“Dek, main basket yuk.” Dengan entengnya Fauzan melempar boneka bantal yang tergeletak di atas kasur, yang tepat mengenai Haikal yang kinu sedang duduk fokus di kursi belajarnya.
“Bang!” Haikal mengusap punggungnya yang menjadi korban utama. “Udah masuk gak izin, datang-datang main tumpuk aja,” gerutu Haikal.
Fauzan terkekeh. “Ya elah Dek, bantal doang. Belum batako.”
“Ck!” Haikal berdesis pelan, membuat Fauzan semakin kencang tertawa. “Hati-hati loh ketawa segitunya, bisa memperkeras hati.”
Tawa Fauzan mendadak berhenti. “Ah, loh mah Dek. Kan abang cuman ketawa doang.”
Kini giliran Haikal yang tertawa melihat ekspresi Fauzan yang nampak sangat menyesal. Haikal senang, akhirnya semua mulai membaik. Sifat jahil, judes, abangnya sudah kembali. Haikal merasa lega. Meski ibu sudah tidak lagi membersamai mereka, namun kenangan ibu akan terus memeluk hangat mereka. Mereka tidak perlu mencemaskan hal itu lagi.
Kematian hanya mampu merenggut raga dan memisahkan jiwa dari sisi mereka. Tapi tidak dengan ingatan dan kenangan, semua akan tetap hidup di benak para penjaganya.
“Abang ke sini tuh mau ngajak kamu main basket. Ayolah main basket sekalian olahraga.”
“Bang, coba liat jam. Ini tuh udah malam. Yang ada bukan olahraga tapi masuk angin. Ada-ada aja deh, manusia yang satu ini,” dengus Haikal.
“Gak masalah tahu, Dek. Apa gunanya jaket kalo udara malam aja ditakutin.”
“Gak sekalian aja selimut, coverbet, gorden rumah? Biar mainnya makin aneh.”
“Idenya bagus sih, ya, cuman eksekusinya yang sulit. Entar dikira ornag gila, mau kamu? “
“Lagian, salah abang sih. Mana ada orang main basket pakau jaket.”
“Nah, makanya, kita jadi orang pertama.”
“Gak mau. Main aja sendirian.” Haikal meraih ponselnya di atas nakas. Ada notif pesan masuk. Haikal membukanya, belum sempat membaca tiba-tiba,
Bruk...
Fauzan kembali tepat sasaran. Kini lengan Haikal yang menjadi korban, ponsel yang dia pegang terhempas jatuh.
“ABANG! “ Haikal menoleh geram, namun kalah cepat. Pelaku sudah menghilang dari sana.
Fauzan menghela nafas dalam-dalam, menetralis rasa kesalnya pada Fauzan yang masih terdengar cekikan di luar.
“Ya Allah, tuh orang kesambet apa sih?” Haikal memungut ponselnya yang berserakan di lantai. Muridnya, Haikal harus menerima kabar ternyata kartu SIM nya harus merenggang nyawa. Patah.
“ABANG!! “teriak Haikal tidak dapat terbendung lagi.
**
Haikal merenggangkan tubuhnya, hari ini entah kenapa tubuhnya terasa tidak enak. Padahal ia sudah tidur cukup tadi malam.
“Kenapa Dek? “ sapa Fauzan yang mendapati Haikal tengah berjalan ke ruang makan sembari memijat-mijat dahinya.
“Don’t talking to me,” sahut Haikal, Masih terbawa dongkol setelah melihat Fauzan yang tersenyum tengil.
“Sok inggris banget dah.”
“Biarin, dari pada ada jadi orang yang sok gak bersalah padahal udah ngerusakin kartu ponsel orang.”
Fauzan kembali terkekeh. “Parah tuh orang. Gak ada tanggung jawabnya sama sekali. Tapi btw kamu udah maafikan, maafin orang pahalanya gede loh, Dek. Salut abang sama kamu. Baik hati dan selalu memaafkan.”
Haikal mendengus, malas berdebat dan memilih melanjutkan langkahnya ke meja makan.
“Yah,” sapa Haikal pada Abbas yang tengah sibuk mengunyah rotinya.
“Wah roti bakar nih ya.” Haikal tersenyum sumringah mendapati sepiring roti bakar dengan beragam topik selai terhidang di depannya.
“Iya, buruan kamu makan. Tuh ada roti bakar selai cokelat kesukaan kamu,” kata Abbas.
Dengan semangat Haikal langsung mengambil dua potong roti bakar selai cokelat dan langsung besar melahap roti itu.
“Masyallah enak banget roti bakar buatan ayah,” gumam Haikal di tengah keenaknya mengunyah roti bakar.
“Iya enak ya,” sahut Abbas. “Ini abang kamu yang buat. Ternyata dia jago buat roti bakar. Kalo buka usaha roti bakar bisa laku nih.”
“Abang yang buat roti bakarnya?” Haikal melirik tajam Fauzan.
“Iya, abang kamu yang buat.”
“Ck! Kalo gitu Haikal Udah selesai makannya.”
“Loh kok? Belum habis tuh satu potong lagi.”
“Ini buat ayah aja. Haikal mau berangkat sekolah.” Haikal bangkit, membuang wajah kesal ke arah Fauzan.
“Kalian berantem ?” tanya Abbas.
“Biasa Yah, ada orang yang berulah dan gak tanggung jawaba,” sindir Haikal.
“Oke fine. Abang emang salah. Abang minta maaf. Abang janji bakal tanggung jawab.”
“Caranya? “
“Abang bakal ganti semuanya.”
“Semuanya?” alis Haikal terangkat.
Fauzan mengangguk sungguh-sungguh. “Abang bakal ganti SIM kartu kamu yang rusak.”
“Plus anti gores yang pecah.”
“Iya, plus anti goresnya juga.”
“Plus sound speker yang ke ganggu.”
“Oke. Abang bakal benerin.”
“Plus cek LCD nya, rusak atau gak.
“Iya, itu juga.”
“Plus, cassing yang retak.”
“Eh, kok.” Fauzan memicingkan matanya curiga. “Oke.”
“Plus, baterai yang ke pental.”
“Plus—“
“Plus apa lagi? Gak sekalian plus ganti ponsel baru aja? “ sarkas Fauzan.
“Iya boleh, kalo abang mau beli mah, aku ikhlas lahir batin.” Haikal tersenyum lebar, tanpa perasaan bersalah. Berbanding terbalik dengan Fauzan yang melirik kesal.
Abbas diam-diam tertawa melihat tingkah dua putranya itu.
“Jadi mau kapan nih, nepatin janjinya? “tanya Haikal santai, tangannya sembari mencomot satu potong roti yang tadi.
“Iya entar besok, In syaa Allah.”
“Besok?” Haikal berpikir sejenak. “Sekarang aja Bang, lebih cepat lebih baik.”
“Enak aja ngomong, dipikir abang gak ada kerjaan apa.”
“Lah emang abang ada kerjaan?”
Fauzan melotot.
“Oh iya ya, kerjaan abang kan, revisi skripsi,” ledek Haikal. Tangan Haikal hendak kembali mencomot satu roti bakar, Fauzan yang sedang dongkol langsung menarik piring dari jangkauan tangan Haikal.
“Masih aja nyomot tapi katanya kenyang. Udah sana pergi ke sekolah.”
“Ya Allah, Bang, satu aja lagi.”
“Udah sana,” usir Fauzan kejam.
Haikal yang semula merasa memenangkan permainan, harus menerima kekalahannya. Permainan ini dimenangkan Fauzan.
Haikal menggulum senyumnya. Menatap miris roti bakar yang seolah masih menggodanya. Dengan wajah kusut akhirnya Haikal menyerah merebut roti bakar yang kini dalam gengaman Fauzan.
“Dasar pelit,” gumam Haikal sembari setelah menegak hingga tandas jus jeruknya, sebagai pertanda mengakhiri sarapan pagi sebelum pergi ke sekolah.
“Bye, rajin-rajin ya belajarnya, jangan mikirin roti bakar muluk,” pekik Fauzan membuat Haikal makin kalah telak.
“Dasar abang gak ber-peri-suadaraan.”
Fauzan terkekeh geli. Ah, senangnya bisa tertawa selepas ini lagi, gumam Fauzan, memandangi punggung Haikal yang mulai menjauh.
“Ya Rabb, tolong jaga keluarga ini.”
.
.
“Fatiah...”
Fatiah tersentak dari lamunannya, ia menoleh dan mendapati Billa menatapnya dengan dahi berlipat.
“Iya, gak ?”Mau, kan ?” kata Billa.
Fatiah berpikir keras. Jelas dia tidak menyimak apa pun yang Billa katakan sepanjang perjalanan mereka.
Fatiah sibuk tenggelam dalam lamunannya, memikirkan apa yang harus ia katakan pada Haikal.
Fatiah bingung memikirkan, apa dia perlu harus meminta maaf atas kejadian semalam. Tapi minta maaf untuk apa? Tidak ada yang salah dari pesan Gina semalam, hanya saja... pesan Gina terkesan sok kenal sih.... Iya cuman sok kenal aja. Apa itu salah? Tapi orang mungkin aja orang jadi risih. Berarti itu salah, kan? Tapi gimana caranya minta maaf ? Bilang maaf gitu aja? Eh tapi aneh banget gak sih tiba-tiba minta maaf. Apa jelasin dari awal? Tapi gimana kalo dia gak peduli? Terus gimana dong?
“Iah, kok malah bengong lagi sih? “
“Ah iya.” Fatiah kembali tersentak dari lamunannya.
“Lagi ada masalah ya? Dari tadi aku ngomong gak di respon, berasa ngomong sama tembok,” kata Billa.
“Eh.” Fatiah jadi tidak enak hati. “Maaf ya Bil, tadi aku gak fokus kamu ngomong apa. Bisa ulangin? “
“Bagian yang mana? Orang kamu gak fokus dari awal.”
Fatiah refleks nyengir tak berdosa. “Bagian akhir deh, yang kamu tanyain itu.”
“Oh itu, gak sih, cuman ngajakin kamu buat mampir ke toko buku pas pulang sekolah. Mau, kan? “
“Oh iya. Sekalian mau cuci mata liat buku.”
“Orang cuci mata liat cowok ganteng, eh kamu liat buku.”
“Ini cuci mata versi halal. Kalo liat cowok ganteng mah, dosa. Zina mata.”
“Bisa aja.”
Keduanya terkekeh. Obrolan yang terkesan ringan itu, selalu berhasil membunuh jenuh keduanya saat berjalan menuju sekolah. Tak terasa mereka sudah sampai di gerbang sekolah.
“Iah, aku mau ke kantin dulu. Mau ikut ?”
“Gak bisa Bil. Aku kan hari ini piket kelas.”
“Oh ya udah, kamu duluan aja ke kelas.”
“Ya udah, aku duluan ya.”
“Iya.”
Keduanya berpisah di dua lorong, satu menuju kelas dan satunya menuju kantin.
.
.
“Kal.”
Tepukan keras mengenai punggung Haikal. Tanpa menoleh Haikal sudah tahu pelakunya. Dzawin, di sebelah kiri. Dan di sebelah kanannya muncul Dzawan.
“Kok muka Lo pucat banget, sih?” tanya Dzawan, mengamati sekilas wajah Haikal.
“Gak tahu nih, dari tadi emang rasanya kayak gak enak badan,” keluh Haikal sembari menggerakkan kecil lehernya yang terasa kaku.
“Begadang ya Lo semalam?!” tuding Dzawin.
“Bacot Lo !”
“Akui mulutnya kasar banget.” Dzawin berlagak kaget.
“Kalo Lo sakit, ya udah ngetem aja di UKS. Lumayan dapat teh gratis, kalo Lo ada rezeki, bisa juga daoat bolu atau kue gratis. Mau gue temenin gak” Dzawan menawakan diri, yang langsung Haika tolak mentah-mentah, tanpa dimasak.
“Kayak orang penyakit aja ngetem di UKS. Gue cuman gak enak badan, bukan mau enak aja kayak Lo. Sekolah buat belajar bukan buat jadi beban.”
Dzawin dan Dzawan terkekeh lantaran perkataan Haikal yang terkesan seolah dia anak rajin nan samiqna waatoqna.
“Lagian, gue udah kebanyakan gak ikut pelajaran. Bisa makin anjlok nilai gue yang udah anjlok,” tambah Haikal lagi.
“Eh, iya, kita kan hari ini piket kelas,” kata Dzawan.
“Iya, ih, bisa ngamuk tuh anak cewek. Entar ngelapor ke wali kelas, bilangnya kita gak mau piket. Bisa jadi gajah nih. Gawat aja-h,” sahut Dzawin.
“Buru deh jalannya, jangan kayak cat-women,” seru Haikal.
Spontan dua kembar itu dengan patuh mendengar perkataan Haikal, mereka berlari-lari kecil, agar langkahnya lebih cepat sampai.
Haikal pun begitu, namun tiba-tiba di persekian detik yang sangat cepat terjadi, langkah kaki Haika seperti terbeku sesaat. Haikal menoleh, tapi kalah cepat, objek yang dituju matanya sudah berlalu hingga yang terlihat hanya seperti hembusan angin. Setelahnya sesuatu terasa memenuhi hidung Haikal. Terasa lengket, memperlambat srikulasi udara yang seharusnya masuk ke hidungnya.
Haikal meraba cuping hidungnya dan ternyata ada...
.
.
Lebih baik menunggu ketimbang di tunggu atau telat. Prinsip Fatiah ini rasanya sudah mendarah daging bagi kebiasaan Fatiah. Tidak heran jika jadwal mengaji di adakan pukul empat sore, Fatiah sudah bersiap sejak pukul setengah tiga dan pergi saat pukul tiga. Begitu sampai di musholah, jam tangannya masih menujukan pukul empat kurang lima belas menit.
Fatiah lantas merogoh toten bag putih miliknya dan mengambil benda pipih dari dalam sana.
“Selagi nunggu mending telepon eyang aja,” gumam Fatiah, beranjak duduk di teras mushola yang terlindungi dari sinar matahari sore.
“Assalamualaikum....,” sapa riang Fatiah begitu panggilan vidio tersambung. “Eyang apa kabar ?” tambahnya.
Namun eyang tidak menjawab, yang terdengar hanya deru nafas dan juga wajah eyang yang terpampang di depan layar ponsel.
Dibalik senyum lebarnya, Fatiah menyimpan perasaan sedih yang teramat melihat kondisi eyangnya, yang semakin hari semakin menurun. Eyangnya sudah hampir dua tahun belakangan ini sakit, dan bulan ini kondisi eyangnya semakin parah lantaran jatuh dari kamar mandi. Yang menyebabkan eyang harus melakukan operesi kedua untuk memperbaiki pin yang semula dipasang untuk menopang tulang kaki eyang yang patah karena jatuh juga.
“Eyang udah makan? “
“Iah, udah makan siang. Ini, Iah lagi mushola mau ngajar ngaji. Iya Yang, Iah, sekarang udah jadi guru ngaji.”
“Eyang...” Fatiah menghela nafas panjang. Sungguh ia rindu suara eyangnya. Fatiah rindu saat eyangnya bercerita mengenai pengalamannya umroh di tahun 2005. Sebuah cerita yang dulu sempat membuat Fatiah merasa bosan, karena sering diulang. Tapi kini Fatiah merindukan itu. Fatiah sangat rindu hal itu.
Terbesit di dalam benak Fatiah, mengenai kenangannya bersama eyang yang seolah tidak mampu ia ulang lagi. Tidak. Fatiah selalu berdoa agar Allah mengangkat penyakit wanita yang sangat ia cintai dan membuatnya kembali ceria seperti dulu.
“Eyang, Iah, kangen sama eyang, eyang tunggu Iah pulang ya. Kalo Iah libur, Iah, bakal temui eyang.”Fatiah mencoba meredam getar yang ada dalam suaranya. Rasa takut kehilangan memuncak besar di d**a Fatiah, rasa-rasanya Fatiah ingin pulang, memeluk erat eyang yang sangat merindukannya.
“Eyang tunggu Fatiah ya....” getar kesedihan mulai terdengar dari suara Fatiah. Fatiah mencoba menjauhkan ponsel darinya, menghapus cepat air mata yang lancang keluar dari matanya. Selalu ada harapan. Setiap yang sakit pasti akan sembuh atas izin Allah. Fatiah selalu optimis semua badai akan berlalu.
“Nak, Iah, eyang sering banget manggil nak Iah.” Muncul Bi Kasih—orang yang selama ini dengan tulus hati menjaga eyang.
“Nak Iah, kapan pulang? “ tanyanya.
“Gak tahu Bi. Kemungkinan setelah libur sekolah.”
“Oh, iya, eyang sering banget ngigau manggil nama nak Iah,” tambahnya lagi.
Fatiah tersenyum sendu. Ia juga sangat merindukan eyangnya itu. Fatiah ingin, memeluk, mencium, bercerita, dan tidur di sebelah eyang seperti dulu ketika ia kecil.
Tapi apa daya? Jarak memisahkan mereka. Fatiah tidak bisa berlari mengikuti suara hatinya. Ia tidak bisa terbang sejauh pikirannya melayang. Dan fakta ini semakin membuat Fatiah merasa tidak berdaya. Ia tidak bisa melakukan hal yang sangat ia ingin lakukan.
“Eyang, Iah sayang banget sama eyang....”
Dan lagi-lagi eyang tidak menjawab apa pun kalimat Fatiah. Fatiah pasrah, setidaknya meski tidak mampu mendengar suara eyangnya, ia masih bisa mendengar suara deru nafas teratur dari eyangnya serta melihat wajah eyangnya yang juga menatapnya rindu.
Langit mulai nampak teduh pertanda hari semakin sore, Fatiah melirik jam yang tersemat di atas layarnya. Sudah pukul empat tepat. Beberapa santri juga mulai berdatangan menyapa dirinya.
“Eyang, Iah, harus ngajar sekarang. Bi Kasih, panggilannya aku matiin ya. Bi, makasih udah jagain eyang dengan setulus hati. Fatiah gak bisa ngomong apa pun selain terima kasih.”
“Iya, Nak. Kamu yang semangat ya ngajarnya.”
“Iya, Bi. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Fatiah menarik nafas dalam-dalam, agar suasana hatinya kembali membaik. Setelahnya Fatiah menyimpan benda pipih itu ke dalam toten bag miliknya. Suasana hatinya sudah lumayan membaik, meski rasa takut ditinggalkan masih mengumpat di bagian paling ujung di hatinya.
.
.