Nesli baru saja selesai dengan Turkish coffee brownies yang baru dipindahkan dari loyang petak setelah memanggangnya selama 35 menit, ketika Brigita turun dari kamarnya. Harum kopi dan kue yang menggugah selera mengudara hingga ke lantai dua.
Brigita kembali ke kamarnya mengambil istirahat siang setelah memijat Alif yang hingga kini masih lelap di kasur. Laki-laki itu sungguh sudah melewatkan makan siang.
Merasa indera penciumannya terganggu oleh semerbak kue yang sejak masih dipanggang di dalam oven, Brigita mencoba menerka siapa gerangan yang memasak kue lezat itu.
Aroma makanan selingan tersebut merangsang Brigita yang sudah berganti pakaian, untuk mencari tahu demi menjawab rasa penasarannya. Ayse tidak mungkin melakukan itu–pikirnya.
"Ah, Teyze Nesli!" pekik Brigita saat baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir.
Binaran matanya yang melotot dan bibir yang menganga, menyiratkan kebahagiaan dalam perjumpaan pertama kalinya setelah sekian lama tidak bertemu.
"Ah, Brigita! Kau di sini? Bagaimana kabarmu?"
Brigita berjalan cepat mendekati Nesli yang tengah membawa brownies kopi yang sudah dipotong petak-petak berukuran medium ke meja makan.
"Teyze, apa kabar? Lama sekali aku tidak berjumpa dengan Teyze."
Nesli meletakkan brownies tersebut di meja makan panjang yang terbuat dari kayu. Tiga botol selai tersusun di sana, selain teko kaca transparan berisi air tawar dan beberapa gelas panjang, dan juga sebotol madu.
"Ah, Sayang. Teyze rindu sekali padamu. Kapan kau pulang?" Nesli memeluk Brigita erat.
"Sudah 10 hari aku pulang, Teyze."
Brigita melepas pelukan. Senyum keduanya terurai saling memandang. Kekaguman terlihat jelas di raut wajah Nesli yang memperhatikan Brigita begitu seksama. Sorot matanya begitu bahagia melihat sosok gadis kecil yang suka memakan kue buatannya, kini sudah menjelma menjadi sosok gadis yang cantik dan anggun. Mata Nesli tidak lepas memandangnya.
'Dia benar-benar seperti Harika.'
"Sejak kapan Alif pulang, Brigita? Teyze melihat mobilnya di depan," Ayse menarik kursi makan.
"Sudah dari tadi, Teyze. Mungkin masih tidur. Tadi dia minta dipijat, katanya badannya lelah. Mungkin itu alasannya cepat pulang."
Brigita dan Nelsi melakukan hal yang sama dengan Ayse. Perempuan muda itu bahkan sudah mengunyah sepotong brownies di hadapannya.
"Mmmm..."
Brigita kesulitan berkata karena mulutnya yang berisi brownies kopi tersebut. Namun, tidak juga mulutnya berhenti mengunyah walau sedetik. Ayse menuang teh melati untuk Nesli yang masih menatap Brigita tanpa henti dengan senyuman.
"Ini enak sekali, Teyze Nesli," pukaunya setelah menelan kunyahan brownies.
Senyum Nesli semakin terkembang mendengar pujian tulus dengan aksi yang begitu antusias. Ayse menyodorkan secangkir teh itu ke hadapan Nesli. Perhatiannya teralihkan pada minuman berwarna merah keemasan yang menenangkan dan masih beruap.
"Apa ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Nyonya?"
"Berhenti memanggilku seperti itu, Nesli."
"Saya tahu Anda tidak suka dengan panggilan itu. Tapi, Anda tetap majikan saya meskipun saya tidak lagi bekerja di rumah ini."
Raut wajah Nesli tampak serius saat lidahnya mengucap kata-kata tadi. Matanya menatap jauh ke dalam bola mata Ayse. Brigita memasang telinganya baik-baik sembari mengunyah potongan brownies yang ke dua. Tatapan Nesli kembali jatuh pada teh yang belum tersentuh.
"Keluarga ini terlalu baik padaku."
Air muka Nesli berubah sendu, seolah membawa banyak beban dalam jiwa. Menyimpan banyak kenangan dalam pikiran. Menyimpan sesuatu yang telah lama ingin diungkapkan.
"Saya banyak berhutang pada keluarga ini."
"Nesli...."
"Saya berhutang budi pada keluarga ini," potong Nesli cepat.
"Tidak ada yang berhutang budi, Nesli," tekan Ayse dalam nadanya.
Mulut Brigita mendadak berhenti. Nesli seketika mendongak mendengar penuturan Ayse. Brigita memperhatikan dua orang paruh baya yang sedang beradu tatap itu.
"Maafkan saya, Nyonya. Tapi...."
"Baiklah. Kalau kau berpikir seperti itu, Nesli. Aku memintamu datang untuk memintamu kembali bekerja di rumah ini sebagai balas budimu.
"Teyze?"
Brigita menatap Ayse tidak percaya. Nesli terpaku diam membisu mendengar permintaan Ayse yang cukup mengejutkan baginya itu.
"Nyonya...."
"Aku sudah tua, Nesli. Aku lelah untuk mengurus rumah ini sendirian."
Ayse menatap sembarang arah. Nesli masih diam dengan perasaan bercampur aduk. Terkejut, senang, sedih, haru, gugup, menjadi satu dalam diri yang sudah berumur hampir 50 tahun itu.
Setelah berhenti menjadi bagian dari keluarga Ekber selama 10 tahun, kini ia kembali harus berhadapan dengan rumah yang penuh kenangan–jika ia memenuhi permintaan Ayse kali ini.
"Teyze..." Brigita mengelus bahu Nesli.
"Kau tahu aku tidak memberi kepercayaan kepada sembarang orang, Nesli. Karena, itu kau tidak menemukan adanya pekerja di rumah ini."
Brigita tidak bisa membaca secara utuh situasi yang sedang terjadi. Ucapan Ayse sebagian terdengar hanya sebagai sebuah modus, tapi sebagian yang lainnya terdengar nyata, bahwa mereka memang membutuhkan pelayan untuk membersihkan rumah.
"Kau bisa memikirkannya dulu, Nesli. Kuharap aku sudah mendapat jawaban darimu dalam lima hari ke depan," Ayse menuang teh untuk dirinya sendiri.
Tatapan Nesli beralih pada Brigita yang duduk di sebelahnya, masih mengusap pundaknya seolah memberi kekuatan. Bola matanya melihat dengan seksama wajah kembaran Harika dalam wujud yang berbeda. Nesli dengan puas bisa menjelajah setiap bentuk wajah itu. Brigita tersenyum hambar.
"Baiklah, Nyonya. Akan saya pikirkan tawaran Anda. Terima kasih banyak, Nyonya."
"Tidak perlu berterima kasih, Nesli. Justru aku yang sangat berterima kasih kalau kau bersedia kembali ke rumah ini. Aku sangat membutuhkanmu di sini."
Ayse meneguk teh yang masih hangat itu.
"Saya sangat tersanjung atas kepercayaan Nyonya kepada saya."
Nesli menoleh menatap Brigita dan Ayse bergantian. Senyum yang menggebu dari dalam hati tanpa mengenal rasa itu dengan pasti. Sekejap ia mengalihkan perhatian pada teh yang mulai dingin.
Ia meneguknya perlahan. Mencicipnya dengan sepenuh hati. Masih teh yang sama. Rasa dan aroma yang sama. Teh melati buatan nyonya rumah yang masih sama sejak ia bekerja di rumah tersebut.
'Tidak ada yang berubah. Termasuk rumah ini.'
"Aku tinggal sebentar."
"Baik, Nyonya."
Nesli mengamati sekitar ditemani Brigita yang masih memakan brownis kopi. Sudah potongan ke empat yang masuk ke mulut perempuan muda itu. Seperti ada magnet dalam dirinya, yang membuat Nesli seakan tidak bisa berhenti memandang dengan senyum jelas atau samar setiap kali melihatnya.
"Kau makan terlalu banyak, Sayang. Apa kau tidak takut gemuk?" Nesli mendelik pura-pura kaget.
"Tidak ada ketakutan untuk gemuk dalam kamus makanku, Teyze. Biarkan saja. Aku tidak peduli. Ini sangat enak. Kalau aku tidak banyak memakannya sekarang, maka Alif yang akan menghabiskannya. Aku tidak mau melewatkan makanan lezat dan gratis seperti ini."
Nesli dan Brigita terbahak-bahak. Hingga kemudian....