keadaan tanpa mamak

1774 Words
Keadaan tanpa mamak Lebih baik menjauh, daripada terlalu dekat tersakiti. Itulah cara gue menggoreng ikan. Dimas --- Alarm dari sebuah ponsel berdering sebagaimana mestinya, berusaha membangunkan seseorang yang kini tergeletak di atas ranjang dengan selimut yang menyingkap di bagian kaki. Selimut yang seharunya mampu menutupi tubuhnya dan melindunginya dari rasa dingin itu malah teronggok tak berguna di bawah sana. Tubuhnya menggeliat pelan, ketenangannya terganggu karena suara bising itu, lalu perlahan matanya mengerjai pelan, dia mengangkat tangannya malas merayap untuk mencari benda pipih yang tergeletak di atas lantai, dengan tangan panjang yang menjuntai, dia mampu mendapatkannya. Lalu samar-samar dia melihat jam yang tertera di sana. Pukul empat pagi. Sejenak dia membiarkan alarm itu mengusik ketenangannya agar dia benar-benar bisa mendapatkan kesadarannya. Lalu lima belas menit berlalu alarm itupun mati dengan sendirinya, dan dia mampu mendapatkan kesadarannya. Walau dengan tubuh yang masih terlentang dengan tatapan tertuju pada langit-langit kamar, dia sudah sepenuhnya sadar. Perlahan namun pasti. Dimas beranjak dari tempat tidur. Duduk di sisi ranjang lalu meletakkan ponselnya di sisi tempat dia duduk. Hari baru dan semangat baru. Mungkin itu yang biasa diucapkan oleh banyak orang, tapi tidak dengan Dimas. Pasalnya hari ini mamak berada di rumah nenek dan dia harus ditinggal dengan sang adik karena mereka masih harus sekolah Semua terjadi saat kemarin setelah Dimas selesai melakukan tugasnya untuk mengantarkan laundry, mamak mendapatkan kabar jika sang nenek jatuh sakit, dan hal itu membuat mamak dan bapak akhirnya pergi sore itu juga, meninggalkan dirinya dan juga sang adik di rumah berdua saja. Sebagai anak tertua, dia harus menjamin dan menjaga sang adik Serka mengurus segala sesuatunya, seperti menyiapkan sarapan. Membangunkan sang adik dan berangkat ke masjid. Mamak memang sudah menyiapkan beberapa persediaan selama beliau ada di rumah nenek, seperti halnya ayam yang sudah direndam bumbu yang disimpan di dalam lemari pendingin. Dan beberapa sayuran. Tugas Dimas hanyalah menggoreng dan menyajikannya untuk sarapan nanti. Dengan tubuh gontai, Dimas keluar dari dalam kamar, tujuan utamanya adalah kamar mandi, sekedar mencuci muka sebentar, lalu setelahnya dia beranjak ke dapur. Menyiapkan segala bentuk keperluan yang akan dia gunakan untuk menggoreng ikan pagi itu. Lalu setelah wajan dan minyak panas sudah dia siapkan diatasi kompor. Dimas segera mengambil satu tuperwere dari dalam lemari pendingin. Mengambil ikan yang ada di sana dan dia letakkan di atas piring yang sudah dia bawa sebelumnya. Dengan wajah yang masih mengantuk. Dimas menghidupkan kompor. Menunggu minyak sampai panas di atas penggorengan. Inilah kebiasaan yang dilakukan saat sang mamak tidak ada di rumah, dia harus bersikap mandiri dan mengurus adik satu-satunya agar tidak kelaparan. Karena dia terlahir menjadi anak tertua, maka sudah menjadi kewajiban dirinya menjadi wali untuk sang adik. "Gini amat yak tiap tinggal mamak." Dimas meratapi nasibnya sebentar, hanya sebentar, dan dia tidak ingin mengeluh. Sebagai anak laki-laki dia tidak boleh sekalipun mengeluh. Karena mengeluh hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang tidak pernah bersyukur. Inilah alasan mengapa Dimas selalu menghormati sang mamak, membantu apapun yang bisa dia lakukan hanya agar sang mamak tidak terlalu kelelahan. Walau terkadang. Apa yang dilakukan Dimas masih terlalu banyak merepotkan sang mamak. Setidaknya dia tidak pernah mengeluh untuk hal itu. Lalu setelah beberapa saat menunggu, Dimas menyadari jika minyak diatasi wajan sudah mulai panas, dan setelahnya dia segera memasukkan satu ikan ke dalam minyak panas. Tapi sebelum itu Dimas memilih menjaga jarak, karena jika terlalu dekat. Akan ada cipratan yang mengenai tangannya atau bagian tubuh lainnya, dan itu akan sangat berbahaya untuk dirinya. Minyak panas lebih sakit jika terkena kulit, itu yang Dimas tahu. Jadi lebih baik menjauh dari para terlalu dekat malah akan membuat diri ya menderita. Setelah dirasa aman. Dengan menggunakan spatula dia mulai memasukan ikan ke dalam minyak panas Suara bising langsung terdengar saat campuran ikan dan air masuk ke dalam minyak panas, dan beberapa dari minyak itupun terpental dan hampir mengenai tangan Dimas. Beruntung dia bisa mengambil langkah dan menjaga jarak dari kompor. Beberapa kali melakukan hal ini Dimas sedikit tersadar, jika peran seorang ibu sangatlah berat, hanya agar anaknya bisa makan dengan layak dan merasakan masakan yang nikmat, mereka rela bangun bagi dan menyiapkan asupan nutrisi yang cukup untuk keluarga mereka. Jadi betapa bodohnya orang-orang yang tidak pernah menghargai orang tua di rumah, atas semua yang sudah para orang tua sediakan untuk keluarganya sendiri. Yah, Dimas jadi semakin merasa jika selama ini dia hanya bisa merepotkan mamak tanpa tahu rasa berterimakasih, tapi semoga saja apa yang Dimas lakukan selama ini tidak membuat sang mamak merasa sakit hati kepadanya. Dia menghela napas sejenak, sudah setengah jam berlalu dan Dimas sudah selesai dengan ikan gorengnya. Nasi pun sudah dia tanak dan tinggal menunggu matang saja di dalam rice cooker. Setelah menyajikan ikan goreng ke atas meja, Dimas segera bergegas ke kamar Agung, dia ingin membangunkan sang adik, tapi ketika dirinya membuka pintu. Kamar Agung sudah terlihat terang, dan benar saja, saat Dimas mendorong pintu. Dia melihat sang adik sudah duduk di meja belajarnya dengan dua buku di hadapannya. Buku tulis dan juga buku cetak. Sepertinya dia sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Agung memang seperti itu, dia selalu menyempatkan dan membiasakan diri untuk bangun pagi. Walau terkadang dia sulit untuk bangun pagi. Itu jika ada mamak di rumah, tapi berbeda jika mamak tidak ada di rumah. Antara takut dimarahi Dimas, atau memang dia menjadi mandiri dalam waktu singkat ketika sang mamak tidak ada di rumah. "Tumben tong udah bangun?" Agung langsung menghentikan kegiatannya, sejenak dia menoleh menatap Dimas dengan tatapan tak suka. "Salah aja terus, bangun pagi salah, bangun siang tambah salah, maunya apa coba?" "Lah bocah. Pagi-pagi udah sensi aja, palang merah lu?" "Apa sih kak!" Dimas terkekeh pelan sebelum dirinya mendekati sang adik yang ada di sana. "Ada pr emang?" Tanya Dimas Setelahnya. Agung yang saat ini kembali fokus dengan bukunya menggeleng pelan. Hal itu tentu saja membuat Dimas mengerutkan keningnya dalam. "Lah terus?" "Ada hapalan perkalian, kak?" Dimas yang mengerti hanya mengangguk pelan. "Hapalannya nanti aja, nanti kakak ajari cara hitung perkalian cepat. Sekarang kita ke masjid dulu, udah mau Subuh." Angga yang sudah terbiasa sholat di masjid langsung setuju dan menutup bukunya, mereka memang sudah dilatih oleh orangtuanya sejak dini untuk beribadah. Dan sampai sekarang pun kebiasaan itu selalu mereka kerjakan tanpa adanya sebuah keluhan atau kata malas sekalipun. ---- Seperti biasa. Keadaan pagi masih terlihat begitu sunyi hanya ada beberapa bapak-bapak dan anak remaja seusia Dimas yang berjalan menuju masjid seperti dirinya. Mereka di komplek ini sudah sering bertemu saat waktu subuh dan akan jarang bertemu di waktu siang hari karena aktivitas yang mereka kerjakan. "Berdua aja, dim? Bapak kemana?" Dimas dan juga agung yang berjalan beriringan sejenak berhenti saat mendengar suara yang tak asing itu. "Eh pak RT. Iya pak. Bapak sama mamak masih di rumah nenek." "Loh sejak kapan?" "Baru aja berangkat kemaren sore pak." "Oalah pantasan magrib bapak sama kamu nggak ke Masjid." "Iya pak, bapak pergi, nenek sakit jadi mereka buru-buru berangkatnya." "Loh, sakit apa, dim?" "Komplikasi, pak." Udara Dimas meredup saat mengatakan kalimat itu. Dia sadar karena sang nenek memang sudah mengidap berbagai macam penyakit. Pembengkakan jantung, asam lambung, dan darah tinggi. Semua itu mempengaruhi daya tahan tubuh nenek yang udah berusia delapan puluh tahun. Dan mamak sebagai anak perempuan satu-satunya tentu mendapat peranan penting untuk merawat nenek. Walau saat ini nenek tinggal bersama anak bungsunya. "Astaghfirullah. Semoga di beri kesehatan untuk nenek dan keluarga ya, dim." "Aamiin." Dimas hanya mengangguk kecil. Bahkan saat pak RT mengajaknya masuk ke Masjid karena waktu subuh akan segera dimulai, Dimas hanya berjalan lesu mengikutinya. Sebenarnya Dimas ingin menyusul mamak dan melihat keadaan nenek, tapi Dimas dan Agung masih memiliki tanggung jawab untuk sekolah, dan karena itu juga dia terpaksa untuk tinggal saat ini. ---- "Dek! Udah belom!" Teriak Dimas yang saat ini tengah mengenakan sepatunya di teras rumah, mereka baru saja selesai sarapan, dan saat ini sudah waktunya untuk berangkat, Heru sudah semakin siang, dan mereka harus segera berangkat. "Udah siang loh!" "Sebentar! Aku masih cari buku MTK! Kakak liat nggak!" "Loh bukannya tadi ada di meja belajar! Kan kamu yang ngeluarin tadi!" Lama suara menjadi hening. Dimas tidak tahu apa yang dilakukan sang adik. Sebelum akhirnya agung berteriak di dalam kamar. "Oh ya ada!" "Dasar!" Kekeh Dimas, padahal sudah jelas jika adiknya baru saja belajar pagi tadi, bisa-bisanya dia melupakan hal sekecil itu. Dan tak lama setelahnha agung datang sembari menenteng sepatu miliknya dan duduk di sebelah Dimas. Dengan tergesa-gesa dia mengenakan sepatu itu, karena dia takut ditinggal oleh Dimas. "Kakak pulang jam berapa nanti?" "Em?" Dimas menoleh dia baru saja melamun dan tidak mendengar pertanyaan adiknya. "Kakak pulang jam berapa nanti?" "Jam tiga mungkin." "Yah, kok sore banget?" "Kakak ada kegiatan soalnya." "Yah ... Terus aku pulang tempat siapa?" Dimas terdiam sejenak. Inilah yang menjadi alasan dan ketakutan dirinya. Pasalnya adiknya ini masih belum berani di rumah seorang diri. Dan termasuk berbahaya saat anak SD kelas dua untuk tinggal di rumah tanpa ada orang yang mengawasi. Memang saat seperti ini peran orang tua sangat diperlukan, dan Dimas tidak tahu harus berkata apa. "Coba nanti pas berangkat kita mampir di rumah pak RT. Kamu pulang sama Lia dan tunggu kakak di rumah pak RT aja, nanti kakak coba minta izin." "Tapi kak ...." "Kakak janji bakal pulang cepat." Ucap Dimas berusaha untuk menenangkan adiknya yang masih bimbang di sana. Dia berusaha untuk tetap tenang dan mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan hal yang ceroboh, contohnya saja membolos hanya demi bisa menjaga sang adik. Dia mengingat jika dirinya sudah berada di kelas tiga, apalagi sebentar lagi dia akan ujian akhirnya. "Beneran janji bakal pulang cepet." "Iya." Jawab Dimas sembari mengacak rambut agung dengan gemas, lalu setelahnya dia berdiri dari sana dan menatap agung. "Ya udah berangkat yuk. Keburu siang." "Em." Agung yang kini sudah merasa tenang langsung berdiri dan menyusul langkah Dimas. Mereka berdua segera berangkat menuju rumah pak RT dengan maksud untuk menanyakan perihal tentang Agung yang akan dititipkan di rumah pak RT setelah pulang sekolah nanti. Berhubung anak pak RT adalah teman sekolah agung, maka Dimas bisa lebih tenang jika agung berada di rumah beliau. "Oh nggak papa, nak. Biar agung nanti main sama Lia." Ucap oak RT dengan ramah menyambut kedatangan dan maksud dari Dimas. Hal itu tentu saja membuat Dimas bernapas lega, setidaknya masih ada orang-orang baik yang mengelilingi dirinya. Untuk itu, Dimas beruntung saat dia tumbuh dilingkungan sehat dan baik. Walau terkadang, di luar lingkungan Dimas masih sering melakukan hal-hal yang sedikit nakal dan tak terkendali. Setelah mengucapkan terima kasih dan menitipkan agung untuk berangkat bersama pak RT serta Lia, maka Dimas memutuskan untuk segera berangkat ke sekolah. Karena hari sudah semakin siang. Dan karena hari ini dia juga ada pelajaran tambahan serta kegiatan yang sedikit menyita waktu, maka Dimas sudah menyiapkan dirinya untuk menghadapi hari. Walau itu berat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD