Penghinaan Keluarga

1079 Words
Pretty yang melarikan diri akhirnya sampai juga ke lantai dasar rumah sakit. Dengan langkah tertatih, ia berjalan menuju pintu besar, berharap bisa segera menjauh dari tempat itu. Udara dingin menyambut tubuhnya yang lemah saat ia melangkah keluar, namun tekadnya untuk terus berjalan tetap kuat meskipun rasa sakit masih terasa di tubuhnya. Sambil berusaha bertahan, pikirannya dipenuhi dengan kekacauan. "Bagaimana dengan kehidupanku selanjutnya? David pasti tidak akan mau menikahiku lagi. Papa dan Mama pasti akan marah besar padaku. Hidupku hancur dalam satu malam oleh seorang pria yang bahkan aku tidak tahu bagaimana parasnya. Kenapa semua ini harus terjadi padaku?" batinnya, air mata mengalir tanpa henti di wajahnya yang pucat. Selama ini, ia tahu bahwa orang tuanya tidak pernah benar-benar menyayanginya. Mereka hanya memandangnya sebagai alat untuk memperkuat bisnis keluarga dengan menikahkannya pada David. "Aku mengira dengan begini hidupku akan lebih baik, tapi sekarang itu mustahil. Aku tidak bisa lagi menghadapi mereka," pikirnya dengan getir. Pretty berjalan tanpa tujuan, hingga akhirnya tubuhnya yang lelah dan rasa sakit di bagian tubuhnya yang baru dijahit memaksanya berhenti. Ia menemukan sebuah taman yang luas dengan banyak pengunjung lalu lalang. Dengan sisa tenaga, ia duduk di salah satu bangku taman, tangannya memegangi perutnya yang terasa perih. "Bagaimana aku bisa pulang dalam kondisi seperti ini? Aku juga tidak bisa berbohong. Jika suatu saat David mengetahui semua ini, dia pasti akan marah besar," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar di antara gemuruh pikirannya yang kacau. Siang itu, Pretty hanya bisa duduk sambil menangis. Air matanya terus mengalir tanpa henti, menggambarkan kehancuran yang ia rasakan. Perasaan putus asa yang menghantui dirinya seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. --- Sementara itu, Jack yang kembali ke rumah sakit mendapati jika calon istrinya telah menghilang. Kemarahan membakar dirinya saat pandangannya tertuju pada Luiz, salah satu anak buahnya yang bertugas menjaga Pretty. "Hanya menjaga seorang gadis saja kau tidak mampu!" bentaknya dengan suara keras, sebelum melayangkan pukulan ke wajah Luiz. PLAK! Luiz menundukkan kepalanya, menerima hukuman tanpa berani membela diri. "Maaf, Bos," ucapnya pelan. Namun, permintaan maaf itu tidak cukup untuk meredakan emosi Jack. "Apa yang kuperintahkan, kau tidak pernah bekerja dengan benar!" sergahnya ketus. Ia kemudian menoleh ke arah Daniel, anak buahnya yang lain. "Daniel, utuskan semua anggota kita mencari gadis itu sampai dapat!" perintahnya dengan nada tegas. "Baik, Bos," jawab Daniel tanpa ragu, segera melangkah untuk melaksanakan perintah. Jack menghela napas panjang, tatapannya penuh kebencian dan tekad. "Pretty Jolie, kau tidak akan bisa lari dariku!" gumamnya sambil melangkah keluar dari rumah sakit. --- Pretty yang berjalan dengan susah payah akhirnya tiba di depan rumah keluarganya. Rumah mewah itu kini terasa seperti benteng dingin yang menantang keberaniannya untuk melangkah masuk. "Bagaimana caranya aku memberitahu keluargaku tentang kejadian ini? Papa dan Mama tidak pernah menyayangiku. Mereka hanya melihatku sebagai beban," pikirnya dengan hati yang berat. Namun, setelah beberapa saat, ia mengumpulkan keberanian untuk membuka pintu besar rumah itu. Setibanya di dalam, suara ibunya yang tajam langsung menyambutnya. "Pretty, semalaman kau tidak pulang. Ke mana saja kau pergi!" bentak ibunya, Julia, dengan nada tinggi, matanya menatap penuh amarah. Pretty menggigit bibirnya, mencoba menjawab. "Ma, semalam aku...." Namun, kata-katanya terhenti di tenggorokan, terlalu berat untuk diucapkan. Sebelum ia sempat melanjutkan, kakaknya, Monica, menambahkan dengan nada mengejek, "Adikku, kenapa kau mengenakan baju pasien rumah sakit? Jangan bilang semalam kau numpang tidur di sana?" Ucapan Monica membuat Pretty semakin terpojok. Papanya, Albert, ikut angkat bicara dengan nada yang lebih dingin. "Pretty, apa kau menimbulkan masalah lagi di luar sana sehingga harus masuk ke rumah sakit?" "Tidak! Bukan begitu, Pa!" jawab Pretty dengan nada kecewa, namun suaranya nyaris tenggelam oleh perasaan terluka yang terus menghantui. Ucapan-ucapan tajam dari keluarganya terus menghujam hatinya, hingga Pretty menyadari bahwa di rumah ini, ia tidak lebih dari sekadar boneka yang dipermainkan oleh mereka. "Pretty, apa pun alasannya, semalam kau tidak seharusnya tidur di luar. Jika ada apa-apa yang terjadi padamu, mau diletakkan di mana muka keluargamu ini? Seharusnya kau sadar diri sebagai anak gadis, jangan mempermalukan keluargamu!" bentak ibunya dengan wajah penuh amarah. Suaranya menggema di ruang makan yang sepi, sementara tatapan matanya penuh dengan rasa kecewa. Julia, ibunya, berdiri dengan tangan bersilang, menatap Pretty seperti seorang hakim yang mengadili terdakwa. Pretty yang masih lemah setelah insiden semalam, menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Semalam aku ditabrak mobil, oleh karena itu aku harus menginap di rumah sakit," jelasnya, mencoba menahan emosi yang meluap. Suaranya bergetar, penuh dengan rasa sakit hati karena keluarganya tidak menunjukkan sedikit pun rasa khawatir. "Julia, sudahlah! Biarkan saja dia. Lagi pula jika dia memang menimbulkan masalah, kita tinggal usir saja," ujar Albert, ayahnya, dengan nada dingin. Pria itu menyesap kopi dengan santai, seolah-olah yang dibicarakan bukanlah anaknya sendiri. Pretty menggigit bibirnya, menahan tangis yang ingin pecah. "Pa, Ma, aku juga putri kalian. Kenapa kalian tidak bertanya padaku, apakah aku terluka atau tidak?" tanyanya, akhirnya membiarkan air matanya jatuh. Ia berharap, meski kecil, bahwa keluarganya masih punya sedikit kasih sayang untuknya. "Kau bukan anak kecil lagi, Pretty. Tidak seharusnya kami yang bertanya, tapi kau sendiri yang harus menjaga dirimu baik-baik. Jangan sampai merusak nama baik keluarga ini!" balas Julia dengan nada dingin, tanpa sedikit pun empati. "Tapi kenapa, jika Kakak yang sakit, kalian begitu peduli padanya? Sedangkan aku, kalian tidak peduli. Padahal aku juga putri kalian!" Pretty memberanikan diri membalas. Suaranya mengandung kepedihan, seperti luka lama yang terus digores tanpa henti. Albert yang sedari tadi tampak tidak peduli, tiba-tiba meletakkan cangkirnya dengan kasar. "Kau berbeda dengan kakakmu. Kakakmu selalu saja bisa membantu menjalankan bisnis keluarga, sedangkan dirimu tidak berguna sama sekali!" katanya tanpa sedikit pun mempertimbangkan dampaknya pada perasaan Pretty. Pretty merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. "Pa, itu tidak bisa menyalahkanku, karena aku tidak diizinkan bekerja di perusahaan Papa. Setiap aku memintanya, kalian selalu saja menolak. Aku yang membersihkan rumah dan melakukan semua pekerjaan di rumah ini. Padahal kami sama-sama putri kalian, dan aku juga tidak makan tidur gratis. Aku bekerja di perusahaan orang lain, dan gajinya aku gunakan untuk bayar listrik rumah ini, Pa," katanya dengan suara yang semakin lirih, namun tegas. Ia mencoba membela dirinya, meskipun tahu itu sia-sia. Namun Albert malah bangkit dari kursinya, menatap Pretty dengan jijik. "Walaupun sama-sama putri kami, tapi derajat kalian berbeda di sini. Kakakmu lebih bijaksana darimu, sedangkan dirimu hanya membuang waktuku dan mamamu selama ini merawatmu. Orang lain mendapatkan putri yang baik dan pintar, sedangkan aku mendapatkan seorang putri yang bodoh dan tidak berguna. Sia-sia aku memberimu makan selama ini!" bentaknya sebelum melangkah menuju tangga. Pretty merasa seluruh tubuhnya melemah. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar dirinya tanpa ampun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD