22. KITA PACARAN, KAN?

2208 Words
Kata-kata Sia sama sekali tidak masuk ke dalam indera pendengaran Elgo, seolah telinga cowok itu tersumbat sesuatu sampai suara Sia tidak dapat didengar. Elgo lantas menarik tangan Sia secara paksa, alhasil cewek itu tersentak dan ikut terhuyung ke depan. "Aku nggak mau ikut kak," rengek Sia, tangan Elgo yang membaluti lengan tangan Sia yang ramping masih berusaha Sia lepaskan. Namun nyatanya, usahanya tak membuahkan hasil, tangan Elgo terlalu kuat. "Udah ikut aja, kenapa nggak mau? Lo nggak suka?" Elgo berhenti berjalan, begitupun dengan Sia, tatapan mereka saling terkunci. "Enggak gitu kak, lagian kakak kenapa ngajak aku ke mal? Emang mau ngapain?" "Mau buang air, bosen pipis di rumah terus, kali-kali di sini lah, ayo!" "Tap— Ucapan Sia langsung terpotong karena Elgo kembali menyeretnya, Sia akhirnya pasrah dan menurut, walaupun sangat malas. Tak lama kemudian Sia merotasikan kedua bola matanya. Apa yang Elgo katakan tadi? Cowok itu ke sini mau numpang buang air? Ish menyebalkan sekali. Sia baru menemukan manusia aneh seperti Elgo. Beberapa menit kemudian mereka sudah memasuki mal, awalnya Sia ragu dan tidak percaya akan ucapan Elgo, namun begitu melihat toilet dihadapannya, kini ia sudah mempercayainya. Jadi Elgo benar mau buang air di toilet mal? Sia masih tak habis pikir, sedetik setelahnya tatapannya beralih pada Elgo. "Kakak beneran mau ke sana?" Sia bertanya dengan ragu, ekor matanya lurus, menunggu jawaban. "Masa sih cowok ganteng kayak gue gini bohong sama lo, gue beneran mau buang air, lo tunggu sini sebentar, ya? Ingat, jangan pergi ke mana-mana, cukup di bumi aja, jangan nyasar di planet orang, apalagi sampai nyasar ke pluto, susah kalau nyari ke sana, soalnya dia udah enggak di anggep planet lagi." "Iya iya, sana buruan, jangan lama-lama tapi." Dengan ketus, Sia melambaikan tangannya, seolah memberi isyarat pada Elgo agar segera menjauh dan masuk ke dalam bilik toilet. Setelahnya Sia menepi dan bersandar pada tembok yang jaraknya tidak jauh dari toilet. "Gue nggak bakal lama, orang toiletnya aja di depan mulut gue, emang ada di Venus?" Menggeram sebal, Sia menyahut malas, "bukan gitu kak, maksud aku buang air kecilnya jangan kelamaan." "Nggak lama Sia, kan gue udah bilang kalau toiletnya deket, lo nggak lihat tulisan toilet segede gaban itu, atau jangan-jangan lo nggak tahu fungsi mata lo buat apa lagi?" Elgo sudah mendelik, namun Sia seakan menulikan telinganya, perkataan Elgo seharusnya tidak Sia gubris dari tadi. Melihat Sia membungkamkan mulutnya, Elgo semakin gelisah, ia mendekat ke arah Sia, lalu tangannya terangkat dan jatuh di pundak gadis itu, sedetik kemudian Elgo menggoncangkan bahu Sia berulang kali. "Lo beneran nggak tau fungsi mata buat apa? Kok diem gitu, Sia jawab gue! Jangan diem mulu kayak gitu, jangan bikin gue pipis di sini." Kesekian kakinya, putaran bola matanya sudah Sia lakukan, kali ini diiringi dengan menghempas tangan Elgo secara kasar. "Apa-apaan sih kak, jangan aneh-aneh deh. Buruan masuk sana, aku nggak pa-pa." Elgo pun akhirnya menuruti perkataan Sia, cowok itu mengangguk sebelum akhirnya masuk ke dalam bilik toilet. Sepuluh menit rasanya seperti satu jam, Sia bisa bernapas lega saat melihat Elgo sudah keluar dari bilik toilet, napasnya kembali normal. Sia sudah bosan menunggu, lalu ia memulai pembicaraan setelah Elgo sudah berada didekatnya. "Ayo kak, pulang. Udah sore banget nih," ujar Sia tak sabar lagi. Elgo tak menghiraukan Sia berbicara, asik pada kegiatannya sendiri, cowok itu tengah menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya, seperti orang kedinginan yang berusaha mencari kehangatan dengan cara seperti itu. "Kenapa? Kak Elgo kedinginan? Kok tiba-tiba?" "Iya, dingin banget airnya di dalem, kotoran gue juga sampe berubah bentuk jadi es batu tuh, saking dinginnya sih," celetuk Elgo ngawur. "Jangan alay deh kak, buruan pulang, jangan banyak alasan. Aku udah nurutin kemauan kakak untuk nunggu di sini, sekarang gantian kakak yang turutin kemauan aku," kata Sia merajuk. "Tangan gue dingin banget, berasa pengin ada yang megang." "Jangan modus terus, ayo pulang!" Entah itu menjadi rengekan Sia yang ke berapa, tetapi Elgo tak peduli. Walaupun Sia sudah berdecak sebal sembari mengentak-entakan kakinya ke lantai, Elgo juga sama sekali tak mau menurut. Sia berasa seperti anak kecil yang sedang merengek pada ayahnya. "Ya udah gandeng tangan gue dulu, dingin banget nih." Seperti biasa, Sia tak menurut, dan jika gadis itu melakukan itu, Elgo sudah bertindak lebih lanjut dengan menarik tangan Sia dengan paksa. Sia awalnya kaget dan meronta minta dilepaskan, namun entah kenapa ketika detik kian berlanjut, ia semakin nyaman, telapak tangan Elgo begitu pas digenggamannya, seolah sudah ditakdirkan Tuhan dan diciptakan hanya untuk Sia. Mereka berdua berjalan bersisihan, Sia dengan segala tekadnya masih berusaha menetralisir degup jantungnya, sementara Elgo malah senyum-senyum sendiri. Jari jemari mereka semakin tertaut, sesekali Sia menggigit bibir bawahnya untuk mengurangi rasa canggung yang masih saja bergelantung di raganya. "Kenapa berhenti kak?" Sia mendongakkan wajahnya ke atas lantaran Elgo mengerem tungkai kakinya. "Gue mau beli sesuatu dulu, ini penting banget soalnya," ujar Elgo, sejenak ia memandangi Sia, lalu kembali terfokus ke arah sesuatu. "Lo mau nemenin gue dulu?" Entah kenapa kali ini Sia mengangguk, tidak ada kesan dipaksakan, ia kemudian mengangguk satu kali, mulai mengekori Elgo yang sudah berjalan terlebih dahulu memasuki sebuah toko. Setelah sudah sampai di sana, Elgo bergerak menuju mbak-mbak yang sedang sibuk merapikan pakaian agar rapi. "Mbak!" Elgo memanggil dengan suara berat, kemudian wanita itu langsung mendongak, menatap Elgo seolah menunggu perkataan selanjutnya. "Di sini jualan sempak nggak? Soalnya sempak saya habis, sebagian sedang di cuci dan sebagian lagi ilang dicuri tikus. Mbak tahu sendiri kan, kalo sekarang lagi musim hujan? Ini saya juga pake punya mama saya, jangan bilang-bilang mama saya ya mbak, soalnya dia nggak tau kalo tadi malam saya nyelinap ke kamarnya dan ambil barang itu," ujar Elgo panjang lebar. Si mbak tadi sempat melongo, namun tak sedikit pula berusaha menutup mulutnya, tawanya hampir saja menyembur keluar. Harusnya Elgo tidak usah memperjelas ucapannya seperti itu, Sia yang berada tepat disamping cowok itu juga tak bisa menahan tawanya. Jadi, Elgo ke sini cuma mau ke toilet dan beli sempak? Ada-ada saja kelakuannya cowok itu. "Kok diem sih mbak, ada nggak?" tanya Elgo sekali lagi karena mbak-mbak dihadapannya masih saja membungkamkan mulutnya. "Eh, ada-ada." Si mbak tadi terlihat gugup, masih sesekali tertawa, lalu sebelum melesat pergi, ia kembali menoleh pada Elgo. "Ukurannya apa mas?" "Sia, ukuran sempak gue apa?" Elgo menoleh ke samping, bertanya pada Sia. Sementara Sia langsung melotot tajam. "Kak Elgo kok tanya aku sih? Ya mana aku tahu, dasar aneh." Sia mencibir, melipat kedua tangannya di atas d**a, ia sebenarnya sedang menahan malu saat ini. "Ya kali lo tahu gitu, perkiraan lo aja gimana?" "Nggak tau kak, jangan aneh deh. Kakak kan, yang biasanya make. Kenapa malah tanya aku?" kata Sia sembari merotasikan bola matanya. Elgo langsung mendengkus kasar, ditatapnya mbak-mbak tadi yang sedang menunggu, lalu Elgo berkata dengan malas. "Ukurannya L aja lah mbak, tapi nanti kalo kekecilan boleh tuker, kan?" *** "Eh Sas, itu bukannya Elgo, kan? Kok jalan sama sih kutu rambut sih?" Tiba-tiba saja Sashi memberhentikan langkah kakinya, ia menatap Rena yang beberapa detik lalu melayangkan perkataan. Alis Sashi naik satu ke atas, seolah bertanya dengan ekspresi seperti itu. "Itu Sas, lihat aja deh, nyebelin banget tuh cewek, kita harus kasih dia pelajaran lagi kalo kayak gitu, nggak kapok tuh anak," ujar Selly ikut-ikutan. Dari jarak kurang lebih lima meter mereka bertiga melihat Elgo dan Sia yang sedang berjalan. Air muka Sashi sudah merah bak kepiting rebus, tanpa ucapan lagi, ia sudah mengayunkan tungkai kakinya, kali ini ia mengambil langkah lebih cepat. Setelah jaraknya semakin terkikis dan kini menyisahkan satu meter dari Elgo, Sashi memutuskan untuk bersembunyi dibalik sebuah mobil berwarna merah. Dan otomatis diikuti oleh dua anak buahnya, Selly dan Rena. Senyum sinis Elgo tercetak jelas, ia sudah menyadari sedari tadi bahwa Sashi sedang bersembunyi dan memperhatikan gerak-geriknya. Elgo lalu memutar tubuhnya hingga kini menatap Sia, sedetik kemudian ia pun berkata, "Sia, makasih lo udah nganterin gue, lo bukan cewek ganjen yang selalu mencari perhatian dari gue kok." Elgo berkata dengan keras, Sashi yang mendengar itu langsung merasa tersindir dari ucapan Elgo, bibir merahnya sudah dia gigit. Sementara Sia yang mendengar itu sedikit terkejut. "Kok kakak tiba-tiba ngomong kayak gitu sih, lagian aku ngapain cari perhatian kakak, emang kakak artis?" Sia mencibir malas. "Nggak pa-pa kok, dan kalo setiap bel istirahat bunyi gue bakal ke kelas lo," ujar Elgo masih bertahan dengan suara kerasnya. Sia tidak tahu maksud Elgo menaikkan suaranya beberapa oktaf itu agar Sashi mendengarnya. "Ngapain ke kelas aku? Nggak usah kak, dan kakak ngomongnya jangan keras-keras kayak gitu dong, malu tau di lihatin orang-orang," ujar Sia, suaranya terdengar minim, ia menarik-narik ujung seragam Elgo. "Ngapain malu, lo sekarang kan pacar gue," ujar Elgo blak-blakan, sebelum Sia angkat suara, Elgo sudah berjalan terlebih dahulu. Sia langsung mengejarnya, ia berani bertaruh apapun kalau telinganya masih berfungsi dengan baik, cepat-cepat ia ingin menumpahkan kata-kata yang kini tertahan dibibirnya, Elgo harus tanggung jawab atas perkataannya barusan. Apa katanya? Pacar? Sia bahkan tidak berpikir sampai sejauh itu. Di tempat lain, Sashi dan kedua antek-anteknya secara serempak langsung membentuk matanya menyerupai bola, mereka seolah tidak percaya bahwa Elgo sudah berpacaran dengan Sia. Tak tahan, Sashi menggeram frustrasi, bahkan ia tak menyadari tangannya sudah terkepal. Lalu ia membuang muka, wajahnya masih merah padam. "Kak Elgo, tunggu!" teriak Sia sambil berlari, suaranya keras. Berharap Elgo berhenti. Walaupun cowok itu masih terus melangkah menjauh, tetapi Sia tak mau menyerah. Dan akhirnya berhasil, langkahnya sudah sejajar dengan langkah Elgo. Sia memang sedikit kesulitan menyeimbangi gerakan tungkai kaki Elgo yang panjang itu. "Kenapa kak? Kok kak Elgo jalannya cepet banget sih?" "Gue lupa angkat jemuran, sempak gue masih di belakang rumah. Mendung banget lagi," ujar Elgo, ia berhenti setelah sampai di motornya, lalu mengangkat kepalanya ke atas, melihat awan hitam yang memanyungi kawasan daerah metrapolitan ini. Sia yang menatap Elgo akhirnya mengikuti mendongakkan wajahnya, hanya saja tangan Sia ikut terangkat, mencoba merasakan tetes air hujan. Namun, beberapa detik Sia tidak merasa telapak tangannya basah, dan itu tandanya awan hitam di atas belum menangis. Beberapa menit kemudian motor vespa Elgo sudah melaju, kecepatan motornya bertambah cepat, ia tidak mau terjebak hujan, angin dingin sudah berembus kencang. Merasa terlalu hening, akhirnya dengan penuh inisiatif yang tinggi, Sia berujar dengan ragu. "Maksud kak Elgo bilang aku pacar kakak itu apa? Kapan kita pacaran?" Sia menggigit bibir bawahnya, ia sebenarnya malu bukan main bertanya seperti itu. Tapi pertanyaan itu patut untuk diajukan sekarang. Jika tidak, nanti malam Sia pasti tidak bisa tidur karena terus berkelana dalam pikiran liarnya. Sia butuh penjelasan dari cowok itu. "Lupakan ajalah, tapi kalo lo nggak keberatan ya terserah elo, banyak untungnya loh jadi pacar gue. Gue itu orangnya perhatian, baik hati, nggak sombong, udah nerapin kesepuluh dasadharma pramuka, nerapin kelima sila dalam Pancasila, emang apa kurangnya gue? Yang paling penting gue sayang sama cewek, dan cewek itu adalah elo. Dan oh ya satu lagi, jangan lupakan muka gue yang ganteng ini." Pipi Sia sudah terasa sangat panas, untung saja Elgo tidak melihat pipinya yang memerah bak kepiting rebus. Hanya kata-kata sederhana, tetapi kenapa hati Sia terasa terbang sampai langit ke tujuh? Oke, itu memang sangat berlebihan, tetapi nyatanya memang seperti itu yang sedang Sia rasakan. Elgo tersenyum manis, tatapannya masih fokus pada jalanan. Lalu sedetik kemudian ia kembali berkata. "Gue sebenarnya juga nggak kepikiran mau nembak lo sih, jujur aja kalo gue itu belum suka banget sama lo, tapi gue mau bikin lo nyaman sama gue dulu, gue nggak bisa jauh sama lo." Kalo nggak suka, kenapa nggak bisa jauh dari gue? Aneh. Sia membatin, ia hanya mengangguk mengiyakan. Selepas itu, semua keadaan kembali senyap, ada jeda panjang diantara mereka, sampai akhirnya suara Elgo menjadi pemecah keheningan yang sempat terjadi. "Gimana?" tanya Elgo. "Gimana apanya?" Sia nampak bingung, terlalu ambigu perkataan Elgo barusan. Helaan napas lolos dari lubang hidung Elgo, mendengkus dengan kasar, ia kembali menyuarakan kalimat selanjutnya. "Lo pacar gue kan, sekarang?" Sia diam, memalingkan wajahnya ke sembarang arah, ia tidak tau harus merespons seperti apa, otaknya sedang mengepul mencari kata-kata yang pas. "Nggak tau kak, kalo kak Elgo nggak keberatan kasih aku waktu dulu." "Oh, oke." Rasa bimbang mulai berdatangan ke arah Sia, bingung harus mengambil tindakan seperti apa, ia masih sayang dengan Elgi, dan tidak ada pikiran untuk meninggalkan cowok itu, namun disatu sisi, hatinya juga sudah nyaman dengan keberadaan Elgo. Karena cowok itulah yang membuat hari-hari Sia sedikit tidak terlalu sunyi. Namun, kalau Sia menerima Elgo menjadi pacarnya, banyak orang yang tersakiti ketika Sia menjalin hubungan dengan Elgo. Terutama Sashi, sudah pasti cewek itu akan marah besar kepadanya. Haruskah Sia memilih mengorbankan hatinya demi orang lain? Dan satu lagi, Sia takut jika Elgi akan datang setelah dirinya menerima cinta dari Elgo. Apa reaksi yang akan dia berikan? Sia tak bisa berpikir lagi, buntu sudah jalan pikirannya, Elgi pasti akan kecewa padanya. Tetapi, Sia tidak bisa menolak kalau dirinya sudah nyaman dengan Elgo, cowok itu banyak mengubahnya, tingkah konyolnya menang kadang membuat Sia memutar matanya, tetapi pesona dari Elgo tidak bisa Sia hilangkan, cowok itu memang benar-benar beda dari yang lain. Dari perbedaan itulah Sia sudah mulai tertarik padanya. Kadang Sia juga merasa jenuh sendiri, tidak ada orang di dunia ini yang suka menunggu sesuatu. Sia tidak bisa mendeteksi Elgi akan datang atau tidak. Sekadar tahu alasan dia pergi meninggalkannya saja Sia tidak tahu sama sekali. Kurang sabar seberapa Sia yang sudah menunggu Elgi selama satu tahun lebih? Mungkin hanya Sia saja yang masih bertahan pada titik itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD