22. Luka Melinda [1]

1095 Words
Tulip kembali mengingat, siapa pemilik nama 'Melinda' yang mungkin ia kenal. Sayangnya tidak ada. Pikirnya, mungkin saja orang tersebut adalah teman satu ekskulnya. Tulip tak membalas pesan tersebut untuk beberapa saat karena ia terbiasa untuk tidak membalas pesan dari nomor baru. Beberapa menit kemudian, satu pesan kembali masuk dengan nomor yang sama. 'Aku teman Diaz. Beberapa hari yang lalu kita ketemu pas pulang sekolah. Kita belum sempet kenalan,' tulis orang itu. 'Hm? Beberapa hari yang lalu?' batin Tulip masih bertanya-tanya. 'Aku gak merasa ketemu temen Kak Diaz. Eh… apa jangan-jangan cewek yang waktu itu minta dianter pulang?' Akhirnya, Tulip memberanikan diri untuk membalas pesan itu. Sebenarnya ia enggan, karena ia tak suka ada perempuan yang lebih dekat dengan Diaz selain dirinya. Terutama perempuan yang tak memiliki status apapun dengan Diaz. 'Hai, Kak. Salam kenal,' balas Tulip. 'Wah, kukira gak akan dibales,' balas Melinda bahkan belum ada satu menit. 'Hehe, kenapa harus gak bales?' Meskipun ada kata 'hehe' di sana, namun Tulip sama sekali tidak tertawa. 'Mungkin aja Diaz udah ngelarang kamu buat bales. Soalnya, gak tau kenapa dia kaya benci gitu sama aku.' 'Eh, kenapa, Kak?' 'Entahlah, padahal aku cuma mau temenan aja, tapi dia gak pernah mau liat aku sebagai temen.' Membaca pesan itu, Tulip membatin, 'Cuma mau temenan kok pegang-pegang tangan.' 'Kamu mau gak jadi temenku?' balasnya lagi. 'Eh? Kenapa dia mau jadi temenku?' batin Tulip bingung. Kemudian ia mengirimkan pesan lagi, 'Aku gak pinter bergaul, beberapa temen jauhin aku. Kalo kamu mau temenan sama aku, aku bakal seneng banget!' Balasannya yang terakhir membuat Tulip tak enak hati. Ia pernah ada di posisi itu. Sungguh hal yang sangat tidak menyenangkan jika dijauhi teman. 'Karena Kak Diaz kenal dia, mungkin gak ada salahnya aku temenan sama dia.' Tulip akhirnya goyah, ia pun mau berteman dengan Melinda. 'Aku mau kok jadi temen Kakak,' balas Tulip kemudian. 'Wah, makasih! Makasih banyak!' Balasannya terlihat begitu bahagia, entah bagaimana yang sebenarnya. Mereka pun lanjut mengobrol. Sedikit canggung, tapi lumayan nyambung karena ada beberapa kesamaan dalam diri mereka. Perlahan Tulip pun merasa nyaman dan tidak menaruh curiga lagi. Sembari membalas pesan, Tulip mulai mengganti pakaian kemudian berbaring di ranjang. Perlahan kantuknya mulai menyerang. Ia pun tertidur dengan ponsel di tangan yang masih membuka room chat dengan Melinda. Malam hari sebelum makan malam, Tulip kembali membuka ponselnya. Melinda belum membalas pesan dari Tulip yang terakhir. "Lip, ayo turun!" ajak Aaron dari luar kamar. "Oke!" Tulip meletakkan ponselnya lagi lalu keluar menghampiri Aaron. "Kak Diaz mana?" tanya Tulip ketika ia sudah menutup kembali pintu kamarnya. "Udah pulang." "Loh, padahal belum ketemu aku," gerutu Tulip. "Tadinya mau nginep, tapi ditelpon suruh pulang. Ada urusan." "Hm, gitu." Kini mereka sudah sampai di ruang makan, Richard dan Freya belum ada di sana. Masih lembur di tempat kerjanya masing-masing. "Kak, kenal sama yang namanya Melinda?" "Siapa itu?" jawab Aaron tanpa rasa ketertarikan. "Cewek yang waktu itu minta dianter pulang sama Kak Diaz." "Oh, anak ansos itu? Gak kenal, tapi tau. Kenapa?" "Hm, ternyata beneran ansos. Dia tadi chat aku." Mendengar itu, rasa penasaran Aaron langsung meningkat. "Kok bisa? Ngapain dia chat kamu?" "Gak tau, ngajak temenan katanya." "Jangan diladenin!" larang Aaron tanpa pikir panjang. "Kenapa?" "Kayanya bukan anak baik-baik," tukas Aaron. "Baru kayanya, kan? Kasian tau dia tuh. Setelah denger ceritanya, aku merasa dia itu sama kaya aku," ujar Tulip. "Ada di posisi yang sama bukan alasan untuk kamu jadi lengah, Lip. Jaga jarak! Temenan boleh, tapi harus tetep waspada!" Aaron sadar, untuk melarang tanpa alasan yang kuat hanya akan membuat Tulip memberontak. "Oke. Aku bakal bilang ke Kakak kalo ada yang mencurigakan dari dia." "Bagus!" puji Aaron seraya mengacungkan jempol. Mereka pun mulai menikmati makan malam yang sudah tersedia. Meski sedikit takut, namun Aaron juga tenang karena Tulip mau menceritakan apapun padanya. Ia tak mungkin terus membuntuti Tulip, maka dari itu laporan-laporan kecil seperti ini sangatlah berarti untuknya. *** Hari-hari berlalu, Melinda dan Tulip semakin dekat. Bahkan Melinda sesekali menemani Tulip ketika ia sedang menunggu jemputan. Melinda cukup ramah, entah mengapa ia dijauhi teman-temannya dan menjadi anak yang dicap anti sosial. Sore itu, Tulip sedang duduk di bawah pohon di depan kelas. Ia masih menunggu waktu ekskulnya dimulai. Melinda menghampirinya. "Eh, kebetulan banget kita ketemu!" ujar Melinda ketika ia menemukan Tulip yang sendirian. "Kak Meli dari mana?" tanya Tulip. Mereka memang sudah sedekat itu. "Dari kantor, abis ada urusan," jawabnya seraya duduk di sebelah Tulip. "Hm, gitu. Terus sekarang mau ke mana?" "Pulang mungkin, tapi bingung mau naik apa. Temenku udah pulang duluan." "Oh, Kak Ella, ya?" "Iya. Semenjak kelas 2 ini, dia sering banget pulang duluan. Kayanya dia juga mulai menghindar deh. Aku ngebosenin ya jadi orang?" Ucapannya terdengar begitu miris. Hanya Ella-lah teman Melinda yang sering ia ceritakan. Sisanya sudah menjauh semua. "Kakak gak ngebosenin kok, buktinya kita ngobrol ngalir-ngalir aja." "Beneran?" tanyanya tak percaya. "Iya bener, Kak. Ngapain aku bohong?" jawab Tulip meyakinkan. "Sebenernya aku sekarang lagi sedih, pengen pergi ke suatu tempat." "Kemana, Kak?" "Ada taman deket sini. Di sana lumayan sepi, aku sering dateng ke sana kalo lagi sedih." Merasa semakin iba, Tulip ada keinginan untuk menemaninya. Namun di sisi lain, ia sudah berjanji pada Aaron untuk menjaga jarak dari Melinda. "Kak, itu apa?" tanya Tulip setelah melihat ada luka di pergelangan tangan Melinda. Luka itu tidak sengaja muncul karena lengan jaket yang sedikit tersingkap. "Hm? Bukan apa-apa, semalem gak sengaja kecakar kucing," jawabnya seraya menutup kembali lukanya. Tulip menyipitkan matanya dan berpikir keras, 'Apa mungkin luka cakaran kucing bentuknya begitu? Apa mungkin dia berusaha untuk bunuh diri?' Mereka saling diam untuk beberapa saat. Kemudian Melinda turun dari kursinya. Ekspresinya terlihat seperti sedang kesakitan. Sekali lagi, ia merasa ada yang janggal dari Melinda. Ketika berjalan, kakinya seperti setengah diseret. "Kak… kakinya–" "Ceritanya panjang. Aku pergi dulu, ya!" "Aku ikut!" ujar Tulip kemudian. "Eh? Gak perlu. Kan, kamu masih harus ikut ekskul." "Bisa izin kok. Lagi pula cuma sekali ini aja," ujar Tulip meyakinkan. Ia sungguh penasaran dengan dengan apa yang terjadi pada Melinda. "Jangan! Nanti kamu dimarah kakakmu!" "Aku bakal balik ke sekolah sebelum jam ekskul habis. Gak apa-apa kok." "Beneran? Kasian kamu kalo dimarah." Melinda masih terus menolak. "Enggak, Kak. Kak Aaron gak bakal marah kok." "Ya udah kalo gitu." Melinda pun tersenyum di tengah raut wajahnya yang masih menyimpan rasa sakit. 'Semoga aku gak salah langkah. Kak Melinda gak mungkin ada niat jahat sama aku,' batin Tulip terus meyakinkan diri. Mereka pun pergi bersama lewat gerbang belakang sekolah menuju tempat yang Melinda maksud. Tulip juga sama sekali belum pernah lewat sana, sehingga ini menjadi pengalaman pertamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD