Polisi

1756 Words
"Dek ..." Dhevi terkejut, ternyata lamunan yang membawanya sesaat ke masa lalu membuatnya terhanyut sampai tidak menyadari orang - orang sudah pulang dari rumah sakit Royal. "Ya, Popa," jawab Dhevi yang mengenali suara Popanya. Dhevi beranjak dari tempat tidurnya, tidak lupa dia mengambil ikat rambutnya, lalu mengikat kembali rambutnya tapi tidak serapi dan sekencang tadi. Dia melihat sekilas ke kaca untuk melihat penampilannya, walau dia memakai tata rias yang tipis tapi masih terlihat rapi, hanya rambutnya saja yang terlihat tidak mendapat sentuhan yang sempurna. Dhevi keluar kamar sudah tidak ada orang, ternyata semua sudah berkumpul di ruang tengah, jadi mungkin tadi Popa cuma sambil lewat dan mengetuk pintu kamarnya. "Sini Dek," panggil Nini Priska yang melihat kehadiran Dhevi. "Ya, Ni." Dhevi menghampiri Nini Priska untuk menyalami dan mencium pipinya, lalu lanjut ke Aki Owie juga om Dio dan tante Sherina yang tadi pagi baru sampai di Bandung dan langsung ke lokasi acara, jadi Dhevi belum ketemu langsung dengan mereka karena duduknya agak berjauhan di lokasi acara tadi, apalagi setelah itu dia langsung pulang duluan. "Kok Adek pulang cepet?" "Iya tadi adek ada zoom meeting sebentar, jadi buru-buru," Dhevi menjawab pertanyaan Nini Priska. "Mau ada Fashion Week lagi Dek?" tanya Tante Sherina. "Iya tante, di New York." "Pakai model siapa dek?" tanya Mauren. "Ya bule-bule sana lah." "Nggak mau bawa model dari Indonesia? Aku sama teman-temanku siap bantu loh." Kurang baik apa coba, Mauren selalu berusaha menorehkan kebaikan untuk sepupunya ini, tapi belum tentu ditanggapi Dhevi. "Baju Adek kan nggak cocok buat orang Indonesia, jadi agak lucu kalau modelnya orang Indonesia," jawab Dhevi. "Memangnya model baju kayak apa sih Dek," tanya Aki Owie. "Ya Modelnya seperti nggak biasa aja gitu Ki, pasarnya memang terbatas. Adek juga nggak produksi banyak. Tapi modelnya kayaknya jarang orang Indonesia yang mau pakai deh." "Adek sudah bikin butik belum di situ?" ?Belum,Ni, masih buka online aja." "Masa Popa nggak bisa memfasilitasi buka butik di New York sih?" tanya Nini Priska tapi dengan nada yang nyinyir. Devi langsung menoleh ke arah Popanya yang sepertinya hendak menyahut, tapi tidak jadi karena dilirik Devi. "Adek itu belum terkenal di sana, fashion Week yang Adek ikuti sekarang ini baru kelasnya perancang muda yang baru meniti karir. Jadi Adek belum kepikiran mau bikin butik, jadi ikut - ikut fashion Week seperti ini terus dan Promonya di online." "Sudah berapa lama ya Adek merancang baju ini?" tanya Nini Priska yang mencoba mengingat kiprah Dhevi dengan profesinya ini, dia lupa tepatnya. "Baru mau dua tahun, Ni. Kan abis lulus kuliah Adek baru serius mendesain baju." "O iya ...abis kuliah baru ambil course di Paris itu ya?" "Iya, tapi sudah mulai merancang dari kuliah, tapi masih ototidak." "Padahal kalau mau berkarir di sini, Adek kan bisa belajar dari Eyang Andin, bisa nebeng nama juga. Terus kan banyak artis - artis Om Dio tuh yang bisa pakai rancangan Adek," ucap Aki Owie memberikan usul ke Dhevi. "Adek nggak menerima permintaan rancangan pribadi, Ki. Jadi adek menjual rancangan sesuai yang Adek mau. Kalau di luar negeri ada pasarnya ... Tapi kalau di dalam negeri, kayaknya agak susah ." jelas Devi . "Dek , temen-temen gue banyak loh ... Mereka biasa pakai baju perancang juga ," sela Mauren . "Nggak mau, paling temen Mauren termasuk golongan punya budget lima juta, tapi permintaannya seperti orang yang punya budget seratus juta, bikin pegel ... Adek males." Semua tertawa mendengar jawaban Devi kecuali mauren. Tapi betul juga yang dia bilang, memang banyak orang seperti itu kan? Permintaan melebihi harga, apalagi ada embel-embel saudara Mauren. "Tapi jualan seperti itu kan belum tentu laku Dek, apalagi semuanya atas keinginan Adek sendiri yang belum tentu seleranya sesuai dengan orang lain," ucap Eyang Nino yang dari tadi hanya mendengar percakapan dengan Dhevi. "Konsepnya memang begitu kok Yang, Adek nggak cari laku, tapi Adek cuma mau apa yang Adek buat dipakai sama yang suka, bukan sama orang yang cuma punya uang, dan biasanya orang yang suka dan beli rancangan adek itu, tidak peduli harga. Sejauh ini laku satu baju aja satu bulan, itu udah cukup. Pernah Adek liat ada juga kok yang copy paste rancangan Adek dan disesuaikan dengan keadaan di tempat itu. Tapi ya biarin aja, rancangan dan material yang adek pake nggak kan bisa dicontek begitu aja. Makanya Adek rajin ikut Fashion Week seperti ini supaya orang lebih mengenal Adek, dan penyuka rancangan adek bisa melihat model yang baru Adek keluarkan, biasanya kan duluan di Fashion Week, baru ada di website atau Ig." "Kapan kaya nya kalau jualan cuma satu baju sebulan, terlalu naif nggak sih, Dek?" tanya Mauren dengan nada biasa tapi terlihat seperti merendahkan prinsip Dhevi. "Mauren masih nyari kaya, ya?" tanya Dhevi. "Adek bukan cari kaya sekarang, buat Adek merancang itu passion, kalau sampai ada yang suka dan mau beli hasil rancangan Adek itu, rasanya adek puas aja gitu, tahu nggak kenapa? Soalnya ada yang melihat baju itu seperti mata adek melihat baju itu, masalah materi ... Adek udah nggak nyari kayaknya, untuk fashion week aja adek banyak mengeluarkan dana loh, dan itu belum tentu laku. Tapi adek nggak kecewa karena Adek bukan cari laku, ya mungkin prinsip kita beda,"tambah Dhevi. Mereka berdua ini memang tidak pernah berseteru, tapi mereka juga tidak akrab sebagai sepupu. Dhevi malah akrab dengan sepupu lainnya dari sisi Papanya dibanding dengan Mauren satu-satunya sepupu yang dia punya dari sisi mamanya. Padahal dunia pekerjaan mereka di bidang yang sama, Dhevi sebagai perancang dan Mauren sebagai model, tapi mereka beda prinsip dalam memandang pekerjaan masing - masing. "Itu namanya perancang berprinsip, Dek," Puji mama Dea. "Ya." "Terus rambutnya masih suka ganti - ganti tuh?" tanya yangti Sarah. Baru kali ini dia melihat rambut Dhevi warna burgundy, beberapa bulan yang lalu, cucunya ini berambut hijau. Dhevi memegang ekor rambut yang dikuncirnya asal itu. "Keren nggak yangti?" "Keren." "Ini sudah dua bulan Adek pakai warna ini." "Terus kapan warna aslinya diliatin?" tanya eyang Nino. Dhevi hanya memberi cengiran. "Sudah dua tahun ini masih bisa direm, dulu waktu awal - awal tinggal di Melbourne, tiap bulan dia ganti warna rambut. sekarang paling nggak setahun cuman tiga atau empat kali," jawab Moma yang selama ini banyak tinggal bersama Dhevi. "Nggak rusak tuh rambutnya?" "Kalau perawatannya bagus dan pewarna rambutnya juga yang dipakai kualitas bagus, aman yang," jawab Dhevi. Selagi mereka ngobrol, ternyata Papa Azki juga pulang, tadi dia memang tidak sama - sama dengan yang lain karena masih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan dan menerima tamu di rumah sakit. "Lagi pada ngobrol nih?" tanyanya langsung duduk di sebelah eyang Nino. "Iya. Ketemu siapa tadi Mas?" tanya Eyang Nino. "Dokter Radhika, dosen Mas Dharren sama Mas Dhannis," jawab papa Azki. Kedua saudara kembar Dhevi itu memang dua - duanya hampir menjadi dokter. Kini keduanya sudah menuju akhir koas, tepatnya enam bulan lagi mereka tuntas menjalani koas, jadi tinggal ujian dan lanjut dengan pengambilan sumpah dokter sebelum mereka masuk ke internship untuk satu tahun. Mereka memang kuliah di Jakarta di kampus yang sama dengan Apuy, Eyang dan papa mereka, selama kuliah di Jakarta mereka tinggal di rumah Eyang Nino karena Popa lebih banyak di luar negeri bersama Dhevi. "Spesialis apa dia?" "Bedah, satu angkatan di atas Abang." "Owh. Dokter di mana?" "Royal Jakarta, kan dia diundang ke sini untuk jadi pembicara juga." "Abang nggak jadi pembicara? "Waktunya nggak pas, abang kebetulan ada agenda lain," jawab papa Azki. Jeda sebentar karena asisten rumah tangga Dea menyajikan kue - kue. "Sekarang Adek udah punya pacar belum?" tanya yangti Sarah tiba - tiba. Pembicaraan ini agak sensitif buat Dhevi. Sejak kejadian bertahun - tahun yang lalu, dia menghindari topik ini di depan Papanya. Mungkin bisa dibilang trauma, tapi bukan trauma dalam menjalani hubungan dengan lawan jenis, hanya dia tidak ingin membahasnya di depan Papanya. "Udah lama nggak nih, dulu sempat pacaran sama Mikho namanya? Temen kuliah. Kayaknya cuma sebentar, eh tahu-tahu putus," jawab Moma mewakili Dhevi. Dhevi hanya senyum saja. "Mau nggak Dek dikenalin sama dokter?" tanya yangti. "Nooo ... Adek nggak mau dikenal-kenalin." Dhevi langsung menolak tanpa basa-basi. Dia tidak mau disodori pilihan kalau soal jodoh. Prinsipnya, semua itu harus ketemu sendiri. "Sama temen gue mau nggak Dek, ada tuh fotografer jomblo, ganteng loh." "Buat Mauren aja," jawab Dhevi santai. "Mauren juga milih - milih, pakai nyuruh-nyuruh Adek," sahut mommy-nya sendiri. "Ya belum ada yang cocok." "Kalau gitu jangan sok nyodorin Adek, berarti kan kalian sama saja." "Popa dari tadi diam aja," ucap Mama Priska melihat ke arah sahabatnya. "Bingung mau nyautin yang mana, soal karir apa soal jodoh?" "Soal karir tadi udah, sekarang jodoh aja deh, gimana nih prospek jodoh cucu-cucu?" tanya Aki Owie. "Masih pada muda, nanti aja dipikirin. Ngapain juga buru-buru nikah. Kan semua sedang meniti karir." Dhevi diam saja, dia langsung terbayang Rangga tadi. "Nini curiga deh, Dek. Kalau nanti Adek bawa pacar, langsung dicegat sama popa." "Oh jelas, pacar Mauren juga, harus kenalin ke Popa dulu." Dhevi tersenyum, "Mauren duluan aja ... Adek nggak tahu kapan. Belum niat, adek masih mau kuliah S2 dulu " sahut Dhevi berbohong, dia sama sekali tidak memikirkan soal S2. "Aku belum punya pacar, tapi kalau incaran sih ada," jawab Mauren. "Jangan diincar doang, nanti diambil orang loh," sahut Dhevi lagi. "Lagian dia aneh sih, sudah tahu suka sama orang, bukannya dideketin langsung, malah bersahabat sama adeknya, lamaa kan?" komentar Papa Mauren. Sepertinya Mauren sangat terbuka dengan orang tuanya, mungkin karena dia merasa orang tuanya menjadi tempat curhat, termasuk soal pria yang menjadi incarannya. "Ya bener juga dong itu, deketin adik nya dulu, kan lama-lama dapat kakaknya," sahut papa Azki. "Kayak lo dulu ya?" Papa Azki terkekeh. "Beda dong, kalau dulu gue kan cuman memanfaatkan lo." "Kampret memang." "Jangan-jangan adiknya yang jadi sahabat Mauren juga model ya?" "Bukan Moma, adiknya fotografer yang mau aku kenalin ke Adek tadi. Kakaknya polisi." "Polisi? Wah keren nih Mauren," puji Aki Owie, "Keluarga besar kita juga belum ada yang nikah sama polisi, ya?" "Asal jangan polisi tidur aja ya," celetuk Popa. Mauren cemberut. Dhevi hanya diam ketika Mauren menyebutkan polisi, dia merasa tidak nyaman. Padahal suka-suka Mauren saja, mau sama polisi kek, tentara kek atau Marinir sekalian, terserah. Apa mungkin efek dia ketemu dengan Rangga dengan seragam polisinya tadi? "Tadi kayaknya ad..." "Polisi beneran Popa, tapi aku belum jadian, agak susah ya komunikasi sama polisi," ucap Mauren yang langsung memotong ucapan mommy-nya. Dia khawatir kalau semua tahu soal Rangga yang tadi datang, malu juga mengakui seseorang padahal belum jadian. Mungkin mommy-nya terlalu excited. "Oh ya, bagus, nanti sebelum jadian kenalin sama Popa dulu." "Memangnya Popa berani sama polisi?" tanya Nini Priska menggoda Popa Nandi. "Dia takutnya cuma sama satpol PP." "Owie! Ihh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD