"Bukankah kamu tahu bila aku tidak suka disela?" ucap Alan.
"Bukankah kamu tahu juga bila aku tidak suka dibohongi, Mas? Masihkah harus ku jelaskan segala rasa sakit atas sebuah kenyataan yang akhirnya ku ketahui."
"Pembicaraan kita hanya berputar di situ saja, tidak akan pernah selesai."
"Karena ini yang jadi masalah kita dan belum selesai!" ucap Rima.
"Maka dari itu, mari kita bicara agar mendapatkan titik temu."
Rima diam, ucapan suaminya itu memang benar, mereka saat ini hanya butuh bicara bersama, apa pun hasil yang akan di dapat pada kisah akhir. "Baik, mari kita bicara."
"Selama ini kamu terlalu mengejar dan mencintaiku, Rima!"
Wanita di sampingnya itu segera melihat ke arah suaminya, kemudian tertawa sinis. "Salah? Kalau bukan padamu apa harus ke suami orang aku menunjukkan cinta?"
"Aku tahu, begitu besar kamu mencintai aku, tapi dengan segala cinta yang kamu tunjukkan padaku membuatku tidak bereaksi, tidak tahu apa yang harus aku perbuat, tidak tahu harus dengan apa aku membalas, cinta yang kamu tunjukkan begitu kuat."
"Kalau kamu mencintaiku seharusnya itu kebahagiaan bukan? Kamu tak perlu lelah mengejar," jawab Rima masih tidak habis pikir dengan jawaban suaminya.
"Hakikatnya laki-laki itu penasaran, ia suka mengejar dan juga suka berjuang, dan itu tidak aku dapatkan darimu."
Rima termangu sejenak, pandangannya masih pada suaminya dengan sejuta keheranan, ia memandang Alan begitu aneh. "Lalu kamu menemukan perjuangan itu pada Gayatri?"
Alan menunduk seolah membenarkan apa yang Rima tanyakan.
"Lalu kenapa tidak memperjuangkannya dan datang padaku, apa karena aku kaya?"
Alan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak membutuhkan wanita kaya, aku bisa bekerja keras."
"Lalu kenapa? Apa yang menyebabkan kamu datang padaku."
Alan kembali diam, ini berhubungan dengan Gayatri, ia tak ingin Rima semakin marah pada sahabatnya itu. Cukuplah sampai di sini saja, Gayatri sudah banyak berkorban, mau tidak mau begitu kenyataannya.
Masih teringat jelas, bagaimana derasnya air mata turun dengan diam-diam ketika ia menemani Rima dalam setiap persiapan pernikahannya. Merelakan itu bukanlah perkara mudah, Gayatri sudah cukup tahu diri selama tiga tahun ini.
"Tidak perlu menjelaskan sesuatu yang aku pun tidak tahu. Kamu percaya atau tidak, aku pun berusaha mencintaimu."
"Tapi nyatanya sulit?" Rima kembali menyela. Alan pun diam.
"Sejak awal aku tidak ingin merusak pernikahan kita, meski kenyataannya semua menjadi berantakan. Bila memang bisa diperbaiki, aku butuh satu kesempatan."
Rima kini yang terdiam, ia menghela napas panjang dan mengeluarkannya dengan perlahan. "Kamu tidak perlu bertahan dengan orang sepertiku. Manja, boros, tak sederhana dan banyak lagi kekurangan."
Rasanya Alan ingin menyela, tapi seluruh kata yang ingin ia keluarkan tertahan di mulut.
Sementara di lain tempat, Gayatri terburu-buru keluar dari Apartemen. Ia baru saja mendapat panggilan dari orang tua Rima dan diminta untuk segera datang.
Satu jam perjalanan, akhirnya mobilnya terparkir di kediaman megah milik orang tua Rima.
"Sengaja saya kamu panggil ke sini, apa yang kamu perbuat pada Rima sehingga dia kehilangan moodnya?" ucap Ibu Rima dengan nada sinis.
"Saya juga tidak tahu, Bu."
"Jangan bilang cinta lama mu belum kelar, ya."
Gayatri menggelengkan kepala.
"Ingat, Ya. Sejak awal kamu datang ke rumah ini itu untuk sebuah tugas. Menemani putri saya, kami pun membayarmu dengan sangat setimpal. Rima adalah putri kesayangan kami, ia dinanti selama 12 tahun dan akhirnya memberi kebahagiaan. Saya tidak mau bila sampai ada satu saja kemauannya tidak dituruti."
Gayatri tak menjawab, sebetulnya hatinya sakit ketika ibu Rima selalu membiarkan dirinya dalam situasi yang seperti ini, menjadi pihak yang tersalahkan, bahkan untuk suasana hati Rima yang tidak bisa ia kendalikan.
"Kalau bisa kamu pun jangan dulu menikah Gayatri," ucap Ibu Rima lagi.
Kali ini Gayatri mendongak, ia menatap pasrah pada wanita di hadapannya yang masih sangat cantik meski sudah berusia di atas 50 tahun. Ini adalah untuk kesekian kalinya keluarga Rima mengatur kehidupan pribadinya.