Eps. 10 Lihat aku baik - baik

1416 Words
Author P.O.V Bugg.... Tubuh Jesi terpental ke sofa panjang saat dirinya telah memasuki kamar hotel yang sangat luas. Bahkan dua kali lipat lebih luas dari kamar inap miliknya. Mungkin kamar hotel ini memang dikhususkan untuk pelanggan VVIP. “Aww sakit,” ringis Jesi saat bagian punggungnya mengenai ujung sofa Juan yang mendengar kesakitan Jesi merasa bersalah. Tapi hatinya masih tetap tersulut emosi. “Kamu mau apa sih sebenarnya?” tanya Jesi tak mengerti “Berikan kotak itu,” pinta Juan baik – baik “Kotak apa?” “Kotak kecil yang diberikan oleh teman priamu tadi,” Juan kembali memperjelas Jesi akhirnya mengerti. “Darimana dia bisa tahu kalau tadi aku diberikan sebuah kotak kecil oleh Adam?” batin Jesi mengernyit Untuk berjaga – jaga, Jesi memegang saku bajunya yang lumayan besar agar Juan tidak melihat. Beruntung sekali hari ini Jesi memakai baju yang memiliki kantong di kanan – kirinya. “Enggak. Untuk apa aku memberikannya padamu? Kotak ini tidak ada hubungannya denganmu. Jadi biarkan aku pergi darisini,” ucap Jesi dan langsung berdiri hendak pergi. Sett.... Juan kembali memegang tangan Jesi dan segera menariknya ke hadapannya. “Sekali lagi aku bilang, berikan!” titah Juan menahan diri “Gak mau. Biarkan aku keluar dari sini,” jawab Jesi tanpa ragu Kini keduanya saling bertatapan. Yang satu mengisyaratkan kebencian, dan yang satu lagi mengisyaratkan kemarahan. “Baik. Jika kamu tidak bisa diajak bicara baik – baik. Mungkin kamu mau-nya diperlakukan seperti ini,” Tangan kanan Juan sontak memegangi tubuh Jesi yang memberontak, sedang tangan kirinya merogoh kantong baju Jesi dan mengambil kotak kecil itu dengan paksa. “Apa – apaan sih kamu. Kembalikan gak?” Jesi berusaha untuk mengambil kembali kotak kecil yang sudah dirampas oleh Juan tadi. Namun badan mungilnya tidak cukup sampai, karena tangan Juan malah semakin ke atas. “Headset?” batin Juan mengernyit “Bukannya cincin?” Juan mengira bahwa hadiah yang diberikan Adam tadi adalah sebuah cincin. Siapa sangka ketika dibuka isinya malah headset. Namun Juan yang kadung terbawa emosi tidak peduli barang itu cincin atau bukan. Yang pasti dirinya marah karena Jesi menerima hadiah dari pria lain. Tanpa pikir panjang lagi, Juan langsung mengambil headset itu dan menginjaknya hingga rusak. Headset bluetooth pemberian Adam tadi langsung remuk tak tersisa. Jesi begitu marah hingga tangannya mengepal begitu kuat “Sudah gila ya kamu?” suara Jesi meninggi “Kenapa? Kamu tidak terima karena hadiah dari pria yang mencintaimu aku rusakin? Apa kamu suka padanya?” Jesi sungguh tidak mengerti. Kenapa pria ini tahu semua tentang kehidupan Jesi. Tapi bagi Jesi yang saat ini begitu marah, dirinya tidak peduli siapa pria di depannya ini. Alih – alih menjawab, dia ingin keluar dari ruangan itu segera mungkin. Namun Juan menghalangi. Jesi yang bersikeras ingin pergi langsung kembali ditarik oleh Juan ke dalam pelukannya. “Lepaskan,” seru Jesi marah “Jawab aku dulu. Kamu suka atau tidak padanya?” tanya Juan dengan tatapan yang sangat dingin. Kini jarak mereka berdua terlihat begitu dekat. “Apa hakmu? Kamu bukan siapa – siapaku. Jadi aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu itu,” ucap Jesi menengadah, karna postur tubuhnya yang tidak sebanding dengan Juan yang tinggi. “Kata siapa aku tidak berhak? Bukankah aku sudah pernah bertanya padamu, apakah kamu mengenalku atau tidak. Dan kamu dengan lantang berkata tidak, alih – alih bertanya namaku,” sungut Juan tidak terima Benar juga yang dikatakan Juan. Jesi memang tidak pernah mau cari tahu nama dari pria yang ada dihadapannya ini. Padahal dirinya pernah ditolong saat pingsan di kampus dulu. Tapi memang dasarnya Jesi tidak mau peduli, karena kekecewaannya yang tatkala hari itu menurunkan dirinya di jalanan. Jesi bahkan bersumpah tidak ingin bertemu dengannya lagi. Namun kini dirinya harus berhadapan dengan dia lagi. Tentu saja ini bukan suatu kebetulan semata. Bagaimana cara pria ini memperlakukan Jesi, sepertinya memang bukan orang biasa dan asing. Pasti pria ini tahu betul tentang Jesi. Tidak mungkin jika dia baru kenal akan memperlakukan Jesi dengan kasar seperti ini. Hembusan nafas Jesi menandakan bahwa dirinya mencoba berdamai. Serta mencari tahu mau apa sebenarnya pria ini. Dan siapa dia? “Baik. Jika aku memang harus tahu siapa kamu. Tolong beritahu aku siapa namamu?” Juan menatap lekuk mata indah Jesi. Wanita ini benar – benar membuat dirinya tak bisa mengontrol dan berfikir jernih. “JUAN ABRAHAM,” jawab Juan penuh penekanan “Juan Abraham?” gumam Jesi pelan Jesi nampak mencerna nama tersebut. Dirinya membenamkan mata sejenak, dan mulai berfikir mungkin pernah mendengar nama itu. Namun satu gelengan kepala sudah menandakan bahwa dia benar – benar tidak tahu nama itu. “Maaf. Sekeras apapun aku berusaha. Aku benar – benar tidak tahu kamu siapa,” ucap Jesi perlahan Juan yang mendengar kalimat Jesi sontak kembali marah. Karena itu berarti, selama ini Jesi tidak peduli dengan perjodohan itu. Lah. Kenapa Juan harus marah. Bukankah dia juga sama tidak pedulinya. Tapi masak iya nama Juan saja Jesi tidak pernah mendengar. Juan saja yang juga tidak peduli masih mau mendengarkan calon nama tunangannya itu. Bukankah hal ini sungguh keterlaluan. Juan mengepalkan tangannya berusaha menahan emosi. “Hubungi keluargamu sekarang!” perintah Juan dingin. Meski Juan bisa saja memberitahu langsung siapa dirinya, namun kali ini biarkan Jesi yang mencari tahu sendiri. Agar ke depannya dia bisa lebih peduli pada sekitar. “Untuk apa?” tanya Jesi tak mengerti “Untuk memverifikasi langsung siapa diriku. Meskipun aku bisa memberitahumu secara langsung, namun orang seperti dirimu ini lebih mempercayai sumber yang dapat dipercaya seperti keluargamu,” Tebakan Juan benar. Dia benar – benar mengenal Jesi dengan baik. Padahal dirinya baru dua kali bertemu. “Tapi apa hubungannya kamu dengan keluargaku?” Jesi masih tidak mengerti dengan semua ini “Hubungi saja mereka sekarang, dengan begitu kamu akan tahu jawabannya,” terang Juan kembali “Aku tidak membawanya. Ponselku ada di kamar inapku,” tutur Jesi menjelaskan “Pakai ini,” Juan langsung memberikan ponselnya kepada Jesi. Jesi masih terpaku ditempat. “Apalagi? Cepat hubungi. Kamu tidak mungkinkan tidak mengingat nomor Mamamu sendiri,” Jesi yang mulai kembali kesal, langsung mengambil ponsel itu dengan satu tangan, karena tangan lainnya masih dalam pelukan Juan “Bisa lepas dulu gak?” Jesi merasa sesak, karena sedari tadi dirinya sangat dekat dengan Juan. Dan entah kenapa juga jantungnya berdegup kencang. “Telpon dulu baru aku lepasin,” ucap Juan dengan tenang Jesi yang sudah malas berdebat, akhirnya memilih untuk menurut saja. Dia mulai memencet tombol angka yang ada di layar ponsel itu, baru setelah itu klik memanggil. “Loudspeaker!” titah Juan Jesi menurut pasrah. Tut...tut.... Suara telpon memanggil Tut...tut.... Cukup lama Jesi menunggu akhirnya telepon itu diangkat juga “Hallo Mama ini, Jesi,” sapa Jesi saat telepon itu terhubung “Jesi. Kamu kemana saja sih? Dari tadi Mama telepon ke hape kamu tidak diangkat. Ini nomor siapa? Kok baru? Kamu baik – baik saja kan?” cecar mama Jesi khawatir “Iya maaf, Ma. Hape Jesi ada di kamar. Ini Jesi lagi di luar. Jesi telepon Mama pakai hape temen Jesi,” tutur Jesi sambil melirik Juan yang sejak tadi masih menatapnya intens “Ya ampun, Jesi. Ini sudah mau jam sembilan malem Nak. Kamu ngapain masih di luar? Sana cepat balik istirahat. Ingat ya, kamu sekarang lagi ditempat yang asing. Mama takut kamu kenapa – napa,” ucap mama Jesi panjang lebar “Ma, Jesi hanya keluar di depan hotel saja kok cari angin. Jesi juga sama teman – teman ini. Mama gak usah khawatir ya. Sebentar lagi, Jesi akan balik ke kamar,” bohong Jesi sambil menunduk “Dasar Anak nakal. Dia pandai sekali berbohong,” batin Juan tidak percaya “Baiklah. Intinya kamu harus cepat balik dan istirahat. Jam 9 harus sudah di kamar,” ucap mama Jesi mengingatkan “Ya, Ma siap. Ma, ada yang mau Jesi tanyakan?” “Apa itu?” “Emmm... Mungkinkah, Mama tahu orang yang bernama, Juan Abraham?” tanya Jesi hati – hati “Kamu tahu darimana nama itu?” Mama Jesi nampak terkejut. Pasalnya anaknya yang selama ini tidak peduli akan nama itu tiba – tiba saja tahu dan bertanya. “Ya adalah pokoknya, Ma. Mama jawab aja dulu dia siapa?” tanya Jesi semakin tidak sabar “Hemm. Dia adalah calon tunanganmu,” jawab mama Jesi akhirnya “APAA? Mama yakin?” “Lah yakin lah. Masak Mama lupa nama calon mantu Mama sendiri,” Mendengar kalimat itu, Juan hanya menampilkan smirknya yang begitu tampan. Dia akhirnya melepaskan Jesi dari pelukannya, dan menatap manik mata Jesi yang terlihat kaget tidak percaya. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD