanya, setuju pada omongan Koko. “Cepat jelaskan saja pada kami.” tutur Nico dengan santai. “Kita akan menabrak sesuatu yang besar dari sebuah tempat asing,” kata Isabella dengan menghela napasnya. “Mari kita hitung sampai tiga,” Menggeleng-gelengkan kepalanya, Isabella mencoba menghitungnya dengan santai. “Satu…,” Muka Colin dan Cherry panik saat Isabella mulai menghitung, mereka berdua langsung menarik satu tangannya masing-masing yang digunakan untuk mendayung. “Dua…,” Naomi dan Victor jadi saling memandang dalam bingung. “Tiga…” Jeddy, Lizzie, Nico, dan Koko terkejut saat air yang dilalui gondola jadi semakin surut, kemudian, BRAK! Gondola mereka menghantam sebuah bongkahan batu yang cukup besar dan telah keluar dari lautan yang luas, mendarat di tepi pantai dari pulau asing di malam yang hening dan gelap. Desiran ombak terdengar. Keheningan malam yang dihiasi dengan suara serangga yang berderik di pepohonan turut menyempurnakan rasa kaget sembilan pahlawan bimbingannya Paul ketika gondola yang mereka tumpangi rusak pada bagian moncongnya karena menabrak sebongkah batu yang besar dan tinggi di sebuah pulau asing yang belum pernah mereka kunjungi. “Semuanya turun!” seru Joe menyuruh teman-temannya untuk turun dari gondola setelah dirinya mendarat di permukaan pasir pantai yang lembut. Serentak, mereka semua segera meloncat dan turun dari atas gondola untuk mendarat secara langsung di pulau asing itu, sesudahnya sembilan orang itu terkejut saat melihat bagian depan gondolanya hancur lebur menghantam badan dari sebuah batu yang cukup besar dan kokoh. Angin sepoi-sepoi mengusap rambut dan kulit mereka, kini untuk pertama kalinya akhirnya mereka berhasil mendarat di sebuah pulau, entah pulau apa itu, apakah Pulau Gladiol atau bukan, tapi yang jelas mereka bersyukur karena akhirnya bisa kembali menapaki daratan. Laila saja kegirangan karena kakinya sudah bisa digunakan untuk berlarian lagi, mengingat sebelumnya dia hanya bisa duduk diam di atas gondola dengan ditemani oleh lautan yang sangat luas. “Rusak parah!” pekik Victoria saat gadis mungil itu memeriksa ke bagian depan gondola, ia pun menoleh ke teman-temannya yang sedang berdiri memandangi pulau asing ini. “Sepertinya kita sudah tidak bisa menggunakan gondola ini, rusaknya terlalu parah! Victoria pikir sebaiknya kita buat gondola yang baru saja! Bagaimana menurut kalian? Hihihihi!” Menggelengkan kepalanya, Emilia menjawab dengan nada yang datar, “Tidak perlu, kita tidak perlu membuat kendaraan air seperti ini lagi,” Semua temannya terkejut saat Emilia berkata demikian, Joe saja sampai menggeram mendengarnya. “Lebih baik kita istirahat dulu di sini, aku akan mencari lokasi yang cocok untuk dijadikan tempat kita tidur, kalian juga carilah sesuatu, entah itu makanan atau sejenisnya agar besok kita bisa melanjutkan perjalanan.” “Melanjutkan perjalanan?” Colin menaikan dua alisnya secara bersamaan. “Bukankah kita sudah sampai di tempat tujuan? Ini Pulau Gladiol, kan?” “Ya! Bukankah ini Pulau Gladiol, Bro!?” ungkap Jeddy, menganggukkan kepalanya seraya terheran-heran pada perkataan Nico. “Memangnya kita mau ke mana lagi, Bro? Lagipula kita sudah sampai, kan?” “Kalian yakin?” Kini Nico mengernyitkan alisnya dengan memicingkan matanya. “Jangan mengklaim suatu hal tanpa didasari fakta, kita tidak bisa menganggap ini adalah Pulau Gladiol karena kita belum tahu apa-apa tentang pulau ini.” “Kurasa ini memanglah Pulau Gladiol,” Koko ikut bersuara, mengemukakan pendapatnya dengan hati-hati. “Karena sebelumnya… aku merasakan bentuk pulau ini sama persis seperti Pulau Gladiol yang kita lihat dari tengah laut, tapi… sebaiknya kita periksa saja dulu sama-sama, karena kemungkinannya 50:50.” “Koko benar,” timpal Victor, sependapat dengan lelaki cantik berambut ungu panjang itu, dengan melontarkan pemikirannya senyaring mungkin pada teman-temannya yang lain. “Tidak ada yang tahu apakah ini Pulau Gladiol atau bukan, satu-satunya cara untuk membuktikan itu hanya dengan memeriksanya sendiri ke dalam, aku benar, kan?” “Saya setuju,” Naomi juga sepemikiran dengan Koko dan Victor, gadis berkerudung kuning itu mulai mengungkapkan pandangannya menggunakan bahasa yang sopan dan tertata. “Saya pikir ada kemungkinan ini adalah Pulau Gladiol, jadi mari kita sama-sama meninjau pulau ini agar mendapatkan jawaban yang benar." Menghembuskan napasnya dengan letih, Lizzie menggelengkan kepalanya. “b******n seperti kalian ini tidak punya rasa lelah apa? Kita baru saja mendayung gondola ini sekuat tenaga, dan sekarang kalian malah ingin memeriksa pulau sebesar ini?” Lizzie mendengus sebal dengan jengkel. “Ternyata benar apa kata pepatah, orang t***l biasanya lebih punya tenaga ekstra dibanding orang normal. Periksa saja pulau ini silahkan! Aku lebih baik cari tempat tidur!” “Hey, Lizzie, bisakah kau diam dulu di sini?” Tiba-tiba Isabella bersuara, membuat Lizzie yang hendak melangkah pergi jadi terhenti dan menoleh ke perempuan bertubuh seksi itu, begitu pula dengan rekan-rekannya yang lain, yang sama-sama penasaran pada maksud dari perempuan mantan p*****r tersebut. “Aku merasakan kehadiran seseorang di dekat kita, jadi tolong tetaplah di sini, Lizzie.” “Kehadiran seseorang? Apakah dia adalah salah satu penghuni pulau ini yang terusik dengan kedatangan kita dan bakal menyerang pendatang baru yang dianggap sebagai penyusup!? B-Bukankah itu gawat!?” Tanpa disadari, muka Colin jadi sangat pucat saking ketakutannya, dia mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk dari yang Isabella ucapkan. “Bagaimana kalau nanti kita dijadikan makan malam oleh mereka!? I-Ini mengerikan! Kita harus lari dari pulau ini! Situasinya sangat berbahaya!” “Tenanglah, Colin,” kata Nico dengan berjalan mendekat ke lelaki berambut biru sembari mengusap-usap bahu dari kekasih hatinya itu. “Jangan takut. Kita bisa melaluinya bersama-sama.” “J-Jangan takut kau bilang!?” Bahkan Colin menentang ucapan Nico dengan membalikkan badannya dan meremas pundak si lelaki berkaca mata berambut putih itu, dan mulai mencecarnya dengan ucapan-ucapan penuh rasa ngeri. “Maaf Nico, aku mengerti kau ini sangat cerdas dan jenius, tapi tolong jangan terlalu santai di situasi begini, kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi di sini, lebih baik kita memikirkan kemungkinan terburuknya dari pada—“ “BERISIK KAU, b******n!” Tak tahan mendengar pekikan-pekikan dari Colin, Lizzie akhirnya berteriak dengan sangat kencang, membuat beberapa burung jadi beterbangan dari pepohonan. “Tutup mulutmu atau kurobek bibirmu!” “Hiiiiiiiii! A-Ancamanmu terlalu berlebihan! Lizzie!” Colin segera berlindung ke punggung Nico saat Lizzie meneriakinya seraya mengumpati gadis tomboi itu. “Dari sikapnya saja, aku yakin dia pasti bakal tewas lebih dulu jika ada monster yang menghuni pulau ini!” “Ayolah, Colin, tenanglah.” lirih Nico dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian Nico pun memandang ke sosok Isabella dan bertanya, “Jadi bagaimana? Apakah benar ada seseorang selain kita di pulau ini?” “Ya, dan dia sedang berdiri di puncak batu yang ada di depan kita.” Jawab Isabella dengan mengacungkan telunjuk tangan kananya ke area yang diucapkannya. Mengikuti arah telunjuk dari Isabella, mereka semua terkejut karena sosok yang tersiram sinar rembulan di malam hari yang gelap ini adalah seorang laki-laki kekar bertelanjang d**a, yang hanya mengenakan celana pendek saja, sedang berdiri gagah memandangi sembilan pahlawan yang baru mendarat di pulau ini. Sosok itu tidak melakukan pergerakan apa pun, hanya berdiri dan memandangi mereka, seakan-akan seperti petugas keamanan yang sedang mengawasi gerak-gerik dari para penyusup. “Siapa laki-laki itu?” tanya Victor dengan membulatkan bola matanya. “Tunggu, kalau dilihat baik-baik, bukankah dia mirip seperti—“ Perkataan Nico terpotong saat Colin tiba-tiba berteriak di belakangnya dengan ikut mengulurkan jari telunjuknya. “ITU ABBAS!” pekik Colin dengan napas yang terengah-engah, meyakinkan teman-temannya untuk percaya pada omongannya. “TIDAK SALAH LAGI! ITU ABBAS!” “Abbas!?” Jeddy menoleh pada Colin dan terkejut, ia pun kembali memalingkan pandangannya untuk melihat baik-baik sosok tersebut. “Eh? Tunggu, sepertinya memang benar!” Cherry ikut girang dan gembira, ia sampai meloncat-loncat saking senangnya karena telah menemukan sosok yang sangat dirindukannya. “Cherry tidak salah lihat! Itu Abbas! Itu Abbas!” “Benarkah?” Meski sudah diperiksa baik-baik dengan penglihatannya, Naomi merasa sosok itu tidak ada kemiripannya dengan Abbas. “Mungkin kalian salah mengira.” “Tidak! Dia memang Abbas!” tukas Lizzie dengan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar, membuat Naomi terkaget dan merenungi ucapan dari gadis tomboi itu. “OOOOOOOOOOOOI! TURUNLAH KAU DARI SANA, b******n!” panggil Lizzie dengan berseru-seru seperti serigala di malam hari. Tiba-tiba, sosok laki-laki kekar itu dengan santainya melompat dari puncak batu yang besar itu dan mendarat dengan sempurna di depan para pahlawan bimbingan Paul, menunjukkan rupa aslinya yang terlihat jelas di mata mereka semua. Ternyata memang benar, laki-laki asing itu adalah Abbas, ia menyunggingkan senyuman tipisnya pada teman-temannya. “Aku senang kalian bisa sampai di pulau ini,” ucap Abbas dengan suara baritonenya yang ngebass dan gagah. “Kalian memang anak-anak yang baik.” “ABBAAAAAAAAAAAAAS!” Cherry, Colin, Jeddy, Victor, dan Naomi menjerit histeris dan berlarian mendekati lelaki kekar berwajah datar itu, sementara Nico, Lizzie, Koko, dan Isabella hanya tersenyum senang melihat kembalinya Abbas di kelompok mereka. “Maafkan aku karena telah meninggalkan kalian di tengah laut,” kata Abbas dengan mengusap-usap kepala Cherry, Colin, Jeddy, Victor, dan Naomi dengan lembut, seperti seorang ayah yang sedang berbicara pada anak-anak kesayangannya. “Mulai sekarang, aku akan menjaga kalian.” Terharu dengan omongan Abbas, Cherry dan Colin menangis tersengguk-sengguk dan langsung memeluk tubuh si lelaki kekar berambut abu-abu itu, sementara Naomi, Jeddy, dan Victor hanya tertawa renyah melihat tingkah dua orang itu yang manja sekali pada Abbas. “Baiklah, baiklah,” Nico mendadak ikut mendatangi Abbas, namun dia tidak seperti beberapa temannya yang lain, yang menyambut lelaki berambut abu-abu itu dengan perasaan yang berlebihan, melainkan ingin menginterogasi soal dibalik alasan mengapa orang itu sempat terjun ke laut dan meninggalkan gondola. “Sepertinya sudah cukup sesi reuni penuh tangisnya, sekarang biarkan aku menanyakan beberapa hal pada orang ini, jadi tolong mundurlah sedikit.” Colin dan Cherry mematuhi ucapan Nico dan melepas pelukannya masing-masing di badan Abbas dan segera menjauhi lelaki kekar itu untuk diinterogasi oleh si pahlawan berkaca mata. “Hai Nico,” sapa Abbas ketika melihat Nico mendatanginya dengan kaca matanya yang berkilat-kilat terkena sinar bulan. “Aku senang kau juga baik-baik saja.” Saat Abbas hendak mendaratkan salah satu tangannya untuk mengusap-usap rambut putih Nico, lelaki berkaca mata itu langsung menepis tangan si lelaki kekar dan mulai bersuara. “Jangan menyentuh kepalaku dan jawablah pertanyaanku,” sambar Nico dengan tatapan mata yang tajam dan nada yang sangat dingin, membuat Abbas terpaksa menarik kembali lengan kanannya dan mengangguk. “Jelaskan pada kami alasan, tujuan, dan hasil dari terjunnya kau ke laut? Tolong paparkan sejelas mungkin agar kami bisa mengerti dan memaafkan tindakan cerobohmu itu.” Mengatur napasnya sebisa mungkin, Abbas mulai memberanikan diri untuk mengungkapan dasar dibalik dirinya yang tiba-tiba terjun ke laut pada teman-temannya. “Aku tidak punya alasan apa pun,” Sontak, mendengar itu membuat Nico dan yang lain terkesiap dengan jawaban Abbas yang terkesan polos dan apa adanya. “Aku cuma ingin menyelidiki sesuatu yang menggangguku.” “Lantas, sesuatu apa yang mengganggumu?” “Entahlah.” ucap Abbas dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kesal pada cara Abbas yang tidak transparan dalam menjelaskan alasannya, membuat Nico pasrah dan mulai menyerah untuk menginterogasi orang pendiam itu. “Oke, terserahlah, aku tidak peduli,” lontar Nico dengan memijit-mijit keningnya. “Tapi jangan mengulanginya lagi. Kau membuat kami semua khawatir. Oh, ya. Apakah tubuhmu baik-baik saja? Kau tidak menelan sedikit pun air laut mati, kan?” “Aku menelannya, lumayan banyak, saat aku berenang,” jawab Abbas dengan suaranya yang hangat. “Tapi aku baik-baik saja. Terima kasih telah bertanya, Nico.” “EEEEEEEEEEEEEH!?” Lagi-lagi, Colin, Cherry, Victor, Jeddy, dan Naomi menjerit histeris secara bersamaan saat mendengar jawaban dari Abbas. “B-BUKANKAH DIA BAKAL MATI!?” tanya Colin dengan wajahnya yang pucat pasi. “MUNTAHKAN! AYO MUNTAHKAN SEMUA AIRNYA, ABBAS!” Cherry memekik-mekik sambil menggoyang-goyangkan badan Abbas dengan kencang. “AKU TIDAK MAU MELIHAT KAWANKU MATI DI SINI, BRO!” Jeddy jatuh terduduk dengan memukul-mukul pasir pantai dengan kesal, hingga serbukan pasirnya melebur kemana-mana. “Uhuk! Uhuk!” Koko terbatuk-batuk saat hidungnya kemasukan pasir yang beterbangan. Melihat semua temannya tampak panik membuat Abbas hanya memiringkan kepala dan kebingungan. “Aku baik-baik saja, kalian tidak perlu cemas,” kata Abbas dengan terheran-heran. “Soalnya aku sudah bukan lagi manusia normal,” Tiba-tiba semuanya jadi mematung saat Abbas berkata demikian. “Aku merasa ada sesuatu yang di tanamkan di dalam tubuhku, dan rasanya seperti sebuah mesin. Bahkan sekarang, dengan mataku, aku bisa melihat diri kalian dengan jelas, sampai menembus ke bagian organ-organ tubuh kalian.” Terkejut, Isabella hampir tersedak air ludahnya sendiri. “Apa-apaan itu?” “Mungkin,” ucap Abbas dengan mengingat-ingat sesuatu yang berhubungan dengan tubuhnya yang jadi berubah. “Saat aku disembuhkan dan dirawat oleh orang itu, dia juga sempat mengacak-acak tubuhku, dan sepertinya menanamkan mesin kecil ke dalam tubuhku.” “Hah?” Lizzie menaikan sebelah alisnya, bertanya-tanya pada kebenaran dari yang dikatakan oleh Abbas. “Siapa orang yang kau maksud?” “Kalau tidak salah, dia bisa mengendalikan robot raksasa,” Abbas memejamkan matanya sejenak, lalu kembali membuka matanya lebar-lebar saat ingatannya berhasil mengingat nama dari orang tersebut. “Tommy Rigmagog, itulah namanya.” “Tommy…” Naomi tercekat mendengarnya. “… Rigmagog?” Isabella mengernyitkan alisnya, merasa asing pada nama tersebut. “Siapa itu Tommy Rigmagog?” Victor ikut bingung dengan pembicaraan itu. “Di mana kau bertemu dengan Tommy Rigmagog?” Ingin mendengar lebih lanjut soal orang asing itu, Nico kembali bertanya dengan menatap serius pada Abbas. “Di Sablo, ketika aku, Lizzie, dan Paul mencari Naomi yang menghilang.” Namanya disebut, Naomi dan Lizzie saling memandang dan tersentak. “Eh?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD