Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, Tuhanlah yang menentukan semuanya. Dua hari tak sadarkan diri di ICU, Dedeng akhirnya sadar beberapa saat lalu menghembuskan nafas terakhirnya. Jerit tangis terdengar saat dokter melepas semua selang-selang yang menempel pada sebagian tubuh Dedeng.
Tubuh Dedeng dibawa ke kamar jenazah rumah sakit. Tangis Lilis beserta kedua buah hatinya kembali pecah saat Romi membuka kain penutup jenazah. Lilis tak menyangka, suaminya akan pergi begitu cepat untuk selamanya. Rasa sedih yang mendalam serta mendadak membuat Lilis tak kuasa menopang tubuhnya. Lilis pun terjatuh pingsan saat memandang tubuh suaminya terbujur kaku di ranjang rumah sakit.
Romi mengangkat tubuh wanita setengah baya yang sangat dicintainya ke kursi panjang di depan kamar jenazah. Romi mencoba menepuk-nepuk kedua pipi mamanya dengan kedua telapak tangan agar terbangun dari ketidaksadarannya. Lilis akhirnya sadar dari pingsannya.
“Hiks... hiks... papa...!” Tangis Lilis kembali pecah.
Kanaya memeluk erat tubuh mamanya. Meskipun berusaha tegar di depan mata mamanya, Kanaya tak bisa menyembunyikan air matanya. Air mata Kanaya terus mengalir di kedua pipinya.
Setelah Lilis sedikit tenang, Romi bergegas menuju bagian administrasi untuk mengurus biaya serta kepulangan jenazah papanya.
***
Para tetangga dan saudara telah menunggu jenazah Dedeng di rumah. Mereka masih belum percaya dengan perginya Dedeng untuk selamanya yang begitu mendadak. Hari yang seharusnya menjadi kebahagiaan buat keluarga Dedeng justru berubah menjadi hari yang penuh tangis kesedihan. Rekan-rekan Dedeng yang seharusnya datang untuk ikut bersuka cita justru sebaliknya, mereka datang untuk berduka cita. Rumah Dedeng yang seharusnya terpasang janur kuning melengkung berubah menjadi bendera kuning.
Jerit tangis kembali terdengar saat jenazah Dedeng akan dikebumikan. Lilis kembali tak sadarkan diri saat melihat jenazah suaminya dimasukkan ke peristirahatan terakhirnya. Romi dan Kanaya terus berusaha tegar mengantar jenazah papanya untuk terakhir kali.
Seminggu sudah berlalu sejak kepergian Dedeng, kesedihan masih sangat jelas menghiasi kediaman Lilis. Lilis lebih sering terdiam dan banyak mengurung diri di kamar. Romi tak berhenti menyalahkan dirinya. Seolah Romilah penyebab kepergian Dedeng.
“Gusti Nu Agung... kenapa semua ini teh harus terjadi? Ini semua teh salahku! Haaa...!” Romi berteriak kencang.
Teriakan Romi mengundang Kanaya serta Lilis ke kamarnya.
“Kaka teh aya naon?” Tanya Kanaya
“Iya, kamu teh kenapa Romi?” Lilis menimpali.
“Maafkan Romi Ma, semua ini salah Romi! Romi penyebab papa pergi!” Romi berkaca-kaca, penyesalan sangat terlihat di wajahnya.
“Sudah Romi, ini semua teh sudah rencana Tuhan. Kamu jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri!” Lilis memeluk Romi, lalu dikuti Kanaya memeluk kakak serta mamanya.
“Semua ini teh berawal dari Tania, kalau saja Tania tidak membatalkan pernikahan pasti kejadian ini tidak akan terjadi!” Romi emosi.
“Cukup atuh Romi, berhenti menyalahkan orang lain. Anggap ini sebagai musibah, kita harus bisa menerimanya dengan ikhlas!” Lilis ikutan emosi.
“Tidak, kalau saja pernikahan ini teh terjadi papa tidak akan pergi! Romi dan Tania yang salah. Aku benci Tania! Dia penyebab utama kepergian papa!” Romi berteriak seperti orang yang kesetanan.
“Plak” Lilis menampar pipi Romi.
“Mama bilang cukup! Jangan pernah bahas masalah ini lagi. Sebaiknya kita teh berdoa saja semoga papa tenang di sana!” Jari telunjuk Lilis menunjuk Romi. Sementara tangan kanan Romi memegangi pipi kanannya yang masih terasa pedas bekas tamparan mamanya.
“Sudah atuh Ma, Ka jangan berdebat lagi. Papa teh baru saja pergi, nggak sepantasnya kita teh bertengkar begini, malu atuh kalau di dengar tetangga.” Kanaya menengahi.
“Itu kakak kamu teh dibilangi ngeyel terus!” Lilis memajukan bibirnya.
“Kita ke luar saja Ma, biar kakak istirahat!” Kanaya menggandeng tangan Lilis.
“Kakak istirahat!” Ucap Kanaya sambil ke luar kamar.
Setelah Lilis dan Kanaya keluar dari kamar. Romi langsung membanting pintu kencang sebagai pelampiasan kekesalannya. Romi kemudian menjatuhkan dirinya di kasur.
Sejak ditinggal 2 orang yang sangat Romi cintai berturut-turut. Yakni Tania serta papanya, Romi seakan hilang arah. Hari-hari yang Romi lakukan hanya mengurung diri di kamar, duduk sambil memeluk kedua lututnya. Romi tak menginginkan apa pun, yang dia lakukan hanya melamun, berteriak histeris, lalu menangis.
Rasa sakit hati ditinggal calon istri serta rasa bersalah yang mengakibatkan kepergian papanya, membuat Romi merasakan trauma yang panjang. Romi enggan bertemu seseorang selain Lilis dan Kanaya. Untuk mengisi perut sendiri saja Romi enggan. Romi seperti tak punya semangat untuk melanjutkan hidupnya lagi.
“Kak, makan dulu atuh nanti sakit! Kanaya suapi ya?” Kanaya sambil memegang sendok berisi nasi untuk Romi.
“Ayuk Kak! Apa Kakak teh nggak kasihan sama mama? Kakak teh mau menambah kesedihan mama lagi?” Kanaya terus merayu Romi agar mau makan.
Romi hanya menggelengkan kepala.
“Iya udah atuh Kakak makan, sedikit aja!” Kanaya kembali menyuapkan sendok ke mulut Romi.
Romi kembali menggelengkan kepala, tangan kanan Romi menjauhkan piring dari hadapannya.
“Iya udah atuh, Kanaya taruh makanannya di sini nya? Nanti kalau Kakak lapar teh tinggal ambil aja!” Kanaya meletakan piring makanannya di atas meja kamar Romi.
Hingga sore tiba, makanan masih utuh tak berubah. Romi sama sekali tak menyentuhnya.
Kini 6 bulan sudah berlalu dari kepergian Dedeng. Lilis sudah mulai bisa menata hidupnya lagi pelan-pelan. Sesuai pesan almarhum suaminya, Lilis harus bisa menjaga kedua buah hatinya Romi dan Kanaya. Lilis tak ingin larut dalam kesedihan.
Kanaya, adik perempuan Romi sudah terbang lagi ke Eropa melanjutkan kuliah yang sempat tertunda karena duka yang dia rasakan atas kepergian papanya untuk selama-lamanya. Kanaya ingin cepat menyelesaikan kuliahnya yang tinggal semester akhir. Kanaya ingin cepat kembali ke rumah, membantu usaha serta menemani mamanya.
Berbeda dengan Lilis dan Kanaya yang sudah bisa menerima kepergian papa. Sampai saat ini Romi masih belum bisa melupakan kesedihannya. Rasa penyesalan terus menghantui hidupnya. Rasa sakit hati ditinggal Tania, kekasih yang sangat Romi cintai telah menggoreskan luka dalam di hatinya.
“Romi, ingat pesan papa! Kamu harus bisa bangkit dari semua masalah ini. Apa kamu mau terus terpuruk seperti ini? Papa pasti sedih melihat keadaan kamu seperti ini di sana! Kamu harus bangkit demi mama, Kanaya dan juga almarhum papa!” Lilis menasihati anaknya.
Lilis tak pernah bosan menasihati anak sulungnya. Hingga suatu hari usahanya berhasil. Romi mau ke luar rumah dan jarang mengurung dirinya di kamar lagi.
“Romi anak mama, akhirnya kamu bisa bangkit juga! Kamu nggak boleh terus larut dalam kesedihan. Masa depanmu masih panjang!” Lilis mengusap puncak kepala Romi.
“Maafkan Romi Ma? Romi akan berusaha untuk melupakan masalah ini! Romi akan mengingat amanat papa!” Ucap Romi menenangkan hati Lilis.
Lilis sangat senang dengan perubahan Romi. Sayang sadarnya Romi bukan lebih baik. Hampir setiap malam Romi pulang dalam keadaan tak sadarkan diri. Bau alkohol tercium dari tubuhnya. Tak jarang juga Romi pulang pagi dengan ditemani bau alkohol yang sudah menjadi ciri khasnya.
“Romi! Kamu teh apa-apaan, kamu teh dah gila! Alkohol tidak akan menyelesaikan masalah! Kamu teh sadar Romi!” Ucap Lilis emosi melihat Romi setia pulang selalu dalam keadaan mabuk.
Lilis kembali dirundung masalah. Satu-satunya anak laki-laki yang harusnya bisa jadi penerus usaha almarhum suaminya justru tiap malam kerjanya hanya mabuk dan menghabiskan waktunya di klub malam. Sebuah cobaan yang harus diterima Lilis kembali.
***
Malam itu Romi seperti biasa datang ke klub malam langganannya. Seperti malam-malam biasanya, Romi memesan minuman beralkohol. Menurut Romi, hanya minuman inilah yang bisa membuat pikirannya tenang serta membuat hatinya bahagia.
Seringnya datang ke klub itu membuat Romi mengenal beberapa karyawan di sana. Termasuk dengan pengunjung yang sama-sama sering datang ke tempat itu. Danu, pengunjung klub malam yang beberapa malam suka berkunjung ke tempat itu. Danu dan Romi saling berkenalan. Kisah mereka hampir sama, yakni sama-sama ditinggalkan kekasihnya.
Danu yang asalnya dari Jakarta saat ini sedang liburan di Bandung. Danu ingin melupakan masalah dengan kekasihnya yang lebih memilih laki-laki lain dibanding dirinya. Memiliki kisah yang sama membuat hubungan pertemanan Romi dan Danu dekat. Mereka saling bertukar nomor hand phone untuk memudahkan komunikasi.
Romi juga sering berkunjung ke penginapan Danu. Mereka saling bercerita tentang masalah-masalah yang sedang dihadapi masing-masing. Romi merasa cocok berteman dengan Danu. Berkat Danu, Romi bisa tersenyum dan sedikit melupakan masalahnya. Danu orangnya humoris, dia pandai bercanda membuat Romi merasa terhibur di dekatnya.
Danu bercerita tentang usahanya sekarang di Jakarta. Usaha yang berawal dari sakit hati pada perempuan, hingga bisa seperti Danu sekarang ini. Danu yang tak ingin jatuh hati lagi pada perempuan, Danu yang tampaknya memiliki tubuh atletik namun nyatanya lemah gemulai.
Sayang pertemanan mereka terbatas oleh waktu dan jarak. Setelah dua minggu masa liburan di Bandung habis, Danu harus kembali ke Jakarta. Rasa sedih karena harus berpisah dengan teman barunya membuat Romi seakan kembali terpuruk.
Danu merasa tak tega melihat teman barunya kembali ke jurang yang sama. Danu menawarkan diri untuk mengajak Romi ke Jakarta.
“Maaf teman, gua harus kembali ke Jakarta! Lain waktu kalau gua ke Bandung lagi, kita ketemu lagi!” Ucap Danu pada Romi.
“Nanti atuh, siapa nanti yang akan menghiburku, yang akan menjadi teman baikku?” Romi memajukan kedua bibirnya, raut wajahnya berubah masam.
“Kan ini kota kelahiran elo, pasti banyak teman elo di sini! Ada keluarga elo juga!” Jawab Danu.
“Tapi mereka teh berbeda sama kamu?” Romi terus merayu.
“Atau elo mau ikut gua ke Jakarta? Nanti gua kenalin usaha gua di sana, dijamin elo betah! Gimana?” Danu memberi saran.
Romi berpikir sejenak, 10 detik kemudian Romi berkata” Boleh deh, aku ikut kamu ke Jakarta.” Romi terlihat semangat.
“Tapi elo izin dulu sama keluarga elo! Kalau mereka mengizinkan elo boleh ikut gua, oke Dil!” Danu mengulurkan tangan kanannya pada Romi.
“Dil!” Romi menjabat tangan Danu sebagai tanda setuju.
Tawaran Danu cukup menarik hati Romi untuk ikut ke Jakarta. Romi akan secepatnya meminta izin pada mamanya.