Masyallah banget ya kak Arlan,” kata Lail yang disetujui Billa, Rani, dan Lingsi secara antusias.
“Iya, Masyallah banget. Suamiable banget. Udah ganteng, baik lagi. Paket lengkap,” timpal Rani.
Fatiah memutar bola matanya, jengah. Sejak tadi sore topik pembicaraan hanya seputar Arlan. Arlan ganteng lah, Arlan baik lah, Arlan calon suami idaman lah, dan banyak lagi versi halu lainnya. Arlan benar-benar membuat heboh satu asrama. Kehadiran Arlan yang datang menyumbangkan banyak barang yang ternyata bukan hanya satu kardus tapi sepuluh kardus. Barang yang dia sumbangkan juga buka barang kaleng-kaleng, semua barang itu berkisar lima juta ke atas, bahkan meski pun sudah bekas barang-barang itu akan tetap laku di jual pada harga satu juta lebih. Barang yang Arlan sumbangkan juga beragam, mulai dari sepatu, baju, topi, jaket dan banyak barang lain yang sepertinya hanya satu kali dia pakai.
Dan topik itu terus berlanjut bahkan di pukul 2 dini hari. Karena besok acara bansos, banyak santri yang memutuskan untuk begadang. Termasuk anak kamar enam, Fatiah sebenarnya tidak niat begadang, namun entah kenapa sampai sekarang dia belum tidur. Mungkin euforia acara besok memang tidak bisa dielak.
“Dan bukan cuman ganteng dan baik, tapi bacaan Al-Qurannya juga wow banget tahu Kak,” kata Lail tiba-tiba. “Dengerin deh...” Lail mengklik sesuatu di ponselnya.
“Masyallah, suaranya bagus banget,” respon Rani, setelah suara murottal Al-Quran berhenti dari ponsel Lail.
“Iya Ih, bagus banget,” timpal Lingsi.
Fatiah melirik ke arah Billa. “Gak mau muji juga? “sarkas Billa yang sejak tadi sudah senyam-senyum.
Billa menggelang. “Gak deh. Soalnya aku masih agak dongkol sih sama dia.”
“Kenapa? “
“Pas pertama ketemu Arlan, masak dia nuduh aku maling jaket. Yang waktu itu loh, Iah, yang waktu kita beli gado-gado terus aku pinjam jaket kamu.”
Fatiah mangut-mangut.
“Tapi dia udah minta maaf sih waktu di rumah Lail kemarin. Dia bilang jaket itu kayak punya orang yang dia sayang,” kata Billa, menatap Fatiah yang spontan langsung menghentikan anggukan pelan kepalanya.
“Kamu beli atau dapat si jaket itu? Kayaknya itu jaket jarang banget deh di jual di pasar. Arlan juga bilang jaket itu limited edistion.”
“Ha? E-itu, Hem... “ s**l kenapa jadi gagu gini sih.
“Eh, tahu gak!” tiba-tiba Lail berseru heboh. Lingsi dan Rani langsung bangkit mendekati Lail yang nyaris ternganga menatap layar ponselnya. “Kak Sofia sama Kak Arlan saling follow-follow dongs....”
“Serius? “
“Iya, dan ternyata kak Arlan ini anak konglomerat. Abinya pengusaha jam tangan, ibunya punya butik yang sering di datangin artis dan kak Arlan di usia muda udah punya kafe sendiri.”
“Masyallah! “ Rani dan Lingsi berdecak kagum.
“Masyallah, jurus stalker kamu debest banget,” Billa menggeleng-geleng takjub akan bakat terpendam Lail yang jika sudah beraksi menjadi stalker bisa merembet ke mana-mana. “Kamu scroll sampai bawah? “tanya Billa.
“Bahkan semua yang Kak Arlan follow,” jawab Lail, tersipu. “Habisnya kepo banget.”
“Apa sih nama i********:- nya? “ Lingsi meraih ponselnya.
“Arlan23,” sahut Lail cepat.
“Mau stalker juga, Lingsi?” Fatiah meninggikan lehernya, agar bisa sedikit melihat ponsel Lingsi yang menyala. Lingsi tersipu sembari mengangguk.
“Tumben kamu mau stalker...” Fatiah terheran-heran menatap Lingsi yang sudah tenggelam dalam aktivitas barunya itu.
“Biasa aja kali Iah, wajar dong kalo cewek tertarik sama cowok. Apalagi cowok kek gini, aduh...paket komplit banget,” kata Rani, membela. “Gantengnya masyallah.”
“Itu gak wajar tahu Mbak ..,” sahut Fatiah. “Lagian, dari sisi apa tuh anak ganteng? Hidung panjang, rahang keras kek batu, mata besar, muka oval, dagu lancip, kulit kelewat putih kaya vampir, mana ada lubang lagi di sudut pipinya. Dari mana coba gantengnya? “ Fatiah mencibik membayangkan wajah tengil Arlan yang sering tampil setiap kali menjahilinya.
“Kayak gitu gak ganteng kata kamu?” sahut Lingsi.
Fatiah memutar bola matanya. “Iya Lingsi.”
“Gak ganteng—“Fatiah tertegun mulutnya mendadak keluh lantaran baru menyadari, Billa, Rani, Lingsi dan Lail menatapnya dengan satu alis terangkat. “Kenapa? Kan itu pendapat aku.” Fatiah jadi kikuk. Benar-bener topik tentang Arlan membuat kupingnya panas.
“Tumben kamu ngeliatin cowok sampe segitunya,” kata Billa. “Sampai hafal banget postur mukanya. Padahal... Sama cowok di kelas aja, aku yakin kamu gak terlalu tahu muka mereka meski udah ketemu tiap hari.”
Skakmat...
“Kayaknya kamu udah lama kenal sama Arlan, ya?” Lail memicingkan mata sipitnya.
Nafas Fatiah rasanya seperti berhenti seketika. “B-bukan, gitu...”
“Nama i********: kamu apa Iah?” sela Lingsi.
“Ha? B-buat apa? “
“Nama i********: Fatiah itu, @Iah-iah,” jawab Billa yang entah harus Fatiah kategorikan sebagai bantuan atau malah boom.
“Beneran itu akun Fatiah? “ alis Lingsi terangkat, dua-duanya.
“Iya bener itu akun Iah.” Rani terpancing rasa penasaran, lantaran ekspresi Lingsi yang mendadak berubah. “Ada apa sih, Ling? “
“Coba kalian liat deh IG Fatiah,” kata Lingsi.
Eh, ini apa-apa sih... Kok mereka malah buka IG aku? Emang di IG aku ada apa? Gak ada apa-apa kok kecuali.... Argghhhh, Tuhan tolong matikan Wi-Fi mereka sekarang!!
**
Haikal berjalan sempoyongan bak ayam sakit yang siap potong. Kepalanya tertunduk karena pusing, dan langkahnya gontai karena bingung harus bergerak ke mana, sejauh mata memandang dia tidak menemukan orang yang tidak sibuk untuk ditanyai mengenai apa tugasnya di sini sebagai relawan bantuan bansos.
Berbekal kartu namanya yang baru ia print tadi pagi, Haikal melangkah, menengok kanan-kiri, mencari ketua acara, atau setidaknya orang yang bisa ia tanyai.
“Maaf, permisi kak, saya Haikal.” Haikal menghentikan seorang pria yang menggunakan topi bucket berwarna hijau toska yang hampir menutupi setengah wajahnya.
“Iya, ada apa Kak? “ Haikal melirik kartu nama yang gantung di leher pria itu. Ketua. Haikal tersenyum lega.
“Ini Kak, saya daftar jadi relawan secara online. Tapi kemarin pas kumpul-kumpul perkenalan, saya kebetulan gak bisa datang. Nah jadi sekarang saya bingung harus apa.”
“Oh...” pria itu mengangguk pelan. “Coba kamu ke bagian sana, pendataan. Lurus aja entar mentok, ada orang yang duduk di kursi. Tanya aja bagian kamu di sana.”
“Oh iya, makasih sebelumnya, Kak. “
“Iya, sama-sama.”
Setelah pria itu pergi, Haikal melangkah sesuai petunjuk pria itu, sambil sesekali memperhatikan sekitar. Dari yang penjelasan abangnya, Haikal sedikit tahu mengenai tempat ini. Tempat ini merupakan asrama yang menjadi tempat para santri bermukim. Mereka akan menjadi santri di sore hari setelah selesai sekolah di luar. Bangunan paling termegah di tempat ini tentu saja bangunan masjid dengan arsitektur yang jika Haikal tidak salah bernuansa Usmani yang langsung menyambung dengan aula dan teras asrama. Dan bangunan asrama yang mirip seperti sangkar burung dengan banyak jendela berwarna biru yang digradiasikan dengan warna putih. Terlihat cerah saat di pandang mata. Banyak juga beberapa pohon yang lumayan besar, yang bisa menghijaukan mata. Lapangannya juga luas, sangat cocok untuk dijadikan tempat jogging. Di depan terdapat gerbang tinggi yang di jaga dua security berwajah ramah, dengan ciri khas sapaan, assalamualaikum...selamat datang di mahad .
“Misi kak, saya Haikal.” Haikal kembali memperkenalkan dirinya setelah sampai di stand pendataan. “Saya salah satu relawan bansos yang mendaftar online, saya tadi disuruh tanya ke sini buat tanya bagian tugas saya.”
“Ah iya, bentar saya cek dulu,” kata pria itu, menghentikan kegiatan mencatat dan beralih pada laptop di hadapannya. “Siapa tadi nama kamu? “
“Haikal Khan, Kak.“
“Haikal Khan?” alis pria itu terangkat. Haikal langsung mengangguk cepat. “Gak ada.”
“Ha? Gak ada Kak? “ Haikal menggaruk pelan dahinya, bingung. “Boleh di cek lagi gak, Kak? “
Pria itu kembali mengecek laptopnya. Satu menit berikutnya, pria itu menggeleng. Haikal tertegun, namanya tidak ada?
“Hem, kalo gitu makasih ya, Kak.” Haikal buru-buru pamit. Sembari berjalan, Haikal merogoh saku celananya, mencari ponsel, lalu menekan panggilan telepon abangnya.
Satu kali,
Dua kali,
Tiga kali,
Tidak juga diangkat.
Haikal mendesah, makin dongkol dengan ulah abangnya. Lalu kembali menyimpan ponselnya di saku, perutnya sendari tadi keroncongan, dari pada dongkol Haikal memilih untuk berjalan ke depan pagar, tadi Haikal liat ada bubur ayam di depan sana.
“Bang, bubur ayamnya satu ya.”
“Pake sambal, dek? “
“Iya, Bang,” kata Haikal sembari memilih bangku kursi plastik berwarna merah ngejreng. Saat menunggu tiba-tiba ponsel Haikal bergetar. Panggilan masuk dari orang yang sejak tadi ia coba panggil. Siapa lagi kalo bukan abangnya—Fauzan.
“Assalamualaikum,” sapa Haikal, ketus.
“Waalaikumsalam...” sahut orang di sebrang sana dengan sapaan ringan tanpa beban bahkan terdengar di selangi tawa kecil.
“Bang, Lo kayak mana sih? Nama gue gak ada tahu di daftar relawan,” protes Haikal langsung. “Lo daftarin gue atau gak sih? “
“Nama Lo gak ada di sana?” ulang Fauzan.
“Gak!”
“Ya udah pulang geh kalo gak ada.”
Ha? Haikal tercengang. Segampang itu abangnya mengatakan setelah semua yang Haikal korbankan... Ah.. Sudahlah....
**
Fatiah mencibik, menatap sinis objek yang kini tersenyum lebar ke arahnya dengan wajah tanpa perasaan bersalah sedikit pun.
“Ayo dong, semangat....” katanya, diiringi tawa kecil.
Fatiah mendelik, matanya sudah mengincar kaki berbalut sepatu mahal milik Arlan sebagai objek kekesalannya, tapi kali ini Arlan sudah mampu membaca pergerakan Fatiah. Sebelum Fatiah menyerang kakinya, Arlan sudah duluan menjauhkan kakinya sembari nyengir lebar. Mengejek Fatiah dengan tatapan ‘oh tidak bisa.’
Arlan tersenyum lebar, berbanding terbalik dengan Fatiah yang makin dongkol.
“Mau di bantu gak? “ tanyanya. Fatiah yang kepalang kesal, memilih bukan. “Ya udah kalo gak mau dibantu.”
“Bilang aja kalo gak mau bantu, gak usah basa-basi,” sarkas Fatiah, sembari menuruni kardus susulan yang Arlan sumbangkan di hari H bansos. Hari di mana seharusnya Fatiah bisa duduk tenang mengikuti acara bansos bersama yang lain. Tapi karena ulah Arlan, Fatiah jadi harus kembali mendata barang yang di sumbangkan dan panas-panasan di gerbang seperti ini.
“Lagian dari tadi cemburut aja. Jangan lupa senyum itu sedekah.”
“Kamu udah kaya, gak perlu di kasih sedekah,” ketus Fatiah, lagi-lagi berhasil memancing tawa Arlan, entah Fatiah memang terlihat lucu karena sedang marah, atau memang selera humor Arlan yang terlalu receh.
“Teman kamu yang kemarin mana? Kok gak ikut bantu? “
“Dia gantiin mbak Rani yang tiba-tiba sakit.”
“Oh.” Arlan manggut-manggut, mengamati sekitar, ada beberapa santri perempuan yang lewat, melempar senyum malu-malu sembari berlalu. Arlan membalas senyum mereka, ramah.
“Gak usah sok ganteng. Ini asrama bukan fashion show. Sok-sok tebar senyum segala, ” Fatiah memutar bola matanya, jengah.
Arlan malah terkekeh. “Kalo cemburu bilang aja kali.”
“Dari arah mana aku cemburu? Aku cuman ngingetin kamu buat gak asal senyum senyum. Kamu gak tahu kan, kalo senyum kamu itu—“ Fatiah menghentikan kalimatnya, Arlan tiba-tiba menoleh dengan alis yang nyaris bertaut.
“Apa? “
“Senyum kamu itu...” Fatiah kembali mengulang kalimatnya. “Pokoknya gak usah senyum-senyum deh,” tungkas Fatiah cepat.
“Idih apaan sih, kalimat tadi belum rampung loh...”kejar Arlan mengekor Fatiah yang berjalan cepat menuju gudang, untuk selanjutnya menyerahkan barang sumbangan pada panitia pembagian barang.
“Ayo jawab, kenapa aku gak boleh senyam-senyum,” todong Arlan. Fatiah berdecak keras, makin mempercepat langkahnya. Arlan jelas tidak mau kalah, ia juga mempercepat langkahnya. Keduanya jadi seperti lomba jalan cepat. Beruntung acara yang meriah membuat orang tidak sadar akan ulah keduanya.
“Udah jangan ikutin aku.” Fatiah melirik tajam.
“Kasih tahu dulu alasannya.”
“Ikut kajian sana biar tahu jawabanya.”
“Eh, kok jadi gitu sih. Apa susahnya tinggal jawab aja.”
“Gak mau. Cari sendiri jawabannya, jangan manja jadi cowok.”
Arlan memicingkan matanya. “Kasih tahu gak, atau aku kasih tahu semuanya kalo kita...”
“Astagfirullah, akhi.. kamu ngancam seorang wanita,” seru Fatiah dramatis, langsung menghentikan langkahnya tiba-tiba.
“Kamu kok tega sih? “ bakat akting yang di ajarkan di SD ternyata berguna sekarang. Fatiah berpura-pura menyekat kantung matanya seolah ada air mata yang turun di sana.
Arlan memutar bola matanya. “Makanya jawab, kenapa aku gak boleh senyam-senyum ke cewek lain? “
“Sungguh teganya...” Fatiah menggeleng-geleng dramatis, dengan bibir membentuk duck face. Bukannya kesal akan ekspresi alai Fatiah, Arlan malah menarik hidung minimalis Fatiah. Yang langsung membuat Fatiah melotot, menghentikan dramanya.
“Kenapa marah? Lagian dalam agama Islam, kita gak dosa kok saling sentuh, kita kan—“
Fatiah langsung membekap mulut Arlan dengan dua tangannya, kardus yang dia bawa tadi, terkapar begitu saja di lantai.
“Sammmmudammmra permmsusmmmuan...” Arlan berusaha menyambung kalimatnya, Fatiah makin memperkencang bekapan tangannya.
“Udah selesai ngomongnya?” sinis Fatiah. “Udah puas buat aku kesel? “
Tangan Fatiah yang tidak kunjung lepas dari mulutnya, memungkinkan Arlan hanya mengangguk-ngangguk, janji, sembari memelas meminta Fatiah menjauhkan tangannya.
Fatiah mendengus, satu menit memilih diam, barulah Fatiah menjauhkan tangannya dari Arlan, setelah memastikan bahwa Arlan sungguh-sungguh berjanji tidak mengucapkan kalimat itu.
“Kamu kenapa sih, sensitif banget soal itu. Emang apa salahnya kalo mereka tahu soal ini? Aku rasa gak ada yang salah soal ini.”
“Kamu gak ngerti meski aku jelasin berkali-kali. Aku udah jelasin ke kamu kan, tapi kenapa kamu masih tetap gak ngerti?” Fatiah menghela nafas panjang. “Kamu gak akan ngerti apa pun karena kamu gak tahu gimana jadi aku.”
Arlan tertegun melihat perubahan ekspresi Fatiah. Arlan seolah kembali melihat Fatiah yang dulu, yang dipenuhi luka, yang dipenuhi kesedihan dan ketakutan. “Iah...”
“Kamu gak akan paham...” Fatiah menggeleng pelan, menghentikan langkah Arlan yang hendak mendekatinya.
“Aku gak maksud gitu...”
“Terus apa? Aku udah jelasin semuanya kan? Dan kamu udah janji buat keep semua ini. Kamu udah janji, tapi kenapa kamu jadiin ini lelucon? Ini sama sekali gak lucu.” Fatiah langsung melenggos pergi, mengambil kardus, melangkah lebar, meninggalkan Arlan yang kehilangan kata-kata. Namun sedetik kemudian Arlan kembali melangkah lebar mengejar Fatiah.
“Marah?” Arlan menyamakan langkahnya dengan Fatiah. “Oke, aku minta maaf. Aku janji gak akan mengatakan apa pun lagi.” Fatiah tidak menghiraukan kalimat Arlan dan malah mempercepat gerakannya yang semula hanya berjalan, sekarang demi berlari.
“Iah, jangan marah dong...” bujuk Arlan. “Aku tahu, aku udah janji, tapi ada satu hal yang aku bingung...” Fatiah makin mempercepat gerakannya, Arlan jadi harus tergesa -gesa menyamakan langkahnya mereka lagi.
“Iah tunggu!” seru Arlan. Dan tiba-tiba Fatiah menghentikan langkahnya, menoleh sinis, Arlan jadi ragu untuk melangkah mendekat.
“Kamu ke sini mau nyumbang doang, kan?” tanyanya ketus. “Jadi sekarang silahkam pulang!”
Arlan mengerjap, ngeri. “Iya, tapi, aku ke sini juga mau ketemu kamu.”
“Buat? “sergah Fatiah, cepat, Arlan jadi kehilangan kata-kata.
“Buat ketemu.” Fatiah diam.
“Sekarang udah ketemu, kan?! Pulang! “ ujar Fatiah lagi.
“Aku belum mau pulang sekarang!” kekeh Arlan. Fatiah menghela nafas, rasa lelah terlihat jelas di mata Fatiah.
“Oke. Kamu jangan pulang kalo gitu,” katanya.
Arlan mengerjap, bingung. Tadi disuruh pulang, sekarang malah dilarang pulang.
“Ini! Bawa kardus ini ke ruangan sana.” Fatiah tiba-tiba meletakkan kardus di tangan Arlan.
“Eh, kok—“ Belum sempat Arlan menyampaikan protesnya, Fatiah sudah berbalik, melangkah pergi.
“Fatiah! “
“Bye! “
**