Chapter 05

2365 Words
    “Oh! Akhirnya!”    Itu adalah ruang tengah kosong di inti labirin! Akhirnya aku menemukan sesuatu yang bukan dinding yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan dan bunga evening primrose! Aku memang petualang yang hebat! Aku bahkan menemukan si Pome nakal di sana. Oh, Pome tidak sendirian. Dia bersama … seorang pria?     “Kumohon jangan membunuhku!”     Dor!     Oh! Astaga!!     Si penembak, pria yang berdiri menjulang di depan Pome itu … memakai pakaian serba putih. Rambutnya juga berwarna terang, perak, sewarna bulan yang tengah menyinari sosoknya. Dia memegang pistol yang dipasangi peredam. Dan dia baru saja … membunuh seseorang. Dia menembak seseorang yang tergeletak di tanah. d**a orang malang yang tertembak itu tidak lagi naik-turun, darah membasahi kemejanya.     Tetap bernapas, Simca. Tetap bernapas.     Duniaku seakan berputar dengan sangat cepat. Barusan saja aku berada di dunia fantasi yang berkerlapan, sekarang aku seperti baru saja memasuki dunia yang sama sekali berbeda. Gelap, bulan, dan darah. Pria berpakaian serba putih itu, pistol di tangannya, dan caranya mengabaikan mayat di bawah kakinya. Mayat seseorang yang memohon untuk nyawanya.     Gonggongan anjing kecil itu terdengar seperti lonceng yang membangunkan kesadaranku. Demi Tuhan! Anjing itu berjalan ke arah si pembunuh berpakaian putih dengan santai. Apa dia tidak memiliki insting yang mengatakan bahwa pria berpakaian putih itu adalah orang yang berbahaya yang bisa saja menembaknya?!     Pikirkan yang penting! Masa bodoh dengan nyawa anjing nakal itu. Si Pome sedang membawa sebelah sepatuku yang berharga! Sepatu milik Bianca. Dan anjing itu meletakkan sebelah sepatuku itu, tepat di sebelah sepatu si pria berpakaian putih! Apa dia ingin aku bermain tembak-tembakan dengan pria misterius itu?! Sial! Apa aku harus bersembunyi? Sialan, Pome! Berhenti menggonggong seperti anjing gila! Aku tidak bisa berpikir dengan tenang.     “Berisik, Hera!”     Suara keras yang melolong ke langit malam itu membuat pertahanan kakiku menyerah. Tubuhku jatuh di atas rerumputan. Suara pria berpakaian putih itu membuat tiap sel dalam tubuhku rasanya mengkerut ketakutan. Suara itu bahkan memembungkam mulut si Pome saat itu juga.     Yang membuat semuanya sempurna adalah … si Pome berlari ke arahku begitu saja dengan egoisnya untuk berlindung padaku karena mungkin dia sudah mendapatkan kembali akal sehatnya.     Bodoh! Jangan kemari! Setidaknya, jangan kemari tanpa sepatuku!     Tatapan mata sosok pria berjas putih itu mengikuti ke mana larinya Pome. Saat itulah, pandangan mata kami bertemu di bawah bulan purnama yang menyirami kami dengan cahayanya.     Matanya berwarna biru seterang air laut dangkal yang jernih. Harusnya adalah warna mata yang cantik dan langka. Namun, aku tidak melihat kehidupan di sana. Mata itu seperti danau yang membeku selama ratusan tahun, mati, tak beremosi. Rambutnya terang, warna abu-abu terang tersiram cahaya bulan membuat efek dramatis yang mematikan saraf gerakku. Warna kulitnya terlihat pucat, begitu pun bibirnya. Satu-satunya warna yang kontras dalam sosok itu adalah bercak merah di ujung bibirnya.     Darah.     Aku sama sekali tidak menyiapkan diriku untuk melihat darah di luar jam kerjaku malam ini.     Aku menelan ludah dengan susah payah.     Noda darah itu menjadi samar dan berantakan saat pria itu menggerakkan sebelah tangannya untuk mengusap cairan pekat itu dari ujung bibirnya. Sebagian darah itu terlanjur menodai tuksedo putih yang ia kenakan, seperti tumpahan anggur merah yang pekat.     “Siapa kau?”     Oh, tidak!     Jangan bunuh aku! Katakan sesuatu, Simca! Memohonlah untuk nyawamu! Apa pun agar dia tidak menodongkan pistolnya padamu! Kau telah menjadi saksi hidup dari pembunuhan yang dilakukannya. Dan seperti yang di film-film, dia tidak akan percaya jika kaubilang, kau akan tutup mulut. Kau jelas akan dibunuhnya jika kau tidak juga mengatakan apa pun. Meski aku juga tidak yakin, ia akan mengurungkan niatnya untuk menghapus saksi mata hanya dengan perkataanku saja.     Pria itu kini sudah menghadapkan tubuhnya ke arahku. Membuatku terpaku di tempat hanya dengan tatapan matanya yang dingin dan tak berekspresi itu, namun, mengancam di saat yang bersamaan. Layaknya mata seorang predator. Ya, penggambaran yang bagus. Matanya terlihat seperti seekor serigala putih. Serigala yang sedang mengamati mangsanya yang sekarat.     Satu langkah, pria itu mendekat. Kemudian langkah lainnya membawa pria itu semakin mengurangi jarak di antara kami.     “Apa kau adalah tamu pesta?”     Berusaha keras untuk bergerak, atau setidaknya mengatakan sesuatu, semua usahaku gagal total. Tubuhku gemetaran saat aku tahu si Serigala Pembunuh ini akan berdiri di depanku dalam hidungan beberapa detik saja. Aku tidak sanggup lagi menatap sosoknya yang seakan membelakangi cahaya bulan membuat siluet gelap yang menakutkan, tinggi dan menjulang. Dengan tubuh gemetar, aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil.     “Bau ini … aku tidak mengenalmu. Siapa kau?”     B—bau katanya?! Apa aku bau sesuatu? Apa itu bau sesuatu yang buruk? Oh, tidak! Bukan waktunya mencium ketiakmu sendiri sekarang! Katakan sesuatu! Katakan sesuatu, Simca!     “T—tolong biarkan aku pergi.”     Itu sama sekali tidak terdengar sebagai permohonan yang sopan! Apa sebaiknya aku menambahkan ‘Yang Mulia’? Tidak, itu hanya akan terdengar seperti aku sedang mencemoohnya. Apa lagi, setelah aku mengatakan itu, si Serigala tidak mengatakan apa pun. Yang bergerak di antara kami adalah angin dingin yang membisikkan mantra-mantra untuk membekukan tubuhku.     “Hm. Itu tergantung jawabanmu. Siapa kau? Jangan berpikir untuk membuatku bertanya lagi.”     Ternyata aku memang harus menjawab pertanyaan itu. Baiklah. Baiklah. Ini dia. Ambil napas panjang dan embuskan. Sial! Aku masih sangat gugup! Mau mati saja rasanya!     “Ya, aku seorang tamu,” jawabku sesingkat mungkin agar pria itu tidak tahu jika suaraku bergetar karena perasaan horor.     “Aku tidak mengenalmu.”     Berita baik, kalau begitu! Dan aku juga sama sekali tidak ada keinginan untuk memperkenalkan diriku padamu!     “A—aku … aku datang bersama Vin ... apa kau mungkin mengenal Vincent? Vincentio Blanc. D—dia sangat populer di dalam sana.”     Kudengar dia hanya menjawabku dengan dehaman kecil yang mirip dengan isyarat bahwa ia sedang memikirkan sesuatu. Haruskah aku mengangkat kepalaku sekarang? Bagaimana jika ia berpikir bahwa aku belum melihat wajahnya dan jika aku mengangkat kepalaku dan benar-benar melihat wajahnya dengan jelas, dia benar-benar akan menghabisiku? Sial, sepertinya aku salah memantrai sepatuku.     “Angkat wajahmu,” perintahnya kemudian.     