bc

Bestari; cinta yang tak sampai

book_age16+
378
FOLLOW
4.3K
READ
dark
love after marriage
forced
drama
tragedy
bxg
serious
city
first love
selfish
like
intro-logo
Blurb

Andi Bestari dan Alen Pramana telah menikah selama tujuh tahun lamanya. Pernikahan yang hambar dan jauh dari rasa bahagia.

Alen masih menyimpan cinta yang begitu dalam pada sahabat Bestari, Namira. Perempuan yang sudah dengan susah payah dilenyapkan Bestari dengan segala cara kotor, agar ia bersedia meninggalkan Alen untuk menikah dengannya.

Bak terkena karma, suatu hari dokter menyatakan Bestari mengidap kanker serviks stadium tiga. Di penghujung akhir usianya ia lantas berupaya menyatukan lagi cinta antara Alen dan Namira demi menebus dosa-dosanya di masa lalu. Mampukah Bestari memperoleh maaf dari Namira dan Alen? Akankah hati Alen cair melihat kesungguhan Bestari yang begitu tulus cinta padanya?

chap-preview
Free preview
Vonis Dokter
Bestari menautkan dua jari-jari tangannya yang mungil di atas pangkuan yang gemetar. Ia terus menggerakkan sepasang kakinya, kanan kiri bergantian demi menutupi kegelisahan dalam relung jiwa. Sesekali mata coklat besarnya terangkat, memandangi gambar-gambar yang melekat di dinding. Gambar bayi mungil tersenyum dalam gendongan seorang ibu yang pula tersenyum bahagia. Memandangi poster-poster itu sejenak menenangkan hati dan jiwanya yang sakit. Sama sakit dengan perut bahkan seluruh tubuhnya sampai-sampai ia merasa menggigil oleh derita. Sayangnya, datangnya Bestari ke sana bukan sebab ia sedang mengandung, bukan pula demi mengikuti program kehamilan yang sudah ia damba-damba sejak menikah 7 tahun yang lalu pada awal mula masa pernikahannya. Pernikahan yang tak bahagia baik bagi dirinya maupun Alen. Lelaki yang berhasil membuatnya merasakan cinta pada pandangan pertama. Cinta yang indah, cinta yang menyakitkan, cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ia tersenyum dalam kegetiran, lalu tanpa sengaja terbayang di pelupuk matanya sosok Namira; seorang kawan baik yang telah berbagi suka-duka dengannya sejak masih di bangku Sekolah Dasar. Namun, kawannya itu sudah tak lagi bersamanya. Ia pergi entah kemana. Namun kepergiannya bukan karena ia yang ingin. Tetapi karena Bestari. Karena keangkuhan dan ketamakannya yang masih begitu sering ia sesali bahkan di saat-saat ia merasakan masa bahagia. Namun, ia tak ingat kapan terakhir pernah benar-benar bahagia. Mungkin tujuh tahun yang lalu, saat sebelum ia menikah. Saat ia masih menekuni dunianya sebagai seorang pelukis. Saat ayah yang paling ia kasihi masih hidup. Dan ratusan saat lainnya yang membuat ia mampu merasakan hidup. Kini, ia merasa mati rasa bagai mayat hidup. Menjalani kehidupan yang rupanya amat berbeda jauh dengan segala bayangan masa lalu yang pernah membumbung tinggi dalam bayang-bayang yang rupanya penuh tipuan. Ia pikir dengan menikah dengan Alen maka hidupnya akan bahagia. Ia pikir dengan kepergian Namira hidupnya bakal sejahtera. Rupanya nasib bercanda, takdir menghardik. Ia terbenam, tenggelam dalam derita yang begitu menyakitkan hingga ia tak punya kekuatan sedikitpun untuk sekedar bangkit, berjalan dan terseok menjalani kehidupan yang kelam bagai tiada cahaya. Rasa sakit mendadak menyerang lagi. Ia memegang perutnya dengan rasa merana. Sambil menggenggam dan mencengkram kuat tas selempangnya, ia berdiri perlahan-lahan bersender tembok. Berjalan merayap pelan berusaha menyeimbangkan langkah. Begitu melihat toilet pada pojok kanan rumah sakit, ia melepaskan genggamannya. Berjalan terburu-buru lalu membanting pintu. Di dalam sana, tubuhnya kembali gemetaran. Rasa sakit di bawah perutnya bagai diacak sebilah pisau. Ia meringis-ringis memegang perutnya. Dan ia bisa merasakan darah jatuh semakin banyak dari tubuhnya yang semakin letih dan gontai. Sehabis membuang pembalut kotornya ke dalam tempat sampah, ia berdiri di depan wastafel menatap dirinya. Wajahnya yang pucat. Bibirnya yang kaku tanpa pernah sekalipun tersenyum dalam tujuh tahun ini. Seketika ia merasa hendak menitihkan air mata yang bergelimang. Namun, buru-buru ditimpa guyuran air hingga air matanya seolah tak pernah tampak menetes lagi. "Ibu Andi Bestari..." Suara perawat memanggil dari balik pintu. Ia terkesiap dari lamunan. Menarik secarik tisu, mengusap wajah lalu berjalan keluar dengan baris senyum yang tampak ia paksakan. "Saya... Bestari" "Dokter Linda mencari Ibu. Hasil pemeriksaannya sudah keluar" "Oh, iya, baik suster, terimakasih" Bestari membuka pintu ruang dokter dengan perasaan gugup. Dokter Linda yang sudah dua kali ia temui tampak sedang sibuk berbincang di telpon sementara di tangannya, tergeletak di atas meja sebuah amplop besar yang bertuliskan nama Bestari. Seketika ia merasakan lagi keringat dingin mengguyur di sekujur tubuhnya yang letih. Ia berjalan dengan amat pelan sebab rasa sakit yang ia rasa masih sesekali menusuk ketika sedang melangkah. "Nyonya Andi Bestari" Dokter Linda menatapnya lalu tersenyum dengan bersahaja dari bibir mungilnya yang dipulas lipstik merah muda tipis-tipis. "Hasil pemeriksaannya sudah keluar" Ia menyerahkan amplop itu pada Bestari, yang membukanya dengan segera. Membaca kata demi kata dengan penuh kehati-hatian yang teramat sangat. Ia terperangah sejenak nyaris kehilangan kata-kata. "Serviks? Kanker serviks, dokter?" Dokter Linda menghela napas panjang. Ia selalu merasa di posisi yang sulit ketika harus berhadapan dengan pasien yang mengidap penyakit mematikan. Ia dilanda rasa bingung bagaimana menjelaskan sekaligus memberi harapan yang setidaknya mampu membuat si pasien bertahan hidup. "Saat ini kanker serviks yang Ibu derita sudah memasuki stadium 3 B, di mana kanker sudah menyebar ke sepertiga bagian panggul tapi belum mencapai dinding panggul. Untuk penanganan kanker ini, lebih dulu kami akan melakukan evaluasi untuk mengetahui sudah sejauh mana perkembangan kanker tersebut maupun organ-organ mana saja yang terpapar. Jika diperlukan kami akan mengambil langkah tindakan bedah untuk mencegah penyebaran kanker. Semakin kanker cepat dideteksi dan ditangani maka semakin besar kemungkinan Ibu untuk hidup" Bestari berdiri dengan gemetaran sambil mencengkram kuat kertas di tangannya hingga tak lagi terbentuk. Air matanya menganak sungai, membasahi pangkuan dari jari-jarinya yang gemetar. Ia tak kuasa mengatakan apapun sebab tak percaya apa yang dikatakan oleh dokter adalah kebenaran mutlak. Ia sudah menjalani hidup yang teramat sulit dan mendapati kabar ini seolah bagai bencana. Bak luka yang ditaburi garam. Ia ingin meronta kesakitan dan menjerit-jerit. Tak ada yang bisa ia katakan. Ia berbalik, berjalan pergi dengan air mata yang penuh di pipinya yang makin pucat tanpa mau lagi mendengarkan ucapan dokter Linda yang berupaya menjelaskan. ** Aroma rempah rendang menguar dari dapur. Besari tengah sibuk menumis bumbu, sementara jemari-jemari kecilnya lincah memotong daging. Sesekali matanya menengok jam di tangannya. sudah mendekati pukul setengah delapan malam, waktu Alen pulang dari kantor. Kali ini ia hendak menjamunya dengan dua masakan Padang favoritnya. Rendang dan sayur nangka. Walaupun tak begitu lihai memasak makanan Padang, ia tetap mencoba sebisanya demi menyenangkan hati suaminya sekaligus mengobarkan bara cinta yang tak pernah hadir sedikitpun dalam pernikahan mereka sejak bertahun-tahun lalu. Kali ini Bestari ingin mencoba lebih dari yang biasa ia lakukan demi menciptakan kenangan manis dengan Alen, sekalipun pada saat yang sama ia menyadari bahwa ia mungkin tak bakal hidup dalam waktu yang terlalu lama untuk bahagia. Tetapi setidaknya ia ingin merasakan dicintai oleh pria yang membuatnya merasakan bagaimana cinta pada pandangan pertama. Sesuatu yang telah benar-benar ia nanti sepanjang hidup. Di sela-sela pekerjaannya yang sibuk, perutnya kembali dilanda kesakitan hebat. Ia meringkuk sejenak dengan berpegang pada apa saja yang mampu ia jangkau sembari mencengkram perut bawahnya yang bagai diiris-iri sembilu. Ia mendesis kesakitan dalam kesendirian. Lalu terbayang di pelupuk matanya kematian yang menyakitkan di atas ranjang rumah sakit tanpa siapapun di sisinya. Sontak kegetiran bagai tertelan dalam tenggorokannya. Ia menitihkan air mata di antara kepedihan hatinya. ** Suara mesin mobil menderu memasuki halaman rumah. Bestari buru-buru menyelesaikan tugasnya menata meja, lalu hendak segera bersiap menyambut kepulangan suaminya. Ia melepas celemek, lalu berjalan ke arah kamar tidur dengan langkah terburu yang tampak sedikit sempoyongan dan letih. Ia buru-buru mengganti pakaian agar tak tercium aroma keringat dari tubuh. Sehabis itu ia merias diri untuk menutupi wajahnya yang pucat dan kian tak segar. Setelah berkaca beberapa detik singkat dan telah merasa dalam kondisi sepenuhnya sempurna, ia berjalan keluar, mengintip dari sela kaca jendela menanti Alen keluar dari mobil Range Rover-nya. Butuh beberapa menit menunggu, bersabar di tengah rasa sakit yang menyiksa tetapi Bestari tetap teguh di sana sampai Alen muncul. Lelaki itu tak lama keluar membawa tas kerja berwarna hitam. Mengenakan kemeja biru dan celana katun berwarna hitam dengan dasi berwarna senada. Alen sejak kali pertama ia melihatnya tak pernah berubah. Ia masih seperti dulu, tampan dengan kulit coklat, hidung yang tinggi, bibir yang tipis dan panjang juga sorot mata yang tajam namun hangat. Ia adalah pria baik yang sopan dan penyayang meski sikap yang penuh kasih itu tak pernah ditujukan padanya, melainkan hanya pada sosok Namira. Sebuah perasaan yang sekokoh bagai batu setangguh bagai gunung. Tak pernah lekang tak pernah berubah sekalipun segala cara telah ia coba demi menarik hatinya. Alen tak pernah sedikitpun tergoda padanya. Bestari begitu kesulitan mendapatkan celah memasuki hati Alen sekalipun ia merasa lebih di atas Namira. Ia berasal dari keluarga kaya nan terpandang. Wajahnya cantik, ia pun cerdas. Hingga sulit membayangkan seorang pria bahkan rela menolaknya hanya untuk seorang gadis yang bahkan tak sepadan sedikitpun. Namun, Alen melakukannya. Ia terus melakukannya hingga Bestari nyaris akan gila ditengah usaha yang tak pernah sedikitpun membuahkan hasil tak peduli seberapa keras ia berupaya dan mencoba dengan segala daya. Ketika Alen melangkah mendekati pintu masuk, Bestari terkejut. Ia sedikit cemas dan ketakutan hingga berlari ke dalam menuju ruang makan memutuskan untuk menunggu pria itu di sana. Ia duduk di ujung meja. Tangannya bertaut di atas pangkuan. Ia berupaya bersikap tak peduli sekalipun sesungguhnya ia amat peduli. Jejak kaki terdengar menggema kian mendekat ke dalam. Bestari tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang bergemuruh dalam dadanya yang merasakan debaran cinta tak pernah padam. Alen berlalu. Seperti biasa mereka hanya saling memandang sekilas tanpa kata. Namun, tatapan Alen menjelaskan segalanya. Tatapan yang begitu dingin tanpa rasa, hambar bagai mereka orang asing yang kebetulan hidup dalam satu atap. Hati Bestari bagai tertusuk seribu jarum, meski begitu ia tetap berupaya teguh. "Mas, sudah pulang" sapanya dengan cara yang hangat. Alen meliriknya. Ia menganggukkan kepala, lalu memusatkan perhatian ke arah undakan tangga dengan membawa tas dan jas yang ditenteng di atas lengan tanpa sedikitpun menunjukkan gelagat bahwa ia tertarik memperpanjang obrolan singkat itu. "Mas, tidak mau makan dulu? Aku sudah masak rendang sama sayur nangka kesukaan Mas. Aku ambil piring baru kita makan bersama, ya?" Bestari masih penuh harap. Ia berdiri dengan sedikit kesulitan di antara rasa sakit hanya demi menyajikan makanan bagi lelaki itu sambil membayangkan makan malam bersahabat yang begitu ia damba. "Saya sudah makan. Kamu makan sendiri saja" Kekuatan di atas dua tangan Bestari mendadak menghilang. Kini rasa sakit terasa makin sakit, menyambar di seluruh penjuru, raga dan jiwanya porak-poranda. Dengan kecewa ia menelan ludah, lalu terduduk dengan gontai menahan bulir-bulir air mata yang menggantung berat di antara pelupuk matanya. Ia menengok, dengan putus asa pada Alen. "Kenapa Mas selalu seperti ini? Sudah tujuh tahun kita menikah tapi tidak sekalipun Mas pernah ingin makan denganku. Apa aku serendah itu untuk Mas, sampai kita tidak bisa makan dalam satu meja?" Langkah Alen berhenti. Ia menengok sejenak masih dengan wajah datar tanpa rasa bersalah. "Sebaiknya kamu makan sendiri. Saya sudah kenyang"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook