Aku tidak tahu sudah berapa banyak minuman yang kuteguk sekarang, tapi tetap saja tidak dapat menghilangkan jejak bibir Ethan yang masih dapat kurasakan-dengan jelas.
Jantungku berdebar dengan cepat, lagi.
Tuhan, seumur hidup aku menunggu moment ini. Menanti perasaan kupu-kupu yang mengelitik. Berada di tengah kembang api. Perasaan ketika ciuman pertamamu akan benar-benar terjadi.
Dan, sialnya...
Semua moment itu rusak, hanya karena satu cowok b******k yang egois. Semua perasaan kasmaran yang kubayangkan seumur hidup, tidak akan pernah menjadi nyata.
Ciuman pertamaku di rampas. Dan yang kurasakan adalah... tersengat. Perasaan macam apa itu?!
"Hi!"
Matthew Anderson, tau-tau datang entah dari mana. Seperti yang biasa ia lakukan, langsung mengambil tempat duduk di sebelahku, merangkul leherku.
Ia tersenyum, "Apa yang kau lakukan di sini?"
Sial, senyum itu. Manis sekali. Indah sekali. Menghilangkan setengah beban hidupku.
Setelah kejadian "mengerikan" yang kualami karena ulah Ethan Gilbert, aku memilih menangkan diriku. Duduk santai di taman kampusku-rumputnya indah sekali.
"Nothing, Matt."
Matanya yang cokelat terlihat begitu teduh. Rasanya aku bisa melihat ke dalam mata itu berhari-hari tanpa merasa bosan.
"Kau baik baik saja?"
Matt menatapku dengan tatapan menyelidik. Aku memberinya senyum, tapi aku tidak yakin senyumku berhasil.
"Yeah, sure. Aku baik-baik saja."
"No, you're not." Matt melihatku seperti, aku-tau-kau-dari-dulu-ayolah. "Ceritakan padaku, B."
Aku ingin sekali menghambur kepelukanya sekarang dan menceritakan semua bebanku. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak mau dia tahu tentang perjodohan bodoh itu! Aku tidak mau dia menjauhiku. Aku bahkan tidak sanggup membayangkannya.
Aku memasang senyum terbaikku.
"Memangnya siapa kau ini? Peramal? Aku baik-baik saja. Moodku hanya sedang tidak baik. Sungguh."
Matt menarik daguku, ketika aku tidak menatapnya, "Kau tahu berbohong pada sahabatmu itu dosa besar, kan? Akan kubiarkan kau lolos hari ini, Nona."
Aku mendorongnya, "Kau terlihat seperti kakekku saat sedang serius!"
"Kau merubah topik, sesuatu yang serius pasti sedang terjadi."
See? Dia TAU aku.
"Nanti, okay? Akan kuceritakan saat semuanya masuk akal untuk kuceritakan." Aku menggenggam lengannya. "Untuk sekarang, bersandiawaralah aku baik-baik saja. Sampai saatnya tiba, kau pasti orang pertama yang akan kuceritakan."
Matt menatapku, lebih lama dari sebelumnya. "Kau bersumpah?"
Aku mengangguk mantap, "Aku bersumpah demi persahabatan kita, demi rumah pohon dalam hutan di belakang rumah nenekku."
Matt merentangkan tangannya, dengan senyum lebar menghiasi bibirnya. Dan dengan semua perasaan, aku memeluknya. Sangat dalam. Oh, tuhanku. Tolong jaga dia. Matthewku.
Tepat saat duniaku terasa sempurna lagi, dia datang...
"Hi, dude. Boleh aku bergabung dengan kalian?"
Momenku langsung rusak di detik suara seraknya memasuki gendang telingaku. Aku keluar dari pelukan Matt untuk mempelototinya.
Dan disana ia, tersenyum polos bagai malaikat. Dari neraka.
"Hi, men."
Matthew Andersonku melakukan tos persahabatan dengan musuk bebuyutanku, Ethan f*****g Gilbert.
Shit. s**t. s**t.
Tepat setelah itu, Ethan menoleh padaku dengan tatapan panuh arti. Aku cepat-cepat membuang muka. Bertatapan muka dengannya lebih lama bisa membuat mataku nyeri.
Aku tidak peduli dengan lesung pipinya yang dalam, atau mata hijaunya yang menawan atau tatonya yang terliat liar menyembul dari balik kaos hitam yang ia kenakan. Aku tidak peduli.
"So, ini gadis yang selalu kau sembunyikan dari kami?" Katanya, basa-basi.
Halah.
"Eth, this is Bianca." Matt menoleh padaku. Ia melemparkan senyum. "B, kau munkin sudah kenal dengan, Ethan Gilbert."
"Hi, Ethan." Aku tersenyum tipis dan mengulurkan tanganku padanya. HANYA KARENA aku tidak mau Matt curiga atau apapun.
"Hi, Baby." Ethan menjabat tanganku, lalu mengecupnya. Aku membelalakan mataku. Cepat-cepat kutarik tanganku yang menempel dengan bibirnya yang kenyal.
..ugh, bibirnya!
Matt tiba-tiba melingkarkan lengannya di leherku, "Hold on, Gilbert. Yang ini tidak boleh. Dia... milikku."
Dan akhir kalimat itu, sukses membuatku terdiam sangat lama. Jantungku berdebar kencang. Dan pipiku menjadi panas dingin.
"Easy, dude. Aku hanya bergurau."
Lalu mereka tertawa bersama. Aku senang melihat Matt tapi aku muak dengan Ethan. Oh, tuhan! Aku benar-benar berharap rumput yang diduduki Ethan adalah jebakan dan lelaki itu jatuh ke dalam lobang selama-lamanya.
•••
The rest of the day, terasa seperti neraka. Dimanapun aku berada, Ethan pasti disana. Datang dengan senyum miringnya, dan merusak hari indahku.
"Bisakah kau tidak berada di dekatku? Aku risih!"
Aku berdesis pada Ethan yang duduk di bangku sebelahku. Aku sedang di kelas Mrs. Charlotte di gedung communication. COMMUNICATION.
"Kau percaya diri sekali. Bangku lain sudah terisi."
"Well, di samping Daniel kosong-tapi itu tidak penting mengingat kau tidak kuliah di jurusan ini, Ethan!"
Ethan mengedikkan bahunya, "Itu hakku untuk berada dimana pun mengingat kau bukan pemilik kampus ini."
"f**k! Terserah kau."
Aku merebahkan kepalaku ke meja. Memenjamkan mata, mencoba menghilangkan denyutan di kepalaku yang muncul setiap kali berhadapan dengan Ethan si f*****g Gilbert. Aku sungguh berharap Matt yang disini dan menghiburku.
"Mrs. Charlotte, Bianca bisa menjawab kuis itu."
Aku terhentak saat mendengar namaku dipanggil.
"Huh?"
Mataku menjulur keluar saat kulihat seisi kelas menatap ke satu titik: aku.
"Ms. Smith, silahkan ke papan tulis."
Glek.
Petir menyambar di kepalaku mendengar permintaan Mrs. Charlotte. Jantungku memburu saat dosen paruh baya itu mengulurkan spidolnya padaku.
"Cepat maju, stupid." Desis Ethan sebelahku. Dia menatapku dengan senyum miringnya yang paling kubenci.
Fuck. f**k. f**k.
Ini pasti ulahnya!
"Ms. Smith, cepatlah! Waktu kita tidak banyak."
Aku bangkit dengan lutut bergetar. Kulirik Ethan yang duduk di sebelahku, tajam. Tanpa suara aku memaki, "f**k UUUUUUUUUUUU"
Argh, Ethan Gilbert! Aku berjanji akan membunuhmu setelah semua ini.