"Hai Elgo!"
Dengan sepasang senyuman yang amat sangat lebar, Sashi melambaikan tangannya dengan manja, lalu dilanjutkan mengedipkan sebelah matanya. Mau tak mau juga, Elgo segera tersenyum, sebetulnya ia risi sekali. Bagaimana tidak? Setiap hati ia selalu dihampiri oleh nenek lampir satu ini.
Elgo sudah menolak Sashi saat cewek itu menembaknya, Elgo tidak suka sama sekali. Terlebih yang paling mencolok ialah sifatnya, Elgo tidak tertarik dengannya. Lagipula, siapa yang mau pacaran dengan orang yang suka menindas seperti cewek itu?
"Gue mau ke kantin, lo bisa lepasin tangan gue?" Elgo mencoba berbicara sehalus mungkin, sekarang tangan Sashi sedang bergelantung manja dilengannya yang kekar.
"Gue ikut dong, makan bareng yuk!"
Elgo meringis pelan sambil mencoba melepaskan rangkulan Sashi. Cowok itu sungguh tidak mau diganggu olehnya. Menyebalkan sekali.
"Sori gue nggak bisa, udah ada janji, bye!" Setelah kalimat itu terucap, dengan segera Elgo langsung cabut menghindar dari Sashi.
Di tempatnya, Sashi menggerutu tidak jelas, ia menginjakkan kakinya berulang kali di lantai. Penolakan dari Elgo sungguh membuatnya sebal. Sashi hanya ingin dibalas perasaaan sukanya. Kenapa rasanya susah sekali?
Elgo seratus persen tidak berbohong, ia memang ada urusan. Dengan langkah kaki yang lebar, cowok itu terus melangkah menuju pos satpam sekolah. Ia ada perlu dengan bapak cungkring itu, ini bukan si cungkring Pak Rozi, ini lain orang lagi. Hanya saja mereka berdua sama-sama tidak memiliki gumpalan lemak dalam tubuhnya.
Setelah sampai, dengan segera Elgo mengetuk jendela kaca, terlihat Pak Tegar sedang menulis sesuatu dibuku tulis, Elgo tidak terlalu kepo, ia kemudian mengendikkan bahu tak acuh. Sedetik setelah ketukan ke delapan berbunyi, wajah satpam cungkring itu terpapar ke arah Elgo, dia menatap Elgo dengan dahi bergelombang.
"Ada apa?" tanya satpam sekolah itu, dia memang terkenal judes. Sama sekali pelit dalam urusan yang namanya ijin. Pak Tegar selalu tidak mengijinkan siswa dan siswi keluar jika ada urusan yang penting dan mendesak. Menyebalkan sekali memang.
"Saya mau ijin—"
"Nggak boleh, sana balik ke kelas!"
Lihat saja itu, Elgo sama sekali belum menuntaskan kalimatnya, dengan wajah tegas dan sangarnya, Pak Tegar sudah menyela dengan cepat. Elgo lantas menghela napas berat sembari mengedarkan ekor matanya ke sekitar. Tak lupa, ia juga berkacak pinggang. Sepertinya satpam satu ini harus diberi pelajaran sekali-kali. Padahal di sini, Elgo tidak benar-benar mau ijin keluar, ia hanya mengetes satpam itu saja. Dan benar saja, pak tua itu tidak pernah berubah.
"Saya cuma mau ijin masa nggak boleh sih pak?" Elgo berkata ketus sembari melempar tatapan sinis tak suka kepada Pak Tegar.
"Ya memang nggak boleh, keputusan saya udah bulat dan nggak bisa diganggu gugat, lebih baik kamu balik ke kelas, atau saya tulis nama kamu dan saya serahkan ke guru BK. Mau kamu saya lakuin hal macam itu?"
"Rewel banget nih bapak kayak bayi yang nangis minta diganti popok, saya cuma mau ijin ambil bekal. Tadi ada artis ke sini titip bekal buat anaknya, kan?" celetuk Elgo dengan asal.
"Artis dari Hongkong? Itu cuma ibu-ibu yang nitip bekal buat anaknya. Tapi tunggu, wajahnya cantik sih, glowing-glowing gimana gitu!" Satpam sekolah menyebalkan itu terkikik kecil hingga senyum sinis Elgo terangkat.
"Terserah pak cungkring lah, saya cuma mau ijin ngambil itu, masih nggak boleh?"
Bukannya diberi bekal titipkan itu, Elgo malah mendapat pelototan mata merah dari satpam sekolah itu, maksudnya apaan coba? Nggak jelas banget, Elgo cuma mau mengambil titipan mamanya saja.
"Saya cuma mau ngambil bekal titipan mama saya pak, bukan minta mata bapak yang bulat itu, gimana sih?" Elgo menggerutu, meladeni sifat tidak jelas dari bapak-bapak tua cungkring berjenggot putih dihadapannya ini sungguh membuat dadanya bergerak naik turun dengan kesal. Menyebalkan sekali. Jika tidak ada kaca yang membatasi. Mungkin saja Elgo sudah menonjok mukanya yang jelek biar tambah ancur.
"Tadi kamu ngatain bapak apa? Cungkring?"
"Lah emang bapak cungkring kok, nggak terima?" Elgo memicingkan satu alisnya ke atas. Tapi, terserah bapak aja lah, saya butuh tepak makan itu. Buruan kasih, atau bapak mau dikasih upah dulu?"
Sebenarnya Elgo hanya becanda mengucapkan kalimat itu, ia tidak membawa uang sepersen pun, dompet miliknya tertinggal ditasnya. Tak sangka, ucapan tadi sungguh menjadi pusat mala petaka, satpam cungkring itu malah menganggukkan kepalanya dengan ekspresi yang terlihat sangat antusias. Elgo benar-benar bodoh, seharusnya ia tidak mengucapkan kalimat seperti itu.
"Boleh tuh, sini kasih bapak upah dulu."
"Nggak bisa, saya soalnya nggak bawa uang. Kalo pak satpam mau, saya boleh kasih sedikit bekal itu. Gimana? Mau nggak?"
Elgo berharap orang tua dihadapannya ini mengangguk, jika tidak, cerita ini akan berakhir panjang. Elgo tidak mau itu, ia berharap dengan cemas. Dan anggukan kepala dari satpam itu membuat Elgo bernapas lega. Tak butuh waktu lama, pintu ruangan itu dibuka dari dalam, terlihat manusia cungkring keluar dari sana dengan tepak makan berwarna pink yang bertengger ditangannya. Dengan segera Pak Tegar memberi benda itu kepada Elgo dan disambut Elgo dengan senyuman lebar.
Elgo tidak ingkar janji, perlu diingat, itu bukan nama tengahnya. Dengan cekatan ia membuka tepak makan dan memperlihatkan sandwich yang tampak sangat lezat. Elgo maupun Pak Tegar terlihat menelan ludahnya menahan lapar. Entah sejak kapan perutnya merasakan hal itu. Yang pasti, ini terjadi ketika makanan lezat itu terlihat oleh alam semesta.
"Nih buat bapak satu, dimakan jangan lupa. Kalo saya lihat bapak buang nih makanan, saya nggak segan-segan bakal bakar rumah bapak biar bapak jadi gelandangan. Mau bapak, ha?" ucap Elgo bernada mengancam, bersama dengan itu, ia mulai menutup tepak makanannya lagi.
"Makanan seenak ini saya mah nggak berani buang, mungkin kalo saya dapat titipan kayak gini lagi, saya makan sendiri aja."
Jawaban dari satpam cungkring itu membuat Elgo berdecak sebal, sebetulnya ia mau melangkah menjauh dari tempat itu, tetapi seketika urung karena mendengar suara tidak bersahabat itu.
"Oh lihat aja kalo bapak ngelakuin hal semacam itu, bakal saya laporin ke papa saya entar. Kalo bapak nggak tau, papa saya itu kerja di polsek deket sini. Bapak mau saya laporin, ha?!"
Seketika satpam itu menggeleng dengan cepat, dia menelan salivanya. Hal itu sudah menjadi pertanda bahwa satpam cungkring itu takut pada ancaman Elgo. Benar-benar gampang sekali dikibulin, padahal apa yang Elgo ucapkan sama sekali tidak ada fakta yang sesungguhnya, itu hanyalah bualan untuk membalas perlakuan pak tua itu.
"Iya iya, saya nggak berani. Tapi kalo mama kamu titip bekal lagi, kasih saya upah, ya? Nggak usah uang, cukup sebagian makanan itu aja, enak soalnya, hehehe."
***
Walaupun Sia percaya bahwa satpam sekolah terkenal sangat pelit bin medit mengijinkan siswa maupun siswi keluar sekolah, tetapi keputusan Sia tidak surut juga, ia tetap ingin mencoba meminta ijin, pokoknya Sia harus bisa keluar dari sekolah. Apapun yang akan dirinya dapatkan nanti, setidaknya Sia harus mencobanya dulu.
Bu Hilda, guru sejarah Indonesia menyuruh Sia untuk pulang ke rumahnya karena cewek itu tidak membawa buku tugas. Sialnya lagi, tugas tersebut harus di kumpulkan sekarang juga. Sia tidak bisa menolaknya, ini karena kesalahan dirinya. Sia begitu ceroboh, padahal tugas yang diberikan sudah ia kerjakan dari jauh-jauh hari.
Walaupun begitu, tetap saja Sia merasa berat hati, sebelum mengambil langkah menuju rumahnya, ia sendiri harus melewati Pak Tegar, satpam cungkring yang sudah puluhan tahun mengabdi di sekolah ini.
Dengan tergesa, Sia mengambil langkah lebar, ia terus berlari. Sia tidak mau menunda waktu lagi, sifat Bu Hilda yang suka labil membuat Sia mati kutu. Bisa jadi, beliau malah berubah pikiran. Tidak, Sia tidak mau hal itu terjadi.
Buk!
Astaga, Sia terjengit kaget, pupil matanya sudah melebar, mulutnya hampir terbuka sempurna, ia sungguh terburu-buru sampai harus menabrak orang segala. Sia lalu menggigit bibir bawahnya, apalagi ketika menyadari siapa gerangan orang yang ditabrak. Dia Elgo, salah satu pentolan siswa di sekolahnya.
Sia takut, mungkin saja Elgo akan marah besar karena dirinya sudah menabraknya, dan tidak sampai di situ, kotak makan yang tengah dibawa Elgo juga ikut terhempas di tanah. Sia benar-benar merutuki dirinya, melihat makanan yang tercecer di tanah membuat Sia semakin gugup.
Elgo bangkit dari sungkurannya, lantas ia mulai membersihkan seragamnya yang sedikit kotor terkena debu, kemudian pandangannya menatap ke sekeliling untuk mencari bekal pemberian mamanya. Dan tepat saat itulah bola matanya hampir saja keluar.
"Ya ampun, kotak makan mama gue, kalo kotor begini bisa mampus gue!"
Elgo dengan segera menyerobot kotak bekal itu yang masih tergeletak di tanah, kemudian ia mengusapnya dengan jarinya. Elgo tidak akan membiarkan benda berwarna pink itu kotor. Oke, ini terlalu berlebihan memang. Tapi mamanya bisa-bisa memang marah, tupperware adalah benda kesayangan mamanya.
Dahi Sia sudah berkerut, Elgo memang sangat aneh. Bukannya sayang kepada makanan yang sudah terbuang dengan sia-sia, cowok itu malah menyayangkan kotak bekal yang kotor. Sia mengembuskan napasnya dengan gusar, sedetik kemudian ia beringsut berjalan menghampiri Elgo, mau tak mau ia harus meminta maaf karena dirinyalah yang menjadi sumber masalah di sini.
"Kak, aku mohon maaf, buru-buru banget soalnya."
Elgo langsung mengangkat kepalanya ke atas, lalu ia menemukan Sia berdiri di hadapannya, ia ingat betul gadis satu ini. Elgo pernah bertemu dengannya saat sedang memetik buah mangga beberapa hari yang lalu. Tidak hanya itu saja, gadis dihadapannya ini juga mengaku sudah bertemu dengannya di kantin dan Elgo telah menolongnya. Soal itu, Elgo benar-benar tidak ingat.
"Nggak pa-pa, bukan salah lo. Tapi tepak makan mama gue gimana nih? Jadi kotor gini." Elgo berkata dengan memanyunkan bibirnya, jari-jari tangannya masih bergerak dengan lincah membersihkan benda itu.
"Kak, itu makanannya gimana? Aku nggak sengaja soalnya, nanti aku ganti deh," putus Sia akhirnya, ia merasa sangat tidak enak. Perasaan bersalah masih menyerangnya dari belakang.
"Lupakan itu, lo mau ke mana buru-buru gitu?" Elgo kini fokus pada Sia, menatapnya dengan alis yang terangkat satu, ia menunggu jawaban dari gadis di hadapannya ini.
"Mau ijin pulang sama Pak Tegar, mau ambil buku tugas. Ketinggalan soalnya."
Elgo menghela napas pendek, "Lo nggak bisa ijin sama satpam cungkring itu. Orang gue cuma mau minta bekal gue aja susah. Lo tau sendiri satpam jelek itu nggak pernah ngijinin murid keluar. Kalo lo nekat, bisa-bisa dia laporin elo ke guru BK, gue tadi juga diancam," cerocos Elgo panjang lebar.
Sia tampak berpikir sejenak, menimbang-nimbang ucapan kakak kelasnya ini, akhirnya setelah berpikir beberapa saat, ia pun menjawab, "tapi gimana dong kak? Aku kan mau ambil buku tugas. Lagian ini juga perintah dari Bu Hilda, masa sih nggak boleh?"
Elgo membuang napas panjang lagi, tak lupa putaran bola matanya sudah ia tunjukkan. "Percaya sama gue, bakal susah. Bu Hilda lagian juga guru plin plan tingkat akut tuh, bisa jadi dia malah nggak nerima tugas lo itu saat lo sendiri mau ngumpulin tugas, sia-sia aja kan jadinya?"
Elgo jelas mengenal siapa guru yang di maksud Sia itu, saat kelas sebelas dia juga pernah di ajar oleh Bu Hilda. Elgo jadi teringat, dulu ia pernah disuruh guru itu untuk membeli rujak di kantin, dan saat Elgo membelikannya, guru itu malah menolak dengan mentah-mentah. Menyebalkan sekali memang. Elgo sampai sekarang tentu ingat peristiwa itu.
"Jadi gimana? Aku cuma nggak mau nilai sejarah Indonesia jadi kosong. Semoga aja Bu Hilda mau nerima tugasku kak. Mencoba lebih baik kan, daripada enggak sama sekali?"
"Iya sih, daripada lo berdebat sama satpam cungkring itu dan membuang banyak waktu dan tenaga, mending elo lewat pagar belakang aja deh," kata Elgo menjelaskan.
"Pagar belakang? Maksudnya naik gitu?"
Elgo mengangguk cepat, Sia tahu kalau pagar belakang sekolah selalu dikunci. Hanya naik ke atas satu-satunya cara untuk melewati dinding pembatas itu. Sia berpikir sejenak, perkataan Elgo ada benarnya juga memang. Tapi, itu artinya Sia melanggar peraturan sekolah. Dan Sia sedikit takut, jujur saja.
"Tapi aku nggak bisa naik soalnya pa—"
Belum juga Sia menuntaskan kalimatnya, Elgo sudah menariknya dengan kencang. Sia sedikit tersentak lalu terhuyung dan terseret oleh Elgo. Cowok itu terus menggandengnya, Sia mau tidak mau harus ikut. Sia sudah tahu Elgo mau membawanya ke mana, tidak usah dijelaskan lagi, Sia sudah mengetahuinya.
Sia terus berlari membuntuti Elgo, sesekali ia melirik genggaman tangan cowok itu yang masih membungkus lengannya yang ramping. Jantung Sia sudah berdegup dengan kencang, darahnya sudah berdesir dengan halus. Entahlah, Sia harusnya tidak berurusan dengan cowok itu lagi. Tetapi entah kenapa, takdir selalu mempermainkan dirinya dengan cara mempertemukannya dengan cowok itu. Sia rasa, ia tidak bisa mengelak itu semua.
Setelah sampai di tempat, Elgo melepaskan tangannya, lalu ia berkacak pinggang, wajahnya terangkat ke atas, meneliti pagar belakang sekolah yang menjulang tinggi. Pagar dihadapannya ini terbuat dari besi, dan jika tidak di gembok, mereka bisa membukanya dan keluar begitu mudah. Tetapi nyatanya ini sungguh sulit. Jika ingin keluar, mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk memanjatnya.
Sia ikut menatap ke atas, ia meneguk ludahnya, bagaimana caranya dia naik? Oke, waktu kecil Sia memang pandai menaiki pohon, dan itu sama sekali tidak berlaku untuk sekarang. Sia sudah tidak bisa melakukan hal itu lagi. Terlebih lagi, sekarang dirinya tengah memakai rok. Kalau Elgo melihatnya, bisa gawat dan panjang urusannya. Sia harus menolak ini secepat mungkin, ia rasa memanjat pagar pembatas ini bukanlah ide yang baik dan pas.
Lagipula Sia juga takut dengan konsekuensinya. Tapi, ia butuh buku tugas, yang mana Sia harus keluar. Benar, cuma ini jalan satu-satunya.
Dan tekad Sia pun akhirnya sudah bulat, ia harus memanjat pagar dihadapannya ini.