Bab 10 | Lamaran di Tangga Darurat?

1158 Words
Kana menarik napasnya panjang begitu memasuki lobi rumah sakit. Dia berdoa tidak akan bertemu dengan Mahesa di pagi buta seperti ini. Kejadian semalam sudah cukup membuatnya panas dingin dan membuatnya sulit tidur. Seharusnya di kesempatan itu dia bisa menggoda Mahesa dan melakukan flirting lain. Tapi Kana bukan wanita yang seperti itu, walau ciuman dengan mantan-mantannya adalah hal yang biasa dia lakukan, namun ini jelas sangat berbeda. Mahesa tidak tertarik padanya, dia juga tidak tertarik pada Mahesa, namun kenapa semalam jantungnya berdegup cepat saat dirinya dan Mahesa berciuman? Hal itu membuatnya terkejut dan ingin segera melarikan diri, dia langsung pulang tanpa berpamitan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, Kana berjalan menuju ruangannya melewati kamar-kamar pasien, membuatnya tersenyum dan menyapa mereka dengan begitu ramah. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat dia melihat Ajeng ada di depannya dengan tatapan tajam dan marah yang berapi-api, langsung menarik lengan Kana dan membawanya masuk ke sebuah ruang rawat. Kana melihat satu per satu orang yang ada di ruangan tersebut. Ada Wira, si mantan brengseknya, papanya, mama tirinya, omanya dan seseorang yang terbaring di sana adalah Riana. Belum selesai dengan keterkejutannya atas apa yang terjadi, dia mendapat kejutan lain berupa tamparan menyakitkan dari omanya. “Gadis jahat! Kakak macam apa yang dengan tega mendorong adiknya yang sedang hamil dan membuatnya masuk rumah sakit?!” Teriak Ajeng melampiaskan emosinya. Kana memegang wajahnya yang terasa perih dan menatap Ajeng dengan perasaan benci namun juga sakit hati dengan ucapan wanita tua itu. Dia berusaha menutupi kelemahannya dengan tertawa sumbang. Dia yakin Riana mengarang cerita untuk membuatnya terus terlibat dalam hubungan asmaranya dengan Wira. “Sejak kapan aku memiliki adik? Aku anak tunggal dan Ibuku tidak pernah melahirkan anak lain selain diriku.” Kana mendecih dan menatap sengit pada Riana yang kini terlihat tak berdaya dengan menggenggam tangan Wira yang berdiri setia di sampingnya. “Oh ayolah, Oma. Lebih realistis saja. Itu anak diluar pernikahan dan jelas anak haram. Mungkin itu teguran dari Tuhan atas semua dosa-dosa mereka.” Kana menjawabnya enteng dan membuat Ajeng semakin berapi-api. Pun dengan Panji yang sudah akan melayangkan tamparannya, Kana menantangnya dengan mendongakkan wajahnya seolah siap untuk ditampar. “Apa? Ayah ingin menamparku kali ini?” Kana tersenyum sinis dan tertawa sekali lagi. Sebenarnya dia lelah menghadapi drama ini. “Aku juga putri ayah, aku juga terluka di sini karena putri brengsekmu yang lain. Tapi apa Ayah pernah sekali saja bertanya bagaimana perasaanku?! Bagaimana aku terluka karena putrimu yang sialan itu?!” Kana berteriak dengan sesak yang semakin menjadi. Dia berusaha keras menahan air matanya. “Mulutmu benar-benar! Berhenti menyebut Riana b******k!! Dia gadis baik! Bukan gadis b******k sepertimu!” Ajeng tidak terima Kana menghina cucu kesayangannya, hingga tamparan kembali dia dapatkan dan membuat tubuh Kana sedikit terhuyung atas tamparan keduanya itu. Dia menatap Ajeng dengan senyum meremehkan, tidak ada lagi rasa hormat yang dia berikan pada wanita tua itu. “Apa? Gadis baik?!” Kana tertawa dengan lantang. “Gadis baik mana yang memberikan tubuhnya kepada b******n? Gadis baik mana yang menjadi p*****r dan membuat anaknya menjadi anak haram? Dia akan ditertawakan oleh setan jika Oma menganggapnya gadis baik.” Kana tidak bisa menahan tawanya. “Sejak kapan p*****r adalah gadis baik? Ups.” Kana menutup mulutnya dengan perasaan terkejut. Citra sangat tidak terima dengan penghinaan Kana pada Riana, wanita itu sudah akan menampar Kana namun Kana langsung menangkisnya dan mendorong Citra cukup kuat hingga wanita itu terhuyung dan hampir jatuh jika saja Panji tidak menangkapnya. “Kana! Cukup!” Teriak Panji menatapnya penuh emosi. Membuat Kana kembali menyunggingkan senyumnya, namun kini senyum miris untuk Panji. “Apa yang dicukupkan, Yah? Aku tidak pernah memulainya! Dia yang selalu menggangguku dan seolah ingin menunjukkan padaku jika dia memenangkan sampah milikku yang telah kubuang. Benar-benar menggelikan.” Kana tersenyum sinis menatap Riana yang kini menatapnya dengan raut kesal. “Ayah bahkan tidak bisa membelaku, apa yang aku harapkan sebenarnya? Kupikir aku masih memiliki ayah sebagai satu-satunya yang akan peduli padaku walau sedikit saja. Tapi semua kini terasa semakin jelas, diamnya ayah melihatku disakiti oleh mereka, diamnya ayah yang tidak pernah menanyakan keadaanku yang menjadi korban di sini. Bahkan ayah justru berpihak pada mereka di saat ayah seharusnya netral dan bisa menjadi penengah. Benar-benar menyedihkan keluarga ini.” Kana kembali tertawa sumbang. “Ah, Oma. Aku juga benci harus menjadi cucumu, sama sepertimu yang tidak menginginkanku sebagai cucumu, aku juga tidak menginginkan Oma menjadi Omaku.” Kana menatapnya dengan lelah lalu pergi dari sana dengan hati yang tidak karuan. Langkahnya begitu lunglai dengan sesak yang semakin menjadi, air mata yang sejak tadi ditahannya tumpah ruah begitu saja. Kana menuju tangga darurat untuk menenangkan diri. Tidak ada siapapun di sana. Tangisnya langsung pecah begitu saja. Dua tamparan dari Omanya yang menyakitkan, namun memikirkan dia tidak memiliki siapapun yang akan membelanya rasanya sangat menyakitkan, membuat dadanya semakin sesak. Dia memiliki keluarga namun rasanya seperti sebatang kara. Keluarganya lebih seperti musuh bebuyutannya yang ingin membunuhnya dengan kejam dan menyakitkan. Kana mencengkram erat bagian dadanya saat sesak itu semakin menyiksanya, dia pelan-pelan kehilangan napasnya, semakin sulit untuk mengambil oksigen dengan normal. Dia merogoh tasnya dengan panik saat asmanya kambuh semakin parah, napasnya sudah tersendat-sendat, namun inhaler yang selalu dibawanya tidak ada, dia sudah membongkar tasnya hingga semua isinya berserakan. Wajahnya sudah memucat, napasnya sudah sangat pendek-pendek dan dia merasa begitu tersiksa, saat kesadarannya perlahan hampir menghilang, seseorang langsung meraihnya, menyandarkan kepalanya di dadanya dan memberikan inhaler hingga Kana pelan-pelan merasa hidup kembali dan bernapas dengan normal setelah beberapa saat. Keringat sudah membasahi seluruh wajahnya. Kana mendongak untuk melihat siapa yang menolongnya di situasi sekaratnya dan datang begitu tepat waktu. Saat mendongak dan dia bisa melihat dengan jelas wajah Mahesa yang berada tepat di atasnya, jantungnya kembali berdegup kencang dan menelan ludahnya susah payah. Apa yang terjadi? Kenapa Mahesa menolongnya? Bagaimana bisa? Tidak mungkin kebetulan sekali? Pria itu kini memeluknya, menyentuh kepalanya, dia bersandar di d**a pria itu dengan nyaman. Dia bisa melihat dengan jelas mata teduh Mahesa yang baru di sadarinya, mata hitam kecoklatan yang rasanya seperti lautan dalam yang isinya tidak bisa diketahui oleh Kana. “Aku akan menikahimu seperti tujuanmu mendekatiku, tapi aku ingin pernikahan ini dirahasiakan. Jika kau setuju, kita akan menikah besok? Setuju?” Satu kalimat dari Mahesa membuat Kana mematung sepenuhnya dengan tatapan mata yang melebar. Pria itu mengatakannya dengan begitu tenang. Berbeda dengan Kana yang seolah sedang menaikin roller coaster karena ucapan Mahesa. Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya dan membuatnya pusing. Bagaimana pria itu mengetahui tujuannya? Bagaimana pria itu bisa mengatakan itu? Bagaimana pria itu mengajaknya menikah di saat dia tau pria itu bahkan tidak suka dengan kehadirannya yang mengganggu. Dan apa sebenarnya tujuan pria itu? Pernikahan rahasia? Apa yang direncanakan pria itu? Kepalanya semakin pusing dengan semua hal yang memenuhinya dan segala emosi yang harus dikelola oleh pikiran dan hatinya, pelan-pelan kesadarannya menghilang dan Kana tidak tau apa yang terjadi selanjutnya. Yang dia tau, dengan semua kerumitan atas apa yang terjadi, dia telah menemukan jawaban dari lamaran paling buruk yang pernah dia dengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD