Seperti yang dikatakan Sunyang tadi malam, aku harus bersiap menemui sang pemilik rumah — tuan Hideki Tojo — satu jam lagi.
Karena aku sudah terbiasa bangun pagi, maka serentetan tugas rutin pertama yang diberikan Sunyang selesai kulakukan dengan cepat. Dari membersihkan bath up si kecil Hiro ( aku menganggapnya begitu karena gangguan susah tidurnya itu ) —yang suka berendam lama-lama di dalam bath up. Jadi , tuan muda Hiro menginginkan tempat itu bersih dari lumut dan kotoran. Kemudian menyiapkan pakaiannya yang kuletakkan di nakas tengah, lalu obat anti depresinya. Serta mengganti air di dalam vas bunga mawar miliknya.
Saat aku mondar-mandir di kamarnya, Hiro sama sekali tak terganggu. Ia tetap terjaga dalam tidurnya dan tak lagi mengigau seperti malam tadi. Lewat pencahayaan lentera minyak yang kuletakkan di sudut jendela, aku bisa melihat jelas rupa sang pemilik kamar. Wajahnya sendu. Pucat. Namun tak menghilangkan kriteria kebangsawanannya. Dia cukup tampan , memiliki rahang yang tegas dan bibir yang tipis.
Aku menggeleng cepat saat menyadari dimana posisi kepalaku semalam ...
"Ikut aku ke ruang makan. "
Bibi Sunyang langsung membuyarkan semua lamunanku. Aku lantas mengekorinya lagi dari belakang menuju ruangan yang ia maksud.
Aku terus menunduk saat mengikuti Sunyang. Ketika kaki meja makan sudah sangat dekat didepan mataku, aku mengangkat kepalaku dan langsung bertemu pandang dengan Tuan Hide.
Disitu lututku langsung melemas..
Tuan Hide benar-benar sosok pangeran dongeng asia timur yang sesungguhnya. Kharismanya langsung terpancar begitu saja walaupun dia hanya mengenakan kemeja putih dan celana olahraga kelonggaran.
"Dewi Sartika" panggilnya saat selesai membersihkan remah roti di sudut bibirnya. Aku tak berhenti gemetar kecil saat dipandang olehnya setajam itu, " I..ya."
Tuan Hide tersenyum ramah padaku. Mata elangnya seperti tengah memindai penampilan baruku pagi ini. Oh..khusus untuk pelayan muda, mereka menyiapkan pakaian merah terang sebagai pakaian resmi. Aku mencoba berpenampilan sebaik mungkin untuk bertemu Tuan Hide pagi ini. Aku harap riasanku tidak terlalu mencolok baginya.
Melihat dua tuan muda yang ada di rumah ini, aku langsung teringat Rubini. Mengetahui aku bekerja dengan siapa, dia pasti sangat iri padaku. Itu pasti.
"Senang bertemu denganmu. Semoga kau menikmati pekerjaanmu disini."
Seperti kata Sohien, mereka sangat fasih berbahasa Indonesia. Mereka bicara dengan bahasa yang sangat santun dan mudah kupahami.
Ia kembali tersenyum manis padaku. Aku yakin semburat merah di pipiku sangat terlihat jelas di wajahku.
"Saya akan melakukan yang terbaik untuk - "
Tuan Hide berdiri lalu meraih tanganku. Ia bahkan mencium punggung tanganku sambil menutup mata. "Tentu, karena pekerjaanmu bukanlah hal yang mudah."
Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku untuk menghilangkan kegugupan. Tuan Hide malah melihatku dengan ekspressi bingungnya yang lucu , "Apa kau demam?" godanya lagi yang langsung membuatku mundur selangkah untuk menjauh.
"Engg.. Enggak Tuan — "
"Tuan, ini sudah waktunya "
Itu Sunyang yang datang memotong perkenalan kami. Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya agar kembali ke keadaan normal.
"Ah iya. Sartika. Temui aku satu jam lagi yah. Lanjutkan dulu pekerjaanmu."
Entah mantra apa yang ia miliki untuk membuatku tak bosan melihat wajahnya. Senyumnya membuatku yakin, kali ini aku tidak salah menerima tawaran Sohien.
***
Rasanya satu jam itu bergerak begitu lambat. Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya lagi walaupun itu hanya sekedar menemaninya membaca diperpustakaan atau mengantarkannya pergi beraktifitas hingga ke gerbang utama.
Diam-diam, aku sudah menyukainya. Maklum saja, selama bekerja dengan Sohien, aku dilarang untuk bertemu muka dengan lelaki seperti apapun selain dirinya dan tukang susunya. Anehnya, aku menuruti perintahnya begitu saja. Lima tahun kuhabiskan untuk membersihkan rumahnya serta menemani anaknya — Liam bermain dan belajar.
Karena Liam itulah aku bisa belajar menulis dan membaca. Termasuk ikut masuk sekolah dasar walau hanya berlangsung selama tiga tahun saja.
Pikiranku kembali normal saat kaki ini sudah berada di depan kamar tuan muda kedua. Entah kenapa perasaan suram langsung menyertai kedatanganku ke kamar ini.
Untuk berhati-hati, Sunyang menyarankanku untuk menjaga jarak dengan Tuan muda Hiro. Dia memang adik kandung Tuan Hide, tapi sifat dan karakter mereka sangatlah berbeda.
Hiro lebih dikenal sedikit kasar jika gangguan mentalnya itu kambuh. Bahkan Sunyang mengantipasiku dengan cerita, pelayan sebelumku pernah dicekik nyaris mati olehnya. Jadi untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, mereka membuat lubang kecil rahasia untuk memantau Hiro dari luar kamar. Letaknya tepat menghadap tempat tidurnya. Dan lubang itu tidak diketahui olehnya selama ia menempati kamar ini.
Akupun memastikan lebih dulu seperti yang disarankan Sunyang padaku — mengintip dari lubang rahasia.
Dirasa cukup aman, aku melangkah masuk dengan amat sangat tenang. Tak ingin berlama-lama , akupun segera meletakkan obat tradisional yang disiapkan pelayan dapur di meja sebelah ranjangnya.
Kupercepat pekerjaanku merapikan beberapa barang yang tak tertata pada tempatnya sekalian mengutip beberapa pakaian yang tercecer di kaki ranjang. Tak lama suara kran air berhenti mengalir, berganti dengan dengan suara engsel pintu kamar mandi yang terbuka.
Hiro keluar dari kamar mandinya dengan handuk yang tersampir menutupi bagian tengah tubuhnya. Kami memang saling bertemu pandang, tapi entah mengapa ia hanya diam mengamatiku tanpa ekspresi lalu berjalan mendekati pakaian yang telah kusiapkan.
Wajahnya pucat ditambah bibirnya yang membiru. Walaupun aku tepat dihadapannya, Hiro seperti tak melihatku sama sekali. Lewat sinar matahari dari jendela kamarnya, aku bisa melihat jelas kantung mata serta wajahnya yang lebih mirip mayat hidup.
Aku tertegun melihat Hiro tanpa risih mulai memakai pakaiannya dihadapanku. Reflek aku membalikkan badan untuk keluar kamar.
"Kenapa kau tidak mendengarkanku?"
"Ya?" jawabku spontan ketika pertanyaan itu ditujukan padaku.
"Aku menyarankanmu untuk segera pergi dari rumah ini. Apa semalam kau tidak mendengarnya?"
Tubuhku dipaksa berbalik menghadapnya. Mata Hiro tersirat kemarahan disana. Ia menatapku tajam seperti akulah mangsanya.
Nafasnya naik turun menahan emosi , "Pergi , sebelum terlambat !!" bentaknya kemudian.
Aku meronta karena terus diterkam dengan cengkraman tangannya yang kuat di kedua lenganku. Dengan alis mata bertaut menantang, aku berkata padanya , "Pergi untuk hal apa? katakan dengan jelas!! kenapa aku harus pergi dari rumah ini?"
Aneh sekali.
Entah darimana datangnya keberanianku itu.
Selama ini aku dikenal pendiam dan tidak pernah memberontak. Tapi ketika tak berdaya seperti ini, walau dia adalah majikanku, aku melawannya dengan berani.
Bodohnya.
Bisa saja setelah ini aku akan dipecat.
Pandangan Hiro melunak. Ia melepaskan cengkramannya lalu mulai kebingungan. Karena tak ada lagi yang harus di perdebatkan, akupun melengos keluar kamar.
Pintu kututup dengan perlahan. Saat itulah mata kami bersinggungan lagi. Hiro yang terduduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya seolah mengawasiku tanpa mengucap sepatah katapun padaku.
Tapi dari matanya , aku menangkap apa yang coba ia katakan. Bahkan kata yang masih terngiang di telingaku ketika ia berbisik padaku malam tadi.
"Tolong aku .."