"Jomblo happy memang pilihan hati, bukan karena tak mampu untuk cari kekasih, jom—
Elgo menyerngitkan dahi, ia tidak melanjutkan acara nyanyi dadakannya, ia berpikir sejenak, lalu berkata pada dirinya sendiri, "loh gue kan udah nggak jomblo lagi, nggak pantas ah gue nyanyi kayak gitu, kalo Raja yang nyanyi baru cocok, dia kan yang masih jomblo."
Elgo terbahak di tengah koridor, ini memang waktunya masih jam pelajaran, dan ia sudah ijin mau ke koperasi untuk membeli pulpen. Namun, tiba-tiba saja dari arah depan datanglah seorang cewek dan langsung menghambur ke dalam pelukannya. Elgo sedikit kaget, ia tidak siap mendapatkan pelukan seperti itu, matanya membola dan mengerjap berulang kali.
Menit pertama, Elgo membiarkan sang cewek menangis ke dalam pelukannya, tubuh Elgo terasa bergetar, ia juga merasa jika seragamnya basah oleh air mata cewek itu.
Lalu, Elgo memberanikan diri untuk menyentuh rambut cewek dipelukannya ini, dan rambut yang semula menutupi wajahnya seketika terlihat dengan jelas, Elgo terkejut bukan main. Rupanya cewek itu adalah Sashi, dan apa yang membuat cewek itu menangis seperti itu?
"Elgo, gue sayang sama lo. Lo jangan tinggalin gue, mau sampai kapan lo gantungin gue seperti ini? Please Go, lo mau ya jadi pacar gue? Gue jatuh cinta sama lo udah terlalu dalam, gue mau memiliki lo sepenuhnya. Gue sayang sama lo Go," ucap Sashi histeris, wajahnya masih tenggelam dalam pelukan Elgo.
"Gue nggak bisa Sas, udah ada cewek yang harus gue jaga perasaannya. Gue nggak mau ngecewain dia," sangkal Elgo cepat, ia memutuskan berusaha menyeret Sashi dari d**a bidangnya. Namun rupanya cekalan Sashi semakin kuat, hal itu pula menyulitkan Elgo untuk menghempaskan cewek itu. Ia hanya bisa bernapas panjang.
"Sampai kapan Go? Gue kapan dilihat oleh mata lo? Lo nggak pernah bersikap seperti itu sama gue? Lo nggak mikirin perasaan gue kayak gimana? Mau gue cuma satu, lo jadi pacar gue Go. Itu udah lebih dari cukup."
"Maaf, gue udah ada yang punya Sas, dan lebih baik lo lupain gue, jangan berharap apa-apa lagi dari gue. Gue nggak mau bikin lo tambah sakit, lo harus bisa lupain gue, gue yakin lo bisa, maaf Sas," ujar Elgo, kali ini ia sedikit bisa mengontrol emosinya. Setelah ia berhasil melepas Sashi dari pelukannya, Elgo berjalan menjauh dari cewek itu.
***
"Pangeran berkuda besi udah sampai di sini dari tadi dan mau mengantar tuan putri pulang ke rumahnya, ayo!" Elgo tersenyum amat lebar saat Sia sudah berdiri di ambang pintu kelasnya.
Sia terkejut bukan main, tetapi ia juga bisa mengontrolnya. Sia membalas dengan senyuman paling indah, kemudian ia mengangguk setuju.
"Eits, kayaknya ada yang kurang deh," celetuk Elgo sambil mengetuk-ngetukkan jari didagunya, ia seolah sedang berpikir kritis.
"Apaan kak?" Sia bertanya lugu, ia juga penasaran.
"Belum cium, sini cium dulu gih. Biar romantis," ujar Elgo penuh semangat, Sia tidak bisa membalas ucapan cowok itu karena tangannya sudah ditarik secara paksa. Lalu Elgo mendaratkan bibirnya ke arah kening Sia.
Dan cup! Dalam hitungan detik saja pipi Sia sudah menyemburkan warna merah, ia merasakan sesak napas saat mendapati sebuah kecupan ringan dari Elgo. Pipinya terasa panas, wajahnya menunduk karena malu.
"Udah, yuk pulang! Aku gandeng tangan kamu, ya?"
Sia mengangguk.
Elgo kemudian tersenyum manis, ia menggandeng tangan Sia disebelah kirinya, lalu tak lama kemudian ia menoleh karena Sia menghentikan langkah kakinya secara mendadak.
"Ada apa?" tanya Elgo dengan dahi berkenyit heran.
Sia langsung berkata ketidaknyamanan yang terbentuk ini, "kak boleh kakak gandeng aku disebelah kanan, soalnya Elgi selalu gandeng aku ditangan kanan, bukan kiri."
Elgo tidak terlalu paham, ia hanya mengangguk sekilas, Sia tersenyum penuh arti, lalu mulai pindah disisi yang lain. Entahlah, ia rasa Elgo adalah sosok pengganti Elgi yang ditakdirkan untuknya.
Setelah sampai di parkiran, Elgo langsung menyambar helm dan hendak memakaikannya dipuncak kepala Sia, namun beberapa detik kemudian alis tebalnya hampir tertaut karena Sia malah menghindar.
"Kenapa?"
Sia tersenyum miris, "aku mau pakai sendiri kak, Elgi bilang aku nggak boleh manja jadi orang, jadi sebisa mungkin aku harus mandiri, lagipula tangan aku masih berfungsi kok," tolak Sia secara halus, ia mulai mengambil helm dari tangan Elgo dan memakainya sendiri.
"Oh."
Setelah itu, mereka pun mulai berkendara pulang dari sekolah. Motor vespa Elgo membelah kepadatan jalanan ibu kota yang cukup padat.
"Kak," panggil Sia, ia menaikkan suaranya beberapa oktaf, takut Elgo tidak mendengar panggilannya.
Elgo bergumam, ia melirik Sia dari spion motornya, Elgo tersenyum manis, detik berikutnya ia sudah fokus ke jalan lagi.
"Boleh tanya sesuatu?"
"Boleh banget lah, emang mau tanya apa?"
Elgo mengelus tangan Sia yang melingkar dengan sempurna dipinggangnya. Sembari menunggu Sia angkat bicara, ia sudah menyela terlebih dahulu.
"Sia, mau denger aku ngomong sebentar?" Elgo menurunkan kecepatan motornya, ia tidak mau gadis yang sedang duduk di jok belakang ini tidak mendengar ucapannya.
"Iya, kakak dulu aja, nggak pa-pa, kok."
"Aku tadi ketemu Sashi, dan dia nangis sambil peluk aku tiba-tiba dari depan, aku nggak tau kenapa dia bersikap seperti itu. Kamu marah?"
Sia menghela napas, sudut bibirnya terangkat. Sia suka Elgo yang bersikap seperti ini, terbuka kepadanya. Memang pertanyaan itulah yang akan Sia ajukan, berhubung Elgo sudah memberitahunya terlebih dahulu, Sia lantas tersenyum manis, perasaannya kembali tenang, tidak gelisah seperti sebelumnya.
"Nggak kok, aku nggak marah. Kalo kak Elgo seperti ini, aku nggak bisa marah," sahut Sia sembari mengeratkan tangannya dipinggang Elgo. Karena Elgo sudah berkata jujur, Sia benar-benar tidak mempunyai hal lain untuk mendebat masalah ini lebih jauh lagi.
"Jadi makin sayang deh sama otak kamu," ucap Elgo.
"Ih, kok otak aku sih?"
"Iyalah, otak kamu kan pinter, berpikir bijak kayak tadi, dan nggak mudah cemburu."
Sia memutar matanya malas, "walaupun gitu, kak Elgo juga nggak boleh seenaknya bersikap semena-mena. Aku bakal cemburu, siapa yang nggak cemburu kalo pacarnya deket-deket sama cewek lain?"
Sia cemberut, sementara itu, Elgo malah terkekeh melihat raut wajah Sia dari kaca spion.
Tak lama kemudian, motor Elgo berhenti didepan rumah kecil Sia. Sedetik setelah Sia sudah turun dari motornya, Elgo ikut menyusul, ia melepas helmnya terlebih dahulu sebelum beranjak mendekati kekasihnya.
"Kak Elgo mau ngapain?"
Sia mundur satu langkah, tatapannya lurus menatap cowok jangkung dihadapannya.
"Mau lepasin helm kamu, sini biar romantis kayak di film-film," jelas Elgo.
Sia meringis, segera ia angkat suara sembari melepas helmnya sendiri.
"Kok dilepas sendiri sih? Aku kan udah bilang kalo aku yang bakal lepasin helm dikepala kamu." Mebdadak Elgo cemberut, namun Sia malah mendesah berat.
"Kan aku udah bilang, aku nggak boleh manja. Itu pesan Elgi dulu. Maaf, jadi aku nggak bisa kak."
Dua minggu kemudian.
Elgo bernapas lega, ini sudah genap dua minggu dirinya—yang merasa tampan ini— sudah berpacaran dengan Sia. Elgo tidak mau mengecewakan gadis itu.
Jujur saja, Elgo risi apabila Sia menyebut nama Elgi. Elgo tidak ingin Sia menyebut nama itu lagi. Sekarang sudah ada dirinya, kenapa masih saja menyematkan nama itu ketika menciptakan obrolan?
Dan, satu lagi. Elgo sebenarnya kecewa dengan Sia yang selalu menolak Elgo melakukan sesuatu hanya karena Elgi melarangnya. Sekarang Elgo sadar, bahwa Sia masih belum melupakan Elgi.
Pagi ini, ia sudah menunggu kekasihnya di halaman rumahnya. Setelah menunggu kurang lebih lima menit, seorang cewek dengan rambut yang sedikit lebih panjang dari sebelumnya sudah berdiri di lsamping motor Elgo, lengkap dengan sepasang sudut bibir yang terbentuk ke atas.
Elgo membalas senyuman itu, lalu tak lama kemudian tangannya terulur dan jatuh dihelm yang tergeletak di jok belakang. Secepat kilat ia menyambarnya dan menyerahkannya kepada Sia.
Elgo masih setia duduk diatas kuda besinya, ia tidak ada niatan untuk turun dari sana. Walaupun turun sekalipun, sudah pasti Sia akan menolak dipakaikan helm darinya.
"Udah kak, ayo berangkat!"
Sia menepuk pundak Elgo satu kali cukup keras setelah duduk dengan nyaman di jok, Elgo mengangguk lemas, kemudian ia mulai menyalakan motornya. Deru mesin motor terdengar, dan itu tandanya motor Elgo sudah melaju membelah jalan ibu kota pagi ini.
Beberapa menit kemudian motor Elgo sudah terparkir dengan sempurna di parkiran sekolah. Elgo memperhatikan Sia yang melepaskan helmnya. Sejujurnya Elgo ingin melakukan itu, namun apa daya jika Sia selalu menolaknya. Jadi, sebisa mungkin Elgo menahannya.
"Aku anter kamu sampai ke kelas," ucap Elgo, tangannya langsung menyambar tangan Sia.
Sia seketika melotot, ia langsung menoleh menatap tangan Elgo yang tertaut dengan jari-jemarinya. Setelah itu, Sia dapat bernapas lega, untung saja Elgo menggandeng tangannya di sebelah kanan.
Jangan dikira Elgo tidak menyadari akan hal itu, ia lalu tersenyum miris. Tanpa Sia memberitahu lagi, Elgo sendiri sudah paham akan maksud dari pacarnya ini.
Setelah sampai di depan kelas Sia, mereka berdua saling berhadapan. Elgo mengangguk satu kali, lalu berkata, "Belajar yang rajin, biar otaknya tambah pinter, kan kamu juga yang untung."
Sia mengangguk semangat.
"Ya udah, aku balik ke kelas dulu. Sampai ketemu nanti istirahat," kata Elgo, ia langsung berbalik, namun baru dua langkah ia berjalan menghindar dari tempat itu, sebuah tangan hangat mencegah tangannya, Elgo langsung berbalik badan menghadap ke arah Sia lagi, kali ini dengan sepasang alis menukik, lengkap dengan dahi berkerut. Seolah dengan ekspresi seperti itu Sia akan paham bahwa Elgo sangat membutuhkan jawaban.
"Kakak nggak ngacak rambut aku? Dulu waktu Elgi masih jadi pacar aku, dia selalu lakuin itu, aku mau kakak juga sama kayak dia," ucap Sia.
Entah kenapa hati Elgo seketika langsung dongkol, ia pun terpaksa mengangguk mengiyakan. Elgo akan senang hati mengacak rambut Sia apabila cewek itu tidak melibatkan nama Elgi, sebab Elgo merasa dirinya dan Elgi merupakan dua orang dengan kepribadian yang berbeda. Sia tidak seharusnya menyamakan itu semua. Sebab, di sini ada Elgo, bukan Elgi yang selalu Sia sebut itu.
Sia tersenyum sangat manis saat tangan lebar Elgo mengacak rambutnya dengan gemas, tak lama kemudian Elgo sudah pergi dengan perasaan yang masih saja limbung. Ia memejamkan matanya sebentar, mengatur napasnya, dan dilanjutkan dengan memijit keningnya yang mendadak merasakan pening.
Pelajaran yang membosankan akhirnya selesai ketika bel istirahat sudah berbunyi di sepanjang lorong sekolah.
"Go, gue laper, yuk per—"
Elgo mengangkat bokongnya dari kursi, lalu ia mendorong tangannya tinggi-tinggi ke udara, seolah dengan itu ia memberi isyarat kepada Raja agar tidak melanjutkan perkataannya.
"Gue mau pergi ke kantin sama Sia, selamat menjomblo."
Elgo terkekeh, dan ia mulai melesat meninggalkan Raja yang sudah mengundang segala cacian.
"Dasar manusia tengik, lihat aja lo nanti," maki Raja dengan frustrasi, sampai kaki meja dihadapannya ia tendang kuat-kuat. Sedetik kemudian ia memekik kesakitan.
Ditengah perjalanan, Elgo terus menyenandungkan lagu barat secara asal-asalan, yang paling penting dirinya merasa terhibur. Tak lama kemudian ia mengerem langkahnya sembari menghentikan seorang cewek yang masih kelas sepuluh.
"Eh, ada apa kak?" tanya gadis itu malu-malu.
"Gue mau tanya sama lo."
Gadis itu mengangguk.
"Gue kelihatan ganteng nggak?"
Elgo meniup telapak tangannya, lalu setelah itu ia mengarahkannya ke arah rambut dan menyugarkannya ke belakang.
Gadis dihadapan Elgo itu tersenyum sambil memilin bibir bawahnya, setelah itu anggukan kepalanya langsung dia tunjukan. Senyum Elgo seketika terbentuk, ia mengangguk satu kali dan mulai melangkah menjauh dan berhenti di kelas Sia.
Sementara itu, tepatnya di kantin, Sashi sedang bersama kedua temannya.
"Oh my God, lo harusnya bertindak tegas dong. Itu cewek laknat usah ambil Elgo dari lo, masa sih lo diem aja Sas? Yang ada dia makin ngelunjak tau nggak?!" gerutu Rena sebal, ia menatap Sashi yang masih dengan santainya menyeruput jus alpukatnya.
Setelah menenggak jus alpukatnya hingga tandas, sebab ia sangat kehausan, Sashi tersenyum sipit sambil memainkan kuku jarinya.
"Lo tenang aja, pulang sekolah lo ikut gue, lo berdua harus lihat gue lakuin dia kayak apa, gue nggak terima, ya, dia ambil cowok gue gitu aja. Lihat aja nanti siapa yang bakal menang,"
"Nah, gitu dong Sas, tuh cewek kutilan nggak ada cocok-cocoknya sama Elgo, kasih dia pelajaran biar dia kapok," ujar Selly yang duduk disamping kanan Sashi, ia mengangkat jarinya tinggi-tinggi ke udara, seolah dengan itu ia memberi isyarat kepada Sashi bahwa dirinya seratus persen berpihak padanya.
"Kalo gitu, bunuh aja dia sekalian. Biar mati dan nggak jadi benalu terus, gregetan gue kalo dia terus mepet sama Elgo. Bawahannya pingin nelan tuh bocah hidup-hidup. Ngeselin banget sumpah, sok kecentilan, sok akrab, sok polos, sok—"
Sashi mengangkat tangannya ke atas, kepalanya menengadah ke arah Rena yang berbicara panjang lebar seperti itu.
"Lo gila, ya Ren?!" Sashi menunjuk-nunjuk wajah Rena dengan jarinya, tatapannya menajam.
"Nah, gue salah apa coba, benar, kan?
"Bukan masalah bener atau salahnya Ren, kalau gue bunuh dia dan gue kepergok gimana? Gue nggak mau hidup gue mendekam dibalik jeruji besi s****n itu."
Sashi menghela napas kasar, menyandarkan punggungnya disandaran kursi kantin, ia pusing memikirkan cara Rena yang sangat berlebihan itu. Keningnya ia pijit.
"Iya, gue setuju sama Sashi. Ya kali harus bunuh segala, gue juga masih punya akal sehat kali," ujar Selly menuding Rena. Ia sebenarnya juga emosi, Rena sudah keterlaluan sekali, pemikirannya sudah mengarah ke tindak kriminal.
"Iya, gue kan nggak sengaja. Lo berdua jangan marah dong, gue nggak serius kok tadi. Udahlah lupain aja," sangkal Rena lirih, ia tidak bisa apa-apa kalau Sashi sudah bertindak tegas seperti itu, dirinya tidak bisa berkutik jika sudah tersudutkan seperti ini. Apalagi ditambah Selly, cewek itu juga berpihak pada Sashi.