Dua belas

1713 Words
Rasanya seperti terlahir kembali. Sudah berapa lama dia tidak seperti ini? Sepuluh tahun, sebelas, dua belas? Entahlah. Rasanya sudah lama sekali. Seperti gersang yang kehujanan. "Sudah bangun?" sapa perempuan dalam pelukannya. Matanya masih menerawang. Mencari sisa-sisa perjuangan semalam. Perang antara egoisme, kemunafikan, dan hasrat kelelakiannya. "Gue pikir, selamanya gue nggak akan bisa merasakan hal ini lagi." Perempuan di sampingnya tersenyum. Beringsut semakin dalam ke pelukan lelakinya. Aroma pagi masih menyisakan sedikit aroma perjuangan semalam. Aroma yang menggelitik dan membangkitkan hasrat untuk mengulangi kenikmatan yang sama. Atau mungkin lebih. "Sepertinya gue nggak akan bisa berhenti setelah ini. Lu harus siap-siap." Tawa renyah menarik wajah pada bentuknya yang paling sempurna. Wajah pagi yang lebih cantik dari masa manapun dalam sehari. "Setelah ini ..., aku tidak keberatan jika harus menjadi budakmu." "Kedengarannya seperti bukan lu yang biasa." "Sejak semalam, aku memang bukan diriku yang biasa. Dan kau tahu karena apa," ujarnya sambil menaiki lelakinya dan membungkuk di atas d**a telanjang yang berdebar. "Aku ingin menciummu." "Kenapa harus bilang?" "Aku takut nggak bisa berhenti." "Jangan berhenti. Jangan ..." Pagi yang basah. Resah yang mendesah. Hilang sudah semua gelisah. Musnah sudah rasa jengah Terhapus oleh bahagia yang membuncah. ~o0o~ "Kita harus membuat rencana baru." Zea menumpuk lembar-lembar perjanjian di atas meja. Ada sekitar dua puluh perjanjian yang dia susun berdasarkan jaminan yang diberikan. Tidak ada jaminan yang nilainya di bawah 100 juta. Beberapa perjanjian sudah jatuh tempo, beberapa malah ada yang baru dibuat. Zea menyusunnya berdasarkan tanggal pembuatan perjanjian. Dari situ dia menyimpulkan jika Baskoro terus bergerak mencari mangsa. Terbukti dari tanggal pernjanjian yang selangnya berdekatan. "Pasti rencana itu sudah bersarang di kepala lu. Ya, kan?" Arjuna mengecup kepala Zea dan menyerahkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap kepadanya. "Hmmm. Ada, sih. Tapi belum terlalu yakin," jawabnya. Matanya masih tertuju pada tumpukan perjanjian di atas meja. "Mmm. Kopi bikinanmu enak." Zea menghirup uap kopinya dalam-dalam. Kafein memasuki otak dan membuat sarang di sana. Kepala Zea terasa lebih ringan dan pikirannya terang benderang. "Kita harus mengubungi orang-orang di perjanjian ini, Juna. Kuharap mereka mau memberi informasi." "Dan bersekutu?" "Jangan terlalu berharap. Aku jamin mereka terlalu takut untuk melawan Baskoro." "Hmm. Terserah lu, deh. Gue ngikut aja." "Kita juga perlu berbelanja. Tapi bukan belanja yang biasa. Uang Baskoro bener-bener bermanfaat banget! Menurutmu dia kehilangan tidak, ya?" "Bokap? Duit segitu, sih kagak ada apa-apanya. Brankas dia di jalanan masih lebih banyak lagi." "O ya? Hmmm. Aku jadi punya ide." "Lu tau, Zea? Kalau lu lagi banyak ide kayak gini, lu terlihat lebih seksi." Dengan dua tangannya, Juna mengangkat pinggang Zea dan melambungkannya. Membuat Zea menjerit-jerit minta diturunkan. "Lu bisa bersikap kayak perempuan juga ternyata." Juna menurunkan Zea dan menarik tubuh Zea mendekat padanya. "Hei! Aku, kan emang perempuan!" Zea protes sambil menggembungkan kedua pipinya. "Extraordinary woman," ujarnya sambil mengecup bibir Zea. ~o0o~ Berturut-turut, Baskoro mengalami musibah di beberapa tempat. Pundi-pundi uangnya dibobol seseorang yang tidak pernah diketahui identitasnya. Peristiwa di kediamannya belum juga terpecahkan, sekarang brankasnya di beberapa klub malam dikuras habis. Uang tunai melayang setiap malam. Membuat Baskoro berang dan memutuskan mencari sendiri orang yang sedang berusaha membuatnya bangkrut. "Saya perlu bantuan." "Masih belum ketemu juga orang yang mencuri darimu?" Margono membakar cerutunya dan mengisapnya perlahan. "Dia ..., licin sekali. Sepertinya dia tau banyak tentang organisasi. Mungkin ada orang dalam yang menjadi informannya." "Atau dia bekas orang dalam yang menjadi pengkhianat!" Baskoro menyipitkan mata. Berusaha menelaah perkataan Margono. Dia sudah pernah mendengar desas-desusnya. "Orang yang merampokmu pasti Zea. Dulu dia andalan organisasi. Sebelum akhirnya dia membangkang pada perintah dan memutuskan berkhianat. Kamu harus lebih cerdik dan lebih pintar jika menghadapi dia." "Kita bisa gunakan ibunya. Kudengar dia bersembunyi di Swiss." "Ibunya sudah mau mati. Tidak akan ada gunanya. Hanya akan membuat kemarahan Zea meningkat dan dia akan membunuhmu secara kejam." "Jadi apa yang harus saya lakukan?" "Siapkan jebakan. Hubungi Mandor. Dia tau yang harus dilakukan." "Waktu berkunjung habis!" Seorang petugas berseragam menghampiri Margono dan berdiri di belakangnya. Memberi isyarat pada Baskoro agar segera menyudahi pembicaraan mereka dan dia bisa segera membawa Margono kembali ke sel. "Saya akan kembali lagi nanti." Margono mengangguk dan berdiri. Membiarkan petugas membimbingnya kembali ke selnya yang nyaman. Meninggalkan Baskoro yang sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. Mandor. Sebenarnya dia enggan berhubungan dengan orang itu. Dia sendiri tak tahu siapa nama sebenarnya orang yang dipanggil Mandor. Orang itu mendapat sebutan Mandor karena dia mengepalai biang kerusuhan se-Jakarta. Mandor bukan bagian dari organisasi. Tapi organisasi sering menggunakan jasanya. Dan Mandor cukup tau diri untuk tidak melawan organisasi. Meskipun dia berpengaruh, tapi jika organisasi sudah mengincarnya, tidak ada tempat bersembunyi baginya. Baskoro mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sebuah nomor. "Atur pertemuan dengan Mandor. Segera!" Dari sebuah informasi, Zea mengetahui jika sejumlah uang disimpan dalam brankas sebuah klub besar di Jakarta Selatan. Zea tahu, itu klub kebanggaan Baskoro sekaligus tempat Baskoro berkantor. Di samping klub, Baskoro membangun hotel berbintang lengkap dengan fasilitas mewahnya. Zea membuka satu kamar yang memiliki balkon dengan pemandangan langsung ke arah klub. Sambil memegang pinggiran balkon, Zea memandangi klub itu dari ketinggian. Tengah malam nanti dia akan melancarkan aksinya. Perbincangannya dengan Juna tadi siang cukup mengusik pikirannya saat ini. "Sebaiknya urungkan niat lu merampok bokap malam ini." "Kenapa?" "Entahlah firasat gue nggak enak. Lu dah terlalu banyak merampok bokap. Gue yakin dia nggak akan tinggal diam gitu aja. Dia pasti sedang merencanakan sesuatu. Berhentilah Zea. Uang kita sudah lebih dari cukup. Apalagi yang lu cari?" "Apa sekarang kamu sudah berubah menjadi cenayang?" "Zea, jangan malam ini. Gue mohon." "Harus malam ini, Juna. Aku janji setelah ini tidak akan ada lagi perampokan. Kita akan fokus pada tujuan kita untuk menghancurkan organisasi. Bukti-bukti sudah cukup banyak." "Lu mau kasih ke mana bukti-bukti itu? Emang masih ada pejabat yang bersih? Zea dengar! Organisasi ini sudah kayak gurita. Banyak pejabat terlibat di dalamnya. Lu menjerat satu orang, akan banyak orang lain yang terjerat. Lebih baik kita pake uang milik bokap buat lari ke luar negeri." "Dan sembunyi? Sampai kapan? Sampai aku sekarat kayak ibuku? Tidak Juna. Aku bersumpah pada Ibu untuk membawanya pulang sebelum dia meninggal. Dan dia bisa pulang dengan tenang jika Margono dan antek-anteknya sudah dihancurkan!" "Tapi, Zea ..." "Sudahlah Juna. Aku tidak akan mundur. Apapun yang terjadi malam ini, terjadilah. Akan kutanggung resikonya." "Zea ... nggak bisa, ya kalo lu nggak pergi malam ini? Demi gue?" Juna memandang Zea sendu. Dia merasa sesuatu yang besar menanti Zea di klub itu. Ayahnya bukan orang ceroboh yang membiarkan orang lain mengetahui rencana pemindahan sejumlah uang ke dalam brankas klub malam nanti. Juna yakin, ini jebakan yang disiapkan ayahnya untuk menangkap Zea. Melihat kegelisahan di wajah Juna, Zea mendekatinya dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Juna. "Aku melakukan semua ini untuk kamu, Juna. Untuk kebebasanmu. Kebebasan kita." Zea merebahkan kepalanya di d**a Juna. "Hanya malam ini. Setelah itu, kamu bebas mengaturku semaumu." Hanya malam ini. Hanya malam ini Zea membebaskan hasrat binatang yang dikurungnya selama bersama Juna. Ada satu informasi yang tidak dia bagi dengan Juna tentang kondisi di klub malam ini. Margono, Sang Bos besar, akan berada di klub untuk melepas rasa penatnya setelah seminggu berada dalam kurungan. Tentu saja, para pengawal dan sipir penjara akan berkeliaran di sekitar klub untuk memastikan Margono tidak akan melarikan diri dan kembali ke dalam sel sebelum matahari terbit. Sekali lagi Zea mengecek peralatannya. Dia tidak akan masuk terang-terangan dari pintu depan. Para pengawal akan membekuknya sebelum dia sempat menyapa Margono. Zea memilih jalan lain. Jalan masuk yang lengah dari pengawasan dan tidak diperkirakan Margono akan dilalui Zea. Di dalam saluran udara, Zea merayap tanpa suara. Sesekali dia berhenti di lubang angin untuk mengecek keberadaannya. Jalur udara klub ini sedikit berliku. Zea sedikit kesulitan dan beberapa kali merubah arah karena salah jalan. Menurut perhitungannya, lubang udara ini akan melewati ruangan di mana brankas besar yang menjadi incarannya berada. Juna sudah memperingatkan sebelumnya, brankas tersebut akan diawasi lebih ketat dari biasanya. Pengawal bersenjata siap menembakkan timah panas pada mereka yang dengan lancang berani mendatangi brankas tanpa izin. Dan untuk Zea, perintahnya jelas: tembak di tempat! Tepat seperti dugaannya, brankas tersebut berada di satu ruangan besar dengan jeruji besi terpasang di hadapan brankas. Ruangan itu sendiri kosong. Pada satu sisinya tertanam brankas dengan pintu pemutar yang sangat besar. Untuk membuka pintu brankas, terlebih dahulu harus membuka pintu jeruji besi. Hanya dua orang yang memiliki kuncinya. Margono dan Baskoro. Pada sisi yang berseberangan dengan brankas, terdapat satu ruangan dengan banyak layar monitor. Di ruangan itu, seluruh pergerakan yang tertangkap kamera CCTV di area klub bisa dilihat. Dari ruangan itu juga, seorang penjaga akan bergantian memandangi pintu brankas tanpa berkedip selama 24 jam. Zea sudah memiliki cara untuk melumpuhkan pengawasan dari ruangan yang penuh layar monitor. Yang dia perlukan saat ini adalah kunci jeruji besi dan kombinasi kunci brankas. Untuk itu dia perlu kehadiran Baskoro atau Margono. Dan itu tidak mudah. Mereka berdua tidak akan datang dengan sukarela untuk memenuhi keinginan Zea. Harus ada banyak paksaan ditambah kekerasan dan intimidasi. Zea menelan ludah. Dia merayap lagi dalam saluran udara menuju pemberhentian berikutnya: aula utama klub. Dari lubang ventilasi, Zea mengamati keadaan aula utama yang sangat ramai. Musik dengan beat cepat mengalun dan menghentak lantai aula. Di salah satu sudur ruangan, yang lebih ramai dari sudut mana pun, Zea bisa melihat perut buncit Margono bergoyang-goyang sambil kedua tangannya melingkar pada bahu dua gadis cantik dengan senyum palsu. Tidak jauh dari tempatnya duduk, Baskoro terlihat memasang wajah tegang. Dia sedang berbicara dengan seseorang. Sayang wajah lawan bicara Baskoro terhalang tubuh salah seorang pengawal. Zea penasaran dengan lawan bicara Baskoro. Dan kelihatannya mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting. Zea menuju lubang ventilasi yang tersembunyi dan keluar di sana. Dia merapikan pakaiannya dan berjalan membaur dengan keriuhan suasana klub. Di depan bar, Zea memesan cocktail pada bartender. Menyesapnya sedikit dan berjalan ke tengah ruangan sambil mengikuti alunan musik. Dia terus berjalan sambil menggoyangkan kepala dan tubuhnya. Meliuk di antara tubuh-tubuh bau keringat dan asap rokok. Bertabrakan dengan seorang pemuda mabuk dan berjalan terhuyung setelah pemuda gemuk menyenggolnya cukup keras. Zea menegakkan tubuhnya. Saat ini dia cukup dekat dengan rombongan Margono. Dia berusaha mencari posisi yang tepat agar cukup jelas untuk melihat lawan bicara Baskoro. Dan setelah posisi yang tepat dia peroleh, rasa terkejut menyergapnya tiba-tiba. "Juna? Apa yang dia lakukan di sini." Belum sempat otaknya berputar mencari jawaban, sodokan lembut dan dingin mengenai pinggangnya. "Aku nggak nyangka bakalan semudah ini menangkap kamu, Zea."©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD