Tujuh Tahun, delapan bulan yang lalu ....
"Kok nggak bosan-bosannya dipanggil ke sini, sih, Nak? Nggak kapok gitu?" tanya Bu Dewi, guru BK yang sering mengurusi Dhevi sejak satu bulan pertama dia masuk ke sekolah ini, tepatnya setelah melewati masa orientasi yang banyak toleransi untuk anak baru.
Di dalam ruangan yang tidak terlalu besar itu, ada tiga murid lintas angkatan dengan dua guru dan satu staf, yaitu Dhevi dengan bu Dewi dan di meja lain, Bu Tari sedang berhadapan dengan dua murid kelas sebelas. Dari tempat Dhevi duduk, dia bisa mendengar suara Bu Tari yang juga sedang mengomel.
Dhevi sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Ruang BK seakan menjadi rumah keduanya sejak ia menginjakkan kaki di SMA ini tiga bulan lalu. Sekolah yang sebenarnya tidak Dhevi inginkan, tapi masih lebih baik daripada tetap melanjutkan sekolahnya di Bandung.
Dhevi yang duduk di depan Bu Dewi tidak menjawab pertanyaan yang lebih mirip keluhan itu.
"Dhevi, ini sudah kesekian kalinya kamu terlambat dan tidak membawa seragam olahraga," suara Bu Dewi terdengar tegas namun tetap sarat kelembutan dan mendistraksi diamnya Dhevi. Dhevi hanya mengangguk kecil. Ia tidak punya alasan untuk membela diri. Soalnya dia bukannya lupa membawa seragam olah raga, tapi memang tidak niat. Dia tidak suka pelajaran olahraga karena membuatnya berkeringat. Sepertinya ini "penyakit" keturunan, tapi hanya dia yang mendapatkannya, sementara Dharren dan Dhannis, kakak-kakaknya, tidak begitu.
"Ini sudah kesekian kali lho, dan Pak Sarjan tidak akan memberi kamu nilai kalau tidak ikut praktek olahraga."
"Adek nggak suka keringetan, Bu," jawab Dhevi memberi alasan.
"Berkeringat itu sehat, Nak," kata Bu Dewi dengan nada keibuan.
"Sehat kan bisa pakai cara lain, Bu? Mana teman sekelas Adek ada yang bau ketek. Nggak keringetan aja dia bau, apalagi kalau keringetan. Iuuh ... Adek nggak kuat, Bu. Adek bisa pingsan nanti. Masa Adek yang biasanya masuk ruang BK, berubah jadi masuk ruang UKS? Harusnya dia juga dipanggil ke sini, dong, Bu, kan dia sudah membuat orang lain nggak nyaman," jawab Dhevi.
Seperti biasa, Bu Dewi harus mendengar alasan-alasan Dhevi yang 'agak lain' ini.
"Kalau sekali lagi kamu tidak ikut PJOK, orang tua kamu terpaksa dipanggil. Kamu nggak kasihan, apa? Kan bisa mengganggu kesibukan mereka," ucap bu Dewi yang baru saja mengabaikan alasan Dhevi.
"Nggak apa-apa, Bu. Popa Adek sudah pensiun juga, Popa itu pengen banget ke sekolah Adek, tapi Adek nggak bolehin, kalau dipanggil pasti Popa dengan senang hati ke sini," jawab Dhevi.
"Wali kamu Popa ini, ya?"
"Iya, Bu. Adek tinggal sama kakek yang Adek panggil Popa," jelas Dhevi.
"Banyak yang diasuh kakek jadi begini nih."
Dhevi agak bingung.
"Jadi gimana maksudnya, Bu?"
"Jadi klien guru BK."
Dhevi menghela nafas ringan dan tidak ketara. "Di Bandung, Adek sudah jadi member Platinum ruang BK kok, Bu, padahal tinggal sama orang tua."
Bu Dewi sampai kehilangan kata-kata, kok bisa anak ini biasa saja memamerkan dirinya yang jadi klien prioritas guru BK?
Tiba-tiba, pintu ruang BK terbuka. Seorang pemuda tinggi, tampan tapi tampak kacau dengan rambut acak-acakan dan tatapan menantang ketika masuk ke ruangan. Dhevi yang menoleh ke arahnya langsung membuat penilaian subjektif, Ini sih nggak usah ditanya lagi, kesalahannya sudah jelas, kalau nggak ngerokok, berantem, terlambat, atau bolos sekalian.
"Rangga, kamu ke sini," panggil Bu Dewi yang belum apa - apa sudah terlihat kesal melihat Rangga datang. Rangga menarik kursi di sebelah Dhevi dan duduk di sana.
"Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan bolos pelajaran! Pelajaran agama lho ini. Dua minggu lalu berkelahi, minggu lalu tiga hari berturut-turut terlambat. Hukumannya aja baru selesai Jumat kemarin, masa Rabu sudah dipanggil lagi. Kemarin juga terlambat lagi, kan?" tanya Bu Dewi tanpa melihat buku besarnya, tapi ia bisa mengingat semua kesalahan Rangga dengan lengkap.
"Iya, Bu," jawab Rangga dengan nada malas, lalu melirik ke arah Dhevi yang duduk di sebelahnya. Tatapannya menyipit. "Oh, ada murid baru, ya? Cantik juga, Bu," ucap Rangga, kali ini ditujukan kepada Bu Dewi. Meskipun mereka berdua ini langganan di ruangan ini, baru kali ini mereka bertemu.
Dhevi mengerutkan kening. Ia tidak suka dengan cara Rangga menatapnya. Apalagi saat Rangga menambahkan, "Kenapa lihat-lihat? Pasti naksir sama gue, ya?" tanya Rangga dengan percaya diri setinggi langit.
"Rangga! Kamu itu ya, jangan ganggu adik kelas!" tegas Bu Dewi.
Rangga tersenyum menanggapi teguran Bu Dewi. Adik kelasnya ini terlalu lucu untuk dilewatkan, apalagi terlihat polos.
"Maaf, Bu Dewi, dipanggil Pak Gito," sela staf BK. Pak Gito adalah kepala sekolah mereka.
"Kalian tunggu di sini, Ibu belum selesai,"
"Iya, Bu."
Sepeninggal Bu Dewi, Dhevi langsung menoleh ke Rangga. "Siapa bilang Adek naksir sama kamu? Adek bahkan nggak tahu ada makhluk kayak kamu di sekolah ini," ujar Dhevi, memandang Rangga dari atas ke bawah.
Rangga terkekeh. "Oh, minta dipanggil Adek banget nih ceritanya? Kalau gitu panggil gue Kak Rangga dong, eh Abang juga boleh... tapi jangan panggil Sayang dulu ya, Dek ... belum boleh ya, Dek, kan kita belum jadian."
Dhevi semakin kesal, merasa diejek oleh Rangga. Ia tak menyangka bertemu dengan orang yang se-PD ini ... minta dipanggil apa dia tadi? Kakak? Abang Rangga? Asli, PD gila nih orang!
"Adek nggak kayak orang-orang yang naksir sama Kang Rangga!" tegas Dhevi.
"Ciee ... Kang? Kok sweet banget sih? Pengen beda dari yang lain ya? Boleh ... boleh ... gue suka gaya lo."
Alis Dhevi bertaut.
"Sweet? Kang bakso aci sama Kang cilok di SMP Adek dulu aja santai dipanggil 'Kang,' mereka nggak ada tuh yang GR kayak Kang Rangga, apalagi bilang sweet segala," jawab Dhevi sampai geleng kepala.
"Eh, gue nggak dagang apa-apa, njir ... kenapa lo samain gue sama Kang bakso? Itu pasti 'Akang' kan maksud lo tadi?"
"Kang bacot!"
Rangga tertawa ngakak sampai mengundang perhatian tamu BK lain yang sedang berhadapan dengan Bu Tari.
"Rangga, jangan berisik!" tegur Bu Tari.
"Ya, Bu ... maaf bu," jawab Rangga sambil menahan senyum dan menyatukan telapak tangannya di depan d**a.
Ketika melihat ke Dhevi lagi, ternyata adik kelasnya ini sedang mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Baru ketemu beberapa menit, masa udah dijadiin story aja? Gimana kalau resmi pacaran? Pasti feed IG lo isinya foto gue aja, kan?" tuduh Rangga.
"Adek senang kalau dapat bahan IG story kayak gini," jawab Dhevi tanpa menoleh.
"Buat apaan lo?" tanya Rangga, penasaran. Bagaimana tidak penasaran, ada adik kelas yang berani menjawab tanpa takut sama sekali, bahkan terkesan santai dan tidak ada takut - takutnya. Apa dia tidak tahu siapa Rangga?
Rangga sampai melongokkan kepalanya untuk melihat IG story yang Dhevi buat, dan Dhevi tak berusaha menutupinya saat menekan tombol Your Stories, artinya foto dan tulisan yang dibuatnya tadi sudah tersebar di antara puluhan ribu followers-nya.
Rangga melihat foto yang ditayangkan Dhevi barusan adalah foto sepatu NB yang dipakai Rangga hari ini. Sepertinya Dhevi mengambil foto itu saat Rangga minta maaf kepada Bu Tari tadi. Caption-nya:
Please, rumah sakit jiwa mana aja yang merasa kehilangan pasien pakai sepatu ini, bisa cari di ruang BK ya.
"Sialan!" umpat Rangga kesal.
Rangga benar-benar tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Dhevina Azde Mahendra, bukanlah anak selugu itu. Dia satu-satunya murid perempuan kelas sepuluh yang jadi langganan ruang BK dan tak kenal kata 'kapok.'
Dhevi hanya tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Justru, wajah puas karena telah membuat Rangga kesal tampak jelas, apalagi saat Bu Dewi masuk kembali ke ruangan dan duduk di depan mereka lagi. Bu Dewi sudah siap memberikan hukuman untuk mereka.
"Awas lo ya!" ancam Rangga sambil berbisik
Dhevi hanya melirik sambil mengangkat bahu.