Benih Asmara

1308 Words
       “Miss Naomi ternyata juga suka dengan membaca buku, kebetulan sekali bila mempunyai kenalan yang hobi membaca juga,” tawa Zidna terdengar sangat renyah ketika baru saja mendengar salah satu fakta dari kehidupan Una.         “Sudah saya bilang, Pak. Kalau hanya berdua dan enggak ada hubungan kerja, enggak perlu memakai panggilan formal untuk saya, cukup Una saja,” gumam Una sangat tidak nyaman dengan suasana canggung di antara mereka berdua.        Mereka berdua baru saja pulang melaksanakan sosialisi di sebuah sekolah, pergi bersama dan pulang bersama. Awalnya Una hanya akan menemani Zidna sampai sosialisasi selesai karena ia harus pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buku penyokong pembelajaran untuk ia pelajari beberapa hari ke depan. Namun, tanpa diduga-duga, keadaan langit sangat tidak mendukung ketika rinai mulai turun.       Una terpaksa menumpang kepada Zidna yang saat itu juga belum pulang dan menawarinya sebuah tumpangan. Saat itu juga Una teringat jika beberapa hari yang lalu Zidna sempat memberinya makanan, hal itulah yang membuatnya kini duduk berhadapan dengan Zidna di dalam sebuah kafe menengah ke atas yang letaknya tidak jauh dari toko buku langganan Una.        “Baiklah, kalau begitu... Miss Naomi ... eum ... maksudku Una, jangan berbicara dengan kata ganti Saya-anda,” kata Zidna kemudian.         “Setuju, Pak,” kata Una kemudian.        Zidna mengulum senyum tipis, lantas berkata, “Jangan memanggilku dengan embel-embel ‘Pak’. Itu terkesan sangat tua untuk pria dua puluh empat tahun sepertiku.”        “Sudah kuduga bahwa usia kita terpaut lumayan jauh,” gumam Una.       “Memangnya ... usia kamu sekarang berapa, Una?” tanya Zidna.        “Dua puluh tiga tahun saat bulan Agustus nanti,” jawab Una.        “Astaga, bahkan usia kita hanya berbeda dua tahun. Kenapa sangat canggung seperti ini,” gumam Zidna sedikit bercanda guna mencairkan suasana yang kian detik makin canggung. “Oh ya, kalau boleh tau ... kamu suka membaca buku apa saja?”         Una mengangguk perlahan, menautkan kedua tangannya. “Aku suka membaca apa saja, mulai dari buku pengetahuan umum hingga buku novel. Kalau mempunyai banyak waktu, aku akan menghabiskannya dengan membaca walaupun isinya juga tak terserap dalam ingatan.”         “Benar, walaupun tak terserap dalam ingatan masih ada kemungkinan apa yang kita baca bisa bermanfaat,” ujar Zidna. “Kamu sudah pernah membaca buku autobiografi tentang Miyuki Inoue?”       “Oh itu, aku sudah membacanya sewaktu sekolah menengah pertama. Buku yang lumayan berkesan,” jawab Una kemudian.       “Apakah menurutmu itu bagus, Una?” tanya Zidna.        “Menurutku bagus, Miyuki terlahir hanya dengan 500gram, buta pula. Dia ingin menyerah tapi, ia terus berusaha demi kerja keras ibunya,” jawab Una.       “Benar juga, setelah ini kamu ingin ke mana?” tanya Zidna mengalihkan topik pembicaraan.        “Aku berencana ingin pergi ke perpustakaan beberapa pintu dari sini,” jawab Una.        “Kebetulan sekali aku juga ingin membeli kamus bahasa Jerman dari sana,” kata Zidna tertawa kecil.         “Belakangan ini kita terlihat mempunyai kesamaan,” ucap Una. “Lucu sekali.”         “Bisa jadi kita memang berjodoh,” kekeh Zidna.        Una hanya tertawa kecil walaupun pada kenyataannya tidak seperti itu, hatinya terasa tidak karuan mendengar suara tawa renyah yang dihasilkan oleh Zidna. Hatinya sudah hampir mati rasa selama tiga tahun ini, entah apa yang membuatnya kini merasa sangat aneh ketika berhadapan dengan pria yang bersusah payah mendekatinya selama ini.       Zidna Ilman adalah guru les Bahasa Jerman di yayasan tempat Una bekerja, sejak pertama kali masuk kerja di yayasan  tersebut Zidna lah yang menjadi pemandu serta penanggung jawabnya selama magang. Zidna bukanlah pebisnis seperti Fano namun, Zidna mempunyai kehidupan yang hampir sama dengan Fano.       “Una ... apa ada yang salah di wajahku? Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Zidna kemudian.        Una terkejut akan pertanyaan Zidna tersebut. “A–aku ... eum ... enggak apa-apa kok, enggak ada yang aneh.” ***       “Kamu Cuma beli buku-buku itu, Una? Enggak mau mengambil beberapa novel?” tanya Zidna ketika Una hanya kembali dengan beberapa buku penyokong.         “Iya, aku lagi mau fokus mempelajari ini. Jadi, aku enggak ambil buku novel,” jawab Una kemudian.         “Kalau begitu biar aku yang membayarka—“        “Enggak perlu! Aku bisa bayar sendiri kok,” ucap Una cepat.        “Enggak apa-apa, Una. Sekalian jadi satu aja biar enggak terlalu lama mengantre,” kata Zidna kemudian.        Una mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya lantas menyerahkannya kepada Zidna. Zidna melirik dengan bingung mencoba menilik apa maksud dari Una saat itu, beberapa saat kemudian ia mengangguk dan maju. Dengan segera menyerahkan beberapa buku yang dibawanya kemudian menyodorkan uang setelah harga buku-buku yang ingin dibelinya terlihat di layar monitor.        “Semuanya dua ratus dua puluh enam ribu rupiah, Pak. Kembali empat puluh ribu rupiah, terima kasih banyak untuk kunjungannya, Pak.” Kasir tersebut sangat ramah melayani Zidna, bahkan kasir berambut sebahu itu memberikan sebuah gantungan kunci berbentuk buku untuknya.       “Tumben diberikan gantungan kunci seperti ini, Mbak? Ada acara ya?” tanya Zidna sedikit bingung.        “Enggak, Pak. Itu untuk pacar Bapak yang berdiri di sana, pacar Bapak sering banget baca buku di sini,” jawab Kasir tersebut.        Zidna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasakan wajahnya sedikit memanas karena rasa malu yang kini menjalari urat kehidupannya. “Ka—kalau begitu, terima kasih, Mbak. Nanti saya ngomong sama dia.”       Setelah itu Zidna berjalan pelan menghampiri Una yang sedang memperhatikan deretan buku yang berjejer di etalase toko buku itu, dengan jahil Zidna tiba-tiba berdiri di belakang Una dan ikut memperhatikan apa yang dilakukan Una. Sebentar kemudian Zidna tertawa kecil membuat Una terkejut bukan main, Una menautkan kedua alisnya sedikit heran bercampur kesal.        “Cepat banget, kok tiba-tiba sudah ada di belakangku?” tanya Una kemudian.       “Kamu aja yang terlalu fokus melihat-lihat buku di etalase ini,” kekeh Zidna.        Una mengangkat kedua bahunya menghiraukan perkataan Zidna, Una membenarkan posisi sling bag yang dipakainya dan mengambil kantong plastik dari tangan Zidna. “Uangnya kurang?”        “Enggak kok, uangnya masih ada,” gumam Zidna kemudian.        Seketika membuat Una sedikit terkejut. “Lho, kok masih ada sih? Jangan bilang kamu bayar pakai uang kamu lagi?”         Zidna tertawa kecil sembari menyodorkan beberapa lembar uang pemberian Una beberapa saat yang lalu. “Ini, buat beli jajan aja. Aku ikhlas lahir batin kok, membayarkan buku itu.”         “Tapi, aku enggak enak kalau begitu ceritanya. Kamu sudah banyak membantuku, kenapa masih—“         “Aku melakukan ini semua ikhlas kok, lagi pula ... aku memang berniat baik,”  potong Zidna.         “Bagaimana kalau kapan-kapan aku gantian mentraktir kamu?” tawar Una.         “Enggak usah, aku ikhlas kok. Sudah yuk, kita jalan sekarang ... hampir magrib, nih, kamu pasti mau sholat juga, ‘kan?” tanya Zidna.        Una terdiam sebentar, menilik secara harfiah perkataan Zidna. Sholat, ia sudah lama sekali tidak menunaikan sholat. Entah sudah sejak kapan ia meninggalkan kewajiban yang seharusnya ditegakkan itu, ia sudah lupa bagaimana rasa tenang yang terasa ketika telah menunaikan ibadah Sholat.         “Atau kamu non muslim?” tanya Zidna lagi.        “Kalau kamu ingin mampir sholat dulu di masjid enggak apa-apa, kok. Aku bisa pulang menggunakan taksi,” kata Una kemudian mengalihkan topik pembicaraan.        “Jangan... jangan... aku takut kamu malah kenapa-kenapa di jalan. Kalau kamu non muslim kamu tunggu saja di dalam mobil, aku beribadah enggak lama, Kok.”        “Aku muslim, kok. Cuma ... aku ....”        Perkataan Una mengantung tak dapat dilanjutkan, Una terlalu ragu untuk menjawab bahwa ia tak percaya bahwa beribadah bisa membantunya menyelesaikan masalah, ataupun membawa sebuah keberuntungan di kehidupannya. Dulu, Una selalu melaksanakan sholat tepat waktu karena meniru sifat religius Fano. Namun, setelah kejadian tiga tahun lalu layaknya semua sudah usai. Ia merasa dibohongi, ia merasa dikhianati.         “Una ... kamu kok diam aja, sih? Kamu sedang enggak bisa beribadah ya? Enggak apa-apa kok, itu wajar. Karena memang kamu ‘kan perempuan, ada hari di mana perempuan enggak bisa beribadah. Sekarang... lebih baik kita jalan,” kata Zidna lagi.                                                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD