“Ibu ada kabar baik buat kalian.” Bu Imelda tersenyum lebar.
Senyum yang menular pada semua siswa. Di dalam kelas seolah bersinar terang, meski diluar sedang menudung di tutup awan hitam nampak akan hujan sebentar lagi.
“Sudah ibu duga, kalo kalian memiliki ide-ide menarik, terlepas apa pun temanya, bahkan tema sains sekali pun.”
“Dan ibu putuskan buat kasih kalian semua nilai A.”
Sorak gembira langsung pecah, diiringi tawa bahagia dan senyum bangga dari mereka yang menulis cerpen dengan memutar otak mati-matian.
Haikal hanya tersenyum tipis, sedikit bahagia, namun tidak terlalu bisa ikut euforia yang mereka rasakan pasalnya cerpen itu ia dapatkan dengan ‘cuma-cuma' bukan hasil kerja rodi otaknya.
“Sebenarnya ada alasan kenapa ibu nyuruh kalian nulis cerpen dengan nuansa sains,” kata bu Imelda.
“Karena ada lomba membuat cerpen di tingkat kota dan ibu iseng aja ngirimin semua cerpen kalian.” ke lomba itu. Dan ibu gak menduga ternyata ada cerpen yang lolos masuk ke tahap selanjutnya, buat mewakili lomba cerpen tingkat kota.”
“Dan murid itu dari kelas kalian.”
Pernyataan bu Imelda seketika membuat ledakan euforia semua murid, mereka diam-diam melafaskan namanya berharap merekalah yang terpilih. Dan Haikal hal itu menjadi hiburan tersendiri buat Haikal. Dia yang tidak berharap tentunya tidak akan merasakan perasaan debar seperti mereka. Tapi tunggu dulu,
Haikal menatap ke depan, kenapa pandangan bu Imleda kearahnya?
Haikal mulai merapalkan doa, jika yang lain meminta namanya di sebut, Haikal kebalikannya.
Dia tidak mau namanya di sebut.
Apa jadinya jika namanya di sebut ?
Haikla harus apa?
Tidak! Haikal pasti cuman geeran. Bu Imelda tidak melihat kearahnya tapi mungkin ke arah Dzawan. Konsep cerpennya kemarin bagus kok, meski dialog yang dibuat kaku sekali. Atau bu Imelda sedang melihat Dzawin, cerpen yang dibuatnya sangat menarik, jarang ada yang mengangkat tema itu. Meski narasinya agak belepotan.
Haikal menunduk, berharap bisa menyembunyikan kepalanya dari jangkauan mata bu Imelda.
“Dan cerpen yang terpilih berjudul Auksin, hormon yang ada pada tumbuhan.”
Haikal membeku dengan mata membesar dua kali lipat. Dzawin yang ingat akan judul cerpen milik Haikal langsung menyenggol lengan Haikal dengan semangat.
“Setelah ibu baca cerpen itu, ibu tahu kenapa cerpen ini lolos. Karena saat membaca cerpen ini terasa seperti di tulis dengan perasaan yang sangat jujur, dengan makna mendalam dan sangat mengalir dalam bercerita.”
“Haikal,” panggil bu Imelda.
Panggilan itu terdengar seperti guntur di telinga Haikal.
“Ayo maju ke depan kelas.”
Haikal berjalan ke depan kelas dengan langkah kaku seolah ada barbel berat yang menahan kakinya.
“Kamu bakal maju buat mewakili sekolah dalam lomba itu ya, kamu bisa, kan? “
Haikal ingin menggeleng, tapi dengan alasan apa? Jujur kalo cerpen itu bukan milikinya di depan kelas? Apa yang akan terjadi padanya? Cap murid baik-baik akan langsung lengser dari kepalanya.
“Bu, tapi cerpen saya itu jauh dari kata baik. Saya—“
Bu Imelda menepuk pelan bahu Haikal. Tepukan menyakinkan.
“Ibu tahu, meski ada beberapa kesalahan dalam PUEBI tapi itu gak terlalu fatal. Itu masih bisa diperbaiki, Ibu bangga sama kamu.”
“Dari sekian kelas, nama kamu yang terpilih, kalian mesti bangga karena ada calon cerpenis hebat di kelas kalian,” kata bu Imelda sangat hiperbola.
Haikal bergidik ngeri membayangkan senyum bangga yang bu Imelda berikan akan berubah menjadi seringaian menyeramkan jika bu Imelda tahu kalo dia mengambil karya orang lain.
Haikal makin getar-getir dan semua makin di perburuk dengan tepukan gemuruh dari Dzawin, yang latah di ikuti semua murid di kelas. Mereka sangat bangga pada kemenangan palsu Haikal.
Bisakah waktu di ulang kembali? Haikal menyesal telah berbuat curang. Seharusnya dia memaksa otaknya kerja rodi saja ketimbang seperti ini.
“Cieah....“ tawa langsung pecah dari bibir Fauzan.
Haikal berdecak tajam. “Kasih solusi kek, Bang. Malah ngetawain, nyesel aku cerita, malah bikin dongkol aja.”
Fauzan menghentikan tawanya yang sebenarnya masih mau mengudara. “Maaf-maaf, habisnya lucu sih.”
Haikal mendengus, kesal. “Ubahlah, jadi malas.”
“Eh, jangan marah dong. Lagian kamu juga ya salah, Dek. Tindakan kamu itu namanya gak jujur. Buah dari gak jujur ya gitu pahit.”
“Iya, Bang, aku tahu. Aku nyesel.” Haikal menunduk dalam.
“Terus gimana, Bang ? Aku udah gak bisa narik nama dari lomba itu, kehormatan sekolah di pertaruhkan.” Haikal menghela nafas keras, berharap bebannya juga hilang bersama helaan nafas.
“Jujur sama bu Imelda kalo itu bukan kamu yang nulis.”
Haikal mengangkat kepalanya. Terlihat raut wajah pasrah namun tersirat setengah ketidak setuju di sana.
“Atau gini aja... “ Fauzan menepuk pelan bahu Haikal. “Kamu cari dulu siapa yang buat cerpen itu, kalo udah ketemu, kamu jujur sama bu Imelda kalo bukan kamu yang buat cerpen itu.”
“Ide bagus, Bang.” Kelesuan di wajah Haikal seketika sirna. Haikal mengangguk setuju dengan sepenuh hati.
“Tapi ada satu kendala lagi, Dek,” kata Fauzan, membekukan senyum Haikal.
“Apa, Bang? “
“Gimana caranya kamu nemuin orag dari banyak orang di sekolah? “
Haikal mengerjap. Kenapa kapasitas otaknya tidak terpikir sampai sejauh itu?
Mencari jarum di tumpukan jarum bukanlah hal mudah.
Haikal harus apa?
.
.
“Jadi cerpen itu bukan punya Lo, Kal? “ Mata Dzawan melebar, kaget. Sedangkan Dzawin yang berada di samping Haikal menggeleng-geleng dramatis.
“Wah...wah.. wah... Lo dalam bahaya besar nih, Kal. Nama Lo udah terdaftar dalam lomba, terus gimana ?”
“Bang Fauzan kasih saran buat cari pemilik cerpen itu.”
“Caranya? “
Haikal tersenyum simpul. “Kalian mau bantuin gue, kan? “
“Hem...” Dzawin bergumam, pelan.
“Apa dulu nih yang mau di bantu, kalo aneh-aneh, gue up. Lo kan tahu reputasi gue kalem-kalem aja. Gue gak mau udah oon, nakal lagi. Itu mah keren di n****+ doang kalo di kehidupan nyata mah, amit-amit cabang kebo,” cerocos Dzawan panjang bagi lebar.
Setali dua logam, Dzawin juga mengangguk setuju.
“Gak aneh kok, cuman bantuin gue, seharian di kamar mandi.”
“Eh, ngapain, Munaroh? “
“Gue ketemu kertas itu di kamar mandi, jadi, siapa tahu gue bisa ketemu sama penulis cerpen itu.”
“Tapi gimana kalo tuh orang ternyata gak ke kamar mandi hari ini. Kan sia-sia.”
Haikal kembali tersenyum simpul. Membuat Dzawan dan Dzawin langsung melemparkan tatapan mereka, mencoba menerka isi kepala Haikal.
“Gue udah siapin semuanya. Makanya kalian bantuin gue buat ambil barangnya di pakiran.”
“Wait ..tunggu dulu, barang apa yang Lo maksud? “Dzawan menatap tajam Haikal.
Haikal langsung balas melempar tatapan tajam pada Dzawan. “Gak usah mikir aneh-aneh deh. Bukan barang terlarang. Ini tuh cuman teko air besar, makanya gue minta bantu kalian berdua buat bawanya.”
“Buat apa sih, Kal, jelasin dulu dong kitakan kepo.”
“Jadi gini....”
.
.
Fatiah menggeliat lemas di kasurnya. Kepalanya terasa sangat berat untuk di tegakkan barang sejenak saja.
“Iah, kamu beneran gak sekolah hari ini? “ tanya Billa sembari bersiap menggunakan seragam sekolah.
Fatiah mengangguk lemah. “Tolong titip surat ya, Bill.”
“Iya.” Billa menerima surat yang Fatiah buat ala kadarnya. “Biar aku minta obat sama ustadzah dulu deh. Kamu makan dulu gin, biar bisa minum obat terus istirahat.”
“Eh, Fatiah sakit? “Tanya Lail yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan tangan bergerak cepat menggosok rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil di bahunya.
“Iya, dia sakit gara-gara begadang semalam,” sahut Billa mewakili.
“Ya Allah, kenapa semalam ikut begadang kalo gak kuat, Iah?” Rani menyela pembicaraan mereka.
Fatiah tertegun. Ingatannya kembali berputar pada kejadian semalam.
Setelah mengakhiri panggilan telepon, Fatiah dirundung perasaan tidak nyaman yang membuat dirinya terjaga dari tidur. Setiap kali terlelap, Fatiah teringat kembali. Sesak langsung memenuhi hatinya.
Fatiah melampiaskan rasa itu dengan ikut begadang bersama Lail dan Billa. Saat Billa dan Laik tertidur, Fatiah masih tetap terjaga sampai adzan subuh berkumandang.
Dan sekarang buah dari hasil tanamnya. Fatiah merasa pusing, penglihatan berkunang, dan limbung saat dipaksakan berdiri seperti tadi saat jadwal piket.
“Syakillah, Iah...” kata Lingsi. Diikuti Lail dan Rani.
“Nih, Iah obatnya.” Billa memberikan sekapling obat yang bertuliskan, suplemen penambahan darah.
“Kata ustadzah kalo setelah minum obat ini masih belum baikan, kamu datang aja ke UKS, nanti di panggilin dokter.”
“Maaf ya, Iah, kita gak bisa rawat kamu. Aku hari ini juga ada mata kuliah dari pagi sampai sore,” kata Rani.
Fatiah dapat memaklumi hal itu “Makasih ya, semua.”
.
.
“Lo yakin rencana Lo bakal berhasil? “ tanya Dzawin, ragu.
Ketiga pemuda itu kini tengah berdiri di depan teko air berisi jus semangka, seperti sedang membuka stan dadakan saat bazar pasar malam. Di depan teko itu terdapat lebel gratis yang menyebabkan teko itu setengah kosong hanya dalam waktu setengah jam.
“Secara biologi, orang yang banyak minum jus semangka bakal sering memproduksi banyak urien, jadi pasti mereka ke kamar mandi buat buang air kecil,” kata Haikal optimis.
“Tinggal rencana kedua, kita nunggu di kamar mandi, cari siapa pemilik cerpen ini.”
“Tapi, Kal, belum tentu semua orang minum jus Lo. Bisa ajakan manusia-manusia mager sejenis kita, bahkan gak minum jus Lo,” kata Dzawan.
“Nah iya, benar tuh, otomatis dia gak ke kamar mandi dong,” tambah Dzawin.
Bukannya merenung, berpikir sejenak, senyum Haikal malah makin meninggi. “Kalo gitu, biar gue ngiderin jus ini ke kelas-kelas.”
Dengan semangat Haikal mewadahi cangkir plastik dengan jus semangka yang tersisa.
“Kalian berdua tungguin di sini ya, gue mau ngider dulu,” kata Haikal bersemangat, tidak lupa Haika juga melambai-lambaikan tangannya bak anak TK yang pertama kali pergi ke sekolah, ke arah Dzawan dan Dziwan yang harus menahan malu karena tiba-tiba mereka menjadi pusat perhatian akibat aksi Haikal itu.
Haikal sangat optimis. Dia berjalan dengan harapan . yang terisi full.
Dzawan dan Dziwan masih setia memandangi gerak-gerik Haikal dari jauh. Terlihat Haikal benar-benar masuk ke kelas, membuang semua rasa malu dan kemagerannya yang biasa melekat pada dirinya.
“Kasihan mana masih muda.” Dzawin menggeleng-geleng pelan.
“Haikal nekad banget ya. Bisanya diakan paling malu mau ngapa-ngapain.”
“Ini namanya adrenalin, Bang. Si Haikal gak mau kerja rodi buat cerpen makanya mending dia cari jarum di antara jarum.”
“Unlock, karakter baru ala Haikal. No malu, no mager.”
.
.
“Mana ya, perasaan gue, udah kasih semua cowok jus semangka tapi kok si penulis belum muncul juga.” Haikal terus menjulurkan kepalanya, berharap dari arah koridor ada lagi orang yang mau ke kamar mandi. Tapi tidak ada. Sepi melompok.
“Kal, ini gak akan berhasil,” kata Dzawin, akhirnya. “Kita udah dua hari kayak gini, nangkring di kamar mandi kayak penghuni aja. Tapi gak juga ketemu tuh penulis.”
“In syallah nanti ketemu kok, belum semua aja yang datang,” kekeh Haikal.
“Kal, proses pembentukan urien juga gak semudah teori Lo itu. Gak semua orang yang minum jus Lo, jadi pengen buang air kecil. Kemungkinannya cuman satu persen,” kata Dzawan menambahkan.
Haikal mendengus pelan. Sebenarnya ia menyadari semua fakta itu, tapi Haikal mencoba menutup mata dan berharap kemungkinan satu persen itu bisa ia dapat.
“Gue yakin bisa ketemu penulis itu.”
“Lo gak logis, Kal,” cercah Dzawin.
“Terus gue mesti gimana? Lo gak paham, posisi gue sekarang.” Nada Haikal meninggi, faktor lelah memengaruhi emosi Haikal.
“Gue gak paham, karena gue gak akan maling karya orang kayak Lo !” Dzawin juga tersulut emosi.
“Apaan sih, Dek. Udah kalian jangan pada berantem di sini !”
“Gak bisa gitu dong, Bang. Sebagai sahabat seharusnya kita ingatin Haikal kalo apa yang dilakukan itu sia-sia, bukannya gini, kita malah ngikutin nggak jelas. Manusia sebanyak ini gak mungkin bisa kita tanyai satu-satu.”
Mata Haikal terbuka, satu harapan itu langsung merosot jauh ke angka nol. Apa yang Dzawin katakan benar. Semua ini terkesan sia-sia.
“Udahlah, Bang. Mending kita balik ke kelas aja. Bentar lagi pulang, kita gak boleh telat pulang juga. Kita udah bolos dua mata pelajaran. Gak tahu gimana perasaan bunda kalo tahu itu, bunda pasti kecewa.”
“Percuma kita di sini, Haikal gak akan pernah dengerin omongan sahabat sendiri! “
Dzawin dan Dzawan pergi.
Haikal menunduk dalam, rasa takutnya berubah menjadi ambisi mengebu-gebu. Dan sekarang dia sendirian.
**