kaget dan sedih

766 Words
Suamiku benar-benar marah, bola matanya melotot seakan mengeluarkan api dari sana. Tatapan matanya tajam padaku dan aku pun membalasnya dengan tatapan yang tak kalah berkilatnya. Aku dan dia saling beradu pandang dan kemarahan di pagi yang seharusnya penuh dengan keberkahan. "Apa kau bilang?" "Aku bilang jangan menyentuhku sebab kau akan membutuhkan tanah untuk 7 kali membasuh tanganmu." "Apa maksudmu?" "Bukankah aku hanya anjing bagimu!" "Aku tak mengerti Fatiya, Apa maksud ucapanmu. Kenapa tiba-tiba kau mengila seperti ini dan membuatku tak habis pikir. Apa maksudmu!" tanya lelaki itu yang seakan sama sekali tidak mengerti arah pembicaraanku. Entah karena dia belum sampai pada pemikiran semacam itu, ataukah dia lupa dia telah menamakan diri ini dengan kontak gambar hewan. Tiba tiba anak kami keluar dari kamar mereka dan terlihat khawatir dengan teriakan kedua orang tuanya, melihat Daffa dan Sinta ketakutan Mas Kevin segera melotot pada diri ini dan memintaku untuk menghentikan perdebatan kami. "Entah apa yang kau maksudkan ...tapi aku minta agar kau diam! Anak anak akan terganggu mentalnya!" "Terserah, apapun yang kau katakan aku tak peduli lagi," jawabku yang kembali mendecih tapi menjawab dengan jawaban yang perlahan. Pria itu kemudian meraih kedua anaknya lalu memeluk mereka, kemudian menciumnya kedua anaknya, lalu berangkat kerja tanpa banyak bicara lagi. Sebenarnya pertengkaran dan perdebatan itu belum selesai, hatiku belum puas untuk melampiaskan sakit, ditambah kepalaku pusing karena sejak semalam aku tak mampu memejamkan mata, tak sedikitpun mata ini mampu tertidur karena kepala ini terus berputar tentang pemikiran, mengapa aku diberikan nama kontak dengan gambar anjing seperti itu. Jika aku adalah anjingnya, lalu siapa wanita yang sebenar-benarnya menduduki tahta hatinya, siapakah orang yang dia cintai dan pantas ia muliakan, lalu dengan bangga dia sebut istri, sebagaimana aku menyebutnya suamiku tersayang. Ah, aku merasa tiba-tiba keadaan jadi tidak adil, semua pengorbanan dan kasih sayangku terhadap dirinya seakan sia-sia saja, begitupun cinta yang kuberikan seperti omong kosong yang sama sekali tidak menyentuh perasaannya sampai ia tega menyebut diriku dengan kata seperti itu. Hal yang paling menyakitkan adalah ciri khas dari nada dering ponsel itu, setiap kali aku memanggilnya suara anjing menyalak-nyalak dengan buasnya seakan-akan aku adalah hewan liar yang akan menyergapnya kapan saja, memeras hartanya dan menyakiti perasaannya sepanjang waktu. Tidaklah seseorang diberi sebutan anjing kecuali yang bersangkutan sangat membencinya. Sangat sangat muak dan jijik. Astaghfirullah, berulang kali aku beristighfar di dalam hatiku dan terus bertanya-tanya, apakah salah dan dosaku sampai-sampai Mas Kevin melakukan ini padaku. Meski hanya gambar kontak berupa emoji anjing, tapi hati ini terluka dan berdarah-darah. Entah kenapa aku sulit menerima perlakuan itu dan rasa sakitnya terus terngiang-ngiang di kepala ini. Aku sangat tersakiti, demikian pula hati ini sangat tidak terima. * Demi menghilangkan kekesalan dalam hatiku, aku memutuskan untuk pergi berbelanja, ada dana darurat yang selama ini aku hematkan dan kusembunyikan, siapa tahu kami tiba-tiba sakit atau ada keluarga yang mendapatkan musibah. Kuambil uang itu dari balik amplop putih yang kuselipkan di lemari, lalu pergi berbelanja dengannya. Tempat pukul 02.00 siang aku kembali ke rumah membawa tas belanjaan gamis baru, hijab dan sepatu. Aku juga beli makanan dan cemilan untuk anak-anakku. Saat kuparkirkan motorku di garasi ternyata mobil mas Kevin sudah ada di sana, mobil cicilan yang baru 2 tahun berjalan bersama kami. Rumah kami pun tidak demikian besar hanya rumah tipe 36 yang baru berjalan cicilannya selama 7 tahun. Hidup kami memang penuh dengan cicilan dan sehemat itu, Mas Kevin bekerja di bea cukai, meski dia pegawai, tapi aku cukup tahu diri, aku tak pernah terlalu boros dengan penghasilannya. "Kau darimana?" "Belanja," jawabku pelan. "Tumben, uang darimana?" "Uang yang ada." "Kau yakin menghabiskan uang untuk berbelanja, bukankah ini bukan waktunya gajian? Apa kau yakin kebutuhan rumah sudah tercukupi?" "Selama ini aku mengurusi kalian dengan baik dan tidak pernah kita kekurangan makanan atau minuman, suatu kali aku juga berhak membahagiakan diriku dan memberikan reward atas banyaknya usaha dan pengorbananku sebagai istri dan ibu rumah tangga yang sibuk," jawabku panjang lebar. "Reward? Halo ... apa kabar diriku yang dari pagi sampai sore bekerja di kantor tanpa ada cuti sedikitpun, apa aku harus dapat hadiah juga?" "Entahlah, kalau kau mau, hadiahkan saja dirimu sendiri!" jawabku sambil acuh tak acuh dan melenggang masuk ke dalam rumah. "Ada apa denganmu?" Lelaki itu marah, dia bertanya dengan nada tegas. Kendati aku tetap berjalan melewatinya, dia memburuku. Mungkin karena kelelahan baru pulang kerja serta merasa gerah, dia jadi kesal dengan ucapanku. "Apa yang terjadi Fatiya?" "Kau ingin tahu?" "Ya?" Lelaki itu menunggu dengan wajah menantang, sementara dengan santai, aku meraih ponselku dan segera menelepon kontak yang masih kusebut, Suamiku tersayang. Guk guk! Suara anjing herder itu kemudian menyalak di ponselnya dan dia seketika, seakan menyadari sesuatu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD