Bab 13

1354 Words
Nayaka menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia memejamkan mata sambil memijit pelipisnya. “Ternyata memang sudah lebih dari dua kali,” gumamnya mengingat seberapa sering dirinya memberi Alinka tawaran jadi pacar pura-puranya. Kini mata Nayaka terbuka. “Kenapa gue terdengar putus asa dan menyedihkan?” Sejauh yang bisa Nayaka ingat, hanya Alinka lah yang berani menolak tawarannya secara terang-terangan. Perempuan itu terlihat seperti terlalu kaya untuk menerima apa pun yang bisa Nayaka berikan. Padahal kalau dilihat-lihat, Alinka tidak kaya sama sekali. Apa Alinka tidak tertarik dengan uang? Jika bukan uang, lantas apa yang bisa meluluhkan kepala batunya? Nayaka merasa harus memikirkan cara lain untuk memikat hati Alinka agar dia mau menjadi pacar pura-puranya. Apa Nayaka harus berlutut dan memohon di depan Alinka? Tidak. Nayaka tidak boleh sampai melakukan hal itu. Nayaka kan masih punya harga diri. Pintu ruangan Nayaka diketuk, yang membuat Nayaka duduk tegak di kursinya. “Masuk,” ucap Nayak menatap ke arah pintu ruangannya. Kini pintu itu terbuka dan masuklah Farhan. “Permisi, Pak, maaf mengganggu,” kata Farhan yang sudah berada di depan meja Nayaka. “Ada apa?” “Apa Bapak sudah selesai menggunakan ponsel saya?” tanya Farhan hati-hati sambil menunjuk ponselnya yang berada di atas meja. “Ponselnya hendak saya pakai untuk menghubungi Bu Hilda mengenai rapat besok pagi.” “Ini,” balas Nayaka menyerahkan ponsel Farhan kepada pemiliknya. “Makasih.” “Iya, Pak, sama-sama,” kata Farhan. “Kalau boleh tahu, apa mungkin Bapak berniat untuk menjadikan Nona Alinka sebagai salah satu kandidat influencers yang nantinya akan diajak kerjasama?” “Bagaimana?” tanya Nayaka merasa bingung dengan ucapan Farhan itu. “Belakang Bapak sering meminta saya untuk mencari informasi mengenai Nona Alinka, jadi saya pikir Bapak ingin mengajak Nona Alinka kerjasama. Meskipun pengikut Nona Alinka hanya sekitar empat belas ribuan, tapi saya rasa memang tidak ada salahnya mengajaknya kerjasama. Setelah saya amati beberapa hari ini, hampir semua barang yang direkomendasikan oleh Nona Alinka laku keras. Seperti topi yang kemarin diunggah di story instagramnya, topi itu sudah ludes terjual di toko tempat Nona Alinka merekomendasikannya. Saya akui, style Nona Alinka ini memang sangat keren. Bahkan saya hampir membeli topi dan celana yang dia pakai. Namun, nggak jadi saya beli karena saya belum punya cewek,” ucap Farhan diakhiri dengan cengiran lebar. Nayaka menaikkan sebelah alisnya. “Menurutmu begitu?” “Iya, Pak.” Farhan mengangguk mantap. “Bahkan, saya melihat di salah satu sorotan di instagramnya kalau Nona Alinka pernah pergi ke toko kita lalu memutuskan untuk membeli parfum NYK by Ka yang Cherry Boom. Beberapa kali Nona Alinka merekomendasikan parfum itu kepada pengikutnya karena Nona Alinka suka wanginya yang manis dan lembut.” Nayaka membelalakkan mata karena merasa tertarik dengan informasi yang baru saja ia dapatkan. “Benarkah?” “Iya, Pak. Bapak bisa lihat di salah satu sorotan di akun instagramnya,” kata Farhan. Kini mendadak saja Nayaka bersedia menjadikan Alinka sebagai Brand Ambassador parfum miliknya asalkan perempuan itu mau menjadi pacar pura-puranya. Jika uang tidak bisa membeli kata ‘iya’ dari Alinka, mungkin saja ketenaran bisa membuatnya menyetujui tawaran Nayaka. Lagian, Alinka kan seorang influencers. Dan kebanyakan dari mereka sangat memedulikan citra. Alinka sebagai BA NYK by Ka bukankah hal yang sangat luar biasa? Alinka pasti menyetujui hal ini. Pasti. “Farhan,” panggil Nayaka seraya mengulurkan tangannya ke arah sekretarisnya itu. “Ponsel kamu. Saya belum selesai melihat-lihat akun i********: Alinka. Kamu hubungi Bu Hilda lewat email saja.” Dengan enggan Farhan mengangguk lalu menyerahkan ponsel miliknya kepada Nayaka. “Thank you,” ucap Nayaka menerima ponsel itu dengan senang hati. Setelah membuka kunci layar, Nayaka langsung beralih ke aplikasi i********:. Farhan sendiri pamit untuk meninggalkan ruangan Nayaka dengan perasaan campur aduk. Rasanya cukup berat berpisah dengan ponselnya lagi. Ponsel Nayaka yang berada di atas meja bergetar. Sebuah pesan dari kontak ayahnya masuk ke dalam ponselnya. Segera Nayaka membuka pesan itu. Pulang ke rumah. Nanti malam kita makan malam bersama. Naraya dan Nayana ada di Jakarta. -Papa- Sontak saja Nayaka menghela napas. Bertemu dengan kakak dan adiknya di saat seperti ini bukanlah hal yang bagus. Apalagi ditambah ada kedua orang tuanya. Pasti bahasan mereka tidak jauh-jauh dari Rosalia dan pacar baru Nayaka, yaitu Alinka. Apa yang harus Nayaka lakukan? *** Alinka membuka pintu belakang kafe tempatnya bekerja. Siang ini ia agak terlambat datang bekerja karena keasyikan merevisi skripsinya. Ketika ia hendak melangkahkan kaki ke dalam kafe bagian belakang, tiba-tiba saja ia mendengar beberapa teman kerjanya tengah mengobrol. Obrolan mereka membuat Alinka mematung di tempat. “Mentang-mentang tinggal di rumah mewah kayak istiana punya temannya, Alinka jadi seenaknya sendiri. Lihat aja hari ini dia telat datang. Kemarin juga nggak masuk kerja kan?” tanya suara yang Alinka kenali. Itu adalah suara Berta. “Lagian ngapain sih, kerja?” balas Melita, teman kerja Alinka yang lain. “Maksud gue, dia tinggal di rumah mewah. Temannya kaya raya. Gue rasa temennya Alinka itu juga pasti ngasih Alinka uang kan ya?” “Mungkin. Anehnya dia nggak pernah ngajak kita-kita main ke tempat tinggalnya. Kalau gue jadi dia, pasti gue party terus di rumah itu. Secara hanya Alinka dan Oma si Tamara yang tinggal di sana,” kata Berta seraya terkekeh. “Wah beruntung juga ya, Alinka. Bisa punya temen kaya raya kayak gitu. Tinggal di rumahnya pula. Gila mau sih, gue.” “Gue malah kasihan sama temennya, kali aja Alinka cuma manfaatin si Tamara aja.” Obrolan itu membuat hati Alinka berdenyut sakit. Alinka tidak menyangka jika orang-orang yang ia anggap teman akan membicarakannya dengan buruk di belakangnya. Padahal mereka tidak benar-benar tahu kehidupan Alinka ataupun pertemanannya dengan Tamara. “Tapi ya, Ber, gue pernah stalk akun instagramnya Tamara. Dia di luar negeri jalan-jalan terus. Happy-happy bareng temen-temennya di sana. Kadang juga party, pergi ke konser, berlayar pakai kapal. Apa Alinka nggak iri tuh?” “Pasti iri lah. Kasta mereka kan beda jauh!” Melita tertawa mendengar ucapan Berta itu. “Oh ya, gue denger-denger, dulu Alinka juga kaya. Keluarganya punya resto yang dulunya punya banyak cabang. Tapi katanya gara-gara pesugihan jadi bangkrut. Papanya juga katanya meninggal karena jadi tumbal.” “Bener. Gue juga denger gosip itu. Takut banget loh, kalau tiba-tiba gue ikut dijadikan tumbal,” kata Berta dengan nada ngeri. Alinka tak sanggup lagi mendengar celaan mereka. Akhirnya Alinka memutuskan untuk berbalik, keluar dari sana sambil membanting pintu di belakangnya. Alinka marah. Sangat marah. Jika Alinka bisa memilih, Alinka pun tidak ingin berada di kafe itu bekerja dengan orang-orang banyak mulut seperti mereka. Alinka lebih ingin pergi ke kafe itu untuk mengerjakan tugas kuliah sambil memaki mereka dengan mengatakan minuman buatan mereka tidak enak! Namun, Alinka tidak punya hak istimewa seperti itu. Kalaupun punya, Alinka pun tak akan sanggup melakukan hal rendahan seperti itu. Alinka menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Rasanya begitu mengesalkan ketika harus mengakui jika beberapa ucapan dari teman-teman kerja Alinka itu memang benar. Alinka memang sempat iri dengan Tamara yang hidupnya tampak mudah dan indah. Namun, bukan berarti Alinka membenci Tamara karena dia dapat melakukan semua itu sedangkan dirinya tidak. Alinka sangat berterima kasih kepada Tamara karena meskipun dia kaya raya, dia masih mau berteman baik dengan Alinka. “Gue juga mau kaya,” gerutu Alinka susah payah menahan air matanya. “Kalau bisa, gue juga mau tinggal di rumah mewah punya gue sendiri. Tapi, gue dikasihnya hidup kayak gini! Terus gue bisa apa? Selain itu, keluarga gue nggak pernah punya pesugihan! Papa meninggal juga karena serangan jantung! Dasar nyebelin kalian,” lanjutnya sambil sesenggukkan. “Masih kuat hidup aja syukur,” tambahnya mengapus air mata yang jatuh membasahi pipinya. Alinka menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Ia berhenti melangkah lalu menoleh ke arah belakangnya, di mana pintu belakang kafe berada. “Gue butuh duit, gue harus kerja,” gumamnya menahan tangis yang hampir kembali pecah. Alinka kembali menarik napas panjang untuk menenangkan diri. “Oke. Lewat pintu depan aja kalau begitu,” lanjutnya seraya menganggukkan kepala. Hidup berdampingan dengan orang lain memang seperti ini, Alinka mengingatkan diri. Ada kalanya menyebalkan. Sering kalinya memang menjengkelkan. Jadi, Alinka harus bersabar. Alinka belum cukup kaya untuk bisa melepaskan pekerjaannya begitu saja hanya karena diomongin di belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD