Eps. 2 Tak sengaja bertemu

1517 Words
Author P.O.V Universitas Almahera memang menjadi salah satu universitas ikonik di Jakarta saat ini. Bagaimana tidak, bangunan setinggi 10 lantai dengan gaya arsitektur ala barat ini menjadi daya tarik mahasiswa untuk berbondong – bondong kuliah disini. Hanya ada dua tipe mahasiswa yang berada di kampus ini. Pertama, para kalangan anak konglomerat, dan kedua, para kalangan anak cerdas atau pintar. Sedangkan Jesi, menjadi mahasiswa tipe kedua itu. Perlu diketahui, sejak menduduki bangku sekolah dasar, Jesi selalu menjadi peringkat teratas. Bahkan juara kelas. Hanya saja semenjak papanya meninggal dia kehilangan semangat untuk belajar. Alhasil dia sering bolos dan nilainya ikut turun. Apalagi ditambah ucapan mamanya yang mengusulkan adanya perjodohan antara Jesi dengan anak sahabat almarhum papanya. Semakin menjadi – jadilah sikap Jesi. Hampir dua tahun lebih dia menjadi anak yang berubah sikapnya. Menjadi lebih dingin dan susah diatur. Padahal dia dulu anak yang manis dan penurut. Siapa sangka ucapan mama dan kakeknya mampu merubah Jesi dalam sekejap. Maka dari itulah, mama Jesi menyepakati syarat untuk tidak menjodohkannya dengan anak dari sahabat almarhum papanya itu. Tujuannya agar Jesi mau kembali belajar dan punya semangat untuk lulus sekolah. Serta mau melanjutkan pendidikannya dibangku kuliah. Siapa sangka Jesi sampai menembus 10 besar teratas saat penerimaan mahasiswa di Universitas favorite itu. “Jes, Lu baik – baik saja? Wajah lu pucet tauk,” tanya Naumi khawatir “Gue laper,” lirih Jesi lemah “Gue belikan roti ya di luar?” “Gak usah, Mi. Bentar lagi acara seminarnya akan dimulai. Gue masih bisa tahan kok,” “Lu yakin? Ini akan memakan waktu yang cukup lama loh. Apalagi nanti akan ada dua narasumber” “Yakin, Mi. Sudah tenang saja. Nanti kalau selesai kita langsung ke kantin,” ucap Jesi menenangkan. “Hemm. Oke deh. Kalau perut lu makin sakit bilang ya,” kata Naumi dengan lembut “Iya ya. Pasti,” Beberapa saat kemudian acara telah dimulai. Sambutan meriah dari para mahasiswa yang sudah berada di aula yang luas ini, membuatnya semakin seru. Sepatah dua patah diucapkan dari sang moderator sebelum akhirnya mempersilahkan narasumber untuk memasuki aula dan naik ke atas panggung. “Baiklah teman - teman sekalian. Untuk menghemat waktu, langsung saja kita persilahkan narasumber yang pertama untuk memasuki aula. Narasumber ini istimewa sekali, karna bersedia hadir untuk pertamakalinya di Universitas kita tercinta ini. Dan satu - satunya Universitas yang pernah dia kunjungi semenjak dirinya menetap di Jakarta. Mungkin diantara kalian ada yang belum tahu, bahwa narasumber kita ini merupakan CEO terkenal yang perusahaannya kini menjadi nomor satu terbesar se-Asia Tenggara. Tentu teman – teman penasaran kan?” ucap moderator itu penuh semangat Suara riuh mahasiswa seakan menandakan ketidaksabarannya untuk melihat sang narasumber. “Oke baiklah. Tanpa pikir panjang lagi, please welcome tuan muda JUAN ABRAHAM,” panggil moderator dengan diiringi tepuk tangan yang gemuruh dari semua mahasiswa yang datang. “Huaaaaa tampannya,” “Sungguh tampan sekali dia,” “Oh my god. Ini malaikat darimana?” Suara dari para mahasiswi yang terus menggema disetiap sudut kanan dan kiri ruangan. Mereka tak henti – hentinya memuji ketampanan sang narasumber. Saat mereka sibuk menganga, lain cerita dengan Jesi yang sedari tadi sibuk memegang perutnya yang lapar. Dia menunduk lemah hingga dirinya-pun tidak fokus apa yang disampaikan di depan. Sang narasumber yang tampan itu memiliki penampilan begitu baik dan sempurna. Postur tubuh yang tinggi, serta garis wajah yang kuat. Memiliki pesona yang bahkan kaum hawa tidak berkedip menatapnya. Penjelasan tentang dasar – dasar manajeman dari pria tampan itu sangat mudah dipahami. Terlebih suara baritonnya yang khas dan maskulin. Kata demi kata dilontarkan oleh pria tampan itu. Hingga kata – kata motivasi darinya menandakan berakhirnya sesi seminar pertama. “Sumpah dia ganteng banget. Andai saja dia menjadi suami gue. Pasti hidup gue akan sangat bahagia,” celetuk Naumi masih memandang ke arah depan. Mendengar tak ada suara dari Jesi. Naumi pun akhirnya menoleh ke samping. “Jes, bangun, Jes... Lu gak apa – apakan?” ucap Naumi khawatir melihat temannya tertunduk lemas. Seraya menepuk – nepuk punggung temannya yang tertidur. “Hah apa? Sudah selesai ya?” tanya Jesi dengan wajah pucatnya. “Sesi pertama yang selesai. Tinggal sesi yang kedua. Ya ampun, Jes wajah lu pucat sekali. Kita keluar aja yuk?” ajak Naumi semakin khawatir “Gak usah. Lu disini aja. Eman – eman tinggal satu lagi. Biar gue sendiri aja yang keluar,” sergah Jesi cepat “Tapi badan lu lemah, Jesi. Kalau jatuh gimana? Biar gue papah aja yuk?” ajak Naumi lagi “Gue bilang gak usah, Mi. Lu gak perlu khawatir. Gue hanya lapar saja. Nanti setelah makan juga tubuhku bugar lagi. Lagian sesi kedua ini kan yang lu tunggu – tunggu dari kemarin, karna materinya yang akan lu jadikan bahan praktik nanti,” ucap Jesi menenangkan. “Lu yakin tidak mau gue temenin?” “Yakin, Mi. Gue ke kantin sendiri aja. Ya sudah gue keluar dulu. Takut keburu mulai lagi acaranya,” imbuh Jesi dan beranjak pergi. “Oke deh hati – hati ya, Jes” ucap Naumi melambaikan tangan. Tidak ada jawaban hanya lambaian tangan juga dari Jesi yang langsung melesat keluar ruangan. Di perjalanan menuju kantin Jesi terus memegang perutnya yang sakit. Langkahnya yang tak beraturan seakan menandakan bahwa tubuhnya sudah tak kuat lagi. Bugg.... Jesi menubruk seseorang dari arah belakang. “Maaf, maaf, aku tidak sengaja,” Settt.... Seorang pria baru saja berhenti karna tubuhnya ditabrak oleh Jesi. Merasa kesal, dia-pun akhirnya berbalik badan menghadap Jesi. Seketika pantulan cahaya berkilau menyentuh kulit pria itu. Sungguh wajah tampannya menakjubkan hingga mata Jesi membulat sempurna. “Ya Tuhan apa dia seorang pangeran?” gumam Jesi dengan mulut menganga “Kamu....” Brukkk.... Belum sempat pria itu berkata, Jesi sudah lebih dulu ambruk dan pingsan dihadapan pria itu. Sang asisten yang sedari tadi bersama dengan pria itu, nampak panik dan mencoba membangunkannya. “Hei, Nona, bangun. Hei bangun,” serunya sambil mengoyang – goyangkan lengan wanita itu. Namun tidak ada reaksi sedikitpun darinya. “Waduh, Pak. Dia pingsan,” sambung sang asisten lagi dengan menatap atasannya. “Biarkan saja. Bukan urusanku,” ucap pria maskulin itu tanpa perasaan Saat dirinya hendak pergi dari tempat kejadian, sontak saja semua orang yang berlalu - lalang menatap aneh kepada kedua pria itu. Pasalnya mereka seperti orang jahat yang membiarkan seorang wanita tergeletak sendirian. ‘Pak, orang – orang sedang melihat ke arah kita,” kata sang asisten dengan wajah malunya. “Aku tahu. Kamu pikir aku buta. Bawa dia ke ruang VIP sekarang!” perintah pria itu dan langsung berjalan pergi Tanpa pikir panjang asisten tersebut langsung membopong wanita itu dengan cepat. . Sesampainya di ruang VIP, Sang asisten langsung merebahkan badan Jesi ke sofa panjang yang ada di ruangan itu. Ruang VIP yang khusus digunakan oleh pemilik kampus tersebut. Saat sang asisten hendak manaruh tas wanita itu, satu barang terjatuh dari dalam tasnya. Dia mengernyit dan membaca kartu yang terjatuh itu. “Pak, sepertinya ini kartu mahasiswa wanita ini deh,” ucap asisten tersebut sambil menyodorkan kartu itu kepada atasannya. ‘Taruh saja disitu,” kata pria itu sambil dagunya mengarah ke meja depan. “Baik, Pak,” singkat sang asisten “Haris. Belikan aku kopi. Dan belikan obat untuk wanita itu juga!” “Obat apa, Pak?” tanya Haris bingung “Terserah obat apapun. Yang penting dia harus secepatnya bangun. Aku tidak mungkin menunggunya lama sampai dia bangun sendiri. Aku harus secepatnya kembali ke kantor,” terang pria dingin itu bersungut – sungut. “Baik, Pak. Laksanakan,” jawab Haris dan langsung melesat keluar. Pria dingin yang bernama Juan itu tampak kesal, karna jadwal yang seharusnya dia kembali ke kantor harus tertunda akibat membantu wanita yang tak dikenalnya. Pada akhirnya untuk menghilangkan kejenuhan di dalam ruangan yang tenang itu, dia membuka tabletnya dan segera membaca hasil laporan keuangan perusahaannya. Dia juga sama sekali tidak tertarik untuk melirik wanita yang sejak tadi terbaring di sampingnya. Bukan karena tidak cantik, melainkan karena sifat Juan yang cenderung angkuh dan tidak peduli. Terlebih orang itu asing baginya. Saat tabletnya hendak dia taruh di atas meja, tiba - tiba kartu tadi terjatuh karena berada di pinggir meja. Pria itu langsung memungutnya dengan cepat. “Jesi Mikhayla Manaf,” lirih Juan membaca nama pemilik kartu itu. “Sepertinya aku pernah mendengar nama ini,” gumam Juan nampak mengingat – ingat sesuatu “Nama dia seperti....“ Deg, Ucapannya menggantung. Dan tanpa pikir panjang lagi, Juan langsung membuka ponselnya dan segera membuka chat mamanya dari beberapa hari yang lalu. Jarinya dia scrolling ke atas, dan tiba - tiba mendapati pesan yang tertulis nama calon tunangannya itu. Juan memang tidak pernah membuka pesan dari mamanya, karena ujung – ujungnya pasti membahas perjodohan. Maka dari itu, dia jarang membalas pesan dari keluarganya tersebut. Dia berusaha menghindar, karena menolakpun juga tidak ada gunanya. Beruntungnya semua keluarga Juan berada di Amsterdam. Jadinya dia tidak perlu capek – capek bertengkar, ataupun adu mulut setiap hari seperti yang sudah – sudah. “Ooo, Jadi dia calon yang akan dijodohkan denganku?” lirih Juan sambil menatap gadis yang tengah tertidur itu. Entah apa yang dipikirkan Juan saat ini. Tatapannya yang tajam dan dingin hanya mengandung makna tersirat. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD