Sembilan

1729 Words
Mereka berkumpul di ballroom hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Sambil menikmati hidangan pembuka dan minuman ringan, satu per satu tamu diabsen dan dibawa ke landasan helikopter yang terletak di atap hotel. Silih berganti helikopter menerbangkan para tamu ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Tempat pesta super mewah para pesohor dunia hitam berkumpul. Ayah Arjuna saat ini memegang posisi yang sangat penting di organisasi. Dia termasuk salah satu dari lima orang Margono yang dipercaya untuk menjalankan organisasi selama Margono menjalani masa tahanan. Dengan mengatakan bahwa Arjuna adalah pewaris tahta kerajaan bisnisnya, undangan pesta untuk Arjuna dan pendampingnya pun diperoleh. Zea telah memalsukan identitasnya sehingga tidak ada yang mencurigai keberadaannya. Ternyata keamanannya tidak seketat yang Zea pikirkan. Walau bagaimana pun, Zea harus tetap berhati-hati. Siapa tahu jebakan-jebakan telah menunggunya di tempat pesta. "Tanpa senjata, gimana caranya lu bisa melawan mereka semua?" bisik Arjuna saat dia dan Zea mengantre hendak masuk ke helikopter. Mereka di geledah menggunakan detector. Barang-barang yang tajam seperti peniti atau gunting kecil, disita. "Aku tidak bermaksud melawan. Aku hanya ingin membaca situasi. Dan mengirim pesan bahwa aku mengawasi Margono," balas Zea sambil mengedipkan sebelah mata. Tangannya melingkar di lengan Arjuna dan mereka memasuki heli dengan mesra. ~o0o~ "Papa senang kamu datang dengan seorang perempuan. Begitu caranya jadi laki-laki." Papa Arjuna menepuk bahu Arjuna ketika mereka tiba di tempat pesta. Arjuna hanya tersenyum tipis. "Mewah sekali pestanya, Pah." Arjuna menatap berkeliling. Ini bukan pesta biasa. Pulau kecil ini telah disulap menjadi terang benderang dan elegan. Ribuan lampu menggantung di sejumlah pohon dan tali yang melintas di atas kepala. "Kamu tidak mau memperkenalkan teman kencanmu?" Papa Arjuna tersenyum menggoda kepada anaknya. "Oh! Perkenalkan, Pa, ini Kusuma." Zea menyalami Papa Arjuna dan menyebutkan nama belakang ibunya sebagai identitasnya yang baru. "Baiklah. Papa harus menyapa tamu yang lain. Kalian nikmatilah pestanya. Di sini tidak ada batasan. Kalian bisa menjadi seliar-liarnya. Dan kalau kalian butuh sedikit privacy, ada pondok-pondok yang berjajar di sepanjang pantai," kata Papa Arjuna. Matanya mengerling nakal ke arah Zea. Sementara Zea membalas dengan senyuman sopan. "Apa mamamu tau?" "Hah? Apa?" Arjuna sedikit gelagapan dengan pertanyaan Zea. Matanya menatap seseorang di kejauhan. Zea mengikuti arah pandangan Arjuna. "Cowok yang tampan. Seperti itu, ya seleramu?" "Bukan urusan, lu," sahut Arjuna ketus. "Kamu bersamaku malam ini. Tentu saja jadi urusanku. Mau motormu balik tidak?" "Lu, tuh nyebelin tau, nggak?" "Kamu kalau lagi marah-marah lucu juga, ya?" Zea menggandeng mesra tangan Arjuna. Membuatnya sedikit jengah dan mencoba melepaskan diri. "Sstt! Tunjukin sikap mesra dikit. Papamu merhatiin kita. Jangan sampai dia curiga." Zea menempelkan tubuhnya makin rapat kepada Arjuna. "Sampai kapan kita begini?" "Sampai Margono muncul dan aku janji setelah itu kita akan pergi." Zea melingkarkan tangannya pada leher Arjuna. Tubuhnya yang terbalut gaun ketat berwarna marun menempel sedemikian erat pada tubuh Arjuna dan dia mulai bergerak erotis. "Ap-apa yang lu lakuin?" Tubuh Arjuna mencoba bergerak jijik. Dia mencoba menghindari Zea. "Papamu bilang kita boleh berbuat apa saja. Kamu tidak lihat para tamu? Mereka sudah mulai dari tadi. Atau kamu lebih suka kita setengah fly. Mabuk atau narkoba mungkin?" "Stop! Hentikan, Zea! Diperjanjian tidak termasuk hal ini!" Arjuna menahan pundak Zea hingga tubuh mereka berjarak. "Diperjanjian ..., kamu harus menuruti aku. Lagipula, apa aku begitu jelek? Sampai kamu lebih tertarik cowok yang tadi itu?" "Bu-bukan gitu. Lu nggak jelek. Cuma gue ...." "Ya sudah, temani aku jalan-jalan keliling pulau. Aku perlu menenangkan diri supaya tidak terbawa suasana. Bergandengan masih oke, kan?" Zea mengulurkan tangannya. "Cuma gandengan." Arjuna menegaskan. Zea mengangguk. Angin pantai di malam hari menerpa wajah Zea dan menerbangkan anak-anak rambutnya. Pikirannya lebih tenang dan lebih fokus sekarang. "Sepertinya bukan aroma terapi yang mereka bakar di tempat pesta tadi. Harumnya bukan bikin tenang, tapi bikin gila. Bikin kita ingin melakukan hal-hal seksual yang liar." Zea mengembuskan napas dan menghirupnya kembali dalam-dalam. "Kayaknya, sih gitu. Gue juga pengen, sih melakukan hal gila. Tapi sorry, bukan sama, lu!" sahut Arjuna cepat-cepat. "Kamu kenapa, sih anti banget sama perempuan? Pernah ditolak? Atau ditinggal mati?" "Enak aja! Gue nggak sepatah hati itu kali!" "Terus kenapa?" "Bukan urusan, lu!" katanya sambil meninggalkan Zea. "Juna! Tunggu!" Zea berusaha mengejar Arjuna yang berjalan cepat meninggalkannya. "Kenapa, sih kamu pemarah sekali? Nggak sesuai sama namanya." Setengah berlari Zea berusaha menjajari langkah Arjuna yang lebar dan cepat. "Kenapa dengan nama gue?" "Dalam cerita Mahabarata, Arjuna itu digambarkan sebagai sosok yang tampan dan lemah lembut. Kamu tampan, tapi ..., kasar!" "Hei! Jangan ngata-ngatain gue, ya!" Arjuna mengacungkan telunjuknya. "Atau apa?" Tanpa rasa takut, Zea berdiri di hadapan Arjuna dengan wajah menengadah ke atas. "Ahhh! Cewek emang paling ngeselin! Makanya gue kagak suka cewek!" ujarnya sambil berjalan ke pondok terdekat dan duduk di undakannya. "Kayaknya bukan itu alasan kamu tidak suka perempuan." Zea duduk di samping Arjuna dan mereka duduk memandangi air laut yang berkilauan tertimpa cahaya bulan. "Jangan mancing lagi. Gue nggak terbiasa membicarakan hal pribadi sama orang asing. Dengar, Zea!" Arjuna membalikkan wajah hingga mereka bertatapan, "Kita cuma dua orang yang nggak mengenal sama sekali sebelumnya. Dan urusan kita bakal segera beres. Lagian, gue nggak liat apa untungnya lu tau masalah gue!" "Juna, kita bukan tidak mengenal sama sekali. Beberapa hari ini kita intens ketemuan. Tapi, yah, memang tidak ada untungnya, sih buatku mengetahui latar belakangmu. Hanya saja kupikir, membicarakan sebuah beban dengan orang asing akan lebih menyenangkan daripada menyimpannya sendiri." "Gue nggak punya beban!" "Masa? Sepertinya kamu punya." "Kagak!" "Punya, kok. Tuh, matamu bilang iya." "Ka--" 'DUARR!' Ledakan kencang menggelegar di udara. Langit menjadi terang benderang seketika. Berturut-turut suara dentuman ditembakkan ke angkasa. Membentuk aneka penampakan di gelapnya langit tanpa bintang. "Kembang api!" pekik Zea girang. Wajah cerahnya semakin bersinar dalam pantulan cahaya kembang api. "Yuk mendekat!" Sambil sedikit berlari dia menarik lengan Arjuna. Meskipun langit di atas pulau kecil menampilkan dengan jelas seluruh kembang api yang pecah di angkasa, Zea ingin melihat dari dekat saat kembang api ditembakkan. Arjuna berusaha menyingkirkan lengan Zea, sayangnya genggaman Zea begitu erat. "Juna lihat! Kembang api yang itu mirip pohon palem raksasa! Coba lihat yang sebelah sana, seperti rambut kribo yang diwarnai! Dan yang itu ..., aku suka yang itu. Itu bunga apinya paling besar!" Tanpa henti Zea mencerocos. Membuatnya tampak seperti anak kecil yang diajak ke taman hiburan. "Kenapa?" tanya Zea saat memergoki Arjuna sedang menatapnya. "Eh, ngg, kagak. Lu kliatan lain aja." "Hati-hati nanti kamu jatuh cinta." "Gue? Nggak akan pernah!" Zea terbahak mendengar penyangkalan Arjuna. Dia melingkarkan lagi tangannya ke leher Arjuna. "Jatuh cinta juga tidak apa-apa. Suatu kehormatan bagiku menjadi perempuan pertama yang kamu cintai." "Geer, lu!" Arjuna melepaskan lengan Zea dan beranjak meninggalkannya. "Jadi bener, ya kamu pernah patah hati sama perempuan?" "Kagak! Gue kagak pernah sekalipun tertarik sama cewek. Mereka rese!" "Bagaimana kamu tau kalau mereka rese? Kan kamu belum pernah pacaran sama mereka." "Lu, tu, ya! Cewek itu emang rese. Ya contohnya elu ini. Dari tadi nyerocos mulu kayak sepur. Lu nggak ada capenya ya ngorek-ngorek urusan orang. Hei, Zea! Gue lagi ngomong sama lu. Mo kemana lu?" Wajah Zea menegang. Matanya fokus menatap pada satu titik. Tanpa dikomando, tubuhnya berjalan seperti zombi. "Zea!" Sorot mata penuh amarah dan kebencian memudar ketika Arjuna berdiri tepat di depannya. "Juna, minggir!" "Lu mau ngapain?" "Itu Margono, Jun. Aku harus mendekatinya." Arjuna membalikkan badan dan melihat sosok yang ditunjuk Zea. Lelaki tambun yang dikelilingi perempuan semampai berparas elok. Dia sedang tertawa terbahak-bahak ketika salah seorang teman bicaranya selesai menyampaikan sesuatu. Ayah Arjuna termasuk salah seorang teman bicara Margono. Saat itulah tatapan mereka bersirobok. Arjuna melihat tatapan menjijikkan Ayahnya dua belas tahun yang lalu. Saat ibunya memutuskan pergi dan seseorang dengan perasaan yang baru, lahir dalam dirinya. "Kita balik!" Tangan Arjuna menarik lengan Zea dengan kasar. Mereka menuju helipad yang akan membawa mereka kembali ke Jakarta. "Jun! Jun! Lepas!" Zea menghentakkan tangan Arjuna dengan keras hingga terlepas. "Apa-apaan, sih kamu? Aku belum menyelesaikan pekerjaanku satu pun juga. Aku harus kembali pada Margono!" "Lu bisa kembali lain waktu. Cari kesempatan lain! Sekarang kita balik!" "Tidak! Aku tidak akan pulang. Tidak ada kesempatan lain lagi. Harus sekarang!" "Terserah, lu. Gue balik." Arjuna membalikkan badan dan berjalan menuju helikopter yang mulai menyalakan mesin. "Kamu bakal kehilangan motormu, Juna!" "I don't care anymore!" Arjuna melambaikan tangannya tanpa menoleh lagi. Baling-baling helikopter berputar semakin cepat. Udara disekitarnya ikut berputar. Teriakan-teriakan Zea hanya bisikan yang lenyap tertiup angin. Dia bimbang. Apa harus kembali pada Margono dan menyelesaikan maksudnya? Atau ..., mengejar Arjuna dan mencari tahu penyebab perubahan sikapnya? Mengapa aku harus peduli? "Tunggu! TUNGGU!" Zea berteriak sekuat tenaga untuk mencegah helikopter meninggalkan landasan. Dia berlari sekencang-kencangnya dan setengah melompat ketika pintu helikopter membuka untuknya. Matanya bertemu dengan tatapan Arjuna yang sinis. Seluruh perjalanan kembali ke Jakarta mereka lalui dengan membisu. Bahkan ketika mereka berada dalam lift yang membawa mereka turun, aura geming tetap menyelimuti keduanya. Zea memandang ke kiri, Arjuna memandang ke kanan. Memandangi pantulan tubuh mereka masing-masing pada kaca di dalam lift. Pada satu kesempatan, tatapan keduanya bertemu. Lalu buru-buru mereka saling membuang muka. Dan pada saat pintu lift membuka di lobby hotel, mereka bergerak serentak hendak keluar. Tubuh mereka memenuhi pintu lift dan memaksa keluar duluan. "Stop!" Teriak seorang bapak yang kebingungan memandangi sikap mereka yang beradu kekuatan bahu untuk keluar lift. "Anda yang merasa laki-laki, silakan mundur!" Merasa dirinya yang dimaksud, Arjuna memundurkan tubuhnya dan menatap Si Bapak dengan pandangan bingung. "Anda yang perempuan, ayo maju." Zea menuruti ucapan Si Bapak dan maju selangkah. "Lagi, lagi! Nah, gitu. Cukup. Terima kasih." Bapak tersebut mengangguk sopan kepada Zea dan melangkah masuk ke dalam lift. Dia memandangi Arjuna yang terlihat bodoh di sisinya. "Anda mau keluar juga atau ikut check in sama saya ke atas?" tanyanya sambil tersenyum ramah. Arjuna yang segera tersadar dari kedunguannya, segera melangkah keluar dan berdiri di samping Zea. Mereka memandangi pintu lift yang menutup dengan wajah Si Bapak yang tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. Refleks keduanya saling bertatapan dan mulai tertawa. Mentertawakan kebodohan dan sikap kekanakan mereka. "Ayo gue antar lu balik." Arjuna menggenggam tangan Zea. Hangat. "Lu tinggal di mana?" tanya Arjuna saat mereka menunggu mobil Arjuna diambil dari tempat parkir. Tangannya tetap menggenggam tangan Zea. "Kita ke pinggiran Jakarta Selatan saja." "Jauh itu. Lu tinggal di sana?" "Bukan. Kita ambil motormu." "Nanti saja. Nggak usah buru-buru." "Urusan kita sudah selesai, Juna. Kamu bisa ambil motormu kembali." "Urusan kita baru saja mulai. Dan sebagai permulaan, gimana kalau kita makan malam. Gue tahu lu pasti lapar." Arjuna tersenyum hangat dan membukakan pintu mobil sport yang baru tiba di hadapannya.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD