Bab 4 | Kau Tidur Dengan Siapa?

1470 Words
“s**t!” Mahesa langsung beranjak dan mengacak rambutnya frustasi, dia meninggalkan Kana di kamarnya dan menelpon seseorang untuk membawakan pakaian Kana. Persis seperti yang dikenakan wanita itu dari merk, model hingga ukurannya. Lima belas menit kemudian dia telah mendapatkan kemeja Kana, dia kembali ke kamar tamu dan melihat keadaan Kana masih sama, topless dalam tidurnya dan membuat Mahesa menghela napasnya. Dia lalu menutupi tubuh itu dengan selimut, mengecek siku Kana yang tergores dan mengobatinya dalam diam. Suasana begitu sunyi hingga Mahesa bisa mendengar deru napas wanita itu dalam tidurnya. Dia mengamati Kana dalam diam, cukup lama dan membuatnya berpikir, kenapa dia bisa bertemu dengan wanita ini? Dengan keadaan yang sangat berbeda dan situasi sialan yang membuatnya hampir hilang kendali. Dia mengecek suhu tubuh Kana dan beruntung suhu tubuhnya normal, lalu senyumnya terbit memikirkan bagaimana reaksi wanita itu jika mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu, wanita itu menyerangnya dan membuatnya hampir lepas kendali. Pertemuan pertama yang mengesankan, dan pertemuan kedua yang unpredictable. Mahesa penasaran bagaimana pertemuan mereka yang ketiga. Wanita itu minggu depan akan masuk ke rumah sakitnya dan menjadi mahasiswa di Wangsadinata University. ‘Sial. Kenapa aku harus penasaran dengan pertemuan ketiga kita?’ Mahesa mengumpat dengan pikirannya yang semakin kemana-mana, membuatnya memilih beranjak dan membiarkan Kana beristirahat semalaman di rumahnya sebelum mengusir wanita itu besok pagi. *** Kana mengerang dengan pening hebat yang menyerang kepalanya saat dia terjaga dari tidurnya. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan berusaha menemukan jawaban di mana dirinya berada kini. Semua yang dilihatnya terasa begitu asing. Kamar itu, hiasan dindingnya, meja riasnya, lemarinya, semua bukanlah miliknya yang ada di apartement. Yang jelas dia menemukan jawaban jika kini dia bukan berada di apartementnya. Dia pelan-pelan berusaha duduk dan memukul-mukul kepalanya yang masih terasa sakit, dan berusaha mengingat-ngingat apa yang terjadi walau dia tau dia tidak akan pernah bisa mengingatnya karena dia tipe orang yang tidak ingat apapun yang terjadi saat mabuk. Pintu yang terbuka dan seorang pria berdiri dengan angkuh di depan pintu membuat kebingungan Kana semakin menjadi, dia menelan ludahnya susah payah dan langsung mengecek kondisinya, pakaiannya masih sama dan dia tidak merasakan apapun pada tubuhnya, sudah pasti semua baik-baik saja. Hal terakhir yang dia ingat adalah dia pergi ke bar, minum wine beberapa gelas dan menghajar pria yang menggodanya sebelum dia benar-benar mabuk berat dan setelahnya dia tidak ingat apapun. Dia berusaha memukul-mukul kepalanya dan mengingat keras namun tidak ada hasilnya. Mahesa mendekat dengan tatapan penuh penasaran. Namun melihat dari tingkah Kana dia sedikit yakin jika wanita itu tidak mengingat apapun. “Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa di sini? Kau siapa?” Tanya Kana penuh kebingungan, membuat Mahesa mendecak malas. “Kau mabuk, menyebrang sembarangan dan aku hampir menabrakmu, muntah tiga kali, dua kali di mobilku, satu kali di kemejaku. Teler dan membuatku harus menampungmu semalam di sini. Sudah jelas?” Tanya Mahesa dengan nada sarkatik, membuat Kana menatap pria itu dengan rasa bersalah dan menggigit bibirnya kuat-kuat. “Maafkan aku merepotkanmu. Saat aku mabuk aku tidak akan mengingat apapun yang terjadi.” Ucap Kana menunduk. Mendengar itu membuat Mahesa menunjukkan smirk-nya. Ternyata Kana benar-benar tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi. “Kau boleh pergi sekarang.” Ucap Mahesa lagi membuat Kana langsung tersadar. “Ah, Ya. Terima kasih dan maaf sekali lagi.” Kana buru-buru turun dari ranjang, mengambil sling bag nya dan membungkuk kecil pada Mahesa dan tergesa-gesa keluar dari kamar itu. Tatapan Mahesa begitu mengintimidasi dan membuatnya tidak nyaman. Dia merasa berada di bawah tatapan harimau yang siap menerkamnya. Mahesa hanya membiarkan Kana pergi begitu saja, melihat wanita itu yang gugup, takut dan penuh rasa bersalah membuatnya tersenyum dalam hati, sangat berbeda dengan semalam mengingat bagaimana liar dan agresifnya wanita itu. “Bodoh … Bodoh … Bodoh…” Kana terus mengumpat dalam perjalanan pulang ke apartemen. Apa yang dia lakukan sampai berakhir di rumah pria asing yang sialnya sangat tampan itu. Dia memasuki apartemennya dan mengernyit dengan televisi yang menyala, seingatnya dia selalu mematikan semua sambungan listrik jika keluar. Hanya ada dua kemungkinan karena hanya ada dua orang yang mengetahui sandi apartemennya. Si b******k Wira dan sahabatnya Raya. Tepat sekali, dia menemukan jawabannya melihat Raya yang duduk di sofa dan menonton tivi dengan segala emosi yang dipendam wanita itu. “Bagus! Dari mana jam segini baru pulang?” Tanya Raya persis seperti seorang ibu yang memergoki anak gadisnya tidak pulang semalam. “Bagaimana bisa aku mendengar semua itu dari berita? Aku langsung terbang dari Singapura ke Jakarta untuk menemuimu? Kau benar-benar gila, Na. Bagaimana kau tidak mengabariku sama sekali?” Raya menunjukkan tatapan kecewanya, membuat Kana menggigit bibirnya dan tersenyum masam. “Bukan begitu, aku hanya ingin mengatakannya secara langsung, dan kemarin aku benar-benar kacau, bahkan hingga detik ini.” Kana menghela napasnya panjang dan menjatuhkan tubuhnya di sofa, melihat itu Raya meneteskan air mata, dia memang lebih sensitif dan mudah menangis. Tanpa kata-kata lagi dia langsung memeluk Raya dan tanpa dikomando Kana pun menangis, semakin kencang dan menyesakkan. Selama ini, selain Wira, hanya Raya tempatnya berbagi cerita. “Ternyata dia juga hamil, Ya. Dan mereka telah merencanakan pernikahan mereka. Sakit, Ya. Sakit.” Kana memukul-mukul dadanya yang kembali sesak namun dia berusaha untuk mengontrolnya agar asmanya tidak kambuh. “Ssttt … Pria b******k memang cocoknya dengan w************n. Kau terlalu berharga untuknya, maka dari itu Tuhan melepaskan si b******k itu untuk si jalang. Jangan biarkan rasa sakit membuat mereka semakin menari-nari di atas penderitaanmu, Na. Obat terbaik dari rasa sakit adalah membalaskan semua perbuatan mereka. Kau harus menemukan pengganti yang lebih segala-galanya dari Wira dan keluarga Bimantara. Tunjukkan pada si b******k itu jika dia hanyalah sampah yang memang pantas kau buang. Kau tidak boleh menangisinya lagi.” Raya melepaskan pelukannya dan menghapus air mata Kana, menatap sahabatnya itu seolah memberinya kekuatan dan membuat Kana mengangguk. “Itulah yang aku pikirkan sejak kemarin.” Bisik Kana membuat Raya tertawa dan merasa bangga. Dia tau Kana bukan wanita bodoh yang akan menangisi dan menerima semuanya begitu saja. “Bagus, sudahi sedihmu, mari berburu pria mapan bersamaku.” Ucap Raya membuat Kana tertawa. Keduanya benar-benar merealisasikan perburuan pria tampan itu, Raya sibuk dengan laptop Kana dan membuat list pria-pria dari keluarga kaya yang memiliki pengaruh lebih kuat dari keluarga Bimantara dan Denandra, pun dengan Kana yang ikut mencari walau tidak bisa dibohongi rasa sakit hatinya masih ada untuk si Wira b******k dan keluarganya. Sebuah email masuk di laptop dan hape Kana secara bersamaan, membuat baik Kana dan Raya langsung membukanya. Sebuah notifikasi bahwa dia diterima di Wangsadinata University untuk pendidikan Masternya dengan beasiswa penuh plus tawaran pekerjaan menjadi Senior Nutritionist di Wangsadinata Hospital. Baik Kana dan Raya saling berpandangan lalu detik berikutnya keduanya langsung berteriak dan berpelukan penuh suka cita. “Akhirnya, Ya. Akhirnya …. Aku masuk ke Wangsadinata Hospital Centre. Ya Tuhan … Ya Tuhan … Terima kasih.” Kana terus menggumamkan rasa syukur dan kebahagiaannya. “Eh … Wait … Bukankah pewaris Wangsadinata Group adalah the most eligible bachelor di Indonesia. Sudahkah dia masuk daftar kita?” Tanya Raya berubah serius, mengecek lagi nama itu di daftar yang baru dibuatnya. “Tepat sekali, Na. Raden Mahesa Wangsadinata. Pewaris tunggal Wangsadinata Group, Dokter bedah saraf terbaik dengan segudang prestasi yang juga menjabat sebagai Direktur Wangsadinata Hospital Centre. Tampan, mapan, karir cemerlang, masa depan gemilang, sultan. Sial … Dia kandidat sempurna, Na.” Raya menceritakannya dengan menggebu-gebu, sedang Kana masih loading, dia masih tidak percaya dengan berita yang baru diterimanya tentang beasiswa dan karirnya. “Aku yakin ini adalah sebuah takdir! Kau menerima beasiswa dari Wangsadinata Group, bekerja di rumah sakit pusat miliknya dan kau memiliki misi untuk mendapatkan sang pewaris tunggalnya. Sempurna! Sempurna Kana!” Raya kembali memeluknya, sedang Kana masih dalam kebingungannya. “Kau yakin dia single? Bagaimana jika dia memiliki istri diam-diam atau yang lainnya?” Tanya Kana tidak yakin. “Dalam sepuluh tahun terakhir, dia tidak pernah digosipkan dengan wanita mana pun, hidupnya begitu lurus hanya seputar bisnis keluarganya dan karir dokternya yang begitu cemerlang. Dia sempurna, namun menyedihkan untuk kisah cintanya. Jadi ini waktunya dirimu menaklukan sang pangeran dari kerajaan Wangsadinata, Na.” Raya semakin berapi-api. “Seperti apa orangnya?” Tanya Kana membuat Raya dengan cekatan langsung mengetik nama Mahesa di google hingga muncul berbagai foto pria itu. Begitu melihat foto-foto yang ada di depannya. Mata Kana membelalak dengan jantung yang berdegup cepat. Dia memegang dadanya. Pria itu … Pria itu adalah yang menolongnya semalam. Jadi pria itu, pewaris Wangsadinata Group? Sial. Kebetulan macam apa ini?! Kana menyugar rambutnya dengan perasaan tak tentu. “Na, ada apa dengan lehermu? Kau tidur dengan siapa tadi malam, hah?!” Tanya Raya dengan tatapan mendelik tajam, membuat Kana juga dibuat terkejut dan menyentuh lehernya lalu melihat lehernya melalui kamera ponselnya. Benar! Ada dua bekas gigitan di sana yang siapapun tau itu perbuatan apa. ‘Tidak mungkin kan si pewaris konglomerat itu yang melakukannya?’ Kana membatin dan hatinya semakin ketar-ketir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD