si pengganggu

2147 Words
Si pengganggu Melupakan ... jika gue bisa memilih, rasanya gue lebih baik nggak mengenal Lo sejak awal, jika akhirnya harus dipaksa melupakan. Dimas ----- "Eh lo udah tau kabar terbaru belom." Arif mengucapkan kalimat di sela makan nasi uduknya, dan hal itu tentu saja tidak mendapatkan respon dari Dimas yang baru saja melahap semua gorengannya dan merasa kenyang serta kepedasan karena dia mengambil terlalu banyak sambal hari ini. Padahal hari ini dia mengambil porsi sambal yang sama seperti biasanya, tapi sepertinya si bude penjual menggunakan jenis cabe lain dari biasanya, untuk itu tingkat kepedasan yang dia rasakan sangat luar biasa. "Lo ini. Gue tanya juga!" "Apaan? Makan-makan aja nggak usah ngajak orang ghibah, keselek sendok baru tau rasa Lo!" Balas Dimas, mengambil tisu bekas ingusnya dan langsung melemparkan ke arah Arif dengan raut kesal. "Yaelah, gue kan cuma mau kasih tau Lo doang!" "Nanti aja, makan dulu yang bener, keselek nggak tanggung jawab gue. Mati pun bodo amat!" "Nggak lucu amat mati cuma gara-gara keselek!" "Ya makanya nggak usah banyak ngomong. Makan yang bener!" Dimas meraih gelas teh manisnya dan menenggaknya hingga sisa setengah. Sebelum akhirnya dia berdiri. "Gue mau ke toilet dulu. Lo kalo mau ajak ghibah susul gue aja!" Balas Dimas. Selain rutinitas makan gorengan dan minum teh manis, Dimas juga butuh asupan nikotin sebelum menjalankan hari panjang dengan kejenuhan yang sangat luar biasa. Sekolah adalah hal termalas yang andai bisa dia skip atau lewati, maka akan dengan senang hati dia lakukan, tapi sayangnya, hal itu jelas tidak mungkin. Karena ini bukan dunia game seperti yang sering dia mainkan sebelumnya. Dimas mengakhiri dirinya di toilet sekolah, toilet yang terletak di belakang kantin dengan kondisi yang cukup mengenaskan, tapi tidak masalah. Karena dia hanya butuh beberapa menit di sana untuk menghabiskan sebatang nikotin, dan setelah itu dia akan keluar dari sana. Dimas memang selalu menyempatkan waktu untuk menikmati batang candu itu sebelum masuk ke dalam kelas, walau dia tahu apa yang dia lakukan sama sekali tidak baik untuk dirinya, tapi dia benar-benar membutuhkannya. Itulah kenapa dia pernah merasa menyesal ketika rasa penasarannya malah membuat dirinya terjebak dalam satu siklus yang membuat dirinya begitu sulit untuk keluar dari zona itu sendiri. Dan sekarang. Dia hanya bisa mengurangi jumlah yang dia konsumsi dalam sehari agar dia tidak terlalu menjadi pecandu yang aktif, dan berharap agar suatu saat nanti dia bisa berhenti dan lepas dari belenggu itu sendiri. "Woy! Bengong aja!" Dimas tersentak dan dengan refleks dia menyembunyikan tangannya ke belakang tubuh. Dia menatap cowok yang baru saja datang dengan tatapan nyalang. Sebelum akhirnya dia menghela napas lega. "Anj! gue kira siapa!" "Lagian, di WC bengong, kesambet mampus Lo!" "s**l! Mana ada yang berani ngerasukin gue elah!" "Dih, udah sok paling kebal aja sama setan lu!" Balas cowok yang tak lain adalah Raka, salah satu sahabat Dimas yang kini tengah berusaha menghidupkan sebatang rokok di tangannya. Lalu setelahnya mereka sama-sama diam menikmati dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing sebelum akhirnya Raka membuka suara. "Gue denger semalem lu ribut sama si Listy. Beneran?" "Hem, gitulah." "Masalah yang sama?" Tanya Raka sembari menatap Dimas. Laki-laki itu mengangguk pelan. Sebelum akhirnya dia membuang puntung terakhirnya. "Lo tahu lah gimana tuh cewe." Sekarang giliran Raka yang mengangguk. "Tau sih, makanya nggak heran pas gue berangkat tadi gue liat dia bareng sama cowok lain." "Udah biasanya kan?" Balas Dimas memasukan kedua tangannya ke dalam saku, dia memang sudah tahu peringai Listy seperti apa. Dia adalah tipikal gadis yang egois dan memikirkan dirinya sendiri tapi mau melihat apa yang dialami oleh orang disekitarnya. Terlahir menjadi anak satu-satunya di dalam keluarga yang kaya tentu saja membuat dia menjadi anak yang egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa mau melihat ataupun peduli dengan orang-orang sekitarnya. Prinsipnya adalah. "Hanya gue yang boleh melakukan, dan lo nggak boleh larang-larang gue!" Dimas sudah sangat hapal dengan selogan yang melekat di dalam diri gadis itu. Contohnya saja, selama menjalin hubungan dengan gadis itu, dia sudah sering kali terlibat cekcok hanya karena keterlambatan kecil yang Dimas alami, tapi Dimas tidak boleh marah ketika Listy yang melakukan keterlambatan. Lalu tidak hanya itu saja, ketika Dimas ketahuan membonceng cewek lain, maka Listy akan benar-benar murka dan marah, menuduh segala hal yang bahkan sama sekali tidak dilakukan oleh Dimas. Justru sebaliknya, ketika Listy tengah jalan dengan cowok lain, bahkan satu mobil dengan cowok itu, Dimas sama sekali tidak boleh marah, dan hal itu pun berlaku saat Dimas mengetahui jika ternyata Listy memiliki banyak selingkuhan di sana. Lagi dan lagi di as tidak boleh marah karena hal itu. Dan bodohnya, Dimas mengikutinya, di sama sekali tidak marah bahkan ketika dia tahu Listy berselingkuh di hadapannya secara langsung. Maka tidak heran ketika Arif dan juga Raka mengatai dirinya bodoh. Karena nyatanya seperti itulah yang terjadi. Tapi sekarang. Dimas merasa sedikit lega ketika dia bisa terlepas dan bebas dari hubungan yang tidak sehat itu. "Terus hubungan lo sama dia sekarang gimana?" "Gue harap sih putus." "Yakin Lo bisa putus sama dia?" Dimas mengedikkan kedua bahunya pelan. "Yakin nggak yakin? Lagian gue ngerasa kalo gue ngejalanin hubungan sama dia tuh bukan real gue suka sama dia, tapi justru gue berharap bisa melampiaskan semua rasa kecewa dan sakit hati gue ke si Listy, bahkan gue ngelakuin ini karena gue cuma mau tau gimana rasanya sakit hati ketika gue tau, cewek gue malah selingkuh dengan cowok lain, tapi nyatanya! Gue sama sekali nggak ngerasain hal itu." Raka terdiam sejenak, dia menatap Dimas dalam-dalam sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Dan lo ngelakuin ini karena Rani?" Seketika Dimas terdiam. Dia menundukkan wajahnya dan tanpa sadar mengiyakan pertanyaan Raka. Mungkin dia memang laki-laki bodoh yang siap mengorbankan segalanya dan menawarkan apa yang dia miliki pada orang lain. Dan nyatanya hal itu malah membuat dirinya kerepotan sendiri. "Dim. Udah berapa kali gue bilang sih, hubungan lo sama Rani tuh udah selesai, jelas-jelas dia udah bahagia sama kehidupan dia sekarang." "Ya, gue tau." "Lah terus, kenapa Lo malah ngelakuin ini? Secara nggak langsung Lo malah nyakitin diri Lo sendiri!" "Dan kabar baiknya, apa yang Lo bilang barusan sama persis sama yang Rani bilang tadi malam." Raka membulatkan matanya dan menatap Dimas tajam. "Jangan bilang Lo ketemu itu cewek tadi malam!" Lagi dan lagi Dimas mengangguk pelan. Bukan lagi ketemu tapi mereka membicarakan banyak hal di malam itu, hal-hal yang mungkin saja akan menyakiti hatinya kembali. "t***l! Mau sampek kapan Lo dihantui sama bayang-bayang itu, lo harusnya berdamai sama masa lalu lo, bukan malah terpuruk gini!" Lagi dan lagi. Mereka yang mengenal Dimas selalu mengatakan jika dia adalah laki-laki t***l. Bukan tanpa sebab, banyak hal yang membuat mereka berasumsi seperti itu. Pertama, Dimas tidak pernah lepas dari masa lalunya dan yang paling parah, dia malah menyakiti dirinya dengan hal-hal yang malah merugikan dirinya sendiri. Raka terdiam setelahnya, dipandangnya Dimas sebelum akhirnya dia membuang puntung rokok ke atas lantai dan memasukkan kedua tangannya di saku celana. "Tapi terserah Lo juga, mau Lo bertahan di hadapannya hubungan itu juga terserah Lo. Semua keputusan ada di tangan Lo." Raka berhenti tepat di depan pintu keluar, dia menoleh sejenak. "Cuma, gue sebagai sahabat mau yang terbaik buat Lo, bukan malah jadi cowok b**o yang terpaku sama satu cewek." Dimas tidak menjawab. Dia hanya menyembunyikan wajahnya dan sibuk menatapi ubin lantai yang sudah bercampur tanah di bawahnya. Apa yang dikatakan oleh Raka seolah menambah deretan kalimat yang menohok dirinya dan membuat dia mau tak mau harus bisa untuk melupakan. ---- Sepanjang pelajaran, Dimas tidak memperhatikan bapa yang gurunya katakan. Dia hanya fokus menatap dedaunan yang terbang tertutup angin luar jendela, sepertinya terlihat begitu damai. Dan sejenak dia bertanya dalam dirinya. Apakah manusia diciptakan selalu berdampingan dengan masalah? Apakah begitu banyak orang-orang yang harus dipaksakan dengan masalah yang ada. Bukan hanya dirinya, Raka bahkan Arif sekalipun, mereka semua memiliki masalah mereka masing-masing, hanya saja masalah yang mereka hadapi jelas berbeda-beda. Dan untuk Dimas, rasanya, dia sendirilah yang mencipta masalah itu datang kepada dirinya. Terkadang dunia itu begitu lucu, di saat dia berharap untuk tidak mengenal rasa cinta di usia yang masih terbilang muda, tapi Dimas malah terjun langsung dan tanpa sadar mengenal rasa cinta itu seorang diri. Seperti dirinya yang berusaha mengenal rasa dari sebatang nikotin yang ada di dalam rokok, seperti itulah dia menemukannya. Berawal dari coba-coba dan akhirnya dia terjebak, bahkan sangat sulit untuk keluar dari lingkaran itu sendiri. Terlalu lama melamun, Dimas tidak menyadari jika pelajaran terakhir telah usai, dia masih duduk dengan tatapan kosong menatap dedaunan yang begitu menarik perhatiannya dari pada mata pelajaran yang ada di sekolah. "Kayaknya hari ini kita bakal nginep di sekolah!" Arif yang saat ini duduk di meja sebelah kursi Dimas mendengkus malas, dia mengeluarkan ponselnya dan segera membuka aplikasi game online untuk membunuh kebosanannya. Karena, bukan hanya Dimas saja yang larut dalam pikirannya sendiri. Tapi Raka juga sudah mulai sibuk dengan buku-buku di hadapannya. Jika bisa dikatakan, maka Arif adalah orang yang paling netral dan tidak pernah dituntut untuk menjadi apa yang diinginkan oleh orang tuanya, berbeda dengan Raka. Tapi, Dimas juga mungkin sama dengan dirinya, hanya saja. Pria itu malah sibuk dengan masalahnya sendiri padahal jika dia menceritakannya, mungkin saja teman-temannya bisa membantu. "Udah nggak usah protes, mending lu bantu gue buat nyelesain nih pr." "Nggak deh. Lo aja, gue udah terlalu capek sama pelajaran hari ini. Jadi gue mau ambil waktu gue untuk sekedar hiling dan merefresh otak gue." Arif mengangkat kedua kakinya lalu melipat di atas meja. Dia mulai fokus dengan permainannya sekarang. "Banyakan mikir bisa gila gue lama-lama." Yah, Arif memang seperti itu. Dia terlalu enjoy dengan hidupnya, dan masalah yang memang harus dihadapi oleh dirinya adalah. Kebodohannya, dia terlalu dalam mata pelajaran, untuk itu, setiap kali akhir semester, maka dia akan disibukkan dengan begitu banyak remedial hanya untuk memperbaiki nilai-nilainya. "Mentingin game dari pada pelajaran. Pantes aja Lo selalu ngulang pelajaran di akhir semester." "Itu lebih baik. Dari pada gue harus berhadapan sama psikiater." Ucapan biru terdengar begitu santai dan biasa saja, mungkin untuk orang yang baru mengenal Arif, mereka akan menganggap perkataan Arif adalah candaan biasa Tapi bagi Raka dan juga Dimas, itu adalah masalah utama yang harus dihadapi boleh Arif. Dia mengalami sedikit masalah dan gangguan mental jika harus berhadapan dengan kondisi yang menekan dirinya, contohnya saja pelajaran dan juga dipaksa untuk perbikir sebuah masalah yang berat. Dia mengalami gejala itu saat dirinya menginjak bangku SMP, dan saat itu orang tuanya terlalu banyak menuntut Arif untuk menjadi sempurna, sama seperti yang dialami oleh Jaka. Namun bedanya, Jaka adalah remaja yang tangguh dan masih siap menerima semua tekanan yang dia dapatkan. Berbeda dengan Arif yang ketika dia dipaksa untuk sempurna dalam setiap mata pelajaran, maka dia akan drop, mulai sakit dan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, bahkan parahnya dia bisa berteriak histeris dan kehilangan kesadaran secara tiba-tiba saat tekanan yang dia dapatkan tidak mampu dia kendalikan lagi. Dan karena masalah itu juga. Arif pernah dilarikan ke panti rehabilitasi selama kurang lebih 2 bulan untuk memulihkan kesadarannya kembali. Dan sebagai teman, Jaka dan Dimas tentu berusaha untuk membuat sahabatnya ini tidak tertekan apalagi harus melihat sahabatnya itu menderita. "Raka hanya mendengkus pelan, lalu ketika dia selesai dengan pelajaran siang ini. Dia segera menyalin jawaban tugas yang dia dapatkan di atas kertas kosong sebelum memberikannya kepada Arif. "Mending sadarin sahabat lo tuh, dari pada Kesambet nanti." "Lah. Emang dia bisa gitu Kesambet? Perasaan setan aja takut sama dia." "Seenggaknya itu lebih baik dari pada kita harus terjebak di tempat ini Sampek sore." "Iya juga sih." Arif yang baru saja menyelesaikan satu match permsinan langsung menerima kertas dari Raka dan setelahnya dia turun dari atas meja. BRAK!! "Woy, bengong aja! Lo tidur apa mati! Elah!" Seketika itu juga Dimas terkejut ketika mendengar gebrakan meja dari Arif, dia segera menolehkan kepalanya dan mengerutkan keningnya saat menyadari ada keanehan di kelasnya. "Lah. Udah sepi?" "Udah dari setengah jam yang lalu kali! Lo kemana aja?" "gue?" Tanya Dimas dengan jari telunjuk mengarah ke wajahnya dengan raut tanpa dosa di sana. "Iyalah, siapa lagi?!" "Lagu ngelamun enak-enak." "Dih k*****t! Jadi sedari tadi gua di suruh nungguin Lo yang lagu melamun enak-enak?" Tanya Arif dramatis. "s**l banget hidup gue!" "Lah yang suruh lo pada nungguin gue siapa? Nggak ada kan?" "Njirrr! Enak amat itu moncong mangap! Kalo bukan temen aja udah gue tinggal lu!" "Lagian nggak ada yang nyuruh juga kan?" Arif menatap kesal sahabatnya itu. Padahal jelas-jelas mereka masih ada di sana karena memang sejak awal menunggu dirinya, tapi Dimas yang tidak tahu diri itu malah mengatakan sesuatu yang benar-benar membagongkan. "Udah nggak usah pada ribut, udah sore. Mau pada balik nggak lo orang!" Raka yang sedari tadi menyaksikan perdebatan sahabatnya kini sudah menyusun bukunya di dalam tas, lalu menggendong tas itu di punggungnya sebelum dirinya berdiri. "Gue mau balik. Kalo lo pada mau nginep terserah." "Eh! Lah ... tungguin gue lah!" Ucap Dimas dengan panik dan segera mengambil tasnya dari dalam laci. Arif yang memang sudah siap sedari tadi langsung menyusul Raka dan meninggalkan dinas begitu saja. "Woy!" "Lama! Tinggal!" "Bengke! Tungguin ngapa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD