“Bil, bangun Bil, udah subuh.” Fatiah menggoyangkan pelan lengan Billa. Hal ini cukup efektif untuk membangunkan orang yang terlalu lelap dalam tidurnya. Kadang jika hanya dengan ucapan tanpa kontak fisik, mereka mendengar tapi tidak sadar, dan alhasil saat ditinggalkan mereka akan kembali terlelap.
Billa merengangkan tubuh sebagai respon pertamanya, pertanda sudah sadar. Billa mengerjap, silau begitu matanya terkena cahaya lampu.
“Udah subuh ya, Iah? “tanya Billa parau.
“Iya. Ayo solat ke aula.”
“Ehm, aku absen dulu deh solat subuh berjamaah. Aku solat di kamar aja.”
Fatiah baru menyadari suara Billa bukan parau khas orang bangun tidur, tapi suara serak orang yang habis nangis semalaman.
Pasti karena masalah sore kemarin—batin Fatiah.
“Kamu sakit, Bil? “
“Iya, agak gak enak badan dikit. Mungkin karena begadang semalam.”
“Oh, mau aku buatin teh hangat? “
“Eh, gak usah Iah. Nanti aja. Kamu buruan deh ke aula, takut Udah mulai salat berjamaahnya.”
“Ya udah kalo gitu aku ke aula ya.”
“Iya.”
.... Allah akbar... Allah akbar... Laillahaillah...
Fatiah buru-buru bergabung di shaf belakang, bersebelahan dengan Rani, Lail dan Lingsi.
.
.
“Eh, Iah kamu gak bangunin Billa buat salat?” tanya Rani, setelah selesai melaksanakan salat subuh berjamaah.
“Dia lagi gak enak badan katanya.”
“Oh...” Rani mengangguk kecil. “Sakit apa? Pusing, batuk, atau demam? “
“Katanya sih gak enak habis begadang aja.”
“Oh, kirain semalaman dia nangis.”
“Maksud mbak? “
“Iya semalam, pas kalian udah pada tidur, aku kebelet mau pipis tapi malas, jadi ditahan aja, gak pipis, terus gak sengaja dengar kayak Billa nangis sambil tidur. Ada masalah apa sih dia? Keliatan sedih banget akhir-akhir ini.”
“Gak tahu juga, Mbak.”
“Dia habis putus, kan sama pacarannya yang sering nelepon kalo dia lagi kesurupan?”
“Mbak tahu dari mana? “
“Dia cerita semalam pas lagi ngantri setoran.”
“Oh, ya gitulah Mbak.”
“Emang ya, sakit hati itu lebih nyesek ketimbang sakit fisik,” kata Rani tiba-tiba, setelahnya gadis berdarah sunda itu terdiam. Pandangnya mendadak menerawang jauh, seolah ada luka pada kalimat yang barusan ia katakan.
“Mbak, kenapa? Ada masalah?” tanya Fatiah hati-hati, takut mengusik privasi Rani.
“Hem, gak, cuman ke ingat perasaan sakit kemarin gara-gara di tinggal nikah,” kata Rani pelan, namun setelahnya senyum mengembang di wajahnya. “Tapi sekarang aku mah gak galau lagi. Udah move on.”
Fatiah ikut tersenyum.
“Mbak balik ke kamar yuk, kasihan Billa sendirian di kamar mana lagi sakit,” ajak Fatiah seraya bangkit.
“Eh, bentar, aku ada yang mau di ambil di kantor TU. Kamu duluan aja. Tuh ajak Lail....”
“Ke kamar yuk, Lail....”
“Iya, Iah, nanti bentar lagi, ini lagi mau kamar satu bentar, temenin yuk ...” sahut Lail, beranjak dari duduknya.
“Kasihan Billa di kamar sendirian, dia lagi sakit.”
“Eh, Billa sakit? Pantes gak ikut salat subuh berjamaah. Tapi tadi ada Lingsi balik ke kamar kok.”
“Oh, Lingsi udah balik ke kamar? “
“Iya. Makanya yuk temenin aku.”
“Ya udah yuk.” Baru hendak melangkah Lingsi berjalan cepat menuju kamar ustadzah. Sangking terburu-burunya, Lingsi bahkan tidak menyadari berpapasan dengan Fatiah dan Lail.
“Eh, Lingsi, mau ke mana?
“Eh, kalian, pas banget nih. Tuh badan Billa panas banget. Aku mau minta obat ke ustadzah.”
“Ya udah kalo gitu aku langsung balik ke kamar deh,” sahut Fatiah mengurungkan niat untuk menemani Lail.
Sesampainya di kamar, Fatiah melihat Billa nampak gelisah dalam tidurnya dan saat Fatiah menempelkan tangannya di dahi Billa, badan Billa sangat panas.
“Harus di kompres nih, Bill, biar panasnya turun. Tapi pake apa? Gak ada handuk sama baskom. Mesti ke dapur dulu buat cari baskom.” Fatiah memutar otak. Dan seketika ia teringat sebuah hack trick.
Fatiah membuka lemarinya dan mengambil barang yang selalu penting setiap bulannya bagi wanita.
“Untung ingat ide ini.” Fatiah bergegas menjerang air hangat menggunakan alat pemanas listrik milik Lail.
Banyak orang yang keliru dalam mengompres, mereka menggunakan air dingin padahal cara ini hanya akan menurunkan suhu tubuh sesaat. Sedangkan saat menggunakan air hangat, pori-pori akan terbuka sehingga udara panas dalam tubuh akan keluar melalui pori-pori tadi.
Selain itu, Fatiah pernah menonton vidio edukasi yang menjelaskan bahwa suhu tubuh panas bisa disebabkan oleh daya tahan tubuh yang berusaha mengusir benda/ virus asing yang masuk ke dalam tubuh. Panas tubuh sebagai bentuk pertahanan metabolisme tubuh manusia. Dan menurut logika Fatiah, jika tubuh di kompres air dingin, maka daya tahan tubuh akan tertipu dan mengira bahwa tubuh belum cukup panas untuk melawan benda asing itu. Alhasil tubuh menjadi bertambah panas.
Fatiah pernah membaca dalam sebuah artikel mengenai kekeliruan orang dalam mengompres, bahwa tempat-tempat terbaik mengompres orang dengan menempelkan kompresan di sekitar bagian berlipat, seperti di lengan, ketiak dan paha. Namun berhubungan Billa sedang tidur dan Fatiah tidak enak hati untuk membangunkan, Fatiah menempelkan kompresan di sekitar lengan Billa.
Kenapa tidak di dahi? Jawabanya karena reseptor tidak hanya berada di sekitar dahi saja, melainkan ada di seluruh permukaan kulit. Reseptor lah yang menyebabkan suhu tubuh menjadi tinggi. Sehingga jika mengompres di banyak bagian aliran darah bertambah dan suhu panas cepat menghilang.
“Bill, maaf ya, selimut kamu aku tarik dulu. Badan kamu lagi panas, bakal tambah panas kalo pakai selimut.”
“Hem, Iah ...” Mata Billa mengerjap kecil.
“Udah kamu istirahat aja. Entar makan sama minum obat.”
“Hem, makasih ya.”
“Iya.”
“Gimana nih, stok obat demam ustadzah habis.” Lingsi masuk bersama Rani dan Lail.
“Mana ketring gak datang-datang lagi,” tambah Lail.
“Ya udah beli aja obat sama makan di depan aja” saran Rani. “Biar entar aku beli ke depan, sekalian mau fotocopy.”
“Bill, kamu mau makan apa ?” Ketiganya kompak menoleh pada Billa dan mata mereka langsung tertuju pada benda yang Fatiah gunakan untuk mengompres Billa.
“Iah, kamu ngompres pakai pembalut wanita? “
“Iya, Mbak. Tadi gak ada handuk atau kain buat kompres. Makanya pakau ini biar praktis juga.”
“Terus pake pembalut? Emang aman ?” tanya Rani lagi.
“In syaa Allah, aman mbak. Ini pembalut herbal. Terus aku cari di internet, katanya pembalut gini emang bisa buat kompres.”
“Oh, aku baru tahu loh,” gumam Lail, takjub sekaligus aneh.
“Iya, ih, Iah, kreatif banget,” puji Lingsi.
“Ini bukan ide aku sih.” Fatiah tersenyum simpul. “Jadi waktu jambore pas SMP aku juga demam terus ada yang kompresin pake ini.”
“Ihh so sweet banget. Jadi kepo siapa orang yang ngompresin kayaknya spesais banget sampai semua caranya di ingat,” goda Lail.
“Heh, kok? “Fatiah mendadak panik.
“Cie Iah....”
**