Apa aku harus mengangkat kepalaku begitu saja? Apa memangnya keuntunganku jika aku tidak menurutinya? Siapa tahu dengan menuruti perintahnya, ia akan membiarkanku pergi? Jika dia benar-benar ingin menghapus saksi mata, harusnya ia tidak perlu menanyakan tentang statusku sebagai seorang tamu. Dia tinggal menembakku saja.     Tapi dia tidak menembakku, dan malah menanyaiku apakah aku adalah seorang tamu pesta. Ketika aku mengiyakan pertanyaannya, dia bilang dia tidak mengenalku. Kalimat itu menyiratkan seolah pria ini harusnya tahu siapa saja tamu yang akan hadir di pesta malam ini. Seakan-akan, dialah pemilik pestanya.     Tidak mungkin!     Tergerakkan oleh rasa penasaran, aku mengangkat kepalaku.    “Dor.”     Astaga aku tertembak!     Mati aku, mati aku, mati aku!     Semuanya gelap! Aku tidak bisa melihat apa-apa.     Hening.     Yang terdengar hanyalah berisik suara kain. Pria itu bergerak. Kemudian, aku merasakan sesuatu di kakiku. Bagaimana bisa aku melihat sesuatu jika aku menutup kedua mataku rapat-rapat karena ketakutan. Menyadari tubuhku baik-baik saja, tidak ada rasa sakit yang berarti, perlahan aku membuka mata dan melihat apa yang sedang pria itu lakukan.     “Ah!”     Oh, astaga! Apa yang terjadi?!     “Aku memang pernah mendengar desas-desus itu,” katanya, “tapi aku tidak tahu bahwa Vincentio akan membawa sahabat perempuannya ke pestaku.”     Ternyata benar. Pria ini adalah Zeus! Si narsistik yang sedang berulang tahun hari ini. Dan si target yang harus kujauhi. Kurasa entah bagaimana, Vincentio tahu jika sahabatnya ini adalah seorang kriminal, dan Vin ingin menjauhkan pria ini dariku. Sungguh tindakan yang heroik. Andai saja aku tidak memaksanya untuk membawaku, ia tidak akan menemukan masalah. Aku juga tidak akan berakhir di sini dan gemetar tanpa bisa bergerak karena sekujur tubuhku seakan kaku.     “Kemarikan.”     “Hah, apa?”     “Sepatumu.”     “Sepatu?”     Pria berwajah pucat itu menghela napas panjang, seakan ia sudah muak bernapas di udara yang sama denganku. Ia bergerak mendekatiku. Wajahnya semakin dekat. Ada degupan paling aneh yang bergerak cepat dalam dadaku. Ketakutan, kekhawatiran, dan … debaran yang sangat liar. Aku menunduk dan menutup mataku sekali lagi saat aku merasakan embusan napasnya mengenai wajahku.     Pria itu sepertinya mengambil sesuatu dari tanganku, kemudian bergerak menjauh. Perlahan aku membuka mataku sekali lagi dan melihat pria itu melakukannya lagi.     Ia sedang memasangkan sepatuku. Bahkan menepuk-nepuknya sesekali untuk mengusap tanah dari solnya.     Apakah mataku sedang membuat ilusi? Seakan … pria ini bukan pria yang sama dengan yang kutemui di bawah sinar bulan beberapa menit lalu. Bahkan jika kuingat dengan benar, saat mengangkat wajahku tadi, pria itu menembakku dengan ujung heels sepatuku sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Atau di kepala pria itu?     “Ah? H—hei! T—tunggu! Tunggu! Apa yang kaulakukan?!”     Pria itu tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganku, kemudian menarik tanganku, berjalan bersamanya.     “Kau melihat apa yang kulakukan, bukan? Di halaman tadi.”     Aku bungkam. Peristiwa penembakan itu kembali berputar di kepalaku. Benar juga. Tubuh pria itu masih …. Tidak, Simca! Tidak ada waktu sebelum kau menjadi salah satu korban. Khawatirkan tubuh indahmu sendiri.     “Ya!” jawabku begitu saja. “Vincentio pasti menyadari ketidakhadiranku di dalam sana. Cuma masalah waktu saja sebelum ia menemukanku. Jika kau melakukan sesuatu yang buruk padaku—“     “Kenapa memangnya jika aku melakukan sesuatu yang buruk padamu?”     “Tentu saja Vincentio akan melakukan sesuatu! Dia pasti akan melindungiku!”     “Cukup menarik.” Masih memimpin jalan, pria itu menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat wajahku. “Apa perempuan yang dibawa Vincentio ke mana-mana dan diperkenalkan sebagai sahabatnya ternyata adalah jalang selingkuhannya?” tanya pria berambut perak itu dengan mengangkat dagunya dan menatapku rendah.     Pertanyaan yang membuatku ganti ingin bertukar posisi dengan pria ini. Aku tidak peduli jika dia membawa pistol atau bahkan senapan mesin sekali pun, aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan membunuhnya! Dia mengataiku sebagai seorang wanita tidak benar! Tapi tidak sekarang. Tahan dirimu, Simca. Aku bahkan tidak memiliki kalimat untuk membalas pertanyaannya tadi.     Oh? Apa aku melewatkan detail kecilnya? Ya, Vincentio sudah memiliki kekasih. Apa aku belum mengatakannya? Oh, maaf. Mungkin aku terlalu sibuk membohongi diriku sendiri. Gadis beruntung itu bernama Jasmine. Dia sedang berkuliah di Universitas Cambridge sekarang. Dia adalah adik kelas Vincent pada semasa SD. Tentu saja Vincent sangat menyayanginya. Aku tidak memungkiri bahwa aku merasa sangat iri jika mengingat hal itu. Aku juga merasa kesal pada diriku sendiri karena tidak sanggup mengatakan yang sejujurnya pada kedua orang tuaku bahwa Vincentio adalah milik perempuan lain, hingga mereka terlalu mengharapkan pria yang sudah berkekasih ini menjadi menantu mereka.    Haruskah aku benar-benar menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka untuk mendapatkan Vincent? Tapi Vincent selalu worth it. Jika ada kesempatan, aku mungkin—dengan persentase yang sangat tinggi—bersedia menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Itu menjijikkan. Aku tahu. Sepasang mata di wajah tampan si Serigala Putih ini membuatku jengkel dengan memandangku hina seperti aku sudah pengambil pacar orang, padahal aku belum, maksudku tidak benar-benar melakukannya.     Aku menarik tanganku dengan keras saat ia lengah, hingga aku berhasil lolos dari cengkraman tangan si Serigala.     “Apa aku kelihatan memiliki hubungan seperti itu dengan Vin? Mungkin kau adalah sahabat Vincentio. Tapi kau tidak tahu apa-apa tentang hubungan kami berdua. Dan sama sekali tidak sopan untuk menghakimi seseorang begitu saja tanpa mengetahui apa pun tentang dirinya. Terlebih di pertemuan pertama!”     Adik dan kakak yang tidak tahu sopan santun. Satu hal yang sama. Mata yang sama-sama indah, hal kedua. Tapi sifat Panna Cotta yang manis itu sama sekali tidak dimiliki Zeus, tepat seperti kata Vincentio.     “Apa kaupikir aku bodoh?” tanya Zeus dengan melipat tangannya di depan d**a dan masih memandangku rendah dengan wajah terangkat.     “Apa?!”     “Lihat wajahmu itu, burung gagak saja tahu, kau sedang membohongi dirimu sendiri.”     Jangan tonjok wajahnya, Simca. Jangan sekarang.     “Apa yang ingin kaukatakan, Tuan?”     Zeus menghela napas panjang dan memasukkan sebelah tangannya ke dalam jas. Oh, sial, sial, sial! Itu tempat dia menyimpan pistolnya! Aku harusnya mungkin berlari sekencang yang kubisa. Tapi kedua kakiku terpaku di atas tanah.     Sebuah rokok dan pematiknya. Entah aku melongo lebar atau tidak, tapi aku bisa merasakan napasku lagi saat menyadari yang ia keluarkan dari saku bagian dalam jasnya adalah rokok dan pematik, bukan alat seorang penjagal.     “Jauhi Vincentio,” ucapnya singkat sembari memasukkan lagi pematiknya ke dalam saku.     “Kau terdengar seperti sedang cemburu.”     “Aku tidak peduli, aku terdengar seperti apa bagimu. Tapi kurasa apa yang kuucapkan sudah cukup jelas. Kau menyerah saja.”     Kenapa semua orang ingin mengaturku seenak jidat mereka?! Memangnya aku ini kelihatan seperti seorang yang penurut?!     “Jika tidak, memangnya apa yang akan kaulakukan? Menembak dadaku seperti apa yang kaulakukan pada seseorang di halaman bagian dalam labirin itu?”     “Seseorang di bagian dalam labirin? Apa yang sedang kaubicarakan, Nona?” tanya pria itu, dengan liciknya memasang senyum raja.    Dia benar! Aku tidak memiliki bukti apa pun bahwa aku menyaksikan peristiwa pembunuhan itu! Aku akan mencari cara nanti. Lihat saja, serigala psikopat narsistik homo yang sudah hilang akal! Alasan lain Vincentio tidak ingin aku berada di sekitar si Target; karena Zeus adalah seorang gay dan dia menyukai Vincentio. Mungkin Vincentio, entah bagaimana, tidak ingin aku tahu sesuatu tentang itu dan memilih untuk merahasiakannya sendirian.     “Terserah saja padamu, Tuan.” Entah mendapatkan keberanian dari mana, aku berjalan dengan tegas dan menghadap wajah Zeus dan bicara dengan lantang sambil terus mengikis jarak di antara kami. “Tapi jika ini berarti kau sedang mendeklarasikan bahwa kau dan aku adalah rival untuk mendapatkan Vincentio, aku menerima tantanganmu!”     Zeus terlihat cukup kaget, hingga matanya sedikit melebar. Aku bahkan tidak percaya aku sudah bicara begitu padanya. Tapi mulutku tidak bisa berhenti. Mungkin topeng yang sedang kukenakan ini menambah rasa percaya diriku, bahwa Zeus tidak akan melihat wajahku dan tidak akan mengenaliku di luar sana. Jadi, aku sekali lagi berkata dengan penuh percaya diri.     “Lagi pula aku tidak yakin, Vincentio menerima tawaran dari sesuatu yang menempel di antara kedua kakimu itu, Tuan. Sebaiknya kau menyerah saja.”     “Bodoh. Kau sama sekali tidak mengerti.”     “Begini saja,” ucapku memotong ucapannya. “Kita buat taruhan.”     “Taruhan?” tanya Zeus sedang bintang melompat-lompat di matanya yang dingin itu. Pria yang suka tantangan, kurasa dia akan menjadi rival yang cukup berat.     “Jika kau yang berhasil mendapatkan Vincentio, aku akan menyerahkan diriku padamu tanpa perlawanan. Namun, jika aku yang berhasil merebut Vincentio dari kekasihnya, kau harus berjanji kau akan menjauhi kami berdua untuk hidup dengan tenang. Aku juga tidak akan memberikan kesaksian apa pun tentang tubuh seseorang yang ada di halaman labirin.”     Hanya angin malam dingin yang menjawab tawaranku, sedangkan Zeus diam. Mata biru yang itu menatap kedua mataku dalam-dalam.     “Kau bersungguh-sungguh? Jadi, itu bukan bercandaan?”     “Tentu saja aku bersungguh-sunguh!”     “Baiklah kalau begitu, aku menerima taruhan ini.” Oh? Itu lebih mudah daripada yang kubayangkan. “Tapi aku ingin satu hal kondisi tambahan.”     “Kondisi tambahan?”     “Ya.” Pria itu menyemburkan asap rokok dari mulut dan hidungnya ke wajahku sampai aku terbatuk-batuk. “Aku ingin kau dan otak kecilmu itu mengingat setiap kata dalam kalimat taruhan yang kaubuat itu. Karena aku tidak akan mendengarkan keluhanmu saat kau menyerahkan diri padaku nanti, Nona.”[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD