Pagi itu, burung-burung bercicit-cicit ria di pepohonan, mendendangkan beberapa alunan lagu yang cukup merdu dan sedap didengar, melengkapi keindahan Pulau Gladiol yang sangat indah dan menakjubkan.
Matahari sudah sedikit naik, teriknya sedikit demi sedikit menyengat kulit, tapi panasnya sama sekali tidak membuat sepuluh orang itu—yang kini sedang berkumpul di atap dari sebuah istana—menyerah, mereka terlihat bersemangat dan menggebu-gebu meskipun beberapa diantaranya sudah mulai sebal dan bosan karena terlalu lama dibuat menunggu.
Sosok yang mereka tunggu sebenarnya tidak begitu jelas, karena sebelum mereka datang ke atap, mereka hanya diperintah oleh Sang Mentor untuk berkumpul di sana, menunggu kedatangan seseorang yang cukup penting.
Menuruti perintah Sang Mentor, mereka bersama-sama naik ke atap istana dan berusaha menunggu, tapi lama-lama mereka jadi jenuh karena orang yang akan datang menemui mereka tak kunjung tiba.
Alhasil, bukannya menunggu dengan tertib, mereka bersepuluh malah bersenang-senang di sana, mengobrol ria, saling mengusili, berteriak-teriak, b******u mesra, bahkan bertengkar hebat.
Akhirnya sepuluh orang itu tampak berisik dan sibuk dengan urusannya masing-masing, hingga pada suatu ketika, mereka dikejutkan dengan kemunculan dari anak kecil laki-laki yang imut dan berpipi tembam, anak itu berjalan di depan Paul dan Roswel, tampak seperti seorang bos yang diikuti oleh bawahan-bawahannya.
Tentu saja, melihat kedatangan anak itu membuat sepuluh pahlawan terkejut dan saling memandang heran, tidak mengerti mengapa Paul dan Roswel membawa anak kecil yang kelihatannya masih berusia 7 tahun ke hadapan mereka.
Ketika Lizzie dan Nico mengajukan pertanyaan dengan intonasi dan ekspresi yang cukup kasar, anak kecil itu malah mendekat dan mendatangi mereka berdua sembari menjelaskan bahwa dia adalah sosok yang selalu disebut sebagai Sang Penguasa.
Lantas, mendengar hal itu pastinya para pahlawan terbelalak kaget, tidak menyangka kalau Sang Penguasa yang sering disebut oleh Paul dan Roswel adalah sesosok anak kecil laki-laki yang sangat menggemaskan.
Namun, meskipun kelihatannya seperti bocah, tapi faktanya Sang Penguasa telah berumur 5000 tahun, yang artinya dia bukanlah anak-anak, melainkan kakek-kakek yang seharusnya sudah terkubur di dalam tanah atau menjadi serpihan abu.
Bukan cuma itu yang membuat mereka takjub pada sosok Sang Penguasa, penampilannya juga mengundang banyak perhatian sebab seluruh tubuhnya, termasuk rambut, mata, kulit, dan yang lainnya, berwarna sangat putih dan bercahaya, ditambah pakaian yang dikenakannya pun, yaitu jubah dan sepatu mungil, juga sama-sama putih, bersih dan bersinar.
Bahkan Naomi saja berpikiran mungkin Sang Penguasa adalah perwujudan dari sesosok malaikat yang turun dari surga, tapi dia cepat-cepat menggelengkan kepalanya dan melupakan itu, karena mustahil seorang malaikat menampakkan dirinya begitu jelas pada manusia. Itu terlalu mustahil, pikir Naomi dalam diam.
Setelah berbasa-basi ria, akhirnya Sang Penguasa mulai memperkenalkan dirinya dengan kata-kata yang cukup panjang dan rumit kepada para pahlawan, juga memuji ketangguhan mereka karena telah berhasil mengarungi lautan luas untuk sampai ke pulau ini.
Sang Penguasa tampak senang dan bangga melihat sepuluh orang itu masih lengkap dan sehat, sama sekali tidak ada yang terluka atau pun tewas. Mereka benar-benar orang yang sangat hebat.
Usai memperkenalkan dirinya, Sang Penguasa pun meminta sepuluh orang itu untuk turut memperkenalkan diri agar mereka bisa saling mengenal dan menyayangi, sebab jika tak kenal maka tak sayang, bukan? Awalnya, sepuluh orang itu hanya terdiam dan kikuk, tapi mendadak ada satu orang yang maju memberanikan diri untuk menjadi orang pertama di antara teman-temannya dalam memperkenalkan diri.
Dan ternyata itu adalah Isabella Melvana, Si Gadis Berambut Merah Panjang dan Bertubuh Seksi yang selalu jahil dan mengusili teman-temannya.
Seharusnya sesi perkenalan diri Isabella berjalan lancar dan bagus, tapi gadis itu malah sengaja membuat masalah dengan menutup sesi perkenalannya dengan memanggil Sang Penguasa sebagai seorang kakek, yang artinya itu adalah sebuah ejekan nakal yang dilontarkan dengan sengaja.
Isabella berusaha menahan tawanya, tapi dia merasa gagal saat Sang Penguasa terlihat senang dengan ejekannya, bahkan kenakalannya malah dianggap sebagai sebuah pujian dan membuat anak kecil laki-laki itu jadi senang dan merasa dicintai.
Akhirnya Isabella hanya memasang wajah datar sebelum akhirnya berjalan kembali ke posisi berdiri sebelumnya. Sang Penguasa pun mulai menunggu orang selanjutnya yang bersedia memperkenalkan diri ke hadapannya. Paul dan Roswel hanya berdiri seperti patung di samping kanan dan kiri Sang Penguasa, persis seperti seorang prajurit yang menjaga dan melindungi seorang pangeran kecil.
“Silahkan, selanjutnya.” pinta Sang Penguasa dengan tersenyum tipis, tidak sabar ingin mengenal satu-persatu dari anak-anak remaja yang berdiri di hadapannya.
Kemudian, bergeraklah seseorang yang bersedia untuk menjadi orang kedua setelah Isabella Melvana yang memerkenalkan diri kepada Sang Penguasa.
Dan itu adalah Jeddy, laki-laki berambut hijau jabrik dengan tampangnya yang begitu riang gembira, mulai maju ke depan, memperkenalkan dirinya pada Sang Penguasa diiringi dengan senyuman lebarnya yang terus terpatri di wajahnya, tampak seperti seorang atlet yang sangat bersemangat dalam mengikui perlombaannya.
Melihat senyuman Jeddy, membuat Sang Penguasa jadi ikut tersenyum, rasanya senyuman itu dapat menular dengan sangat mudah, sebab pancaran aura yang dikeluarkan oleh lelaki berambut hijau jabrik itu benar-benar kuat.
“Saya Jeddy Griggory!” Jeddy membungkukkan badannya sejenak sebelum akhirnya kembali menegakkan dadanya pada Sang Penguasa. “Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda, Sang Penguasa! Saya benar-benar senang! Bahkan terlalu senang! Hahahahaha!” Jeddy malah terbahak-bahak disela-sela sesi perkenalannya, membuat Paul dan teman-temannya hanya terdiam kesal menyaksikan kekonyolan orang itu.
“Saya tidak menduga kalau Sang Penguasa sekecil ini! Meskipun Anda sudah berumur 5000 tahun, Anda pasti selalu kesulitan menjalani kegiatan sehari-hari dengan wujud seperti ini! Dan saya bilang begini bukan bermaksud menghina Anda, malah saya sangat kagum karena Anda tetap teguh menjalani kehidupan Anda dengan wujud anak-anak! Itu sangat menakjubkan, Brooo!”
Merasa terhibur dengan perkataan-perkataan yang diucapkan oleh Jeddy Griggory, Sang Penguasa menganggukkan kepalanya dan tersenyum simpul, lalu akhirnya merespon dengan suara yang halus, “Ya, aku juga senang bisa bertemu denganmu, Jeddy Griggory,” kata Sang Penguasa. “Selain penuh keceriaan dan kebahagiaan, kamu juga baik hati. Aku suka dengan anak-anak yang berhati baik, ya, terima kasih atas perkenalan dirinya, Jeddy. Kamu boleh kembali ke tempatmu sekarang.”
“Baik, Kakek! Hehehe!” Angguk Jeddy dengan mengangkat satu tangannya ke kening, seperti seorang tentara yang memberikan hormat kepada komandannya.
Baru saja Jeddy kembali ke tempat berdirinya, Lizzie langsung maju, menyenggol bahu-bahu yang menghalangi jalannya, dan berdiri angkuh di depan Sang Penguasa dengan memberikan tatapan sangar.
Paul sedikit khawatir Lizzie mengacau, tapi biarlah, dia juga penasaran ingin melihat bagaimana reaksi Sang Penguasa berhadapan dengan orang menyebalkan seperti Lizzie.
“Lizzie Mazilda, itu namaku,” ucap Lizzie dengan santai, tanpa sedikit pun membungkukkan badannya pada Sang Penguasa. “Dan aku tidak sudi memberikan hormatku kepada laki-laki kecil yang sok berkuasa sepertimu.”
Sontak, sembilan pahlawan, Paul, dan juga Roswel tersentak mendengar omongan Lizzie yang begitu menindas pada Sang Penguasa, seakan-akan seperti seorang preman yang sedang mengancam seseorang dengan perkataan-perkataan tajam.
Memberikan respon, Sang Penguasa hanya tersenyum sambil bilang, “Ya, tidak apa-apa. Aku juga tidak meminta kalian untuk menghormatiku. Sebaliknya, bersikap santailah denganku, tidak perlu tegang, berbicaralah seperti kalian sedang mengobrol dengan teman. Itu lebih baik dibandingkan harus bersikap formal setiap saat, itu jenuh dan membosankan, bukan? Apa kamu setuju, Lizzie Mazilda?”
Kesal karena hujatannya malah dibalas dengan kata-kata dukungan dan rangkulan, Lizzie langsung mendecih, membuang muka, dan membalikkan badannya, tanpa sedikit pun mengucapkan kalimat pamit pada Sang Penguasa.
“Terima kasih atas keberanianmu, Lizzie Mazilda,” sambung Sang Penguasa saat sadar ucapannya tidak digubris oleh Lizzie. “Aku senang Madelta punya orang sepertimu, jiwa ambisiusmu bisa sangat berguna dalam menjalani kehidupan sebagai seorang pahlawan. Baiklah, selanjutnya, silahkan.”
Berjinjit-jinjit ria, Cherry dengan imutnya, maju ke hadapan Sang Penguasa sebagai orang keempat yang memperkenalkan diri. Gadis mungil itu tersenyum riang pada sosok anak laki-laki kecil di hadapannya sebelum akhirnya mengeluarkan suaranya yang begitu nyaring dan lucu.
“Nama Cherry adalah Cherry Iristalia! Cherry adalah pahlawan paling imut di Madelta! Cherry sangat suka dengan permen, boneka, dan ANAK KECIL! Hihihihi! Itulah mengapa, Cherry gembira karena Sang Penguasa ternyata berwujud menggemaskan seperti ini! Duuuuh! Cherry tidak tahan ingin mencubit pipimuuu! Bolehkah Cherry melakukannya!? Boleh, yaaa? Boleh, dong! Sebentar saja, kok! Cherry mohooooon!”
Menggeleng-gelengkan kepalanya, Sang Penguasa segera memberikan jawaban pada Cherry. “Tentu saja, aku tidak keberatan,” Sang Penguasa tersenyum senang. “Cubit saja pipiku sesukamu, Cherry Iristalia.”
“Yaaaaaaaaaaaaaaay!”
Mendengarnya, Cherry sangat gembira dan langsung melesat ke dekat Sang Penguasa untuk melancarkan aksi konyolnya, yaitu mencubit dua pipi gempal milik Sang Penguasa.
Kenyang karena kemauannya sudah terpenuhi, Cherry pun langsung memeluk Sang Penguasa dengan sangat erat sambil berbisik, “Terima kasih, ya. Kamu lucu sekali.”
Sekarang, giliran Victor yang maju ke depan, memamerkan kewibawaannya sebagai seorang bangsawan di hadapan Sang Penguasa. Membungkuk hormat sejenak, Victor segera mengangkat suaranya dengan sopan.
“Saya Victor Osvaldo,” jelas Victor dengan menyunggingkan senyuman simpulnya, membuat ketampanannya jadi semakin bersinar terang. “Saya sangat senang bisa terpilih menjadi seorang pahlawan, terima kasih banyak karena telah menerima saya dan teman-teman saya di istana ini. Saya sangat menghormati Anda, Kakek.”
“Aku suka dengan anak yang sopan dan rendah diri,” Sang Penguasa mengangguk-anggukkan kepalanya sembari mengamati penampilan Victor. “Terima kasih atas perkenalannya, Victor Osvaldo. Kamu boleh kembali.”
“Baik!” Mematuhi perintah Sang Penguasa, Victor segera berbalik badan dan berjalan pelan untuk kembali ke posisinya.
Menghela napas sejenak, Naomi segera menantang dirinya untuk maju ke depan, ke hadapan Sang Penguasa yang masih sedang memandangi Victor. Kehadiran si gadis berkerudung itu cukup mengagetkan Sang Penguasa, tapi selepas itu, dia tersenyum menyambut Naomi.
“Ya, silahkan, sebut namamu, Nak.”
Menarik napas panjang, Naomi langsung bersuara lantang, “Saya Naomi Habibah Qolby,” kata Naomi dengan menyunggingkan senyumannya pada Sang Penguasa. “Saya dengan hormat berterima kasih pada Anda karena telah memilih dan mempercayakan saya sebagai seorang pahlawan. Saya berjanji jika kelak saya sudah menjadi pahlawan sungguhan, maka saya akan menolong dan melindungi semua orang.”
“Aku juga suka anak yang bijaksana, terima kasih Naomi Habibah Qolby. Kau boleh kembali.” Titah Sang Penguasa, puas menyaksikan sesi perkenalan Naomi yang cukup mengesankan.
Saat Naomi selesai, giliran Koko yang maju. Laki-laki berambut ungu panjang itu berjalan anggun ke hadapan Sang Penguasa sembari mengangkat sedikit gaunnya, dia menampilkan senyumannya yang manis, membuat lesungan-lesungan pipinya yang begitu cantik tertampak.
“Namaku Yankoko Ramiro,” Karena masih malu-malu, Koko mengatakan itu sembari menundukkan kepalanya, membuat helaian-helaian ungunya berjatuhan ke lehernya.
“Aku… satu-satunya yang terlemah di antara pahlawan-pahlawan lain. Tapi, walaupun begitu, aku akan selalu berusaha untuk menjadi yang terkuat dengan usaha dan perjuanganku sendiri. Suatu saat nanti… aku akan membuktikan pada semua orang, juga pada Anda, bahwa saya juga bisa menjadi pahlawan sejati.”
Tersentuh dengan ucapan-ucapan yang Koko lontarkan membuat Sang Penguasa menganggukkan kepalanya sembari tersenyum bangga. “Tentu, kamu pasti bisa mencapainya. Karena kamu juga seorang pahlawan. Aku percaya padamu, Yankoko Ramiro.”
Lega karena perkataannya direspon positif oleh Sang Penguasa, Koko membungkukan badannya sebelum akhirnya mengundurkan diri dari hadapan Sang Penguasa. Kembali berdiri di posisi semulanya bersama teman-temannya yang lain.
Menekan kaca matanya, Nico berjalan ke hadapan Sang Penguasa dengan menampilkan sorotan matanya yang begitu dingin. Sang Penguasa tersenyum ramah pada Nico, ia senang melihat anak ini akhirnya mendapatkan giliran untuk maju ke hadapannya.
"Nico Walcott, seorang pahlawan paling jenius di antara pahlawan-pahlawan lainnya," kata Nico dengan tersenyum angkuh, menganggap derajatnya lebih tinggi dari teman-temannya. "Sebenarnya aku tidak begitu suka memperkenalkan diri dengan cara yang kuno seperti ini, tapi apa boleh buat."
Memaklumi sikap Nico yang begitu dingin dan congkak, Sang Penguasa tersenyum senang, seolah-olah perkataan-perkataan angkuh yang lelaki berkaca mata itu katakan sama sekali tidak mengganggunya.
"Aku juga tidak membenci anak yang menganggap dirnya jenius, karena terkadang, orang cerdas tidak terima jika disebut bodoh, kan? Itu wajar dan normal. Aku mendukungmu, Nico Walcott."
Tanpa basa-basi, Nico langsung kembali ke posisinya setelah mendengar respon positif dari Sang Penguasa, tanpa sedikit pun merasa menyesal terhadap perkataan sombongnya itu, begitulah esensi dari Nico Walcott.
"Baik, silahkan selanjutnya?"
Cepat-cepat Colin berlari kecil saat Sang Penguasa bilang demikian, sebab ia tidak mau menjadi yang terakhir dalam memperkenalkan diri. Karena itulah Colin tampak buru-buru dan tergesa-gesa ketika sampai di hadapan Sang Penguasa, napasnya menderu, kembang-kempis tak menentu.
"Aku Hercolin Alezandra! Pahlawan pertama yang terpilih di antara pahlawan-pahlawan lainnya! Aku adalah laki-laki yang suka bekerja dan bersenang-senang! Tapi aku cukup penakut dan mudah panik, jadi jangan menakut-nakutiku, Kakek! Hehe!"
Menggaruk-garuk belakang kepalanya, Colin cengengesan saat mengungkapkan jati dirinya pada Sang Penguasa, ia juga berusaha untuk bersikap akrab pada Sang Penguasa, meski sebetulnya dirinya sekarang benar-benar gugup dan ketakutan.
"Tidak apa-apa jika kamu merasa takut atau mudah panik, itu normal karena mau bagaimana pun, pahlawan juga manusia, dan bukan hal yang salah jika seorang pahlawan merasa takut dan bingung. Jadi, jangan cemas, Hercoli Alezandra."
Bahagia karena diberikan komentar positif, dua mata Colin jadi berkaca-kaca, terharu mendengar ucapan dari Sang Penguasa. "T-Terima kasih banyak, Kakek!"
"Ya, sama-sama," Setelah itu, perhatian Sang Penguasa jadi terfokus pada satu-satunya pahlawan yang belum maju memperkenalkan dirinya. "Sekarang, giliran untuk kamu yang terakhir."
Setelah diungkapkan sesuatu yang dirasakannya, Isabella mengulurkan telunjuknya ke atas, tepatnya ke bagian puncak dari sebongkah batu besar dan tinggi yang ditabrak oleh gondola yang sebelumnya mereka naiki.
Mengikuti arah telunjuk dari jari Isabella, satu-persatu dari mereka membelalakkan matanya, kaget sekaligus gembira karena mereka melihat sesosok lelaki yang sedang berdiri di sana, dengan penampilan bertelanjang d**a dan hanya mengenakkan celana pendek saja berwarna hitam.
Beberapa orang masih agak ragu untuk memastikan bahwa sosok itu bukanlah orang yang mereka kira, seperti Naomi yang menganggap bahwa mungkin saja sosok yang mereka lihat cuma salah satu penduduk yang menghuni pulau asing ini dan kini sedang mengawasi mereka karena dianggap sebagai penyusup. Tapi, Lizzie bersikeras berpendapat bahwa sosok yang mereka lihat adalah Abbas, rekan sesama pahlawan yang terjun dan menghilang di tengah lautan.
Ketika Lizzie berteriak kencang, meminta sosok itu untuk dari puncak batu, mereka semua langsung terkejut dari sebelumnya karena ternyata sosok itu memanglah Abbas, teman sesama pahlawan mereka. Orang itu tersenyum hangat pada mereka, dan semua teman-temannya histeris dan menyambut kedatangan Abbas.
Nico sempat menginterogasi Abbas untuk memaksa orang itu mengungkapkan alasan dibalik terjunnya dia ke lautan tanpa berbicara terlebih dahulu pada mereka, sayangnnya segala pertanyaan yang dilontarkan oleh Nico sama sekali tidak dijawab serius oleh Abbas.
Lelaki yang kini sedang bertelanjang d**a itu hanya mengatakan bahwa dirinya juga merasa bingung mengapa tiba-tiba ingin terjun ke laut untuk menelusuri sesuatu yang mengganggunya, saat ditanya apa yang mengganggunya oleh Nico, dia juga masih tidak mengerti pada hal tersebut.
Alhasil segala yang Nico tanyakan tidak mendapatkan jawaban pasti, membuat si lelaki berkaca mata menyerah untuk menginterogasinya lebih lanjut. Tapi entah kenapa, secara tidak langsung Abbas mengungkapkan sesuatu yang menarik dan tidak masuk akal.
Abbas berkata bahwa dia merasa dirinya bisa melihat lebih jelas ke setiap manusia dilihatnya, bahkan bisa menembus ke bagian-bagian organ dalam tubuh seseorang, membuat satu-persatu dari temannya tertarik dengan pembahasan itu, begitu juga dengan Nico yang ikut bertanya-tanya pada hal aneh tersebut.
Barulah Abbas bisa memberikan jawaban-jawaban yang dapat dicerna dengan baik oleh teman-temannya, rupanya dia pernah mengalami perawatan dari seseorang yang bernama Tommy Rigmagog, dan ia menduga bahwa orang itu menanamkannya sebuah mesin kecil ke dalam tubuhnya yang membuat dia bisa mendapatkan penglihatan super seperti itu.
Saat ditanya kapan dan di mana Abbas bertemu dengan Tommy Rigmagog, dia mengucapkan bahwa dirinya bertemu dengan orang itu di Kota Sablo, tepatnya ketika dia ikut tergabung ke dalam tugas penelusuran bersama Paul dan Lizzie untuk mencari keberadaan Naomi yang menghilang.
Lantas, mendengar namanya disebut, Lizzie dan Naomi saling memandang dan tersentak.
“Oke, lalu mengapa dia merawatmu? Memangnya apa yang terjadi padamu sehingga kau diharuskan untuk dirawat oleh Si Tommy Rigmagog ini?” tanya Nico yang terlihat tergesa-gesa dalam memberikan sebuah pertanyaan pada Abbas, membuat Isabella yang tadinya serius ingin mendengarkan lebih lanjut soal hal itu, jadi sedikit terkikik renyah menertawakan sikap teman berkaca matanya itu.
Mengedip-edipkan matanya sejenak, Abbas segera menimpalinya dengan nada yang halus, “Tubuhku saat itu babak-belur, berdarah-darah, dan nyaris tewas karena sempat diserang oleh gerombolan Jubah Putih di tengah kota Sablo,” Menarik napasnya, Abbas melanjutkan ucapannya. “Dan ketika aku terbangun, aku sudah berada di dalam sebuah kokpit yang merupakan kepala dari sebuah robot raksasa, Tommy juga bilang bahwa dia ingin merekrutku sebagai asistennya, tapi aku menolak. Saat aku tanya bagaimana situasinya, dia bilang bahwa Jubah Putih sudah dia lenyapkan dengan serangan dari robot yang dikendalikannya.”
Baru saja Abbas menyelesaikan penjelasannya, muka dari para pahlawan bimbingan Paul jadi pucat, mereka semua tidak pernah menyangka lelaki bertelanjang d**a itu pernah mengalami situasi yang gila seperti itu, membuat mereka jadi mematung dalam keheningan.
“Jubah Putih?” Cherry, Isabella, Lizzie, dan Victor termenung bersamaan saat mendengar nama kelompok yang menyerang Abbas di Sablo, mereka berempat baru dengar nama itu dan belum pernah bertemu secara langsung dengan kelompok misterius yang kejam itu.
Sedangkan Nico, Jeddy, Colin, Naomi, dan Koko sudah pernah berhadapan secara langsung dengan kelompok Jubah Putih, membuat mereka hanya bisa terkejut dan jengkel secara bersamaan mendengar Abbas dikeroyok oleh kelompok tersebut.
“Tunggu, apa itu Jubah Putih?” Victorlah yang pertama kali bertanya secara cepat kepada teman-temannya yang lain terkait kelompok asing tersebut.
“Apa tujuan Si Jubah Sialan itu menyerang Abbas? Apa mereka semacam sekte aneh yang memuja-muja Iblis dan hobi menyerang orang untuk dijadikan sebagai sesembahan? Entahlah, aku merasa mendengar namanya saja membuatku muak!” protes Lizzie dengan mendecih jijik.
“Mengapa mereka jahat sekali sampai membuat Abbas berdarah-darah begitu!? Cherry tidak terima Abbas dilukai begitu! Pokoknya nanti kita harus mencari Para Jubah Putih itu dan…,” Seketika dua mata Cherry melotot dan suaranya menggeram. “… membantai mereka semua!”
“Ya ampun, menakutkan sekali kau ini, Cherry~” bisik Isabella pada telinga Cherry sebelum akhirnya menggeleng-gelengkan kepalanya dan mulai kembali fokus pada Abbas.
“Mengesampingkan soal Jubah Putih, bukankah yang lebih mengerikan dari mereka adalah Si Tommy Rigmagog ini, ya? Maksudku, dia bisa mengendalikan sebuah robot raksasa dan bahkan dengan sadisnya membantai gerombolan Jubah Putih tanpa ampun. Jika kita ingin menjadi pahlawan dan melindungi masyarakat dari sesuatu yang berbahaya, maka seharusnya kita harus berhati-hati pada pergerakan Si Tommy Rigmagog ini.”
Menggelengkan kepalanya, Noami tidak setuju dengan perkataan dari Isabella. “Maaf, tapi saya rasa kita juga tidak boleh menyepelekan Jubah Putih, saya mengerti Tommy Rigmagog memang terdengar lebih berbahaya dari mereka, tapi dia menolong dan merawat Abbas, yang artinya dia masih memiliki nurani dan kasih sayang. Sedangkan Jubah Putih, berdasarkan pengalaman yang pernah saya rasakan, mereka sangat jahat dan kejam, bahkan mereka tidak peduli siapa pun yang mereka bunuh dan mereka juga menganggap tindakan bengis yang mereka lakukan, adalah sebuah kebenaran.”
Mengambil napasnya sejenak, Naomi kembali melanjutkan ucapannya. “Jadi, daripada mencari siapa yang paling berbahaya dari mereka, lebih baik kita sama-sama mencari tahu motif dan alasan dibalik Jubah Putih dan Tommy Rigmagog ini. Saya yakin, mereka semua pasti punya alasan kuat dibalik kekejaman yang mereka lakukan pada orang lain.”
Menekan kaca matanya, Nico mencoba mencerna, menyimak, dan menyimpulkan segala percakapan yang didengarnya dari rekan-rekannya sebelum akhirnya dia mulai mengeluarkan suaranya untuk memberikan solusi atas persoalan tersebut.
“Baiklah, aku paham, kalian tidak perlu memperdebatkan soal Jubah Putih mau pun Tommy Rigmagog karena pada dasarnya mereka sama-sama berbahaya dan mematikan. Sekarang, aku ingin bertanya padamu mengenai mengapa kau mencurigai Tommy Rigmagog menanamkan sebuah mesin kecil pada tubuhmu? Apa yang membuatmu merasa kalau dialah pelakunya?”
“Entahlah,” balas Abbas dengan matanya yang agak kosong. “Mungkin karena dia terlihat pandai mengoperasikan mesin-mesin canggih dan juga sangat tertarik padaku. Jadi aku menduga dialah yang melakukannya.”
“Hahahahaha!” Tiba-tiba Jeddy tertawa terbahak-bahak, suara tawanya mengagetkan teman-temannya yang sedang serius mendengarkan cerita Abbas. “Aku tidak pernah berpikir bahwa kita akan terlibat ke dalam masalah serius seperti ini! Itu membuatku jadi begitu semangat, Bro!” Jeddy menepuk-nepuk punggung orang yang ada di sampingnya tanpa melihat siapa yang ada di dekatnya.
“J-Jangan menepuk-nepuk punggung saya! I-Itu sakit, J-Jeddy!” Ternyata yang Jeddy tepuk adalah punggung milik Naomi, membuat wajah si gadis berkerudung itu memerah dan gugup karena disentuh oleh orang yang dicintainya, sementara lelaki berambut hijau itu menoleh dan tertawa santai.
“Ahahahah! Maaf-maaf, kukira siapa, ternyata ‘Naomiku Tersayang’! Hahahaa Maaf, ya, Naomi! Aku terlalu bersemangat!”
Muka Noami semakin memerah saat mendengar Jeddy menyebutkan namanya dengan diikuti kata ‘tersayang’ yang berhasil membuat jantungnya berdegup-degup kencang.
Menyembunyikan ekspresi mukanya, si gadis berkerudung kuning itu langsung berlari ke punggung Isabella untuk berlindung dari gombalan Jeddy.
“Malu-malu seperti biasanya, dasar Naomi Si Kucing Pemalu~” goda Isabella sengaja memancing emosi Naomi yang sedang menenangkan diri di belakang punggungnya. “Tapi sudahlah, kurasa kita tidak perlu memperumit pembahasan ini, mengenai penyelidikan soal Jubah Putih atau pun Tommy Rigmagog kita tunda dulu, sebaiknya sekarang kita fokus pada urusan yang lebih penting, yaitu mengenai pulau apa yang kita pijakki ini. Apakah Pulau Gladiol atau kah pulau asing?”
“Tidak, Isabella! Urusan yang lebih penting adalah bagaimana cara kita istirahat di tempat ini? Kita harus cari tempat tidur agar besok kita bisa menyelidiki pulau ini bersama-sama, benar, kan?”
Mendengar omongan Colin membuat mereka semua menganggukkan kepalanya dan beberapa tampak menguap dan mengantuk. “Ya, itu benar sekali,” lirih Koko yang matanya tampak sayu dan ingin segera tidur. “Ayo kita cari tempat untuk kita tidur, teman-teman.”
“Tunggu, mengapa kita tidak manfaatkan saja Abbas dalam urusan kita?” Seketika Nico menarik perhatian kawan-kawannya saat dirinya mengungkapkan hal tersebut.
“Abbas sekarang memiliki penglihatan robot dan kita sekarang ingin mengetahui kebenaran dari pulau ini? Bukankah ini saling berhubungan? Yang artinya, kita bisa memanfaatkan Abbas sebagai alat, tepat, kan?”
“Kau sebut dirimu apa sampai setega itu menyebut kawan kita sebagai alat, kau pasti tidak suka, kan? Dipanggil sebagai alat oleh Si b******n Itu?” tanya Lizzie dengan memelototi muka Abbas.
“Aku tidak keberatan menggunakan penglihatan ini untuk membantu kalian.”
“Oke! Kita manfaatkan Abbas sebagai alat!” seru Lizzie dengan mengangkat tinju tangan kanannya tinggi-tinggi.
Menyaksikan kekonyolan Lizzie, membuat teman-temannya hanya terbahak-bahak dan mulai memandangi Abbas, mengamati bagaimana lelaki itu menggunakan kekuatan mesinnya yang luar biasa itu.