Gayatri keluar dari kamar mandi dan menatap heran ke arah Rima dan dompet yang tergeletak tak jauh dari jangkauan sahabatnya itu.
"Kenapa, Rim?"
"Enggak, dompetmu kayaknya gak ganti sejak dulu, ada kali sepuluh tahun."
"Ini kan dulu hadiah ulang tahun dari kamu, sayang banget mau ganti karena masih bisa dipakai, barang branded lagi. Aku gak akan mampu beli, hehe," jawab Rima mengambil dompetnya dan memasukkan ke dalam tas. Ia pun mencicipi makanan yang baru saja ia hangatkan.
"Kamu tidak pulang, Ay?" tanya Rima mengalihkan pembicaraan.
Gadis di hadapannya menggelengkan kepala pelan, selalu ada gurat kesedihan pada Gayatri ketika berbicara tentang keluarganya.
"Mereka tidak membutuhkan aku pulang, mereka hanya butuh uang yang dikirim dengan sesering mungkin."
"Mereka masih seperti itu, Ay?"
Gayatri mengangguk.
"Aku terkadang malu pada diriku sendiri," jawab Rima.
"Setiap orang sudah memiliki takdirnya masing-masing, kamu berjalan dengan takdirmu begitu juga aku. Bedanya, Tuhan menitipkan banyak kebahagiaan untukmu, sehingga aku pun bisa merasakan darimu."
"Jangan bilang seperti itu, Ay."
Gayatri tersenyum kecil. "Dibawa Ibu untuk menemanimu itu adalah berkah yang tidak bisa aku sangkal. Aku terlepas dari kekerasan fisik yang ayahku berikan, aku terlepas dari pelecehan yang kakak iparku lakukan. Aku seperti keluar dari lubang neraka dan masuk pada sebuah kenyamanan, aku sangat bersyukur pada Ibu dan Bapak, juga padamu yang sangat baik padaku."
"Tidak ... aku yang sangat bersyukur kamu ada di dalam hidupku," jawab Rima.
Gayatri tersenyum seraya meneguk jus lemon yang ia tuangkan ke dalam gelas.
"Ay ...," panggil Rima.
"Hmmm!" Gayatri menoleh.
"Apa trauma masa lalu membuatmu sampai saat ini sendirian?"
Gayatri kembali meletakkan gelasnya di meja. "Mungkin, aku sulit percaya pada laki-laki setelah rentetan peristiwa yang terjadi padaku sejak kecil."
"Kamu pernah mencintai seseorang?"
Gayatri mengangguk. "Sepertinya pernah."
"Kok sepertinya?"
"Karena aku gak yakin, Rim."
"Kenapa bisa?"
"Entahlah."
"Jelaskan padaku, seperti apa pria itu?" Tentunya Rima tahu siapa pria yang dimaksud Gayatri, ia hanya ingin tahu bagaimana Alan memperlakukannya, sehingga sosok Gayatri bisa jatuh cinta.
"Dia bisa membuatku nyaman ketika dekat dengan seorang pria. Tidak banyak yang dilakukan, tapi caranya mencintaiku membuatku berharga."
Rima menghela napas panjang, bohong bila hatinya biasa saja, ada bagian yang terasa nyelekit di hatinya. Entah perasaan bersalah atau cemburu, Rima tidak tahu pasti.
"Kalian masih bersama sekarang?"
Gayatri menggelengkan kepala pelan.
"Kenapa?"
"Tidak tahu. Mungkin kembali pada takdir, garis tangan Tuhan berjalan tidak sesuai seperti apa yang aku ataupun dia inginkan."
Rima kembali menghela napas, sesak di dadanya masih belum hilang.
"Ah, sudahlah! Tak perlu bercerita tentang yang sudah lewat. Bagaimana kamu sama Mas Alan?"
"Biasa saja, masih seperti dulu."
"Dia mencintaimu, tapi memang sikapnya dingin begitu."
"Kamu tahu banget ya, Ay."
"Pastinya, berapa tahun dia jadi atasanku. Kami karyawannya dapet Killer dia sudah biasa."
Rima tersenyum kecil. Gayatri tidak tahu atau mungkin sebetulnya merasakan bila hubungannya dengan Alan kini sudah jauh berbeda.
"Aku hanya ingin tanya, sikapmu kenapa akhir-akhir ini? Kamu seperti bukan Rima yang aku kenal. Apa aku punya salah?" tanya Gayatri.
"Tidak ...." Rima menggelengkan kepala. "Aku hanya lebih banyak berpikir akhir-akhir ini. Sepertinya di usiaku yang sudah menginjak 28 tahun ini sama sekali belum dewasa."
"Tidak, kok. Kamu sudah jauh banyak berubah," jawab Gayatri.
"Kamu tahu? Sesekali aku butuh kamu menjelaskan sikap burukku, selama belasan tahun kita bersama, aku merasa tak sekalipun kamu berbicara tentang kekuranganku, aku bukan makhluk sempurna, Ay!"
Gayatri diam, ia memang tak berani berkata tentang kekurangan Rima, dengan segala sikap manja dan egois yang Rima miliki, ia takut sahabatnya itu marah dan mengadu pada orang tuanya.
Tak berapa lama Alan datang, ia hanya pergi sebentar. Gayatri pun izin pamit tanpa banyak berbasa-basi.
"Kamu mau kemana?" tanya Alan.
"Pulang. Semua laporan sudah ku email ya."
Alan menganggguk, kemudian ia memperhatikan langkah Gayatri yang berlalu. Rima hanya menatap dari kejauhan, cinta itu masih dapat ia lihat dari mata suaminya untuk Gayatri. Tak berapa lama Alan mendekat.
"Ganti pakaianmu, kita ke rumah Mama dan Papa, mereka memanggil kita," ucapnya seraya berlalu."
Rima masih mematung sambil keheranan, ada apa orang tuanya memanggil.5'