Di sisi lain, Jack sedang menyerang musuhnya.
Jack menatap lawannya dengan senyum sinis.
"Aku hanyalah orang yang suka merebut wilayah orang, karena ini adalah hobiku!" katanya dengan suara rendah namun tegas, menyiratkan kepastian.
Anggota Thomas Winder menatap Jack dengan tatapan penuh amarah, namun tak mampu menyembunyikan keraguan. Ia tertawa dengan keras, mencoba menutupi rasa gugup yang mulai merayapi pikirannya.
"Hahahaha, jumlahmu lebih sedikit dariku. Apa kau mengira bisa mengalahkanku?" ejeknya sambil melipat tangan di d**a.
Jack mengangkat alis, senyumnya tak pudar.
"Apa kau yakin jumlahku lebih sedikit?" tanyanya santai. "Kalian berjumlah tiga ratus anggota, sedangkan aku dua ratus lima puluh. Bukankah jumlahku hampir setara denganmu?"
Lawannya mendengus, matanya memicing.
"Bercanda! Semua yang kau bawa ini hanya sekitar seratus orang. Apa kau pikir dengan jumlah itu bisa mengalahkanku?" sergahnya, nada suaranya meninggi.
Jack menghela napas pendek, menatap lawannya dengan tatapan penuh teka-teki. Ia merogoh pistol dari balik jaketnya dan mengangkatnya ke udara.
"Baiklah, aku ingin memberimu kejutan," ucapnya sebelum menembakkan peluru ke langit.
DOR!
Suara tembakan menggema di malam itu, menjadi sinyal bagi Leo dan Kane yang telah bersiap di kejauhan. Dalam hitungan menit, kedua pria itu muncul membawa bala bantuan: delapan puluh orang di bawah komando Leo dan tujuh puluh lainnya di bawah Kane. Pasukan mereka mengepung kelompok Thomas Winder dari segala arah.
Wajah anggota Thomas Winder berubah pucat. Mereka memutar tubuh, menyadari bahwa pelarian sudah tak lagi memungkinkan.
"Kau bermain curang!" bentak salah seorang dari mereka dengan suara gemetar.
Leo melangkah maju dengan pistolnya terangkat. Tatapan dinginnya mengintimidasi.
"Ini bukan kecurangan," ujarnya dingin. "Ini adalah taktik untuk mengalahkan kalian tanpa harus mengorbankan banyak nyawa."
Jack menyela, suaranya tegas dan menusuk.
"Hei, apa kau masih ingin melanjutkan peperangan ini atau menyerah saja? Jika kau menyerah, maka kalian masih bisa hidup. Tapi jika kalian memilih melawan, maka kalian akan mati."
Anggota Thomas Winder terdiam. Beberapa dari mereka mulai menundukkan kepala, menyadari bahwa situasi telah berbalik.
"Kalian akan berhadapan dengan bos kami jika kalian mengambil wilayah ini!" salah satu dari mereka berseru dengan nada putus asa. "Dia tidak akan tinggal diam!"
Jack tersenyum tipis, nyaris mengejek.
"Bagaimana? Masih ingin melawan? Kalau begitu, kami hanya bisa melepaskan tembakan," ancamnya, memberi sinyal kepada anak buahnya untuk bersiap.
Akhirnya, melihat situasi tak berpihak, kelompok Thomas Winder menyerah. Mereka menurunkan senjata mereka dengan wajah penuh kekalahan.
Sementara itu, di sisi lain kota...
Pretty melangkah di pinggir jalan besar dengan langkah gontai. Sepatu kerjanya yang mulai aus menapak trotoar yang dingin. Pandangannya kosong, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan tentang nasib yang seolah tak pernah berpihak padanya.
Di seberang jalan, Luiz memperhatikan dari dalam mobilnya. Ia memutar setir perlahan, memastikan agar tetap berada dalam jarak pandang.
"Apa gadis itu gila? Sudah malam begini, dia berjalan kaki sendirian," gumamnya, melirik ke arah Pretty yang tampak lelah. "Dia nona besar, tapi kenapa tak ada supir yang menjemputnya?"
Luiz mempertimbangkan untuk menawarkan tumpangan, tapi ia tahu itu hanya akan membuat Pretty marah.
"Kalau aku mengikutinya saja, setidaknya aku bisa memastikan dia sampai dengan selamat," pikirnya.
Setelah satu jam berjalan, Pretty akhirnya tiba di rumah. Luiz berhenti sejenak, memastikan gadis itu masuk sebelum pergi. Tapi pemandangan yang menunggu Pretty di dalam rumah justru menjadi awal dari mimpi buruk lainnya.
Albert, ayahnya, berdiri di ruang tamu dengan ekspresi penuh amarah. Di lantai, baju-baju Pretty berserakan, dilempar tanpa rasa hormat.
"Pa, Ma, ada apa ini?" tanyanya dengan nada kebingungan, tubuhnya gemetar melihat kekacauan di sekitarnya.
Tanpa peringatan, Albert melangkah mendekat dan melayangkan tamparan keras ke wajah Pretty. PLAK!
Pretty terhuyung, merasakan panas di pipinya. Air mata mengalir tanpa ia sadari.
"Kenapa menamparku?" tanyanya dengan suara bergetar.
Tapi Albert tak peduli. Amarahnya meledak, menghujani Pretty dengan tendangan yang membuat tubuh mungilnya terguling di lantai. Pretty hanya bisa menangis, memohon agar keluarganya mengerti, tapi semuanya sia-sia.
"Dasar wanita kotor!" bentak Albert, suaranya menggema di ruang tamu yang kini terasa dingin. Dengan kasar, ia melemparkan laporan dari rumah sakit ke wajah Pretty, seolah benda itu membawa kebencian yang tak terbendung.
Pretty merasakan hantaman kertas itu di wajahnya, lebih menyakitkan daripada luka fisik. Ucapan ayahnya menusuk hatinya seperti belati, merobek-robek sisa keberanian yang ia miliki. Dengan tangan gemetar, ia memungut lembaran itu dari lantai
"Adikku, kau sangat pintar berbohong," ujar Monica dengan senyuman penuh sinisme yang menambah perih di hati Pretty. "Kau telah diperkosa oleh pria sehingga dijahit, tapi kau malah memberitahu kami bahwa kau ditabrak. Alasanmu ini memang sangat lucu. Kalau bukan karena aku, Papa dan Mama pasti akan terus dibohongi olehmu!"
Monica melipat tangan di depan d**a, matanya tajam menatap Pretty seperti seorang hakim yang menjatuhkan vonis. Pretty menggelengkan kepala, mencoba menyangkal meski suaranya tercekat.
"Pa, ini bukan salahku," ujar Pretty dengan suara serak. Ia jatuh berlutut, tangannya terulur memohon pengertian. "Aku juga tidak tahu bisa terjadi seperti ini. Aku diculik dan diperk*sa oleh pria asing!"
Namun, penjelasannya tidak membuahkan hasil. Raut wajah Albert semakin merah, matanya menyala penuh amarah. Tanpa ragu, ia melayangkan tendangan ke tubuh Pretty, membuat tubuh mungil itu terhempas ke lantai dengan keras.
Brugh! Brugh! Brugh!
Jeritan kesakitan Pretty memenuhi ruangan. "Aarghh!" Pekiknya, tubuhnya tergeletak di lantai. Ia memegangi perutnya yang terasa nyeri luar biasa, namun tak sanggup melawan. Air matanya bercucuran, membasahi lantai dingin yang kini menjadi saksi penderitaannya.
Di sisi lain, Monica dan Julia hanya berdiri sambil tersenyum puas. Keduanya menikmati setiap adegan ini seolah sedang menonton pertunjukan. Monica bahkan menutupi mulutnya, mencoba menahan tawa yang hampir meledak.
"Pa, jangan tendang aku lagi. Sakit, Pa!" Pretty meratap, suaranya penuh isak tangis. Namun, permohonannya tidak didengar.
"Seharusnya kau tidak kembali ke rumah ini," bentak Albert dengan nada penuh kebencian. "Kau hanya mengotori rumahku saja!"
Pretty mencoba membela diri, meski napasnya tersengal akibat rasa sakit yang terus menjalar di tubuhnya. "Pa, aku tidak bersalah. Aku adalah korban!" ujarnya dengan suara lemah.
Namun, Julia yang berdiri di sisi Albert menambahkan minyak ke api. "Pretty, kau hanya memalukan keluarga ini saja. Mulai hari ini, kau tidak pantas tinggal di sini lagi," ucapnya dengan dingin, tanpa sedikit pun empati.
"Seorang wanita harus bisa menjaga dirinya," tambah Monica, tatapannya penuh ejekan. "Sementara dirimu sudah ternoda. Jadi, untuk apa lagi kau hidup? Seharusnya kau memilih jalan mati!"
Pretty terdiam, tubuhnya bergetar. Hatinya terasa seperti dihancurkan berkeping-keping oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. "Kenapa? Kenapa kalian begitu tega padaku?" isaknya. "Aku juga adalah anak kalian. Kenapa kalian tidak menolongku? Dari kecil aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kalian. Apa salahku?"
"Kau tidak layak mendapatkan kasih sayang kami," ucap Albert dengan dingin. Ia meraih lengan Pretty dan menyeretnya dengan kasar menuju pintu. "Pergi dari sini!"
"Pa, jangan mengusirku! Aku juga anakmu!" Pretty berteriak, tubuhnya yang lemah mencoba melawan tarikan kasar itu. Namun, Albert tidak peduli.