Chapter 4

1982 Words
Inggih Ibu ... Nayaka menatap wajah Nastiti sambil tersenyum, mengelus anak-anak rambut di kening Nastiti selalu mengingatkannya pada Lyora. Di mana kau Ly? Kau sehat kan? Apakah kau hamil juga? Apa kau ingat aku Ly? Nayaka berpikir dan agak kaget saat tahu kandungan Nastiti telah hampir lima bulan, artinya dia telah lama menikmati tubuh belia itu tanpa berpikir untuk segera menikahinya. Nayaka akui ia seolah menemukan oase penghilang dahaga akan kerinduannya pada Lyora, tapi untuk menikahi Nastiti ia agak ragu. Ia tidak ingin menjadi laki-laki b******k tapi mengikat diri pada wanita yang tak ia cintai khawatir akan terjadi lagi seperti kisahnya dengan wanita lain yang kini telah melahirkan anaknya, Anya, demikian juga dengan Nirmala. Ia tak ingin pernikahannya hambar, dan berakhir mengenaskan. Kembali Nayaka ingat telepon ibunya, dan ia tak bisa menunda pernikahannya lagi. Ibunya bukan tipe wanita yang bisa menerima wanita hamil lebih dulu sebelum menikah. Ia tak ingin mengulang kesalahan yang sama seperti pada Anya. Kala itu ibunya menatap dengan sedih saat tahu Anya telah hamil. Rencana Nayaka setelah ia menikahi Nastiti baru ia akan segera mendatangi ibundanya yang terlihat semakin kurus sejak bapaknya meninggal. Nayaka akhirnya mengambil jalan pintas besok ia akan segera mengurus semua pernikahan secara agama dan sederhana, ia akan minta tolong pada anak buahnya agar secepatnya mengurus pernikahannya dengan Nastiti. *** Seminggu kemudian ... Lestari terisak saat melihat Nayaka dan entah wanita mana lagi yang ia bawa perutnya mulai terlihat jika hamil. Meski belum benar-benar terlihat tapi ia tahu jika wanita yang selalu menunduk di depannya sedang hamil. Wajahnya terlihat sangat belia dan lugu, hanya menunduk saat Nayaka mengatakan jika mereka telah menikah. Memohon ampun pada ibunya karena tak memberitahu kabar membahagiakan itu. "Lakukan apa yang kau suka anakku, tapi ingat jangan sembarangan kau menebar benih, kelak akan mendatangkan masalah dalam hidupmu." Lestari menatap wanita muda berbadan ringkih di hadapannya. Masih saja menunduk dan tak tahu harus berbuat apa. "Siapa namamu Nduk?" Pertanyaan Lestari membuat Nastiti mengangkat wajahnya. Terlihat gugup dan menoleh sekilas pada Nayaka, Nayaka menggenggam jemarinya, mencoba memberi kekuatan pada istri mungilnya. "Nastiti, Ibu." Suara pelan dan gemetar Nastiti membuat Lestari iba, jika dilihat dari penampilan sederhananya, Nastiti mungkin bukan dari keluarga berada, meski baju yang saat ini ia kenakan bukan barang murah. Anaknya telah merawatnya dengan baik namun sisa-sisa ketakutan di wajah Nastiti meyakinkan Lestari jika ia belum terbiasa berhadapan dengan orang yang strata ekonominya lebih baik. "Ibu dan Bapakmu masih ada?" Pertanyaan yang mau tidak mau membuat Nastiti semakin merasa kecil dan tak berdaya. "Ibu baru saja meninggal, belum satu tahun, sedang Bapak meninggalkan kami saat saya masih kecil, saya hanya ingat jika Bapak yang sabar tiba-tiba berubah dan mengusir kami dari rumah Bapak yang megah, akhirnya kami bertahan setelah ditolong oleh seseorang, menyewakan rumah petak pada kami dan Ibu berjualan kue agar kami bisa bertahan hidup." Akhirnya Nastiti menemukan suaranya. Lancar bercerita masa lalunya yang menyedihkan. Lestari menghela napas dengan berat mendengarkan kisah yang rasanya klasik namun tetap menyesakkan d**a. "Usia kandunganku berapa bulan cah ayu?" "Hampir lima bulan Ibu." "Tinggallah di sini, Ibu akan merawatmu, ada beberapa orang pembantu juga yang akan membuat tubuh kecilmu lebih berisi, orang hamil harus sehat, hampir lima bulan kandunganmu tapi terlihat agak rata, hanya buncit sedikit." Nayaka mengelus punggung tangan Nastiti dan menganggukkan kepalanya, mencoba menawari ajakan ibunya untuk tinggal di rumah besar itu. "Saya terserah Mas saja," sahut Nastiti pelan. "Yah, biar di sini saja ya Sayang, agar aku tenang, selama ini aku khawatir kau selalu sendiri di apartemen jika aku menginap di rumah ini atau ke kantor," ujar Nayaka. Lestari tersenyum bahagia, meski masih terlihat sisa kesedihan karena selalu saja mengingat almarhum suaminya, paling tidak kehadiran Nastiti bisa mengalihkan kesedihannya karena sering mengingat almarhum suaminya, Anya dan juga Nirmala yang pergi dari hidupnya. Bab 5 Luka Sejak kehadiran Nastiti di rumah besar itu, Lestari tak lagi merasa kesepian. Ia merawat Nastiti bersama Mbak Jum, pembantunya, layaknya ia merawat Anya dulu, hanya wanita ringkih yang kini menjadi istri anaknya itu lebih sering mual dan herannya lagi jika ia melewati kamar Nayaka yang sekarang ditempati Nayaka dan Nastiti, Lestari sering mendengar aktivitas panas di kamar itu jika Nayaka ada di rumah. Lestari tak mengerti apa yang membuat Nayaka akhirnya bisa jatuh cinta pada wanita cantik, kecil dan mungil itu karena badannya yang sangat ringkih. Apa sisi menariknya pikir Lestari. Hingga akhirnya Lestari terpaksa menegur Nayaka, karena tiap selesai aktivitas panas mereka keesokan harinya Nastiti terlihat sangat lemas dan lemah. "Kau kurangilah aktivitas malammu dengan Nastiti, kasihan dia, pagi hari selalu saja dia lemas," ujar Lestari, Nayaka menatap ibunya yang baru saja menyuguhkan satu mug besar cokelat panas, mereka hanya berdua di ruang makan pagi itu. "Entahlah Bu, aku hanya melihat wajah Lyora di wajah Nastiti, aku ingin melihat dia sebagai Nastiti seutuhnya, tapi matanya adalah mata Lyora, wajah memohonnya adalah wajah Lyora," sahut Nayaka. Lestari kaget mendengar perkataan putranya. "Jadi maksudmu?" "Aku sedang mencoba mencintainya sebagai Nastiti, karena tiap kali aku melakukan itu dengannya, aku seolah melakukan bersama Lyora, kami memang tak pernah melakukan apapun dulu saat berpacaran karena aku ingin menjaga keutuhannya hingga saatnya tiba, tapi sejak kekacauan itu, aku tak bisa menikmati kebersamaan yang aku idamkan sejak dulu, maka saat aku melihat Nastiti, matanya, kepasrahannya mengingatkan aku pada Lyora, sejak awal kami melakukannya selalu saja yang aku dengar desah dan rintihan Lyora, dan aku selalu ingin melakukannya lagi dan lagi, aku ingin mendengar runtuh Lyora lewat mulut Nastiti." Lestari hanya menggeleng pelan, salah jika Nayaka masih membayangkan wanita lain saat ia sudah menikah. Di balik sketsel anyaman rotan yang memisahkan ruang makan dengan ruang keluarga sosok Nastiti menangis menutup mulutnya. Kini terjawab sudah siapa Lyora, nama yang selalu disebut suaminya saat mereka melakukan hubungan intim, sejak awal mereka melakukan itu di apartemen Nayaka ia sudah mendengar Nayaka menyebut nama itu. Kini Nastiti tahu jawabannya, Lyora adalah seorang wanita yang sulit dilupakan oleh suaminya, wanita yang mempunyai arti khusus hingga saat intim pun yang ada dalam bayangan suaminya adalah wanita spesial itu, Nastiti harus sadar diri, ia telah diangkat dalam kehidupan yang lebih mapan, ia harus bisa menerima keadaan seburuk apapun termasuk tidak dicintai oleh suaminya. Malam itu seperti biasanya. Nayaka memeluk Nastiti saat tidur. Selalu merasakan kenyamanan dan kehangatan saat tidur sambil memeluk istrinya dari belakang. Mengelus perut istrinya yang mulai membuncit. Saat tangan Nayaka mulai meremas dadanya dan memainkan ujungnya Nastiti memegang tangan Nayaka. "Kenapa?" Bisik Nayaka di telinga Nastiti. "Mas jangan marah, boleh aku tanya siapa Lyora?" Pertanyaan Nastiti membuat Nayaka membalik istrinya. Ia elus pipi Nastiti yang mulai berisi. "Kamu tahu dari mana nama itu?" "Dari Mas." Jawaban Nastiti membuat kening Nayaka berkerut. "Kapan? Seingatku, aku tak pernah menceritakan siapa dia." "Saat berdua, saat intim kita sejak pertama, Mas selalu menyebut dan meneriakkan namanya." Nayaka tertegun, ia baru tahu jika ia tanpa sadar menyebut nama Lyora. Tapi Nayaka tak peduli, ia buka kancing baju Nastiti dan melihat d**a istrinya yang semakin berisi. Desah Nastiti lepas dari bibirnya saat dengan kasar Nayaka menghisapnya bergantian. Dan lenguhan keduanya semakin keras saat Nayaka menyatukan dirinya dengan Nastiti. Menghentak kasar sambil menciumi kaki istrinya yang ia letakkan di bahunya. Ia pandangi wajah Nastiti yang terlihat bagai Lyora, Nayaka tersenyum. Membalik badan Nastiti dan menghentaknya dari belakang. Meremas d**a indah yang menggantung sempurna. "Lyyyy ... Lyyyyy aarrrghhhh ..." Kembali d**a Nastiti perih tak terkira, sakit namun tak berdarah. Ia menangis tanpa bersuara, sejujurnya ia ingin dicintai sebagai Nastiti bukan yang lain. Tapi sekali lagi biarlah luka ia rasakan sendiri, hidup layak dan nyaman telah ia dapatkan dari keluarga Nayaka, ia harus tahu diri. *** Nastiti menatap suaminya yang tertidur lelap, setelah selesai sesi malam panjang yang mendebarkan dan melelahkan ia sebenarnya merasa sangat lemas, bahkan saat ini ia meringkuk pasrah dalam pelukan Nayaka, mereka berdua bahkan masih belum menggunakan apapun dibalik selimut tebal. Kembali Nastiti harus menelan kekecewaan saat suaminya mendesahkan nama wanita lain di sesi intim mereka dan saat menyebut nama wanita lain itu mata Nayaka menatapnya dengan tatapan berbeda, kadang lembut, namun ada kalanya ia seperti menahan amarah. Dan biasanya saat tatapannya menakutkan maka Nayaka akan sangat kasar dan brutal memperlakukan tubuhnya. Ia bersyukur kandungannya baik-baik saja. Namun sekali lagi Nastiti menyadarkan dirinya sendiri agar tetap bersyukur ada Nayaka yang merawatnya dan menikahinya karena ia sudah tak punya siapa-siapa lagi, meski kadang ia ragu apakah suatu saat suaminya akan melihatnya sebagai Nastiti atau tetap sebagai wanita yang sering ia sebut saat mereka berhubungan intim, entah sampai kapan luka karena tak dianggap ini akan berlalu. Nastiti hanya bisa menghela napas berulang, berusaha mengendalikan diri dan menyadarkan diri siapa dirinya. "Kau bangun Sayang? Tidurlah." Nayaka mengusap lembut punggung telanjang Nastiti, lalu tangannya turun dan mulai meremas pelan b****g Nastiti yang mulai berisi sejak ia hamil. Mata Nayaka terpejam merasakan miliknya yang kembali meronta. "Lyo ... Lyoraaaa ...." "Aku Nastiti Mas, buka matamu, aku Nastiti bukan Lyora." Mata Nayaka terbuka, lalu tangannya mengusap lembut pipi Nastiti. "Tidak, kau Lyora, tatapanmu adalah tatapan Lyora, diamlah, aku akan memuaskanmu sekali lagi Lyora, kita bersama, akhirnya bersama mendaki kenikmatan lagi malam ini dan malam-malam panjang yang lain." Nastiti memejamkan mata merasakan tubuhnya diterkam Nayaka berkali-kali. Air mata deras mengalir tapi Nayaka tak peduli ia hanya ingin sampai bersama Lyoranya, Lyora yang selalu ada dalam angannya. Bab 6 Torehan Kenangan "Kau sudah mendengar jika mamanya Lyora meninggal?" "Innalilahi wa innailaihi rojiuun, kata siapa, Bu? Sakit apa? Kapan dikebumikan?" Nayaka yang baru saja hendak bergabung di meja makan jadi bergegas duduk di dekat ibunya yang sedang menyesap teh madu yang telah disiapkan oleh Mbak Jum. "Tadi Mbak Jum yang bilang, kebetulan kan pembantu di keluarga Lyora satu tempat penyalur dengan Mbak Jum dulu jadi ya kenal." "Lalu?" Nayaka terlihat masih penasaran. "Menunggu Lyora untuk dikebumikan, kan Lyo ada di Brisbane, mengenai penyebab meninggalnya lebih baik kita tidak membahasnya karena ibu merasa tidak patut untuk dibahas." Nayaka terlihat penasaran, tapi ia merasa itu bukan urusannya, ia lebih penting menyiapkan dirinya agar tabah saat melihat Lyora, yang pasti akan hadir bersama suaminya. "Kau hadir ya Nayaka, mewakili keluarga, walau bagaimanapun kita hampir jadi keluarga besar hingga datang cobaan itu dan menghancurkan semuanya." Nayaka hanya mengangguk. *** Satu persatu pelayat meninggalkan area pekuburan, hari telah menjelang senja. Lyora tak sempat menatap wajah mamanya untuk terakhir kali, karena saat ia tiba di rumahnya setelah menempuh penerbangan yang lama dari Brisbane, jenazah telah dibawa ke area pekuburan, beruntung ia masih sempat melihat jenazah yang diturunkan ke liang lahat. Tangis dan teriakan histeris Lyora sempat jadi perhatian para pelayat yang sebagian besar adalah karyawan papanya. Nayaka melihat laki-laki tampan dan tegap yang memeluk Lyora, lalu mengusap punggung Lyora perlahan. Nayaka yang hadir bersama Nastiti melihat penuh luka pada Lyora yang berada dalam dekapan Chaldera. Ternyata Nayaka belum juga dapat melupakan Lyora. Matanya menatap nanar wajah yang selalu lekat di matanya. Sedang Nastiti yang baru kali ini melihat wajah Lyora merasa benar-benar terempas. Wajah serta tampilannya yang elegan takkan pernah bisa ia tandingi, ia hanya upik abu yang harus tahu diri saat hidupnya lebih nyaman dari sebelumnya. Dengan tampilan mata sembab penuh air mata pun kecantikan Lyora tak akan bisa ia tandingi. "Itu Lyora, Nastiti." Suara Nayaka terdengar jauh di telinga Nastiti karena ini untuk kesekian kali Nayaka memberi tahu jika itu Lyora dan Lyora. *** Lestari cukup kaget saat melihat Nastiti yang melangkah sendiri, berjalan menunduk dan terlihat sedih. "Loh mana Nayaka? Kok kamu sendirian, Nduk?" Nastiti berusaha tersenyum meski hatinya masih terasa sakit. Nayaka menyuruhnya segera pulang, diantar sopir pribadi keluarga Nayaka, sedang Nayaka sendiri masih betah menunggu dan melihat Lyora serta keluarga besarnya di area pemakaman. Bahkan tadi berpesan pada sopirnya agar tak segera kembali setelah mengantar Nastiti pulang. "Masih di area pemakaman Ibu, bahkan tadi rencananya mau ke rumah Kak Lyora, mau mengucapkan bela sungkawa secara langsung ke papa Kak Lyora dan kalau bisa ingin bertemu dengan Kak Lyora." Lestari menghela napas, ia tak habis pikir, apa yang dikejar Nayaka, Lyora sudah punya kehidupan sendiri, begitu juga dengan dirinya. "Istirahatlah Nak jika kau capek." " Inggih Ibu." *** "Turut berbela sungkawa, Om," ucap Nayaka saat ia telah sampai di kediaman keluarga Lyora. Nayaka benar-benar menunggu hingga iring-iringan mobil keluarga besar Lyora meninggalkan area pemakaman dan mobilnya mengikuti dari belakang, lalu sampai di rumah megah itu. Hendri mengangguk, menepuk pundak Nayaka, laki-laki yang hampir menjadi suami Lyora yang akhirnya menjadi kacau semuanya gara-gara ulah dirinya. "Terima kasih Ka, itu ada Lyora dan suaminya tapi lebih baik kau tak menemui Lyora, ia sedang tak ingin berbicara dengan siapapun."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD