Dua Tamu

1221 Words
Aku masih betah mondar-mandir tak jelas. Sama sekali tidak minat untuk berganti pakaian. Kehadiran dua pria yang berada di luar itu sangat mengusik pikiranku. Terutama dengan kehadiran Aldo, dia memang semalam telah memberitahukanku akan datang kerumah lewat chat di aplikasi hijau. Namun, sama sekali tidak mengatakan maksud dan tujuannya apa. Otomatis sekarang aku merasa keder sendiri menerka-nerka maksud kedatangannya. Tok, tok, tok. Suara pintu kamar ada yang mengetuk dari luar. Aku yang tengah berpikir bagaimana caranya agar kedua pria yang berada di luar itu cepat pulang, langsung menolehkan kepala. Suara handle pintu yang di buka membuat fokusku teralihkan ke sana. Kepala ibu menyembul dari balik pintu, beliau menatap heran ke arahku yang masih belum berganti baju. "Al, di tunggu dari tadi kamu tidak keluar-keluar. Katanya mau ganti baju, itu masih belum ganti juga. Ayo, cepat ganti. Kasihan Nak Aldo sama atasanmu lama menunggu lho." "Hehehe. Bu sebenarnya laki-laki itu mau apa? Kalau Pak Willy, Alia tahu dia mau minta izin sama Bapak." "Ibu, juga tidak tahu maksud Nak Aldo apa. Karena dari tadi dia hanya diam tidak mengutarakan tujuannya. Dia bilang hanya ingin bertemu dengan kamu saja. Atasan kamu mau izin untuk apa? Apa dia izin ingin melamar kamu, Al?" tanya Ibu sembari tersenyum menggoda. Aku melototkan mata, tak percaya dengan apa yang Ibu lontarkan. Meski dia berkata untuk membercandai aku, tapi tetap saja aku merasa tak suka. "Ibu—!" seruku sembari melipat tangan di d**a. Ibu mengulum senyum yang seketika membuat aku merasa tengah di ledek. Dia melangkahkan kaki semakin masuk ke dalam kamar. "Al, segera lah ganti baju kamu. Dan temui mereka berdua. Tidak baik kamu membiarkan tamu terus menunggu. Mungkin saja Nak Aldo ada hal serius yang akan di bicarakan. Tidak mungkin kan jika dia terus menunggui kamu dari tadi," nasihat Ibu panjang kali lebar. Ku hirup udara banyak-banyak agar bisa mengisi rongga dadaku yang terasa sesak. Jujur aku merasa takut dengan segala kemungkinan yang ada mengingat Aldo itu, orang kaya untuk apa mencariku kalau tidak ada maksud tertentu. Setelah mengumpulkan kekuatan akhirnya kuanggukkan kepala menyetujui usulan Ibu. "Iya, Bu. Nanti aku temui mereka. Aku mau ganti baju dulu." Ibu mengangguk, tapi beliau masih belum beranjak. Ibu masih berdiri menatapku lekat. Aku jadi kikuk sendiri di tatap Ibu. "Ada apa, Bu? Kok, Ibu masih di sini? Aku mau ganti baju dulu. Kalau Ibu mau duluan keluar silakan," usir halusku. Meski dengan ibu sendiri, tapi aku risih kalau harus ganti depan beliau. "Ibu bareng kamu aja keluarnya. Kamu ganti aja bajunya, Ibu tidak akan lihat, kok." Ibu berbalik badan memberikan waktu untuk aku ganti baju. Kuhembuskan napas kasar, Ibu benar-benar tidak memberikan aku ruang untuk menolak lagi. Akhirnya aku membawa baju ganti ke dalam kamar mandi yang ada di kamarku, aku tidak bisa mengelak lagi pada Ibu. Beliau setia menungguku sampai aku benar-benar selesai mengganti bajuku. Aku menggantinya dengan baju rumahan agar lebih santai. "Aku udah selesai, Bu. Ayo, kita keluar," ajakku pada Ibu. Beliau tersenyum dan langsung menggandeng tangan aku keluar kamar. Di ruang tamu, kulihat Bapak tengah asik ngobrol bersama mereka berdua. Sesekali Pak Willy melontarkan candaan yang seketika membuat Bapak tergelak. Namun, tidak dengan Aldo dia hanya mengangkat sudut bibirnya sedikit. Kontras sekali perbedaan karakter keduanya. Pak Willy yang humoris dan juga supel, sedangkan Aldo yang pendiam dan juga terkesan dingin. Aku semakin mendekat ke arah mereka begitu pun dengan Ibu. Beliau setia mendampingi ku. Aldo melirik ke arah ku, tampak sekali wajahnya memendam kekesalan terhadap aku. Sedangkan Pak Willy, dia masih belum tahu kalau aku udah ada di sana. Dia masih tetap fokus ngobrol bersama Bapak. Ku dudukan bokongku di kursi sebrang mereka berdua. Barulah Pak Willy menyadari dan langsung tersenyum hangat menyambut kehadiranku. Aldo sendiri dia masih diam membisu dan hanya melirik sekilas. "Maaf, saya baru bisa bergabung lagi. Dan maaf juga telah membuat menunggu lama. Saya lupa jika ada tamu yang menunggu." Pak Willy, menoleh dia tersenyum di kulum mendengar pernyataan ku barusan. "Al, pernyataan kamu itu untuk siapa? Untuk aku atau Tuan ini," ucapnya sembari menunjuk Aldo dengan dagunya. Mendapatkan pertanyaan absurd dari atasanku itu, lagi-lagi aku dibuat kikuk. Sedangkan kedua orangtuaku hanya mesem-mesem saja. "Mmh, untuk dua-duanya, Pak. Saya meminta maaf." "Oh, begitu. Kalau bagi saya tidak masalah. Oh, ya, Al. Saya sudah minta izin sama Bapak untuk acara kita itu, dan beliau mengizinkannya. Kita tinggal berangkat, kamu jangan menolaknya." Aku menolehkan kepala menatap ke arah Bapak yang kebetulan juga tengah menatap ke arah ku. Bapak seperti tahu arti tatapan yang aku berikan, beliau langsung menganggukan kepala. Aku menarik napasku panjang. Rasanya kok, berat untuk berada dalam satu mobil dengan Bu Rani. Sudah terbayang oleh ku nanti Bu Rani pasti akan mendominasi semuanya, dan aku akan sangat tidak nyaman. "Oh, baik, Pak. Jika Bapak saya sudah mengizinkannya saya juga setuju. Lagi pula ini kesempatan bagi saya untuk liburan gratisan. Hehehe," ucapku di akhiri kehkehan. Pak Willy tersenyum lebar. Dari raut wajahnya dia terlihat sangat senang. Namun, tidak dengan Aldo, laki-laki itu hanya diam membisu dengan wajah datarnya. Sebenarnya aku merasa tidak enak hati pada Aldo. Kata Bapak dan Ibu, dia sudah menunggu aku lama. Namun, aku bingung harus dari mana mengajak dia ngobrol, sedangkan aku sama sekali belum mengenal dia begitu dekat. Berbeda dengan Pak Willy, aku udah tidak merasa canggung lagi karena memang dia itu atasan di tempat aku kerja. Kami sudah cukup lama saling kenal. Hening. Namun, tiba-tiba suara Ibu memecah keheningan. "Maaf, Nak Aldo katanya tadi ada perlu sama anak saya, Alia. Sekarang orangnya sudah ada di sini. Silakan kalau Nak Aldo mau bicara." Aldo tampak tersenyum kikuk. Bagaimana mungkin dia mau mengutarakan maksudnya bila di sana banyak orang. "Mmh, maaf Bu. Sepertinya lain kali saja saya bicaranya. Lagi pula Alia nya juga sedang kedatangan tamu. Lebih baik saya permisi dulu saja." " Loh, bukannya Nak Aldo dari tadi sudah lama menunggu mau bicara dengan, Alia? Kenapa tidak jadi? Kalau Nak Aldo merasa canggung bicaranya di sini, bisa pindah di tempat lain," ucap Ibu sedikit memaksa. Aldo mengusap tengkuknya sendiri. Mungkin dia merasa tidak enak hati. Kembali dia pun berkata. "Tidak usah, Bu. Biar lain kali saja. Mungkin saya salah waktu, datang bukan di saat yang tepat. Saya mohon izin pamit pulang dulu. Masih ada urusan yang harus saya selesaikan." "Oh, begitu. Baiklah kalau begitu. Saya tidak bisa memaksakannya. Maafkan anak kami yang membuat Nak Aldo harus menunggu." Ibu kembali terdengar meminta maaf. "Iya, Bu. Sekali lagi saya mohon pamit. Pak saya pamit." Aldo lantas berdiri setelah berulang kali berpamitan pada kedua orangtuaku. Bapak bersama Ibu mengangguk bersamaan. Mereka memberi kode lewat isyarat agar aku mengantarkan Aldo sampai keluar. Aldo berjalan gontai meninggalkan kami, yang sebelumnya memberi isyarat pada Pak Willy jika dia akan pulang duluan. Anehnya sama sekali dia tidak berpamitan kepadaku, dia malah melengos saat mata kami tak sengaja saling bertubrukan. Sampai di dekat mobil milik Aldo, dia menyalakan remote mobil untuk membuka pintunya. Aldo membalikan badannya menatap kearahku. "Saya pamit. Lain kali luangkan waktu, ada yang ingin saya sampaikan." "Kenapa tidak sekarang aja mengatakannya?" "Tidak. Saya tidak nyaman ada orang lain" "Tapi, dia bukan orang lain. Dia atasan saya. Jadi saya harus menghormati dia layaknya atasan saya. Kalau Anda sudah memutuskan demikian, ya sudah tidak apa-apa saya paham." "Ya, terima kasih atas waktu yang kamu berikan pada saya untuk menunggu selama itu. Saya sangat tersanjung atas semuanya," sindir Aldo sangat menohok hati Alia. "Maaf!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD