Rara yang sedang memakai masker di wajahnya, meraba ponselnya yang berdering. Melihat siapa yang mengirimkan pesan padanya.
“Priska?” ucapnya pelan.
Saat ia membukanya, ia langsung membulatkan kedua matanya.
“Priska, bagaimana bisa?” tanpa sadar, ia mengucapkannya cukup keras. Hingga membuat gerakan besar di wajahnya. Membuat masker yang ia kenakan menjadi retak di beberapa sisinya.
Ia segera berlari ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Walau seharusnya masih tersisa sekitar lima menit lagi untuk membersihkan masker yang mengering. Tapi, karena suda terlanjur retak. Sekalian saja ia hapus. Terlebih, rasa penasarannya cukup tinggi. Bagaimana mungkin Priska bisa mendapatkan foto Dosen itu?
Setelah membasuh wajahnya, ia pun bergegas kembali ke ponselnya. Menekan tombol telepon video ke temannya itu. Handuk kecil yang dia bawa ia tepuk-tepukkan ke wajahnya. Mengeringkan bekas air basuhan secara perlahan.
Suara tawa Priska menyapanya. Bukannya salam atau kata-kata sapaan yang ia ucapkan.
“Aku menang!” ucapnya dengan penuh tawa.
“Iya, iya, kamu menang. Tapi, kok kamu bisa sih? Apa aku sedang mimpi?” sahut Rara. Ia menunjukkan wajah penasarannya di sana. Layar ponsel Priska bahkan penuh dengan wajah Rara.
“Mundur sedikit sana! Seram ih, selayar mukamu semua!” ledek Priska.
Bibir Rara mengerucut, tapi ia tetap saja menuruti perintahnya. Sedikit memundurkan dirinya dari layar ponsel.
“Jadi?”
“Ya aku menang! Ceritanya besok saja kalau ketemu! Aku mau pulang!” ucapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Setelah membuat Rara penasaran setengah mati. Bagaimana cara dia mendapatkan foto dari seorang Dosen yang ganteng tapi dingin itu.
Rara mengernyit, “Jadi kamu belum pulang? Astaga Priska! Kamu benar-benar kurang pekerjaan ya? Nih, ada satu murid minta guru les privat. Ajarin sana, lumayan duitnya! Kalau bakso Cak Sugi selama satu minggu sih, lewat!” cerocos Rara.
“Aku? Mengajar les? Tidak mungkin! Aku pulang dulu, da-dah!” balas Priska dengan nada yang seperti biasanya.
Tanpa menunggu persetujuan dari Rara. Ia sudah memencet tombol merah untuk mematikan sambungan telepon itu. Ini sudah terlalu sore. Jika dia pulang semakin larut. Abangnya pasti akan mengomel padanya.
Tapi ternyata, saat ia sampai di rumah. Rumah masih terlihat sepi. Mobil Robi pun tak tampak knalpotnya. Apalagi batang hidung Kakaknya. Kalau mobilnya saja tidak ada. Sudah bisa dipastikan, bahwa sang Kakak juga masih belum pulang. Setidaknya, dia selamat dari omelan karena pulang terlambat.
***
Malam hari di rumah yang sepi. Kakaknya masih juga belum pulang. Padahal, ini sudah cukup larut. Perut Priska mulai memberontak. Ia terlalu malas untuk turun dan memasak. Rasa lelahnya seharian di kampus masih terasa. Padahal, ia juga tidak melakukan banyak hal di sana. Hingga suara deru mobil menyapa telinganya.
Ia membuka mata, memastikan itu adalah suara mobil yang masuk ke halaman rumahnya. Kemudian ia puji bangkit dan mengecek ke jendela.
“Yes, Abang sudah pulang!” ia kegirangan. Bergegas turun dan menjadi sosok adik baik yang akan membantu Kakaknya membawa barang-barang. Langkah kakinya cepat menuruni setiap anak tangga. Ia segera memutar kunci pintu dan membukanya.
“Selamat datang!” sambutnya dengan senyum semringah.
Sang Abang bukannya senang. Tapi, malah menunjukkan wajah kesal setengah mati. Melirik adiknya dengan tajam. Sorot matanya begitu mengerikan. Laksanakan pedang yang siap menebas leher Sang Adik. Tapi, tiba-tiba Sang Kakak menggerakkan kepalanya ke kanan. Menunjukkan sesuatu padanya. Bahwa, masih ada orang lain yang pulang bersama dengan dirinya.
Priska pun mengikuti arah pandang Sang Kakak.
“Mama?” ucapnya tanpa suara.
Sang Kakak mengangguk. Kemudian membuka pintu belakang mobil. Mengeluarkan semua barang yang dikemas oleh Mama mereka.
“Bangunkan sana!” perintah Sang Kakak.
Tapi, Priska menggeleng kuat. Ia terlalu takut untuk melakukan itu. Ia trauma. Begitu pula dengan Kakaknya. Keduanya selalu mundur jika harus membangunkan Sang Mama. Ibu Suri yang tidur tidak boleh diganggu! Atau Terima akibatnya. Namun, jika tidak dibangunkan sekarang. Lalu, ia terbangun di pagi hari dalam keadaan masih di dalam mobil. Maka, akan semakin runyam nantinya.
Robi berjalan ke arah Sang adik. Membisikkan sesuatu yang membuat Priska membulatkan mata dan senyum kembali hadir di wajahnya.
“Jangan bohong! Oke aku yang bangunkan!” ucapnya.
Sang kakak sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah. Dia berjalan perlahan. Membuka pintu mobil tempat Sang Mama duduk juga dengan sangat hati-hati. Ia tahu, risiko yang akan dia hadapi, pasti akan sama. Seperti sebelum-sebelumnya. Maka, ia mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Tangannya mulai menepuk pelan tangan Mamanya. Tapi, tak juga ada respons.
“Ma ....” panggilnya lembut. Dengan masih menepuk pelan tangan Mamanya.
“Ma ... sudah sampai, Ma!” bisiknya lagi. Kali ini, ia memberanikan diri menepuk pipinya. Mamanya mulai bergerak. Matanya memicing dan mengerjap beberapa kali.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Priska. Tidak terlalu keras. Tapi, cukup nyelekit di pipi. Ia hanya bisa diam dan melihat ke atas langit. Kemudian memejamkan matanya sekejap. Ya, akhirnya dia mendapatkan kembali sapaan hangat dari tangan Mamanya.
“Eh, Priska ... maaf ya, enggak sengaja,” ucap sang Mama. Ia mengelus lembut pipi anaknya. Wajahnya terlihat bersalah. Walau hanya dalam hitungan detik saja. Ia langsung berdiri dan mulai melangkah menuju ke rumah.
Priska hanya mengangguk pelan. Percuma! Percuma mau marah atau protes. Nanti, Mamanya akan menjawab kalau ia sedang dalam kondisi setengah sadar. Siapa yang bisa menang melawan Ibu suri? Tidak akan ada! Titahnya melebihi kekuasaan sang Raja.
Mereka pun akhirnya masuk. Dengan wajah Priska yang sedikit ditekuk. Ia mengekor Mamanya yang masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
“Mama besok enggak kerja?” tanya Priska. Ia duduk di samping Mamanya yang baru saja menempelkan punggungnya di sofa.
“Cuti!” jawabnya singkat.
“Ah iya, tadi Mama beli makanan. Kamu pasti belum makan, kan?” lanjut Mamanya. Tangannya menunjukkan ke arah kantong-kantong yang diletakkan di meja makan.
“Oke!” jawab Priska tanpa panjang lebar. Ia memang sudah sangat lapar. Segera mengambil satu kotak dan mulai memakannya.
“Mama ke kamar dulu ya, capek.” Sambil melambai ke arah dua anaknya yang sedang duduk di meja makan.
“Iya, Ma,” jawab keduanya serentak.
Mereka melanjutkan makan, sambil mengobrol ringan. Seperti biasa, tak mungkin tak ada perdebatan antara keduanya. Saling jitak dan juga memaki.
“Pulang jam berapa kamu tadi?” sang Kakak membuka obrolan.
“Sore,” jawab Priska singkat. Nasi kotak yang dibawa oleh Mamanya terlalu nikmat untuk berhenti dikunyah.
“Bukannya kamu hanya ada satu jadwal hari ini? Kenapa pulang telat lagi, hah?” Robi mulai mengambil ancang-ancang untuk menjitak. Priska pun sama, ia memundurkan posisinya.
“Ada urusan, lumayanlah bakso Cak Sugi selama satu minggu!” sahutnya ringan. Masih terus melanjutkan makan.
“Oooh, heh kamu harus tanggung jawab!”
“Apaan? Kok tiba-tiba tanggung jawab? Aku enggak ngapa-ngapain juga!” balas Priska tak terima. Karena tiba-tiba sang Kakak memintanya bertanggung jawab tanpa sebab.
“Gara-gara kamu mengadu ke Mama aku libur kerja, kan aku jadi repot di acara tadi. Mana banyak tante-tante yang jodoh-jodohin sama anaknya pula!” Robi terlihat kesal. Ia bahkan sedikit membanting sendok yang sedang ia pegang.
“Lah, bukannya bagus? Kan Abang tinggal pilih mau yang mana!” sahut Priska tanpa beban.
Plak!
Sebuah jitakan mendarat di kepala Priska. Genderang perang telah terketuk. Priska tak tinggal diam. Ia meletakkan sendoknya ke meja dengan kasar. Lalu mulai berdiri dan mengejar sang Kakak yang sudah kabur terlebih dahulu. Mereka berkejaran, sudah seperti kucing dan tikus.
“Sini kamu, Bang! Sakit tahu!”
“Enggak mau!”
Keributan itu terus berlangsung. Semakin gaduh dan semakin kencang pula suara makian yang saling mereka lontarkan. Membuat sang Mama mulai merasa kesal. Ia lelah, malah mendengar suara ribut di luar kamar.
Tapi, semua itu lenyap seketika saat suara sang Mama menggelegar di seluruh rumah.
“Bisa diam tidak?”
Keduanya langsung menutup mulut dengan rapat. Bergegas kembali ke meja makan. Kembali fokus dengan makanan yang mereka makan. Menghabiskannya, dan kemudian masuk ke kamar masing-masing setelah membereskan meja dan dapur.
Padahal, Mamanya ada di dalam kamar. Tapi, bisa mendengar cuitan berisik mereka. Hebatnya lagi, bisa mengeluarkan satu kalimat yang langsung membuat kedua anaknya kicep.
“Abang sih!”
“Kamu sih!”
“DIAM!”