Yang Pertama

1216 Words
"Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Latar belakang pada jaman tersebut sengaja dibuat sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan sejarah aslinya." == "Aku tak bisa lari karena kau meminta tolong padaku. Bagaimana aku bisa lari dari rumah ini dengan meninggalkanmu sendirian lagi?" Kami terdiam. Saling menatap tanpa kata. Entah apa yang ada dipikirannya, namun yang aku tahu wajah cemasnya berubah sendu. Lalu tanpa perlu ijinku lagi, tuan Hiro mengelus pipiku lembut. "Jika ada kesempatan, jangan berpikir lagi." "A..aku -" "Sartika! Cepat turun!" Suara Sunyang menginterupsi perbincangan kami. Aku tergagap karena sadar dengan situasi ini. Karena tak ada hal lain, akupun bergegas sebelum Sunyang menyeretku keluar. Dan benar saja, Sunyang sudah ada di depan kamar tuan Hiro dengan tatapan tajamnya itu. Aku berusaha mencari alasan namun ternyata aku selamat lagi hari ini. "Cepat turun." "Ba..baik." Lalu akupun bergegas untuk mengganti pakaianku. Kulihat tuan besar datang. Beliau dengan bathropenya terlihat sekali habis bersenang-senang. Aku memberi hormat kemudian dia tersenyum miring. Di belakangnya ada tuan Hideki yang juga mengamatiku. Tapi wajahnya..terlihat sangat muram. Ada apa mereka ke kamar tuan Hiro? Perasaanku tak enak. Entah kenapa tuan Hiro ditarik paksa keluar dari kamarnya. Saat aku ingin mencari tahu, mereka sudah menghilang. Dan lagi pula Sunyang juga sudah menungguku untuk melakukan tugas. Selesai membersihkan kolam dan mencuci pakaian tuan Hiro, aku langsung mengendap-endap mencari tempat terakhir aku melihat mereka membawa tuan Hiro. Aku menuju ruangan yang tak pernah kulalui sebelumnya. Yaitu sebuah gang setelah dapur. Aku berjalan menyusuri lorong sampai aku melihat sebuah ruangan yang di atasnya tertulis tulisan Kanji. Aku tak tahu apa itu. Tempat ini disekat dengan dinding kertas ala rumah jepang. Aku menggeser pintu kayu itu dan tercengang melihat ruangan berukuran besar ini. Di dalamnya ada lagi ruang baca merangkap aula keramik yang di atasnya tergantung kayu besar yang dirantai besi. Aku mengedarkan pandanganku lagi pada alat - alat yang terbuat dari besi lainnya. Bahkan juga ada beberapa cambuk kulit sapi dengan berbagai jenis ukuran. Aku menelan ludah dengan susah payah. Pasalnya..di sini sangat terasa sekali mencekam dan dingin. Ctaakk !! Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku mengarahkan lagi pandanganku pada ruangan sekitar. Rasa dingin yang menusuk entah kenapa tiba-tiba datang di cuaca yang panas ini. Ctaakk !! Lagi, dan aku semakin gugup. Ku arahkan pendengaranku pada suara seperti cambukan itu. Dan langkahku terpatri pada satu dinding. Ku tempelkan telingaku untuk mencoba kembali mendengar suaranya. Tapi yang terdengar malah suara detak jantungku sendiri. Lamat-lamat suasana malah semakin hening. Aku menyerah karena kupikir  mungkin ada yang salah dengan pendengaranku. Aku menoleh untuk berbalik. Dan yang ku temukan lebih dari sekedar bayangan hantu yang sejak tadi ada dipikiranku.. "Sartika —" Tuan Hiro berdiri lemah dengan luka memar di beberapa bagian tubuhnya. Aku menahan diri untuk tak berteriak dan berjalan menghampirinya yang nyaris tersungkur ke lantai. "Tuan Hiro!" # Ini sudah larut malam. Aku menunggunya bangun nyaris selama setangah hari. Lukanya bertambah. Dan kulihat lebam di kaki karena salam — bodoh ayahnya itu — jadi semakin terlihat. Belum lagi, luka di kening , di sudut bibirnya dan di dadanya. Aku menghampiri luka-luka itu dengan jariku. Dan perasaan sesak langsung menyumbat pergerakan diagramaku. Aku marah karena perlakuan mereka pada orang yang mereka anggap sakit seperti tuan Hiro. Aku marah karena tak mendengarkan ucapannya waktu itu — "Sartika —" Aku bangkit begitu mendengarnya menyebut namaku. Dia melihatku dingin sambil menyeka airmataku yang tak ku sadari kapan ia mengalir. "Kenapa kau ada di sana?" Aku mengeryit, "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh kesana? Katakan padaku," ujarku sedikit memaksa. Aku bahkan menggoyangkan bahunya untuk meminta jawaban darinya. Tuan Hiro menyentuhkan lagi sapuan tangan lembutnya itu ke wajahku dan sukses membuatku menahan napas. "Itu tempat yang harus kau hindari. Aku tidak mau kalau kau sampai diseret kesana." Wajahnya sendu mengisyaratkan ketulusan. Aku diam sejenak sebelum akhirnya melesak naik untuk memeluknya. Aku mendengarnya mengaduh pelan karena luka-lukanya tersentuh. Tapi aku semakin mengeratkan diri masuk ke seruk lehernya untuk kembali mengeluarkan sesak didada yang tak kunjung mereda. "Kenapa kau tidak keluar dari rumah ini? kenapa memilih bertahan?" Tuan Hiro bangkit untuk duduk lalu menarik wajahku untuk menghadapnya. Dua ibu jarinya menyeka airmataku lagi sebelum ia mulai berkata ,"Aku sudah coba untuk keluar, tapi selalu gagal. Mereka tidak akan membiarkanku kabur seujung jaripun." Aku menarik napas dalam-dalam lalu menatapnya lebih berani, "Lalu bagaimana caraku mengeluarkanmu dari sini?" tanyaku yang diakhiri guratan kecil di dahinya. Tuan Hiro bergerak mengerluarkan sesuatu di bawah kasurnya. Sebuah amplop cokelat usang... Hiro mulai berbisik dengan amat pelan ke telingaku dan membuatku menahan napas merasakan hembusan napasnya. "Aku menyiapkan ini sejak lama. Aku percaya satu hari akan menemukan orang yang akan mempercayaiku. Dan aku menemukanmu." Aku mengerjap memahami ucapannya. Dan tuan Hiro membalasnya dengan senyum tipisnya. Ketika keheningan kembali menyerang kami, aku baru menyadari bagaimana posisiku sekarang. Duduk dikedua pahanya yang tertutup selimut. "Anda ingin makan sesuatu? dari siang anda belum makan kan?" ujarku gugup sambil menahan diri untuk tidak mengigit bibirku. Aku tahu apa yang Hino senyumkan , ia pun terlihat gemas dengan perbuatan kecilku. Atau pertanyaanku tadi? "Boleh aku menciummu, Sartika?"  Pertanyaannya membuatku seperti melayang di udara. Ada sesuatu dalam diriku yang sedang menari dengan girangnya. Bagaimana aku menjawabnya? Katakan iya? atau aku akan seperti asisten dapur lain yang merayu majikannya? "Aku — " Bibir tipis itu berhasil menyapaku dengan lembut. Aroma kayu langsung menyeruak begitu bibir ini mengikuti keinginannya. Aku sempat diam tertahan namun sulit. Gengsi dan keinginan terdalamku untuk merasakannya begitu tak seimbang. Karena di umurku yang sekarang, inilah kali pertama aku merasakan ciuman hangat. Bukan ciuman paksa seperti saat b******n itu lakukan di dalam kolam. Aku memang b***k rendahan. Tapi aku juga perempuan. Aku ingin satu hari nanti bisa merasakan ciuman dan cinta yang sebenarnya. Dan aku harap, ini bukan selingan bulu semata. Keheningan berubah menjadi suara decapan kami. Aku semakin beranikan diri mengeksperikan sesuatu yang tertahan dalam diriku. Tanganku melingkar sempurna di lehernya. Meremas rambut hitam legamnya saat ciuman penuh penekanan ia lancarkan padaku. Aku melepas tautan kami saat mendengarnya meringis — "Apa sakit?" tanyaku khawatir yang ternyata tubuhku telalu menekan bagian dadanya. Seringai ditambah kabut gairahnya mengerjapkanku. Sekali dorongan kebelakang, tubuhku jatuh berbaring ke ranjang dengan dirinya yang berada di atasku. Menaikkan sebelah pahaku untuk membuat kami semakin merapat. Wajahku memerah begitu melihat wajahnya mendekat padaku, "Jika seperti ini, tidak akan —" Aku meneguk ludah saat Hiro menyeruak ke leherku. Merasakan setiap inci bibir kenyalnya menyapa kulitku dengan lembut. Membawa sebagian diriku yang lain kini meloncat-loncat di setiap anak tangga. Deru napas Hino berhenti pada dadaku. Ia menyelidikku sejenak sebelum tangannya menyelinap pada resleting seragam maidku di balik punggung — Dalam hitungan ketiga semua yang menutupi tubuhku sudah terhempas. Tergantikan dengan gesekan d**a bidangnya padaku. Sentuhan pada payudaraku.. Sentuhan pada pusarku.. Dan pekikan tertahan saat jarinya menyapa dinding keintimanku dari luar celana dalamku. Aku menarik napas lagi begitu ia kembali berbisik, "Aku menginginkanmu, Sartika —" Aku mendongak menyapu bibirnya sekaligus merasakan jarinya berada di dalamku. Terlalu asing tapi mampu membuatku untuk mengiyakan permintaannya. Dalam ciuman kami yang semakin memburu, aku berhasil melepas semua pakaian yang tersemat padanya. Termasuk celana denim keabuan yang begitu kurasakan bagian tengah tubuhnya merespon pada pangkal pahaku. "Kau ingin mengakhirinya di sini?" "Hiro-kun —" Aku memanggilnya begitu tangannya membuka lebar pahaku. Aku dengan jalangnya menggelengkan kepala sesekali menjalarkan tanganku pada d**a dan p****g miliknya. Mino menggelinjang dan langsung menindihku semakin merapatkan diri. Wangi keringatnya semakin memperpendek napasku. Aku semakin tak bisa menahan diri, saat  melihat dia yang teracung di sana. "Ini pertama kalinya bagiku," ujarnya tersipu. Aku menunggunya mengantisipasi untuk masuk ke dalam diriku dengan menaikkan pinggulku. Saat kami sama-sama tenggelam dalam sensasinya, aku tersenyum tipis sambil meringis merasakan sesuatu terkoyak dalam diriku. Ada kedutan dalam diriku setelah penyatuan kami. Setelah berhenti, aku semakin tenggelam di setiap gerakan Hiro padaku "Kau juga yang pertama bagiku, Hiro-kun —" . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD