14. Kebetulan?

1595 Words
Juli 2046 Markas Bawah Tanah Titanium di Antartic Leo mendatangi ruang perawatan di mana Mara dirawat. Wanita itu terbaring diatas ranjang masih tidak sadarkan diri. Logan, Ben dan Bryce sedang duduk di meja kerja membahas sesuatu yang terhenti begitu melihat kedatangan Leo. “Kalian membicarakanku?” tanya Leo curiga. “Jangan besar kepala,” dengus Logan. “Kami hanya membahas apa yang akan terjadi jika Mara bangun.” “Ia akan mengamuk dan membunuh kita semua. Itu yang akan terjadi,” timpal Leo. “Mengapa kau disini, Leo?” desah Logan menarik nafas. “Bagaimana urusanmu dengan Ronald?” “Urusan kita, Kak. Bukan urusanku saja jika kau lupa,” decak Leo. Ia menarik sebuah kursi sebelum kemudian duduk diatasnya. “Semua berjalan sesuai rencana. Mutan 1 dan 2 sudah dilepaskan. Besok, giliran mutan 3 dan 4.” “Hm… Si manusia Laba-laba dan Manusia Belalang… Favorit ku,” timpal Bryce menyebutkan julukan yang diberikannya pada kedua mutan yang ditangkapnya beberapa tahun yang lalu di Tokyo. “Dan sebutan apa yang akan kita berikan pada Mutan ke delapan kita? Wanita Chimera?” tanya Leo melirik ke arah Mara. Niat Leo yang bergurau rupanya memancing kemarahan Logan. “Hentikan, Leo!” geram Logan. “Apa yang membuatmu mengira ia akan berbeda dengan yang lain? Ke tujuh mutan yang kita temukan hidup hanya menggunakan insting mereka untuk selamat. Tidak terdapat jejak kepandaian seperti layaknya manusia biasa. Satu-satunya cara mengontrol mereka adalah dengan sebuah program yang ditamankan ke dalam otak mereka. Tidak ada bedanya dengan sebuah mesin.” “LEO! KUBILANG HEN—” Teriakan Logan terpotong oleh gumaman yang keluar dari atas meja periksa, “Ummh…,” desah Mara sekali lagi. Tangannya yang kurus terangkat mengelus dahinya sendiri. Bryce langsung berdiri dan menghunuskan ujung senapan plasma yang dibawanya ke arah Mara, sementara Logan bangkit berdiri dan menghampiri wanita itu. “Mara?” bisiknya pelan. Wanita itu mengerang sekali lagi sebelum perlahan membuka matanya. Sejenak ia terlihat kebingungan akan keberadaannya. Alisnya berkerut sementara pandangannya beralih dari langit-langit ruangan ke  arah Logan. Matanya yang lebar membelalak melihat wajah pria yang berdiri di hadapannya, yang sepertinya dikenalinya. Sejenak. Sebelum kemudian wanita itu kembali meringis sambil memegangi kepalanya. “Kau tidak apa-apa?” tanya Logan. Mara mengangkat wajahnya lagi. “Dimana aku? Bagaimana aku bisa sampai disini?” “Aku menemukanmu di rumah lamaku dan membawamu kemari,” jelas Logan. “Apakah kau ingat bagaimana kau bisa sampai di sana?” Mara mengerutkan dahinya sebelum kemudian menggeleng. “Okay, tidak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Logan menenangkan. Leo berjalan menghampiri Mara. “Apakah ada yang kau ingat, Mara?” tanya Leo begitu berdiri di sisi ranjang wanita itu. Mara membelalak menatap wajah putih membeku yang menjadi topeng milik Leo. Tubuhnya tersentak beringsut mundur. “Wajah itu…,” bisiknya pelan dengan ekspresi penuh teror. “Menjauhlah dariku!” serunya berusaha turun dari ranjang. “Apa?” Leo bertanya kebingungan dengan reaksi Mara pada topengnya. “MENJAUHLAH DARIKU!” jerit Mara kini sambil melompat turun dari ranjang dan bersembunyi di belakang tubuh Logan. Leo tersentak mundur melihat kepanikan di dalam wajah Mara. Entah apa yang menjadikan wanita itu begitu ketakutan akan topeng yang dipakainya. Logan menolah menatap Mara yang berdiri gemetaran di belakangnya. Pria itu menjulurkan tangannya membawa Mara ke dalam dekapannya, kesempatan yang langsung digunakan oleh Mara untuk bersembunyi di balik d**a pria itu. “Leo, keluarlah!” perintah Logan. “A…apa? Tapi aku tidak melakukan apa—” “Keluar! Leo!” bentak Logan tanpa memberi adiknya kesempatan untuk menyelesaikan ucapannya. Leo menggeram tapi menurut perintah kakaknya. Ia menghentakkan kakinya keluar dari ruang perawatan dan melangkah menuju kantornya sendiri. Sialan! Sesuatu tidak beres dengan wanita itu. Memorinya yang sempurna kembali terkenang membayangkan peristiwa dimana Mara kembali muncul di dalam kehidupan mereka setelah dirinya dan Logan pindah ke San Francisco. *** Desember 2028 San Francisco Keadaan di rumah keluarga baru Logan dan Leo, semakin memburuk di penghujung tahun. Apalagi setelah paman mereka di pecat secara tidak hormat dari perusahaan tempatnya bekerja, tabiat Randall semakin menjadi-jadi. Jika ia tidak sedang berada di bar menghabiskan uang simpanan keluarga untuk alkohol, pria itu akan menghabiskan waktunya di depan televisi dengan botol bir di tangannya. Tidak memandang bulu, kini bahkan bukan hanya Logan dan Leo saja yang menjadi sasaran kemarahan Randall. Nancy dan kedua anaknya sendiri pun, merasa bagaikan berjalan di kulit telur ketika berada di dekat pria itu. Bahkan hal sepele seperti suara seseorang dengan tidak sengaja menjatuhkan barang di dekatnya, mampu menyulut kemarahan pria itu. Jika keadaan di rumah terasa bagaikan neraka, keadaan di sekolah tidak jauh berbeda bagi kedua Dalton bersaudara, terutama Leo. Ejekan dan olokan yang bermula dari Nick dan kedua kawannya, menyebar ke mana-mana. Kini hampir murid satu sekolahan mengenal Leo dengan sebutan Freddy Krueger. Satu-satunya hal yang mencegah mereka untuk lebih membully Leo adalah, Logan, yang tidak pandang bulu akan menyerang siapapun yang berani mengusik Leo. Beberapa kali ia dikirim ke ruang kepala sekolah karena berkelahi bukan hanya dengan anak yang seumuran dengannya tapi juga kakak kelas bahkan dengan murid SMP. Walau selalu berakhir buruk bagi Logan, tapi ia tidak peduli. Siapapun yang berani mengusik Leo, akan berhadapan dengan kepalan tangannya. Menjadikan Logan mendapatkan reputasi jelek sebagai anak yang suka berkelahi dan dijauhi oleh teman-temannya. Tidak memiliki teman, tidak membuat Logan sedih. Tidak. Ia justru senang semua orang menakuti dirinya. Karena itu artinya mereka akan berpikir dua kali sebelum mengganggu adiknya. Namun, hal sepertinya akan berubah bagi Logan. Ketika awan gelap menyelimuti permukaan kota San Francisco di bulan Desember, sebuah harapan akan kehangatan, muncul di dalam kelas nya, dalam bentuk teman lama. Suara guru wali kelasnya, Mrs Gaby, membuyarkan lamunan Logan pagi itu.  Ia mengalihkan pandangannya dari jendela kelas, kembali ke depan, dimana seorang gadis sedang berdiri dengan wajah yang tersenyum lebar ke arahnya. “…murid baru di kelas kita, Mara Stevensson.” Suara gurunya yang dari tadi tidak diperhatikan Logan mendadak terdengar di telinganya. “Selamat pagi semuanya, namaku Mara. Aku baru saja pindah ke San Francisco dari San Jose, mengikuti ayahku yang pindah kerja di San Francisco General Hospital.” Suara Mara yang lantang dan wajahnya yang ramah  membuat hampir semua murid tersihir mendengar ucapannya termasuk Logan. Bocah itu tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Mara. Mereka beberapa kali bertukar pesan melalui email, tapi karena susahnya ia mendapat akses komputer, membuat Logan akhirnya sudah lama tidak bisa bertukar kabar dengan temannya itu. “Baiklah, duduklah di sana,” ucap Mrs Gaby menunjuk ke kursi kosong di deretan belakang kelas. “Terima kasih Mrs Gaby,” sahut Mara sambil melangkah menuju kursinya. Logan bisa mencium bau harum rambut Mara yang segar ketika melewatinya sambil mengedipkan matanya dan berbisik, “Hai, Lo…,” sebelum kemudian menghempaskan tubuhnya ke kursi yang terletak beberapa deret di belakang Logan. Pelajaran berlangsung normal. Namun sepanjang jam pelajaran, Logan tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari Mara. Tiap beberapa menit sekali bocah itu menoleh ke belakang, dan tersenyum ketika pandangan mereka bertatapan, yang kemudian berakhir dengan cengiran dari wajah Mara. Ketika bel istirahat akhirnya berbunyi, Logan langsung berdiri dan berjalan menghampiri meja Mara. “Bagaimana kau bisa disini, Mar?” Gadis itu mengerutkan keningnya menatap wajah Logan, yang penuh dengan hiasan luka dan lebam biru kehitaman. “Mengapa kau babak belur begini, Lo?” “Oh… Ah! Tidak kenapa-kenapa,” sahut Logan berusaha mengelak. Mara berdiri dari kursinya dan mendekatkan wajahnya mengamati luka di bibir Logan. Dari jarak sedekat itu, Logan bisa melihat bintik-bintik kecoklatan di sepanjang hidung dan pipi Mara, yang membuatnya sontak menunduk karena malu. “Aku baik-baik saja, kok. Jangan khawatir,” ucapnya sambil memundurkan wajahnya menjauh. “Hm… tidak terlihat baik-baik saja. Siapa yang melakukannya, Lo? Keluarga angkat mu?” Logan menggeleng kebingungan hendak menjawab. Bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa hampir semua orang berniat menghajarnya, keluarga dan teman satu sekolahan. Keributan di lorong mengalihkan perhatian Logan. Ia menoleh ke pintu kelas sambil meremas rambutnya. “Ah Leo!” serunya. Kehadiran Mara membuatnya lupa akan janjinya untuk menjemput Leo setiap selesai pelajaran. Logan berlari keluar dari kelas menghampiri sumber keributan, yang tidak lain dan tidak bukan, tentu saja berasal dari sepupu dan teman-temannya. Kini bahkan bukan hanya Nick, Luke dan Aiden, yang sedang mem-bully Leo. Beberapa anak lain ikut mengelilingi adiknya itu, membentuk lingkaran dengan Leo di tengah dan mendorong tubuh kurusnya ke sana kemari bagaikan sebuah bola. “Tangkap Freddy!” seru salah satu dari mereka. “Tidak. Kau yang tangkap Freddy!” seru yang lain. “Hiii… menjijikkan… Kau saja yang tangkap Freddy!” balas mereka sambil terus mendorong tubuh Leo kesana kemari hingga akhirnya salah satu dari mereka mendorong terlalu keras, dan Leo pun terjatuh diatas lantai. “HEI!” jerit Logan. Melihat kedatangan Logan, anak-anak sekelas Leo yang tadinya mengelilingi bocah itu langsung melesat kabur. Tidak ada satupun yang berniat melawan Logan yang terkenal tidak mengenal ampun jika menyangkut soal Leo. Logan menghampiri Leo yang masih tertelungkup diatas lantai lorong dan menarik tangan bocah itu, membantunya berdiri. “Mengapa kau tidak menjemput ku di depan kelas, Lo?” tanya Leo mengusap hidungnya yang beringus. “Maafkan aku. Aku terlalu asik bercakap-cakap hingga lupa waktu,” balas Logan dengan perasaan menyesal. “Bercakap-cakap?” tanya Leo heran. Ia tahu semua teman Logan disekolah ini. Yang jumlahnya selain dirinya adalah nol. “Dengan siapa kau bercakap-cakap.” Logan menoleh ke belakang, menunjuk pada gadis yang masih berdiri tak jauh darinya. Dengan wajah ceria, ia melanjutkan, “Kau ingat. Mara. Ia baru saja pindah ke sekolah ini juga. Suatu kebetulan bukan?” ===== Note: Apakah suatu kebetulan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD