Datang Mengantar Diri

1150 Words
“Kau sudah menyepakati tawaranku untuk mendapatkan uang itu, bukan? Kau ingin aku membiayai seluruh pengobatan adikmu sampai dia benar-benar sembuh? Kau ingin uang itu secepatnya?” lanjutnya bertanya pada Athalia. Athalia sedikit bergidik ketika telapak tangan Mahesa yang lebar menelisik ke dalam rambutnya, mengelusnya dengan gerakan halus, sebelum akhirnya menyelipkannya ke belakang telinga. Tetapi kepala Athalia tak urung mengangguk sebagai jawaban. “Adikku harus segera melakukan transplantasi. Dia tidak punya banyak waktu.” suara Athalia agak bergetar saat mengatakan itu. Pundaknya berjengit menghindari sentuhan tangan Mahesa yang mencoba mengelus leher jenjangnya. Terasa geli dan aneh bagi Athalia yang tak pernah merasakan sentuhan dari laki-laki dewasa. Mahesa tersenyum menang. “Baiklah. Tampaknya kau sudah sangat tidak sabar ingin segera mendesah di atas ranjangku,” ejeknya membuat Athalia mendengus dan mengalihkan pandangan ke samping. Menyeringai tipis, Mahesa memindai wajah Athalia yang begitu polos. Wajah yang meski jarang terpoles oleh make-up tebal, tetapi masih menampilkan kesan cantik yang unik. Tangannya mengambil sebuah kartu di dompet, lalu memberikannya pada Athalia. “Itu kartu namaku. Di sana ada alamat apartmenku. Kalau kau ingin semua dilakukan secepatnya, maka datanglah malam ini. Mulai nanti malam kau sudah bisa bekerja sebagai teman tidurku,” ucap Mahesa. Athalia menerima kartu nama itu dengan tangan yang agak bergetar. Meski hati kecilnya sangat menentang apa yang ia putuskan saat ini. Tetapi Athalia tetap harus melakukannya untuk Yasna. Mata bulatnya melekat pada kartu nama yang tadi disodorkan Mahesa. Tiba-tiba Athalia menelan ludahnya berat, benaknya membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam dengan dirinya? “Kenapa kau terlihat gugup? Kau tahu ‘kan, sekali kau memutuskan maka kau tidak akan pernah bisa membatalkannya.” matanya mengamati keresahan yang tergambar jelas di wajah Athalia. “Selama satu bulan penuh, tubuhmu adalah milikku. Dan tugasmu adalah menghangatkan ranjangku,” bisik Mahesa, mengelus leher jenjang Athalia dengan gerakan seringan bulu. Membuat Athalia sejenak memejamkan mata. Ingin rasanya ia menghindar, tetapi sialnya Athalia tak bisa melakukan itu. Hembusan napas lelaki itu di kulit pipinya membuat Athalia bergidik. “Lalu… bagaimana dengan pekerjaanku? Apa aku tetap dipecat?” Mahesa tertawa pelan. “Jika aku memecatmu, lalu siapa yang akan melayani hasratku saat aku di kantor? Aku membayarmu bukan hanya untuk dipajang di apartmenku. Tapi untuk melayaniku selagi aku menginginkanmu dimanapun dan kapanpun.” Athalia sedikit terhenyak. Dimanapun dan kapanpun katanya? Bagaimana jika Mahesa meminta dirinya di tempat dan waktu yang tak terduga? “Apa kata-kataku cukup jelas untuk kau pahami, Athalia? Kau mengerti dengan yang aku maksud?” Athalia mengangguk pelan. Itu artinya ia tidak jadi dipecat. Tapi kabar buruknya, bukan tidak mungkin Mahesa akan memanggilnya sewaktu-waktu ke ruang kerja lelaki itu, hanya untuk menuntaskan hasratnya yang seperti kuda liar. “Aku mengerti.” “Bagus! Sekarang keluarlah dan lakukan pekerjaanmu seperti biasa.” sebelah tangan Mahesa mengibas di depan Athalia. Athalia baru akan berbalik ketika Mahesa mendudukan dirinya kembali di kursi kerjanya. Namun saat tangan Athalia hendak mengayunkan daun pintu, suara baritone itu terdengar memanggilnya. “Athalia!” Athalia menoleh, menatap dengan raut penuh tanya. “Iya Tuan?” Mahesa tidak langsung menjawab. Ia tampak berdeham sejenak, sebelum kemudian bicara. “Saat datang ke apartemenku nanti malam, pakailah gaun yang seksi!” Seketika bola mata Athalia membelalak lebar. *** “Athalia. Kau mau pergi ke mana? Tidak biasanya kau dandan malam-malam begini?” Spontan Athalia menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengoles lipstik di depan cermin, ketika tiba-tiba Dian datang dan memergokinya di dalam kamar. “Ibu. Aku pikir Ibu sudah tidur dengan Yasna.” Diam mengangguk, mengelap keningnya yang sedikit berkeringat sambil menghampiri Athalia yang sibuk dengan peralatan make-up murah seadanya yang ia miliki. “Yasna memang sudah tidur. Tapi Ibu belum. Tidak tahu kenapa, malam ini rasanya Ibu susah sekali untuk tidur. Padahal hanya tinggal memejamkan mata. Hati Ibu seperti merasa tidak tenang. Rasanya resah sekali. Perasaan Ibu tidak enak. Ibu juga bingung, mengapa Ibu merasakan perasaan aneh seperti ini.” Mendengar itu, Athalia tergugu di tempatnya berdiri. Matanya menatap nyalang pada cermin yang memantulkan bayangannya sendiri. ‘Ibu tidak tahu. Sebenarnya apa yang sedang Ibu rasakan adalah sebuah firasat buruk. Sesuatu yang buruk akan menimpa diriku, Bu. Malam ini aku akan menyerahkan kehormatanku dan menjadi w************n bagi bosku sendiri. Maafkan aku, Bu.’ Athalia membatin. Dengan alasan akan menginap di rumah teman, akhirnya Dian mengizinkan Athalia keluar rumah malam ini. Padahal Dian tidak tahu jika sebenarnya Athalia akan pergi ke apartemen Mahesa. Menggunakan ojek online, Athalia pun sampai di depan pintu apartemen milik bosnya. Tangannya ragu-ragu memencet bel, sampai akhirnya daun pintu berayun terbuka dan sosok Mahesa yang masih terbalut lengkap dengan kemeja kerjanya, kini berdiri menjulang di hadapannya. “Kupikir kau tidak akan datang,” katanya pada Athalia, bibirnya menyungging senyum kemenangan. “Masuklah! Selamat datang di tempat kerjamu yang baru,” ledek Mahesa sembari membuka daun pintu lebih lebar. Athalia membuang napasnya pelan, merasa kesal. Tetapi kakinya tetap melangkah masuk. Dan mata Mahesa memindai tubuh bagian belakang Athalia yang tampak ramping. “Apa kau ingin minum?” Mahesa sudah duduk kembali di sofanya, tangannya mengangkat gelas berisi minuman memabukan pada Athalia. Athalia yang masih berdiri di tempatnya hanya menggeleng. “Tidak. Terima Kasih,” jawabnya sembari mengalihkan pandangan dan mengusap tangannya sendiri. Mahesa meneguk minumannya cepat sementara matanya masih lekat menatap wajah Athalia. “Duduklah, Athalia. Jika kau duduk terus, nanti darahmu turun.” Mahesa mengedikkan dagu ke arah sofa di seberangnya. Athalia menurut, ia menghempaskan pantatnya di sana. Namun seketika itu juga Athalia menjadi semakin gelisah. Menyadari bahwa mereka hanya berdua saja di apartemen ini, membuat Athalia menelan salivanya berat. ‘Mahesa terus saja menatapku setajam itu. Aku tahu kalau malam ini aku sudah tidak bisa melepaskan diri darinya. Karena aku sudah menjatuhkan pilihan dengan menjadi teman tidurnya. Hanya satu bulan, Athalia, semua ini hanya satu bulan saja. Setelah itu aku bisa bebas dari lelaki ini.’ Athalia berusaha menyemangati dirinya sendiri. Meskipun ia tak bisa menyembunyikan kegelisahan luar biasa yang sedang dirasakannya. “Mengapa kau terlihat gugup? Apa karena ini yang pertama kalinya bagimu? Hmmm?” “Tenang saja, Athalia. Aku bukan seorang lelaki yang menyentuh sambil menyakiti. Aku tidak akan menyakitimu saat melakukannya. Aku pastikan kau pun akan menyukainya. Bahkan mungkin … kau lah yang akan candu denganku.” tersenyum, Mahesa kembali meneguk minumannya dalam sekali tenggak. Athalia memainkan jemarinya gelisah di atas paha, perutnya terasa bergejolak. Mahesa menaruh gelas kosong di atas meja, matanya terangkat menatap pada Athalia yang sudah berkeringat dingin. “Kenapa kau diam saja? Mana Athalia pemberani yang biasanya menyela ucapanku?” Mahesa mengangkat sebelah alisnya. Sejak tadi ia hanya melihat Athalia diam dan membisu. Padahal saat di kantor kemarin, wanita itu tampak berani berdebat dengannya. Athalia tak menanggapi ucapan Mahesa. Ia tetap diam. Ia takut jika ia bicara, malah membuat Mahesa marah lalu membatalkan janjinya untuk membiayai seluruh pengobatan Yasna. “Baiklah. Sepertinya kau sudah merasa tidak nyaman duduk di sini. Kau ingin segera merebahkan diri di atas ranjangku? Tentu saja. Mari ikut aku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD